Anda di halaman 1dari 8

MAKNA SEMIOTIKA PADA CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA

A.A. NAVIS MENGGUNAKAN TEORI CHARLES SANDERS PIERCE

Syauqi Khaikal Zulkarnain, Muhamad Ma’rufin,


Raja Syeh Anugrah, Miftahul Rizki Wiliansyah
syauqikhaikal@gmail.com
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Abstrak: cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis merupakan bentuk
kritikan terhadap kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya yang sudah
memudarkan hakikat surau dan ritus ibadah. Surau atau musala adalah
tempat ibadah yang menghimpun jamaah untuk menunaikan kewajiban
serta pusat kajian agama. Cerpen ini bermuatan kritik atas tindakan
masyarakat yang enggan memedulikan kondisi sekitar dan justru menjauh
dari hakikat agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Penelitian ini
bermaksud untuk mendeskripsikan makna semiotika yang terdapat dalam
cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Metode yang digunakan ialah
metode analisis deskriptif dengan pendekatan semiotik Pierce yang meliputi
ikon, indeks, dan simbol. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis yang tercermin dalam
kutipan-kutipan tersebut, pengambilan data menggunakan teknik
pengamatan melalui sumber jurnal. Permasalahan yang akan dipecahkan
adalah ikon, indeks, dan simbol pada metafora yang digunakan A.A. Navis
dalam cerpen Robohnya Surau Kami serta menghubungkan pada realita yang
terjadi saat ini dengan tujuan dapat memahami maksud dalam cerpen
tersebut.

Kata kunci: semiotik, ikon, indeks, simbol, cerpen

Pendahuluan
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran
konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo & Saini,
1997:3). Secara garis besar sastra dibagi menjadi tiga, yaitu puisi, prosa, dan
naskah drama. Sastra merupakan hasil karya manusia yang mengandung imajinasi
dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Meskipun suatu karya tulisan adalah fiksi, ia tetap dapat mencerminkan
kenyataan. Seperti pendapat Saryono (2009: 18) bahwa sastra mempunyai
kemampuan untuk merekam pengalaman yang empiris-natural maupun
pengalaman yang nonempiris-supernatural. Sederhananya, sastra dapat menjadi
saksi dan komentator kehidupan manusia.
Sastra di Indonesia dewasa ini mengalami perkembangan pesat. Sastra
kekinian lahir dengan bentuk yang beragam. Kemunculan karya sastra di dunia ini
memunculkan pula kajian-kajian yang menjadikan karya sastra sebagai objeknya.
Hal ini karena karya sastra memiliki makna tersirat yang ingin disampaikan oleh
penulisnya.
Salah satu tujuan memahami karya sastra dengan pendekatan analisis
deskriptif adalah cara pelukisan data dan analisis dalam kritik sastra. Kritik
membutuhkan pelukisan data sebagaimana adanya. Maksudnya, yang
digambarkan dalam kritik sastra menurut realitas yang ada, tidak perlu
menambahi hal-hal lain. Teknik penelitian semacam ini dalam kritik sastra disebut
deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif mengutamakan penggambaran data
melalui kata-kata (Endraswara, 2013: 176). Menurut Ratna (2008: 39) metode
analisis deskriptif adalah metode yang digunakan dengan cara menganalisis dan
menguraikan data untuk menggambarkan objek yang diteliti yang menjadi pusat
perhatian penelitian. Dengan kata lain, metode analisis deskriptif digunakan untuk
menguraikan kemudian mendeskripsikan objek yang diteliti dengan hal-hal yang
menjadi pusat perhatian.
Penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi, atau
pengubahan pada variable-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi
apa adanya. Metode deskriptif ini disertai dengan kegiatan analisis agar diperoleh
pemahaman dam pembahasan yang mendalam mengenai analisis semiotik yang
terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Menurut teori semiotika Charles Sander Pierce, semiotika didasarkan pada
logika. Logika mempelajari bagaimana orang dalam bernalar, sedangan penalaran
menurut Pierce memungkinkan kita untuk berpikir serta berhubungan dengan
orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Dalam hal ini manusis mempunyai keanekaragaman akan tanda-tanda dalam
berbagai aspek kehidupannya. Di mana tanda linguistik menjadi salah satu yang
terpenting. Dalam teori semiotika ini, fungsi dan kegunaan dari satu tanda itulah
yang menjadi pusat perhatian. Tanda sebagai suatu alat komunikasi merupakan
hal yang teramat penting dalam berbagai kondisi serta dapat dimanfaatkan dalam
berbagai aspek komunikasi.
Cerpen Robohnya Surau Kami dipandang sebagai salah satu karya
monumental dalam dalam dunia sastra Indonesia. Dalam bukunya, Navis
menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh
dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia
Indonesia saat itu yang masih relevan pada masa sekarang ini. Surau biasanya
identik dengan sebuah tempat berkumpulnya pemuda serta masyarakat untuk
beribadah dan menimba ilmu agama. Namun fungsi surau tidak hanya sekadar
untuk mengisi nutrisi rohani, melainkan juga jasmani dengan beberapa kegiatan
fisik seperti pencak silat pada lingkungan kebudayaan Minangkabau. Selain itu,
surau juga menjadi tempat kegiatan sosial untuk upaya pelestarian adat.
Surau memupuk sikap pemuda mandiri dan siap mental dalam
menghadapi dunia luar yang penuh dengan godaan sekulerisme, sehingga
pemuda dapat berdinamika pada lingkungan baru dengan mengimplementasikan
hasil belajar dari surau ke lingkungan masyarakat. Kontradiksi hakikat surau
dengan dogma agama melebur pada kutipan cerpen Robohnya Surau Kami,
seperti yang dijelaskan Ajo Sidi pada kisah Haji Saleh beserta kawan-kawannya
yang rajin beribadah namun masuk ke dalam neraka lantaran sikap mereka yang
memikirkan diri sendiri dan enggan mengajak orang di sekitarnya.
Padahal, Islam melahirkan rasa cinta terhadap sesama dan berkontribusi
bukan hanya dalam hal ibadah, melainkan sikap hidup yang proporsional dan
egaliter. Manusia diciptakan Tuhan sebagai khalifah di muka bumi justru
membelot dari amanah yang telah dititipkan kepada dirinya, sehingga muncul
sikap angkuh serta merasa bangga terhadap ibadah yang telah dilakukan. Pada
kenyataannya kebanggan tersebut tidak ada artinya di hadapan Allah ketika
manusia hanya fokus pada kepentingan ibadahnya sendiri dengan melupakan
kebermanfaatan yang sifatnya universal.
A.A. Navis memberikan kita pandangan sederhana bahwa Islam bukanlah
agama yang terlepas dari permasalahan yang terjadi di masyarakat. Sikap
fundamental masyarakat Islam di Indonesia dikritik habis oleh Navis dalam cerpen
Rubuhnya Surau Kami karena sudah merasa cukup beragama dengan dasar 5
rukun Islam; dua kalimat syahadat, salat lima waktu, membayar zakat, berpuasa di
bulan Ramadan, dan berhaji ke Makkah tanpa melakukan kajian kritis dan
mengembangkan ajaran dasar agama Islam ini melalui pemikiran yang merujuk
pada Al-Quran dengan tidak mengesampingkan masalah-masalah sosial yang
terjadi di masyarakat sekitar.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis ingin mengkaji cerpen Rubuhnya
Surau Kami karya A.A. Navis melalui pendekatan semiotik Pierce yang meliputi (1)
ikon dalam cerpen Rubuhnya Surau Kami karya A.A. Navis; (2) indeks dalam
cerpen Rubuhnya Surau Kami karya A.A. Navis; (3) simbol dalam cerpen Rubuhnya
Surau Kami karya A.A. Navis.
Berdasarkan latar belakang penulisan ini, maka rumusan masalah pada
tulisan ini ialah, (1) apa saja ikon, indeks, dan simbol dalam cerpen Robohnya
Surau Kami? (2) apa makna ikon, indeks, dan simbol dalam cerpen Robohnya
Surau Kami tersebut?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan, (1)
mengetahui tanda berupa ikon, indeks, dan simbol yang digunakan dalam cerpen
Robohnya Surau Kami, (2) mengetahui arti dan makna ikon, indeks, dan simbol
yang terkandung dalam cerpen Robohnya Surau Kami.

Landasan Teori
Cerpen adalah salah satu bentuk prosa naratif-fiktif, cerpen cenderung
padat dan langsung pada tujuannya jika dibandingkan dengan karya prosa yang
lebih panjang, seperti novela (dalam pengertian modern) dan novel. Cerpen yang
sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa, dan
insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.
Cerpen berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat
yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan
lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerpen berkembang sebagai sebuah
miniature, dengan contoh-contoh dalam cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton
Chekhov.
Menurut Sayuti (2000: 10) cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat
compression (pemadatan), concentration (pemusatan), dan intensity
(pendalaman), yang semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas
struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu.
Semiotik merupakan salah satu teori dalam pengkajian budaya termasuk
sastra di dalamnya. Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempergunakan
medium bahasa (Abrams, 1981: 770). Oleh karena itu, untuk menganalisis struktur
system tanda serta mengungkap makna tanda-tanda yang digunakan sastrawan
tersebut diperlukan ilmu/teori tentang tanda yaitu semiotik.
Semiotika berasal dari kata Yunani, semeion, yang berarti tanda. Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut
menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu
menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan, cabang
ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula
pada bidang seni rupa dan desain komunikasi visual (Tinarbuko, 2008: 16). Peletak
dasar teori semiotik adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce.
Jika teori semiotik Saussure bersifat semiotik struktural, teori Pierce lebih bersifat
semiotik analitis (Nurgiantoro, 2000: 53).
Istilah semiotika pertama kali terlahir dari buah pemikiran filsuf Amerika
yang bernama Charles Sanders Pierce. Charles Sanders Pierce (1839-1914) lahir di
Cambridge, Massachusetts pada tahun 1839. Pierce menjadikan logika sebagai
landasan teorinya. Teori Pierce kemudian dikembangkan oleh Charles Williams
Morris (1901-1979) dalam bukunya Behaviourist Semiotics, Sudjiman & Zoest
(dalam Pateda, 2001: 32). Ia menyamakan semiotika dengan logika. Dick Hartoko
(1984: 42) memberi batasan semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan
oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda, simbol, atau lambang. Aart Van
Zoest (dalam Sudjiman, 1992: 5) mendefinisikan semiotika adalah studi tentang
tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya.
Pierce mengatakan (dalam Sobur, 2009: 160-162) bahwa dalam teori
semiotika walaupun simbol atau lambang merupaka salah satu kategori tanda
(sign), dan ia menyatakan bahwa tanda (signs) terdiri atas ikon, indeks, dan simbol,
tetapi simbol dan tanda adalah dua hal yang berbeda. Secara garis besar,
perbedaan itu terletak dari pemaknaan keduanya terhadap objek-objek yang ada
di sekelilingnya. Tanda berkaitan langsung dengan objek dan tanda dapat berupa
benda-benda yang merupakan keadaan. Ikon adalah tanda yang penanda dan
petandanya menunjukkan ada yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan
petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar orang,
potret atau lukisan. Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya
menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas (sebab-akibat).
Simbol adalah penanda dan petanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan
alamiah atau bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh
konvensi (berdasarkan kesepakatan).
Pierce mengemukakan bahwa “tanda hanya berarti tanda apabila ia
berfungsi sebagai tanda” (Zoest, 1993: 10). Dapat disimpulkan bahwa kehadiran
tanda itu harus ada yang mendasari kemunculannya, tidak dengan sendiriannya.
Bagi Pierce fungsi esensial tanda adalah membuat efisiensi, baik dalam
komunikasi kita dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman
kita tentang dunia (Zoest, 1993: 11).
Kajian ini menggunakan pendekatan semiotika Charles Sanders Pierce
sebagai landasan teori. Teori semiotika Pierce bersifat pragmatik, yakni semiotika
yang mempelajari hubunga di antara tanda-tanda dengan interpreternya atau
para pemakainya (Budiman, 2011: 4).

Pembahasan
1. Ikon dalam cerpen Robohnya Surau Kami
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, terdapat ikon yang berupa tempat
ibadah (Surau) sebagai latar sosial. Dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota


kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di
dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan
sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke
kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua.
Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi.”

Dalam cerpen ini menggambarkan bagaimana di suatu kampung terdapat


sebuah surau (tempat ibadah). Pada zaman dahulu surau tidak hanya dijadikan
sebagai tempat ibadah namun dapat juga merupakan tempat berkumpulnya anak
laki-laki yang sudah akil baligh untuk tidur di malam hari, serta menekuni
bermacam ilmu dan keterampilan.

Di dalam latar ini juga digambarkan keadaan masyarakat, kelompok-


kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut.

“Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua
yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-
tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang
memanggilnya kakek.”

2. Indeks dalam cerpen Robohnya Surau Kami


Hasil analisis penulis terhadap cerpen karya A.A. Navis ini yaitu, cerpen
Robohya Surau Kami memiliki beberapa tanda indeks berupa perilaku tokoh
dalam cerpen tersebut.

Dalam cerpen ini menggambarkan ada seorang tokoh bernama Ajo Sidi. Ia
terkenal dengan bualannya. Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual.
Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi
disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena seperti pada
kutipan berikut.

“Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu.
Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi.
Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya
ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya
menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi
pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar
kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku
ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat
seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan
menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.”

Selain itu, indeks berupa perilaku juga digambarkan pada tokoh Kakek
sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan
orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan
lemah imannya. Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah
termakan cerita Ajo Sidi. Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu
mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data
berikut.

“Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri,


punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu?
Tak terpikirkan hidupku sendiri.”

3. Simb ol dalam cerpen Robohnya Surau Kami


Dalam cerpen ini terdapat beberapa simbol seperti, Simbol kesabaran
dalam novel ini terlihat bagaimana kesabaran yang dimiliki oleh Kakek.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua.
Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah
lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah
bertawakkal kepada Tuhan .…”

Dari kutipan tersebut menandakan bahwa tokoh Kakek masih memiliki


kesabaran saat dirinya menghadapi sebuah masalah.

Simbol Keyakinan yang tergambar oleh tokoh Haji Saleh yang yakin
bahwasannya ia akan masuk surga namun nyatanya ia malah dimasukkan ke
neraka.

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu


banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya
di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan
ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan
bergelar Syekh pula.”

Simbol kekayaan dimana digambarkan pada negara Indonesia yang


tanahnya subur dan kaya akan logam, minyak, dan bahan lainnya.

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.


”Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia,
Tuhanku.”
”O, di negeri yang tanahnya subur itu?”
”Ya, benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak,


dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”

Kesimpulan
Semiotika Charles Sanders Pierce didasarkan pada logika, karena logika
mempelajari orang dalam menggunakan nalar dan akal pikirannya. Menurut
Pierce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda ini menurut Pierce
memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi
makna kepada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Dalam mengkaji karya sastra dapat menggunakan teori semiotika dengan
batasan ikon, indeks, dan simbol. Tanda ikon, indeks, dan simbol berfungsi untuk
memperjelas penggambaran cerita. Selain itu, penggunaan ikon, indeks, dan
simbol juga berfungsi menambah unsur estetis dalam penggunaan bahasa
sehingga pembaca akan lebih menikmatinya.
Hasil analisis semiotika terhadap cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis
yaitu, (1) ikon berupa surau sebagai latar sosial, pada latar ini digambarkan
tentang keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa, (2) indeks berupa perilaku yang terdapat
dalam cerpen Robohnya Surau Kami, (3) terdapat 3 simbol dalam cerpen
Robohnya Surau Kami yaitu simbol kesabaran, keyakinan, dan kekayaan.

Daftar Pustaka
Navis, A.A. 2010. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. (diterjemahkan oleh
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai