Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT KURIKULUM

Dosen Pengampu: Bpk. DR. Zulkifli, MA

Disusun oleh :
Ahmad Ibnu Ridwan (2186208120)
Aldi Alfana (21862088135)
Kavela Rianggi Ramadhan (2186208119)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
Jalan Perintis Kemerdekaan I Babakan No.33, RT.007/RW.003, Cikokol, Kec. Tangerang, Kota
Tangerang, Banten 15118
2022/2023
PENDAHULUAN

1. Filsafat dalam Pengembangan Kurikulum


a. Pengertian Filsafat
Filsafat juga merupakan ilmu tertua yang menjadi induk ilmu pengetahuan lain. Hal itu,
sebagaimana diungkapkan oleh John S. Brubacher sebagai berikut:

Philosophy was, as its etymology from the Greek words Pilos and Sopia suggests, love of
wisdom of learning. More over it was love oflearning in general; it subsumed under one heading
what to day we call science as well as what we now call philosophy. It is for the reason that
philosophy is often referred to us the mother as well as the queen of the science

Maksud dari pada statement di atas adalah bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu
Philos dan Sopia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar. Lebih dari itu, dapat diartikan cinta
belajar, pada umumnya hanya ada dalam filsafat. Untuk alasan tersebut, maka sering dikatakan
bahwa filsafat merupakan induk atau ratu ilmu pengetahuan.

Bila diperkatikan, maka sebenarnya arti filsafat mengandung cita-cita yang mulia. Yaitu,
orang yang belajar filsafat berusaha untuk memiliki mutiara-mutiara kebijaksanaan sebagai
pedoman dan pegangan hidup sehingga filsafat mengandung sesuatu yang dalam bagi manusia.

Menurut Sondang P. Siagian, filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Untuk menjadi
bijaksana, berarti harus berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik
mengenai hakikat adanya sesuatu, fungsi, ciri-ciri, kegunaan, masalah-masalah, dan sekaligus
pemecahannya.

Selanjutnya menurut Imam Barnadib, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berupa
rangkaian dua pengertian, yaitu philare berarti cinta dan sopia berarti kebajikan. Yang
dimaksudkan kebijakan di sini adalah kebijakan manusia. Dengan dasar pengetahuan filosofisnya
itu, diharapkan orang dapat memberikan pendapat dan keputusan secara bijaksana. 1

Dalam ungkapan yang paling sederhana, Hasan Langgulung mengemukakan bahwa filsafat
berarti cinta hikmah (kebijaksanaan). Orang yang cinta hikmah kebijaksanaan, selalu mencari dan
meluangkan waktu untuk mencapainya, mempunyai sikap positif terhadapnya, dan terhadap
hakikat segala sesuatu. Selain itu, berusaha menghubungkan sebab-sebab dengan akibatnya, dan
berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Jadi, bijaksana bukan saja orang
yang paling banyak dan tinggi pengetahuannya. Tetapi, juga memiliki kemantapan pandangan dan
tinjauan yang auh ke depan, di mana pengetahuan itu sendiri tidak sanggup mencapainya. 2

Melihat pengertian filsafat dari segi istilah berarti kita ingin melihat filsafat pada segi
definisinya. Untuk membuat definisi suatu objek kita harus mengetahui objek tersebut. Beberapa

1
Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002), hlm. 10

2
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2003), hal. 3

1
pendapat para ahli dalam mendefinisikan filsafat sesuai dengan konotasi yang ditangkap
mereka. Filsafat ditinjau dari segi istilah, menurut para ahli dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Plato seorang filsuf Yunani terkenal (murid Socrates dan guru Aristoteles) ini dalam teori
etika kenegaraannya menyebutkan empat budi, yang meliputi penguasaan
diri, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan. Budi kebijaksanaan dimiliki oleh pemerintah
atau filosof. Tugas mereka ialah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaanya,
memperdalam filosofi dan ilmu pengetahuan tentang ide kebaikan. Membuat undang-undang
dan mengawasi pelaksanaannya menjadi tugas pemerintah atau filsuf.
2) Al-Kindi ahli pertama dalam filsafat Islam yang mengawali pengertian skolastik Islam di
Irak. Al-Kindi memberikan pengertian filsafat di kalangan umat Islam dalam tiga lapangan,
yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu Fisika; meliputi tingkatan alam nyata, terdiri atas benda-benda konkret yang dapat
ditangkap oleh pancaindera.
b.Ilmu Matematika; berhubungan dengan benda, tetapi mempunyai wujud tersendiri yang
dapat dipastikan dengan angka-angka (misalnya ilmu hitung, teknologi, astronomi, dan
musik).
c. Ilmu ketuhanan; tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu soal ketuhanan.
3) Ibnu Sina seorang dokter, ahli kimia, filsuf Islam, membagi filsafat dalam dua bagian, yaitu
teori dan praktik. Keduanya dihubungkan dengan agama. Dasarnya terdapat pada syariat,
penjelasan, dan kelengkapannya yang diperoleh dengan akal manusia. Tujuan filsafat praktik
adalah mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Sehingga, ia
mendapatkan bahagia di dunia dan akhirat, yang disebut ilmu akhlak. Filsafat juga mencakup
undang-undang, yaitu apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang dalam hubungannya
dengan rumah tangga dan negara. 3
4) Immanuel Kant dijuluki pakar raksasa di barat, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu
pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat
persoalan, yaitu sebagai berikut:
a. Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika).
b. Apa yang seharusnya kita ketahui dan kerjakan? (dijawab oleh etika).
c. Sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama).
d. Apakah yang dinamakan manusia? (dijawab oleh antropologi).

Dari beberapa ungkapan para filsuf tersebut, dapat dirumuskan bahwa filsafat ialah upaya
manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal,
integral, dan sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Sehingga, dapat
menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan yang diinginkan.

Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat.
Dengan kata lain, filsafat pedidikan mejadi landasan untuk merancang tujuan pendidkan, prinsip-
prinsip pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik.

3
Muhamad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Makasar:2014), Hlm 6-8

2
b. Objek Filsafat
Objek adalah sesuatu yang menjadi bahan dari kajian dari suatu penelaahan atau penelitian
tentang pengetahuan. 4Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan
adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif,
maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan
mungkin ada menurut akal pikirannya. Dalam kamus, objek adalah “something that is or is capable
of being seen, touched, or otherwise sensed: something physical or mental of which a subject is
cognitively aware. And end toward which effort or action or emotion is directed (goal); A thing
that forms and element of or constitutes the subject matter of an investigation or science”.

Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat meliputi objek materiil dan objek formal. Objek
materiil dari filsafat adalah suatu kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu, yaitu
segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Objek materiil filsafat mencakup segala hal, baik hal-
hal yang konkret maupun hal-hal yang abstrak dan psikis. Menurut Muhammad Noor dalam buku
Filsafat Ilmu karya Susanto bahwa objek filsafat dibedakan atas objek materiil dan nonmateriil.
Objek materiil filsafat banyak yang sama dengan objek materiil sains, namun berbeda dalam dua
hal, yang pertama yaitu sains menyelidiki objek materiil yang empiris, seperti tubuh manusia
adalah objek material dalam ilmu kedokteran. Sementara filsafat menyelidiki bagian abstraknya.
Yang kedua ada objek materiil filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan,
hari akhir, yaitu objek materiil yang selamanya tidak empiris. 5
Dari uraian yang tertera diatas, maka ada beberapa objek yang akan dipaparkan sebagai
berikut:
a. Objek material filsafat pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok, yakni:
1) Hakekat Tuhan, yang sama sekali di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan;
2) Hakekat Alam, belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa;
3) Hakekat Manusia, belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.

c. Filosofi sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum


Sebagai rangkaian cara untuk memahami filosofi sebagai landasan pengembangan
kurikulum kita perlu memahami kajian mengenai filosofi itu sendiri dan penerapan filosofi dalam
pengembangan kurikulum. Menurut Kneller filosofi adalah upaya berpikir dalam tataran paling
umum dengan cara sistematik mengenai semua hal di alam semesta, atau mengenai semua realitas.
Upaya tersebut disebabkan oleh adanya rasa ingin tahu pada manusia. Filsuf memang berbeda
dengan ilmuwan, karena ilmuwan mempelajari bagian-bagian alam semesta sedangkan filsuf
sebaliknya. Ini dikarenakan para filsuf cenderung menemukan beberapa pola yang membuatnya
mampu memahami kesimpulan tentang sesuatu. Kesimpulan tersebut juga mengisyaratkan bahwa
manusia hanyalah salah satu bagian dari terjadinya sesuatu. dan tanpa pola-pola tertentu,
pengalaman manusia tidaklah bermakna. Kneller juga menyebutkan bahwa filosofi membantu
manusia dalam mengorganisasikan gagasannya dan menemukan makna dalam pikiran maupun
tindakan.6

4
A. Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi ontologi, epistimologis, dan aksiologisCet. 1; Jakarta: Bumi Aksara,
2011
5
Endang Saifudin Anshari, 1979 Ilmu Filsafat, dan AgamaCet. 3; Surabaya: Bina Ilmu.
6
Kneller, George F. Foundations of Education. (New York: John Willey & Son Inc., 2000), hlm. 45

3
Pemikiran yang dituangkan Kneller juga menyatakan Filosofi tidak hanya sebagian
dari pengetahuan kita atas seni, ilmu alam, dan agama. Filosofi bahkan menggenggam semua
disiplin tersebut dalam tingkat teoritis dan menemukan serta menjelaskan dan membangun
hubungan diantara mereka. Sekali lagi, filosofi berusaha untuk membangun makna logis diantara
semua area pemikiran. Fillosofi sebagaimana disebutkan Kneller, turut melibatkan tentang cara
berpikir dan berfilosofi merupakan hal paling penting dalam filosofi, Amstrong menegaskan
bahwa filosofi sangatlah sesuai dengan dunia nyata.
Keberadaan cara pandang filosofi anda akan menentukan jawaban anda atas pertanyaan-
pertanyaan berikut ini:
1) Bagaimana menentukan sifat baik dan buruk?
2) Bagaimana menentukan mana yang salah dan yang benar?
3) Bagaimana caranya menyampaikan suatu kebenaran?
4) Pengetahuan macam apa yang memang sangat patut diketahui?
5) Bagaimana saya seharusnya memperlakukan orang lain, dan bagaimana seharusnya orang lain
memperlakukan saya?7
Singkatnya, filosofi berperan membantu kita dalam mengetahui sisi normatif, moral,
estetika, dan melakukan kritik. Kita akan semakin terbantu untuk menguak berbagai sisi tersebut
manakala kita mampu mengenali keragaman tradisi berpikir secara filosofis.

2. Aliran-aliran Filsafat Pada Kurikulum


Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum. Sama halnya seperti dalam
Filsafat Pendidikan, kita kenalkan pada berbagai aliran filsafat, yang dikembangkan Di bawah ini
merupakan aliran-aliran filsafat dalam kurikiulum, Tanpa bermaksud untuk mendikotomikan, dalam
kajian filsafat pendidikan pada umumnya, dikenal adanya dua aliran filsafat besar, yaitu Idealisme dan
Pragmatisme.

a. Idealisme
Idealisme secara epistemologis merupakan aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan
adalah sesuatu yang sudah ada di alam idea. Plato (437-347 SM.) yang mencetuskan idealisme
ini memberikan dua sumbangan penting bagi teori pengetahuan.
Pertama, pengetahuan merupakan mengingat kembali apa yang telah ada dalam pikiran,
bukan mempersepsi objekobjek baru.
Kedua, teori idealisme menekankan jalan pencarian dengan akal untuk menemukan
ide sebagai sesuatu yang universal di dalam pikirannya sendiri. Plato percaya bahwa
pengetahuan adalah sesuatu yang diwariskan dan karenanya merupakan komponen natural dari
pikiran manusia. Seseorang mendapatkan pengetahuan dengan merefleksi isi dari pikiran
seseorang. Pikiran harus terlibat dalam instropeksi (perenungan) untuk mengungkap
pengetahuan yang diwariskan. 8
Menurut Plato, setiap objek di dunia fisik memiliki kesesuaian (korespondensi) dengan
ide abstrak atau bentuk yang menyebabkannya. Sebagai contoh, ide abstrak untuk kursi
berinteraksi dengan materi untuk menghasilkan apa yang disebut kursi. Gagasan tentang pohon

7
Amstrong, David G. (2003). Curriculum Today. New Jersey: Merril Prentice Hall.
8
B.R. Hergenhahn and Matthew H. Olson, An Introduction to Theories of Learning, 6th ed. (Newjersey,
2001), h. 27.

4
berinteraksi dengan materi untuk membentuk apa yang dilihat sebagai pohon. Semua benda fisik
memiliki asal seperti itu. 9

menurut Plato, jika manusia berusaha untuk mendapatkan pengetahuan dengan memeriksa
hal-hal yang dialaminya melalui indera, ia akan disesatkan. Informasi sensorik hanya memberikan
opini; ide-ide abstrak itu sendiri adalah satu-satunya basis pengetahuan sejati. 10

Selanjutnya bagaimana manusia memperoleh informasi tentang ide-ide jika ia tidak


dapat mengalaminya melalui indera? Plato menyatakan bahwa manusia mengalaminya melalui
"mata pikiran" mereka. Manusia mengalihkan pikirannya ke dalam dan merenungkan apa yang
tersedia untuknya. Semua manusia dalam pikirannya memiliki pengetahuan lengkap tentang
semua ide yang membentuk dunia; dengan demikian pengetahuan sejati berasal dari introspeksi
atau analisis diri. Oleh karena itu, manusia harus belajar untuk menceraikan dirinya dari
informasi sensorik yang hanya bisa menipu atau, paling-paling, mengingatkannya tentang apa
yang sudah ia ketahui.11

Bagaimana seseorang bisa memiliki pengetahuan tentang ide-ide itu? Di sini Plato
menjadi mistis. Semua manusia memiliki jiwa. Sebelum ditempatkan di dalam tubuh saat lahir,
jiwa berdiam dalam pengetahuan yang murni dan lengkap. Dengan demikian semua jiwa
manusia mengetahui segalanya sebelum memasuki tubuh. Saat memasuki tubuh, pengetahuan
jiwa mulai terkontaminasi oleh informasi sensorik. Menurut Plato, jika manusia menerima apa
yang mereka alami melalui indera sebagai kebenaran, mereka ditakdirkan untuk hidup dalam
opini atau ketidaktahuan. Hanya dengan berpaling dari dunia yang tidak murni secara fisik ke
dunia ide, direnungkan oleh mata pikiran, manusia dapat berharap untuk memperoleh
pengetahuan sejati. 12

Menurut Mehdi Hairi Yazdi, sebagaimana dikutip Muhammad Sabri, kesadaran mistik
tidak akan pernah identik dengan modus pengetahuan korespondensi baik dalam teori maupun
dalam kenyataan, dan sebaliknya, pengetahuan korespondensi juga tidak akan pernah identik
dengan kesadaran mistik tingkat manapun baik dalam kenyataan mapun dalam teori. Intinya,
menurut Yazdi, pemikiran Plato tentang mind-eyes tidak ada kaitannya sama sekali dengan
kesadaran uniter mistik, karena konsep penglihatan batin Plato didasarkan atas dualisme
hubungan subjek-objek.13

Dalam sejarah modern, idealisme mengambil arti yang sepenuhnya berbeda dari
idealisme Plato yang menekankan realitas objektif pengetahuan rasional dan objektif sekaligus.
Idealisme modern justru menggoyang fondasi realitas objektif dan mengemukakan ajaran baru
yang dapat menghapus nilai filosofis pengetahuan. Dalam hal ini, as-Shadr membagi tiga
kecenderungan idealisme modern, yaitu idealisme filosofis, idealisme fisis, dan idealisme
fisiologis.

9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm 29
12
Ibid., hlm 29-30
13
Muhammad Sabri, Mengurai Kesenyapan Bahasa Mistik: Dari Filsafat Analitik Ke Epistemologi Hudhuri
(Depok: Kencana, 2017)., hlm 81

5
b. Pragmatisme
Secara umum, pragmatisme berarti hanya idea (pemikiran) yang dapat dipraktikkan saja
yang benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di dalam idea.
Plato, Socrates, dan Aristoteles, juga kebimbangan terhadap realitas obyek indra pada
Descartes, semua itu nonsense bagi pragmatisme. Sesuatu ada karena ia memang real ada. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan
bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan
nyata. Oleh karena itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak, tidak ada kebenaran umum.
Mungkin suatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan atau manfaat bagi
masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna atau bermanfaat bagi masyarakat yang lain. Maka
konsep ini dikatakan benar bagi masyarakat yang kedua. 14 Aliran yang sangat dipengaruhi oleh
Utilitarianisme ini melihat setiap tindakan dianggap benar bila memberi manfaat yang dapat dilihat
dan diukur segera.15

Filsuf yang terkenal sebagai tokoh aliran pragmatisme adalah William James dan John
Dewey. James menyatakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal.
Sebab, pengalaman manusia berjalan terus dan segala yang dianggapnya benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah. James selanjutnya mengatakan nilai konsep
atau pertimbangan manusia bergantung kepada akibatnya, kepada kerjanya. Artinya,
bergantung kepada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.

Pertimbangan itu benar bila bermanfaat bagi pelakunya, memperkaya hidup, dan
kemungkinankemungkinannya. Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa
tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiranpemikiran metatisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu filsafat,
harus berpijak pada pengalaman. 16

c. Perenialisme
Aliran perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Asas yang dianut perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang
berkiblat dua, yaitu:
a. perenialisme yang theologis bernaung di bawah supremasi geraja Katolik, dengan
orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas.
b. perenialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles17. Pokok
pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada
hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya
akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka
tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar dan mepraktekkan asas-
asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan. 18

14
Waris, Pengantar Filsafat, hlm 66-67.
15
Miswari, Filsafat Terakhir: Evaluasi Filsafat Sepanjang Masa, hlm 151.
16
Waris, Pengantar Filsafat, hlm 66-67.
17
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 28.
18
Ibid., 28.

6
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan
banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perenialisme
memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau (regressive road to
culture)”.19
Perenialisme mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada
jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan
perbuatan zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah
kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas, dan nilai dari zaman
tersebut.

d. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah salah satu reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah
akibat perang dunia kedua. Aliran eksistensialisme bertujuan mengembalikan keberadaan umat
manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Kierkegaard pencetus
aliran eksistesialisme20, menyatakan bahwa aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki
dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang dialami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang
sifatnya abstrak serta spekulatif. Menurutnya segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi,
keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai
keyakinan hidupnya.
Eksistensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam
mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati
dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas
diri dan nasibnya sendiri.
Pandangan eksistensialisme tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris,
bahwa eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan- aturan pendidikan dalam segala bentuk.
21
Oleh karena itu eksistensialisme menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada
sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris
sebagai “existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak
memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak
mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang
dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak

19
Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang: Penerbit IKIP, 1978), hlm 158.
20
Anthony Flew, A Dictionary of Philosophy (New York: Martin’s Press, 1989), hlm107.
21
Joe Park, Selected Readings hlm,128

7
dibicarakan dalam filsafat pendidikan. 22
e. Realisme
Realisme adalah aliran filsafat yang tergolong dalam masalah epistemologis, karena
berpandangan bahwa pengetahuan itu bersifat objektif di dalam realitas, bukan sekadar ada di
alam idea sebagaimana pandangan idealisme. Ia bukanlah lawan idealisme secara mutlak,
karena secara hakikat realisme juga mengakui sesuatu di balik realitas material yang ada.
Menurut kaum realis, pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman manusia berinteraksi
dengan realitas di luar dirinya dalam bentuk pengamatan. Hasil pengalaman itu diverifikasi oleh
pikiran atau kesadarannya sehingga menghasilkan simpulan. Inilah proses yang membentuk
pengetahuan. Realisme menegaskan eksistensi realitas di luar batas-batas kesadaran dan
pikiran, dan menganggap jenis berpikir apapun sebagai usaha merefleksikan dan mengetahui
realitas ini. Oleh karena itu, kebenaran dipahami sebagai ide yang sesuai dan mirip dengan
realitas yang ada.
Tokoh awal realisme adalah Aristoteles yang terkenal di Barat sebagai
Sang Filsuf, dan di dunia Islam dijuluki oleh para filsuf Muslim sebagai al-Mu’allim al-Awwal
(Guru Pertama). Adapun perkembangan aliran realisme ini secara umum terbagi dua, yaitu
realisme teologis dan realisme materialis.

3. Kurikulum dalam Pendidikan


a. Pengertian Kurikulum
Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti pelari,
atau curere yang berarti tempat berpacu atau jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada
mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang disebut juga “a little race course” (suatu jarak
yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga, biasanya berbentuk melingkar). jika pengertian
ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, maka dinamakan “circle of instruction”, yaitu lingkaran
pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.23

Dalam bahasa Arab, kurikulum dikenal dengan kata “manhaj” yang berarti jalan yang
terang, atau jalan terang yang dilalui manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Sedangkan
dalam pendidikan, manhaj atau kurikulum adalah jalan terang yang dilalui pendidik (guru) dan
orang yang di didik (murid), demi berkembangnya pengetahuan, keterampilan, serta sikap murid
tersebut. Jadi, manhaj dalam pendidikan Islam bisa dikatakan sebagai seperangkat media dan
perencanaan yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan, dalam mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan.
Sedangkan makna kurikulum secara luas dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu;
tradisional, modern, dan masa kini.24

22
Zuhairini, Filsafat Pendidikan, 31.
23
Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kultura, 2008). Hlm 79
24Novan Ardy Wiyana & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam: Rancang Bangun Konsep Pendidikan Monokomotik-Holistik
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). Hlm 167-168

8
1) Pengertian Kurikulum Secara Tradisional
Traditionally, the curriculum has mean the subject taught in school, or the course of study
(kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi. Jadi,
berdasarkan pada pengertian ini, yang dimaksud dengan kurikulum adalah semua bidang
studi yang diberikan dalam lembaga pendidikan).
2) Pengertian Kurikulum Secara Modern
The curriculum is looked as being composed of all the actual experience pupils have under
school direction, writing a course of study become but small part of curriculum (kurikulum
adalah semua pengalaman actual yang dimiliki peserta didik di bawah pengaruh sekolah,
sementara bidang studi adalah bagisn kecil dari program kurikulum secara keseluruhan).
Dalam hal ini kurikulum diartikan sebagai semua pengalaman peserta didik di bawah
tanggung jawab sekolah.
3) Pengertian Kurikulum di Masa Kini
Curriculum is the strategy with we us in adapting this cultural geritage to purpose of the
school (kurikulum adalah strategi yang digunakan untuk mengadaptasikan kultur dalam
mencapai tujuan sekolah).
Para pakar pendidikan mendefinisikan kurikulum sebagai berikut:
a. Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the school
situations, artinya bahwa kurikulum merupakan keseluruhan usaha yang dilakukan oleh
lembaga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Smith mengartikan kurikulum sebagai a sequence of potential experiences of disciplining
children and youth in group ways of thinking and acting. Dengan definisi ini, kurikulum
dipakai sebagai seperangkat usaha atau upaya pendidikan yang bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan hidup bermasyarakat.
c. Harold Rugg mengartikan kuriklum sebagai the entire program of the shool, it is the
essential means of education. It is everything the students and their teacher do. Artinya
kurikulum adalah program sekolah yang di dalamnya terdapat semua anak didik dan
pekerjaan guru-guru mereka.25

Adapun secara terminologis, kurikulum adalah a plan for learning yang disiapkan dan
direncanakan oleh para ahli pendidikan untuk pelajaran peserta didik baik berlangsung di

25
Drs. Hasan Basri, Drs. Beni Ahmad Saebani, ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm 176-
177

9
lingkungan in formal, formal maupun non formal untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan rangkaian proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai pada peserta didik melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, baik
spiritual, intelektual, maupun fisiknya guna keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala
aspeknya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pendidikan Islam merupakan proses pembentukan
kepribadian individu sesuai dengan nilai-nilai Illahiyah, sehingga individu yang bersangkutan
dapat mencerminkan kepribadian muslim, yang berakhlak karimah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
kurikulum pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan kegiatan yang mencakup filsafat
(pemikiran-pemikiran) berbagai rencana kegiatan peserta didik yang terperinci berupa bentuk-
bentuk materi pendidikan, saran-saran strategi belajar mengajar dan hal-hal yang mencakup pada
kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan dengan mengacu pada nilai-nilai ajaran
Islam.

b. Landasan Kurikulum
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan
tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai
dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Sejalan dengan ketentuan tersebut,
perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.

S Nasution mengemukakan bahwa mengembangkanan kurikulum bukan sesuatu yang


mudah dan sederhana karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Setidaknya ada 4 (empat)
landasan maupun asas-asas yang mendasari kurikulum26 yakni:
1) Asas filosofis yang berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara.
2) Asas psikologis yang memperhitungkan faktor anak dalam kurikulum yakni
a. Psikologi anak, perkembangan anak,
b. Psikologi belajar, bagaimana proses belajar anak.
3) Asas sosiologis, yaitu keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya, kebudayaan
manusia, hasil kerja manusia, hasil kerja manusia berupa pengetahuan, dan lain-lain.
4) Asas organisatoris yang mempertimbangkan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang
disajikan. Sejalan dengan Nasution, Hamalik Berdasarkan ketentuan dan konsep-konsep dasar
pendidikan, pengembangan kurikulum agar berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1) tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk meumuskan
tujuan instusional yang pada gilirannya mejadi landasan dalam merumuskan tujuan
kurikulum suatu satuan pendidikan.
2) Sosial budaya dan agama yang beralaku dalam masyarakat kita.
3) Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada karakteristik perkembangan peserta
didik.
4) Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal),
lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta
lingkungan alam (geoekologis).

26
S Nasution,2009. Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara

10
5) Kebutuhanpembangunan, yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi,
kesejahteraan rakyat, hukum, dan lain sebagainya.
6) Perkembangan ilmu pengeahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan
kemanusiawian sera budaya bangsa.
Keenam faktor tersebut saling kait-mengait antara satu dengan yang lainnya.

c. Kurikulum Dalam Filsafat Islam


Abdul-Rahman Salih Abdullah membagi kurikulum pendidikan Islam dalam tiga kategori
sebagai berikut:
1) c, yaitu ilmu-ilmu keislaman normatif yang menjadi kerangka acuan bagi segala ilmu yang
ada.
2) Al-ulum al-insaniyyah, yaitu ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkaitan dengan manusia
dan interaksinya, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, pendidikan dan lain-lain.
3) Al-ulum al-kauniyyah, yaitu ilmu-ilmu kealaman yang mengandung azas kepastian, seperti
fisika, kimia, matematika, dan lain-lain.

Dengan ketiga kategori ini pendidikan Islam secara tegas menolak dualisme dan
sekularisme kurikulum. Dualisme kurikulum menurut beliau mengandung dua bahaya. Pertama,
ilmu-ilmu keislaman mendapat kedudukan lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya. Kedua,
lahirnya adopsi sekularisme yang mengorbankan domain agama yang pada gilirannya dapat
melahirkan konsep anti-agama.

Cakupan bahan pengajaran yang ada dalam suatu kurikulum kini terus semakin luas atau
mengalami perkembangan karena tuntutan dari kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
teknologi yang terjadi di dalam masyarakat, dan beban yang diberikan pada sekolah. Berdasarkan
tuntutan perkembangan itu maka para perancang menetapakan cakupan kurikulum meliputi 4
bagian yaitu: Tujuan merupakan arah, sasaran, target yang akan dicapai melalui proses belajar
mengajar.
Isi merupakan bagian yang berisi pengetahuan, informasi, data, aktifitas, dan pengalaman
yang diajarkan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

Metode merupakan cara yang digunakan guru atau dosen kepada peserta didik untuk
menyampaikan mata pelajaran agar mudah dimengerti.

Evaluasi merupakan cara yang dilakukan guru untuk melakukan penilaian dan pengukuran
atas hasil mata pelajaran. Untuk menentukan kualifikasi isi kurikulum pendidikan islam
dibutuhkan syarat yang perlu diajukan dalam perumusan yaitu:
1) Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia.
2) Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan islam.
3) Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
4) Membawa peserta didik kepada objek empiris dan praktik langsung.
5) Penyusunan bersifat integral, terorganisasi.
6) Materi sesuai dengan masalah mutakhir yang sedang dibicarakan.
7) Adanya metode yang sesuai.
8) Materi yang diajarkan berhubungan dengan peserta didik nantinya.
9) Memperhatikan aspek social.

11
10) Punya pengaruh positif.
11) Memperhitungkan waktu, tempat.
12) Adanya ilmu alat yang mempelajari ilmu lain.
Setelah syarat itu dipenuhi disusunlah isi kurikulum pendidikan.

Isi kurikulum menurut Ibnu Khaldun terbagi jadi 2 tingkatan:


1) Tingkatan Pemula Materi kurikulum difokuskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
2) Tingkatan Atas Tingkatan ini punya 2 klasifikasi:
a. Ilmu yang berkaitan dengan zatnya
b. Ilmu yang berkaitan dengan ilmu lain seperti ilmu bahasa, matematika.

Menurut Al-Ghazali klasifikasi isi kurikulum pada 3 kelompok yaitu:


Kelompok menurut kuantitas yang mempelajari
1) Ilmu fardhu ‘ain yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian orang muslim saja
misalnya kedokteran, pertanian dan lainnya.

12
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam banyak
berperan dalam memberikan alternatif-alternatif pemecahan berbagai macam problem yang
dihadapi oleh pendidikan Islam, dan memberikan pengarahan terhadap perkembangan
pendidikan Islam menuju kedua arah, yaitu arah pengembangan konsep-konsep filosofis dari
pendidikan Islam, yang secara otomatis akan menghasilkan teori-teori baru dalam ilmu
pendidikan Islam, dan kedua ke arah perbaikan dan pembaharuan praktek dan pelaksanaan
pendidikan Islam.

memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum yang dikenalkan berbagai


aliran filsafat, setiap aliran diatas memiliki orientasi yang berbeda-beda sehingga dalam
pengembangan kurikulum senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat tertentu,Menurut aliran
Idealisme bahwa hakekat pendidikan adalah semangat ingin kembali kepada warisan budaya masa
silam yang agung dan ideal, sehingga pendidikan diartikan sebagai “cultural conservation”, Aliran
Pragmatisme berpandangan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan impulse (perbuatan
yang dilakukan atas desakan hati), yang berorientasi pada futuralistic, yakni sebuah pendidikan
yang berwawasan pada masa depan.

Adapun kurikulum Pragmatisme lebih mengutamakan pengalaman yang didasarkan atas


kebutuhan dan minat peserta didik, terutama aspek pikir, perasaan, motorik, dan pengalaman
sosial, aliran Idealisme dan Pragmatisme, aliran lain seperti Perenialisme yang regresif,
Esensialisme yang konservatif, Progresivisme yang bercorak bebas dan modifikatif, serta
Reconstructionism yang mewujud dalam sikap radikal rekonstruktif.

b. Saran
Kami selaku penyusun makalah, mengharapkan kepada para pembaca agar dapat
memahami isi dari mini riset sebagai penambah ilmu pengetahuan kita dalam mengikuti
perkuliahan kebijakan pendidikan islam

13
DAFTAR PUSTAKA
A. Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi ontologi, epistimologis, dan
aksiologisCet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 2011

Endang Saifudin Anshari, 1979 Ilmu, Filsafat, dan AgamaCet. 3; Surabaya: Bina Ilmu,

S Nasution,2009. Asas-Asas Kurikulum,- Jakarta: Bumi Aksara

Amstrong, David G. (2003). Curriculum Today. New Jersey: Merril Prentice Hall.

Kneller, George F. (2000). Foundations of Education. New York: John Willey & Son Inc.

Oemar Hamalik,2007. Kurikulum dan Pembelajaran ,Jakarrta: Bumi Aksara,

https://indahtriwinahyu.wordpress.com/2013/10/13/landasan-filosofi- pengembangan-
kurikulum/

http://www.eurekapendidikan.com/2014/12/pemikiran-filsafat-dan- pendidikan-john.html

14

Anda mungkin juga menyukai