DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH :
Vania Cahyaningtyas
18201010035
YOGYAKARTA
2019
Page 1 of 23
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5
BAB III........................................................................................................................................... 8
BAB IV ......................................................................................................................................... 22
PENUTUP .................................................................................................................................... 22
A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 22
Page 2 of 23
BAB I
A. Latar Belakang
Puisi adalah salah satu karya sastra yang mengalami perkembangan baik dari segi
strukturalnya, maupun dari segi makna. Meskipun demikian, puisi sejatinya adalah sebuah
ungkapan dari pengarang dalam menyampaikan sesuatu. Nilai-nilai kehidupan seputar manusia
juga termuat dalam puisi meskipun tidak akan termaknai dengan sekali baca saja. Hal ini
dikarenakan pengarang menyajikan puisi dengan cara yang berbeda dari karya sastra lainnya.
Pradopo (2010:123) menjelaskan bahwa untuk mengkaji puisi (sajak) perlulah analisis
struktural dan semiotik, mengingat bahwa sajak itu merupakan struktur tanda-tanda yang
bermakna. Dalam memperoleh makna pada puisi, penulis mendapatkan tugas untuk menganalisis
semiotika teori Riffaterre untuk menganalisis puisi-puisi tersebut. Dengan tahapan menemukan
ketidaklangsungan ekspresi pada puisi, pembacaan puisi secara hermeneutik dan heuristik
berikut dengan matriks, model, varian, beserta hipogramnya, puisi akan dipahami lebih mudah.
Perkembangan puisi, tak lepas dari berkembangnya lapisan masyarakat yang mengonsumsi
karya sastra, terutama puisi itu sendiri. Riffaterre (dalam Pradopo, 2010:3) menjelaskan puisi
selalu berubah ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. Hal ini
serupa dengan kodrat manusia yang tidak akan pernah puas terhadap sesuatu, seperti itu juga
perkembangan puisi dari masa ke masa. Dari waktu ke waktu, para pengarang memberikan
sentuhan baru dalam karyanya.
Puisi adalah sistem tanda yang memiliki makna. Puisi akan bermakna jika pembaca memberi
makna pada puisi tersebut. Namun pemberian makna tersebut harus melalui kerangka semiotik.
Oleh karena itu, agar dapat memaknai puisi dengan baik, maka puisi harus dianalisis dalam
tataran semiotik. Dengan menggunakan tinjauan semiotik, maka tanda-tanda atau simbol-simbol
dalam puisi dapat diketahui maknanya.
Berikut penulis akan memaparkan semiotika teori Michael Riffaterre pada penjelasan
dibawah ini.
Page 3 of 23
B. Rumusan Masalah
1. Apa teori semiotika Michael Riffatere ?
2. Bagaimana tahap pemaknaan dalam teori semiotika Michael Riffaterre ?
3. Bagaimana proses analisis pemaknaan puisi pada teori semiotika Michael Riffaterre ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui teori semiotika Michael Riffatere.
2. Untuk mengetahui tahap pemaknaan dalam teori semiotika Michael Riffaterre.
3. Untuk mengetahui proses analisis pemaknaan puisi pada teori semiotika Michael
Riffaterre.
Page 4 of 23
BAB II
PEMBAHASAN
Michael pernah belajar di University of Lyon dan Sorbone of University of Paris. Lalu
kemudian pada tahun 1995, ia pindah ke New York guna menyelesaikan studi doktoralnya di
Columbia University setelah mempertahankan disertasi yang berjudul Le Style des Pléiades de
Gobineau, essai d’application d’une méthode stylistique . Disertasi tersebut kemudian diterbitkan
oleh Columbia Unversity Press pada tahun 1957. Setelah menempuh program doktoral di
Columbia University, kemudian ia menjadi profesor penuh pada tahun 1964 dan profesor
emeretus. Riffaterre adalah anggota The American Academy of Arts and Sciences dari tahun
1971 sampai 2001.
Michael Rifaterre mengabdikan dirinya pada penelitian teks sastra yang menempatkan
pembaca sebagai bagian dari proses analisis teks puisi. Terlibatnya pembaca tentunya akan
berdampak pada daya tahan karya sastra dengan evolusi selera dan interpretasi pembaca yang
bisa saja tidak relevan dengan maksud penulis teks sastra. Riffaterre menawarkan teori untuk
merelevansikan maksud penulis dengan interpretasi pembaca melalui proses linguistik dan
semiotik. Kontribusi pemikiran Riffaterre ini tertuang dalam bukunya yang berjudul Semiotics of
Poetry (Indiana University Press, 1978) dan La Production du Texte (Seuil, 1979).2
1
Michael Raffaterre". Department of French and Romance Philology. Diakses tanggal 11 November 2019.
2
Michael Riffaterre; Literary Theorist and Critic". NEW YORK TIMES NEWS SERVICE. Diakses tanggal 11 November
2019.
Page 5 of 23
B. Semiotika Michael Riffaterre
Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Sebuah kata dapat memiliki
makna ganda, bahkan kata yang tidak memiliki maknapun bisa diberi makna oleh seseorang
pengarang puisi. (Waluyo, 1987 : 103).
Michael Riffaterre adalah salah satu ahli semiotik yang menggunakan istilah-istilah pinjaman
dari linguistik dan diterapkan pada puisi. Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul
semiotics of poetry, menjelaskan bahwa dalam memaknai sebuah puisi, pembacalah yang
berkompeten dalam memberikan arti pemulaan yang akan menentukan makna sebuah puisi
berdasarkan pengalaman dan kemampuan pemahamannya sebagai pembaca puisi. Maksudnya,
dalam memberikan makna terhadap sebuah puisi, pembaca lebih berwenang dan lebih berkuasa
daripada pengarang (Teew, 1991 : 65).
Namun ketika kita membaca buku, encoder (penulis) tidak ada dan berubah menjadi
hubungan langsung antara decoder (pembaca) dan pesan itu sendiri (buku). Tanpa akses
langsung ke encoder, referensi, atau realitas apa pun di luar buku. Pembaca hanya dapat
menyimpulkan elemen-elemen ini, itulah sebabnya Riffaterre mengklaim bahwa "realitas dan
penulis adalah pengganti teks" (Riffaterre, 1983, 4) . Dan karena pembaca tidak memiliki apa
pun di hadapannya selain teks, tekslah yang harus meminta perhatiannya. Diagram berikut,
berdasarkan pada model komunikasi Jakobson, menggambarkan hubungan yang tidak biasa
antara berbagai elemen yang terlibat dalam komunikasi sastra.
Page 6 of 23
Dalam sebuah teks sastra, pembaca akan menemui ungrammatisitas: unsur-unsur yang
tampaknya tidak sesuai yang masuk dan mengganggu tata bahasa teks. Di sinilah kita
menemukan kutub kedua angka dua: unit gaya. Ungrammaticality adalah elemen yang
mengubah tata bahasa teks dan sedemikian rupa sehingga tidak lagi secara akurat mewakili
kenyataan. Ungrammaticality adalah apa yang memungkinkan kita untuk beralih dari mimesis ke
semiosis dan dengan demikian memperoleh akses ke signifikansi teks.
Ketika kita menerapkan teori Riffaterre, apalagi kita harus selalu mempertimbangkan unit
gaya secara keseluruhan dan menghindari menganalisis kata-kata secara terpisah, karena kata-
kata harus selalu dipelajari dalam konteks hubungan mereka dalam keseluruhan gaya: tata bahasa
dan ungrammatisitas saling tergantung ketika datang ke penciptaaan makna.3
Teori semiotika yang dikembangkan oleh Riffaterre mencoba untuk memaknai tanda dalam
karya sastra khususnya puisi. Semiotika ini bertujuan untuk mengungkap makna dalam sebuah
puisi. Dalam proses memaknai puisi itu Riffaterre membagi kedalam empat macam tahap
pemaknaan, yaitu : (1) Puisi itu ekspresi tidak langsung. (2) pembacaan Heureistik dan
Hermeneutik (3) Matriks, model, dan varian-varian (4) Hipogram.4
3
Riffaterre's Biography and Bibliography". Signo. Diakses tanggal 9 April 2014.
4
Yapi Taum. Semiotika Riffaterre dalam "Bulan Ruwah" Subagio Sastrowardoyo (edisi ke-Maret 2007). Sintesis.
hlm. 74
Page 7 of 23
BAB III
Dalam buku Riffaterre, semiotics of Poetry, ada empat hal yang penting, yang harus
diperhatikan dalam pemaknaan sastra. Keempat hal itu adalah :
mengurus presisi:
Larik “Mengurus presisi” adalah majas metafora, karena presisi merupakan ketelitian,
mengurus presisi dapat dimaknai dengan mengurus ketelitian. Jika merujuk ke pada puisi, hal ini
menyatakan presisi adalah waktu. Kemudian larik “waktu memang tak pernah kompromi”,
adalah majas personifikasi, di mana waktu diibaratkan seolah benda hidup.
Page 8 of 23
Marsinah itu arloji sejati,
memintal kefanaan
Larik “Marsinah itu arloji sejati” merupakan majas metafora, yang mengibaratkan
Marsinah sebagai arloji. Larik “memintal kefanaan” adalah majas metonimia. Kata kefanaan di
dalam puisi berarti menggantikan kehidupan.
Larik “angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke
Nganjuk” merupakan majas personifikasi. Angin, debu, klakson, asap knalpot seolah benda
hidup karena mengiring jenazah ke Nganjuk. Selanjutnya, larik “Apa sebaiknya menggelinding
saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?” adalah majas simile, sebab merupakan perumpamaan
menggunakan kata bagai. yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya).
Metafora itu bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang
sesungguhnya tidak sama, Altenbernd (dalam Pradopo, 2009: 212). Secara umum dalam
pembicaraan puisi, bahasa kiasan seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi
itu bisa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan
kiasan yang lain, mempunyai sifat sendiri. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal
atau benda lain.
Page 9 of 23
2) Penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning)
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 209: 213) penyimpangan terjadi bila dalam sajak ada
ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
Penyimpangan arti pada puisi Dongeng Marsinah dapat dilihat pada uraian berikut.
memintal kefanaan
Kontradiksi terdapat pada larik “Memintal kefanaan yang abadi”, sebab kata fana dan
abadi memiliki makna yang berkebalikan.
Larik “detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi” juga merupakan kontradiksi, karena
detik yang dapat dimaknai sebagai waktu tidak akan pernah tergeletak atau berhenti, hakikat
waktu adalah selalu berjalan ke depan. Begitu juga dengan Marsinah, sebagai manusia biasa
tidak akan pernah menjadi abadi.
Kemudian larik “ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi” termasuk ke dalam kontradiksi, sebab terdapat kata sorga dan neraka yang
memiliki makna berkebalikan.
Page 10 of 23
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
di poster-poster itu;
Selanjutnya larik “Tidak tahu harga sebuah lencana” termasuk ke dalam ambiguitas, karena
bisa bermakna Marsinah memang tidak mengetahui harga lencana dan Marsinah yang tidak
pernah merasakan diberikan penghargaan.
Homologues (persamaan posisi) itu misalnya tampak dalam sajak pantun atau yang semacam
pantun. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan.
Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulang bunyi
dan parlelisme.
Tahap penggantian arti pada puisi Dongeng Marsinah adalah sebagai berikut. Rima terdapat
pada larik “Kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak”, larik “Marsinah, kita tahu, tak
bersenjata, ia hanya suka merebus kata” dan larik apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah
sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
Page 11 of 23
hakikat kemanusiaan,”. Terjadi persamaan bunyi “ak”, “ata”, “kah”, dan “an” pada akhir suku
kata. Sedangkan simitri, terdapat pada larik “Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman?
Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah
sebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran?”. Terdapat keseimbangan baik dalam rima akhir
katanya, maupun pada pengulangan-pengulangan kata yeng menimbulkan bunyi dan irama.
Selanjutnya pada larik “Kita tatap wajahnya setiap pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-
detiknya di setiap getaran kata”, pengulangan terjadi pada kata “kita” dan “setiap”. Pada bagian
/5/, terdapat pengulangan dalam bentuk baris, dan pensejajaran makna. Dapat dilihat dari larik
“(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya)”, larik “(Malaikat tak suka
banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka)” dan larik “(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi
lihat, ia seperti terluka)”. Selanjutnya pada bagian /6/, simitri juga ditemukan pada bagian
“Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini” yang kembali diulang pada
baris terakhir.
Pembacaan retroaktif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu
merupakan ekspresi tidak langsung. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan menurut sistem
semiotik tingkat kedua (second order semiotics).
Untuk memberikan makna karya sastra lebih lanjut, karya sastra dibaca berdasarkan sistem
bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama dan sistem semiotik tingkat kedua. Pembacaan
berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama adalah pembacaan heuristik dan pembacaan
berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua adalah pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
1) Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik ini adalah pembacaan menurut sistem bahasa, menurut sistem tata
bahasa normatif. Karya sastra, lebih-lebih puisi, ditulis secara sugestif, hubungan antarbaris dan
Page 12 of 23
baitnya bersifat implisit. Hal ini disebabkan oleh puisi itu hanya mengekspresikan inti gagasan
atau pikiran. Oleh karena itu, hal-hal yang “tidak perlu” tidak usah dinyatakan. Ada awalan dan
akhiran yang dihilangkan hingga tinggal inti katanya. Ada susunan kalimat yang dibalik. Oleh
karena itu, pembacaan sastra harus mewajarkan yang tidak wajar. Bahasa sastra harus
dinaturalisasikan menjadi bahasa biasa, bahasa normatif. Dalam penaturalisasian ini kata-kata
yang tidak berawalan dan berakhiran diberi awalan dan akhiran. Dapat ditambahkan kata-kata
atau kalimat untuk memperjeas hubungan antarkalimat dan antarbaitnya. Susunannnya diubah
menjadi susunan tata bahasa normatif. Baik kata maupun kalimatnya dapat diganti dengan
sinonimnya atau yang satu arti.
Pembacaan heuristik diatas baru memberikan arti sajak berdasarkan konvensi bahasanya
sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Jadi, belum memberikan makna sajak itu. Untuk
memberi makna, sajak ini harus dibaca ulang (retroaktif) dan diberi tafsirannya berdasarkan
konvensi sastra yang merupakan sistem semiotik tingkat kedua.
Dongeng Marsinah
/1/
mengurus presisi:
Page 13 of 23
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
sebutir nasi.”
/2/
sampai mendidih,
ke asalnya, debu.”
/3/
Page 14 of 23
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
ia diikat ke kursi;
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
/4/
Page 15 of 23
Tangis tak pantas.
Marsinah diseret
dan dicampakkan –
sempurna, sendiri.
makna pertanyaan?
/5/
Page 16 of 23
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
wanita berotot,
di poster-poster itu;
Page 17 of 23
(Malaikat tak suka banyak berkata,
/6/
melingkar di pergelangan
dan diingatkannya
hakikat presisi.
melingkar di pergelangan
Parafrase “Dongeng Marsinah” adalah sebagai berikut. Marsinah adalah seorang buruh
pabrik arloji yang sangat cermat dan teliti. Marsinah tidak banyak kehendak, ia hanya ingin
hidup layak demi sesuap nasi. Marsinah suka merebus kata sampai mendidih dan meluap.
Marsinah suka berpikir dan tak ingin menyulut api. Ia hanya memutar jarum arloji. Marsinah
Page 18 of 23
yang dijemput untuk suatu perhelatan. Namun, di sana Marsinah disekap di ruangan pengap,
mulutnya disumpal, dan ia diikat ke kursi. Ia tidak diberi makan dan minum. Marsinah disiksa
dan dilecehkan hingga tubuhnya biru lebam. (“kepalanya ditetak”, “selangkangnya diacak-acak”,
“dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan”). Kemudian mayat Marsinah yang
dibuang ke hutan di Nganjuk dan tak ada seorang pun yang tahu. Hanya angin, debu jalan,
klakson, asap knalpot, dan semak-semak tak terurus yang menjadi saksi Marsinah dicampakkan.
Marsinah yang tak ingin kembali lagi ke dunia yang disebutnya dengan neraka. Marsinah
mengatakan hidup di dunia akan sengsara jika suka memasak kata. Marsinah tidak pernah
menjadi perhatian dalam upacara, dan Marsinah tidak tahu harga sebuah lencana. Malaikat
paham apa maksud Marsinah. Marsinah adalah arloji sejati yang melingkar di pergelangan
tangan kita. Ia meraba denyut nadi kita dan mengingatkan agar memahami hakikat presisi. Kita
selalu melihat wajahnya setiap pergi dan pulang sekolah, merasakan detiknya, karena Marsinah
adalah arloji sejati yang melingkar di pergelangan tangan kita.
Page 19 of 23
C. Matriks, model, dan varian-varian
Secara teoritis sajak merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan
ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam analisis sajak karya sastra, matriks
diabstraksikan dari karya sastra yang dianalisis. Matriks ini dapat berupa satu kata, gabungan
kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana.
Untuk memperjelas dan mendapatkan makna sajak karya sastra lebih lanjut, dicari tema dan
masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya (Riffatarre, 1978 : 19 - 21)
lebh dahulu.
Matriks itu harus diabstraksikan dari sajak atau karya sastra yang dibahas. Matriks itu tidak
dieksplisitkan dalam sajak karya sastra (Riffaterre, 1978 : 19-21). Matriks itu bukan kiasan.
Matriks ini adalah kata kunci (keyword), dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat,
atau kalimat sederhana. Matriks ini mengarah pada tema. Jadi, matriks bukan tema atau belum
merupakan tema. Dengan ditemukan matriks, nanti akan ditemukan tema.
Matriks itu sebagai “hipogram” intern yang ditransformasikan kedalam menjadi model yang
berupa kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi varian-varian. Varian-varian ini
merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda : baris atau bait, bahkan juga bagian-
bagian fiksi. Varian-varian itu berupa “masalahnya”. Dari matriks model dan varian-varian ini,
dapat disimpulkan yaitu diabstraksikan tema sajak karya sastra.
Page 20 of 23
tidak diberi makan dan minum. Marsinah disiksa dan dilecehkan hingga tubuhnya biru lebam.
Detik meninggal dan Marsinah abadi. Keempat, Pada hari baik dan bulan baik, mayat Marsinah
dibuang ke Nganjuk dengan tak seorang pun yang tahu. Hanya angin, debu jalan, klakson, asap
knalpot, dan semak-semak tak terurus yang menjadi saksi Marsinah dicampakkan. Kelima,
Marsinah tak ingin kembali lagi ke dunia. Ia tak ingin dikirim kembali ke neraka itu lagi.
Marsinah mengatakan hidup di dunia akan sengsara jika suka memasak kata. Marsinah tidak
mengenal wanita bertampang garang dan mengepalkan tangan di poster-poster itu. Marsinah
tidak pernah menjadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana. Malaikat
paham apa maksud Marsinah. Keenam, Marsinah adalah arloji sejati yang melingkar di
pergelangan tangan kita. Ia meraba denyut nadi kita dan mengingatkan agar memahami hakikat
presisi. Kita selalu melihat wajahnya setiap pergi dan pulang sekolah, merasakan detiknya,
karena Marsinah adalah arloji sejati yang melingkar di pergelangan tangan kita.
Hipogram terbagi menjadi dua jenis, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual.
Hipogram potensial adalah segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan, implikasi itu tidak
dapat ditemukan dalam kamus, baik kamus ekabahasa maupun kamus dwibahasa, karena
implikasi bukan berdasarkan pada arti denotatif kebahasaan. Implikasi itu sebenarnya telah ada
pada pemikiran penutur bahasa pada umumnya.
Hipogram aktual adalah segala bentuk implikasi yang mengacu kepada karya atau teks
sebelumnya, yang berisi tanggapan-tanggapan baik berupa pro maupun kontra atas karya atau
teks sebelumnya.
Hipogram dari puisi Dongeng Marsinah adalah kasus pembunuhan seorang buruh pabrik
arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo pada Mei 1993. Marsinah hilang setelah
memimpin teman-teman sesama buruhnya untuk melakukan aksi protes dan mogok kerja. Hal itu
dilakukannya untuk menuntut kenaikan upah yang pada saat itu sudah ada peraturan dari daerah
agar menaikkan upah karyawan, namun pabrik tempat Marsinah bekerja tidak menerapkannya.
Marsinah kemudian ditemukan telah menjadi mayat di hutan Nganjuk.
Page 21 of 23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa analisis puisi menggunakan tahapan
Semiotika Riffaterre yakni (1) ketidaklangsungan ekspresi yang terdiri dari penggantian arti,
penyimpangan arti, dan penciptaan arti, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) matriks,
model, dan varian, dan (4) hipogram, akan ditemukan makna puisi secara utuh. Selain itu,
tahapan terakhir atau hipogram yang menunjukkan latar penciptaan dari puisi Dongeng Marsinah
karya Sapardi Djoko Damono menceritakan tentang kisah Marsinah seorang buruh pabrik arloji
PT Catur Putra Surya (CPS) di Sidoarjo yang dibunuh pada Mei 1993. Dalam hal ini, hipogram
tidak berarti teks atau karya sastra yang lebih dahulu diciptakan, namun juga dapat bersumber
dari suatu peristiwa.
Page 22 of 23
DAFTAR PUSTAKA
Michael Raffaterre". Department of French and Romance Philology. Diakses tanggal 8
April 2014.
Michael Riffaterre; Literary Theorist and Critic". NEW YORK TIMES NEWS
SERVICE. Diakses tanggal 11 April 2014.
Riffaterre's Biography and Bibliography". Signo. Diakses tanggal 9 April 2014.
Taum, Yoseph Yapi. 2007. “Semiotika Riffaterre dalam Bulan Ruwah Subagio
Sastrowardoyo” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol. 5 No. 1, Maret 2007.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta : Medpress.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana of University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Semiotika : teori, Metode, dan penerapannya dalam
Pemaknaan Sastra. Humaniora. No. 10 Januari – April 1999.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi : analisis strata norma dan analisis
struktural dan semiotik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Page 23 of 23