BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Memaparkan tentang semiotika
2. Menjelaskan prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes
3. Memaparkan pandangan Roland Barthes tentang praktik budaya kontemporer dalam karya-
karyanya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Semiotika
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika—atau dalam
istilah Barthes, semiologi—pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-
objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa
semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda.
Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragamatik, yaitu untuk
mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda.
Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi daan konsumsi arti. Semiotika dapat
diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik, semiotika bahasa tulis, semiotika
komunikasi visual, semiotika kode budaya, dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah semiotika
visual.
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui
dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in
absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan
dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain,
penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek
material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari
bahasa (Bertens, 2001:180).
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda.
Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda
atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor
linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata
Saussure.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi yang
menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini tanda hanya
dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh
penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut
aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari
makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan
seseorang dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang
dalam pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna
kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif dengan tokohnya yang
paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat
sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah
mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak
hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental
(petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di
luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa
sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi
kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik
(scientific semiotics).
Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang
berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal
mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah
peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering
disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah
ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku
Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi
tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan
konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga
pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi
pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap
sebagai sebuah Mitos. (http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-
semiotika-sebuah-pengantar/)
Menurut Barthes penanda (signifier) adalah teks, sedangkan petanda (signified) merupakan
konteks tanda (sign)
language
2.
SIG
NIF
IED
1. SIGNIFIER
3. SIGN
II.
SIG
NIF
myth
IED
I. SIGNIFIER
III. SIGN
MITOS
WARNA
TAHAP I DENOTASI
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama,
tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat
tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman
bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap
ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Dalam contoh di
atas, pada tahap I, tanda berupa bunga mawar ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya
berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi
petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan
pijakan untuk masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar
yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga
adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam
maknanya, bahwa hasrat cinta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa.
Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa
kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul dengan
teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos
dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua
hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan
lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression
(bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai
sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini
disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja
hijau mengemban makna “persidangan”. Lapis kedua ini yang disebut konotasi.
Derrida membangun teorinya dengan argumen yang bertolak belakang dengan pemikiran
Husserl. Husserl mengemukakan bahwa makna ujaran adalah yang diinginkan oleh pemroduksi
tuturan. Bahasa yang utama adalah tuturan. Bagi Derrida, bahasa bersifat memenuhi dirinya sendiri
(self-sfuficient), dan bahkan terbebas dari manusia. Derrida melihat bahasa bersumber pda
“tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang secara maksimal memnuhi dirinya sendiri karena tulisan
menguasai ruang ruang secara maksimal pula. Sebenarnya pemaknaan yang dilakukan oleh
Derrida adalah pemaknaan membongkar dan menganalisis secara kritis (critical analysis). Teori
ini bertolak dari teori Saussure tentang tanda.
1) Mythologies
Buku Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua subbab, yakni: (1) “Mythologies”,
dan (2) “Myth Today”. Jangan berharap kalau dalam buku ini Barthes membicarakan dan
mengulas tokoh-tokoh mitologi Yunani atau Romawi seperti Zeus dan dewa-dewa Olympus
lainnya, Hercules dan hero-hero lainnya, ataupun rentetan Perang Troya sebagaimana dikisahkan
dalam Iliad dan Odiseus yang sangat dikenal tidak hanya oleh masyarakat Eropa tetapi juga di
belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia. Barthes sama sekali tidak menyinggung peristiwa
maupun tokoh mistis dan legendaris
tersebut.
Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-topik kontemporer
semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak
Einstein, manusia Jet, masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citroën,
plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam
pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-tulisannya dalam
buku ini merupakan sejumlah esai tentang topik-topik masa itu yang dia tulis setiap bulan untuk
sejumlah media massa.
Topik-topik yang menarik perhatiannya ini, tidak lain merupakan refleksi atas mitos-mitos
baru masyarakat Prancis kontemporer. Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa
yang ditemuinya dalam artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan,
ataupun pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di
balik semua hal itu. Mitos inilah yang oleh Barthes disebut sebagai second order semiotic system,
yang harus diungkap signifikansinya. Mitos merupakan salah satu type of speech. Jabarannya
mengenai konsep mitos-mitos masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada subbab yang
kedua yang berjudul “Myth Today”.
2) Fashion
Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar mengenai dunia
mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini Barthes juga membicarakan operasi
struktur penanda (signifier) mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau
signifikansinya. Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika
yang selama ini dikembangkannya.
Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai salah satu bentuk atau
wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan
dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga,
liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian
musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang
mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas. Yang
tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan
mode.
Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi
peragaan busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol
status kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda
Indonesia. Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu
kajiannya, mengingat Paris merupakan kiblat mode dunia. Begitulah, salah satu topik pembicaraan
Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh
dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan
busana di berbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan
melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau ditelusuri, dunia
mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang selama ini sering dikonter oleh para
feminis.
3) Camera
Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto, khususnya tentang foto-
foto dalam media massa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The
Photographic Message” pada 1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua
artikelnya ini, Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto
dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan
secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita
atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer. Akan tetapi,
di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message)
yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah dimiliki
sebelumnya.
Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto
menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto yang tengah
membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap.
Sebagai analogon atau makna denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan
nota persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan
tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan
secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin yang telah 32 tahun
berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam analisisnya
tentang sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan
seragam militer Prancis yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada
bendera nasional. Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes
menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar, tempat para
putranya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran
benderanya. Foto itu merupakan konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan pose, objek yang
dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi tercapainya apa yang hendak
“ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan
yang lebih menekankan kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif
yang seringkali memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi,
2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak memfokuskan pada foto-foto dalam
media massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda
dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada
semiotik atas foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan
pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman,
tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang yang mempunyai
kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah menuju jati
dirinya yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang
menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku
pada satu titik (St. Sunardi, 2004:166).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Adapun simpulan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan berbagai pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa semiotika atau semiologi
merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda.
2. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna
sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan
personal). Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi
tersebut akan menjadi mitos
3. Roland Barthes juga menganalisis tentang sejumlah fenomena budaya pop seperti dalam
Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida. Rupanya peristiwa sehari-hari, foto,
atau gaya berpakaian juga dapat dianalisis dengan kajian semiotik yang memiliki makna konotasi
dan denotasi.
DAFTAR PUSTAKA
Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Sumawijaya, Bambang. 2008. Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar.
http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-
pengantar/ (diunduh pada tanggal 22 september 2012)
Swandayani, Dian. 2005. Tokoh Cultural Studies Perancis: Roland Barthes. Makalah dipresentasikan
dalam Seminar Internasional Rumpun Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY Yogyakarta, pada
14—15 September 2005