Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

FENOMENOLOGI
DAN PANDANGAN DUNIA DALAM FILSAFAT ILMU
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd

Disusun oleh:
Agnestasia Ramadhani Putri

(15712251019)

Ivona Febriyani Kurniawati

(15712251029)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
PENDEKATAN FENOMENOLOGI DAN PANDANGAN DUNIA DALAM FILSAFAT ILMU
Oleh :
Agnestasia RP. & Ivona Febriyani1
Pendahuluan

Fenomenologi merupakan salah satu aliran filsafat yang berupaya menelisik


esensi dari segala seuatu yang hadir ke dalam ranah kesadaran manusia.
Fenomenologi memandang bahwa hakikat pengetahuan dapat dicapai dengan
menepis segala asumsi filosofis. Esensi pengetahuan diperoleh ketika segala
praduga dikesampingkan dari kesadaran manusia. Wacana fenomenologi inilah
yang dikemukakan Edmund Husserl yang merasa yakin bahwa metodenya ini
dapat diterapkan untuk semua ilmu pengetahuan. Munculnya fenomenologi
diawali

kekhawatiran

Husserl

pada

perkembangan

filsafat

yang

mengesampingkan esensi suatu fonemena. Penelitian kala itu banyak dipengaruhi


aliran positifisme yang hanya menelisik objek tanpa mengungkap esensi dari
fenomena yang dimunculkan suatu objek. Sementara Husserl menyadari bahwa
ada makna mendalam dari sebuah fenomena, makna yang tidak hanya nampak
oleh indera saja.
Berangkat dari sini, makalah ini akan membahas pendekatan fenomenologi
yang digagas oleh Edmund Husserl, dimulai dari sejarah munculnya pemikiran
fenomenologi, bagaimana fenomenologi memandang sebuah objek, dan mencari
kebenaran yang hakiki mengenai sebuah objek. Di akhir makalah, disajikan
kontribusi fenomenologi dalam penelitian pendidikan serta sedikit ulasan kritis
terhadapnya.
Pembahasan
Sejarah Fenomenologi
Fenomenologi selain dapat dikatakan sebagai filsafat juga terkenal sebagai
metode. Fenomenologi dipopulerkan sebagai metode oleh Edmund Husserl,
sedangkan pendiri aliran fenomenologi ialah Franz Brentano yang tidak lain
merupakan guru Edmund Husserl. Brentano melakukan penelitian mengenai jiwa
manusia yang sengaja dilakukannya sebagai upaya menentang premis idealisme.
Dalam penelitiannya ia mengatakan geist (roh/ jiwa) yang universal memiliki ciri
sendiri dalam dunia ini. Geist atau roh/ jiwa seolah-olah bertalian dengan manusia
pribadi secara tidak sengaja dan khayalan sewaktu-waktu saja. Menurutnya lagi,
sifat kejiwaan yang abstrak tidak dapat dijadikan titik tolak psikologi. Memulai

psikologi mesti dari kasus individual, yaitu kasus orang pertama yang dapat
diketahui langsung oleh peneliti. Kemudian ia melangkah pada pemikiran filsafat
lama tentang hakikat pengetahuan orang pengetahuan. Husserl menentang keras
dan sekaligus mengkritik positivisme (saintisme), pragmatisme yang saat itu ingin
menguasai dunia ilmiah.
Aliran-aliran yang ditentang oleh Husserl karena mereka tidak mengakui
akan geist (roh/ jiwa) dan benar-benar menyingkirkannya dari dunia ilmiah, lalu
mereka juga menolak peran intuitif dalam memperoleh kebenaran ilmiah. Husserl
selanjutnya malah memasukkan geist dan metode intuitif sebagai sarana mencapai
kebenaran ilmiah. Ada tiga tahap filsafat Husserl yang dikembangkan. Pertama,
Husserl merobohkan posisi ilmu psikologi yang kokoh dalam dasar-dasar
aritmatilkanya. Kedua, ia bertolak dari filsafat a konseptual-sebagai akar psikologi
deskriptif Bretanian-untuk selanjutnya mengembang-kan sebuah disiplin ilmu
baru mengenai fenomenologi dan mempunyai posisi yang bersifat metafisik, yang
dikenal dengan transcendental idealism. Ketiga, ia mentransformasikan
fenomenologinya dalam suatu fenomenologi intersubjektif, yang berujung pada
pandangan hidup sosial tentang budaya dan sejarah.
Hakikat Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos.
Fenomena berasal dari kata kerja Yunani phainesthai yang berarti menampak,
dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau
cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya.
Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai
gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu
menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam
kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih
dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang
murni (Denny Moeryadi, 2009). Donny (2005: 150) menuliskan fenomenologi

adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek
sebagai korelasi dengan kesadaran. Fenomenologi juga merupakan sebuah
pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi
bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis
kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi
sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu
sosial dan pendidikan. Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang
teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia.
Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi
penting

yang

muncul

dari

pengalaman

kesadaran

manusia.

Untuk

mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan


dengan mendalam dan teliti (Smith, etc., 2009: 11). Prinsip-prinsip penelitian
fenomenologis ini pertama kali diperkenalkan oleh Husserl. Husserl mengenalkan
cara mengekspos makna dengan mengeksplisitkan struktur pengalaman yang
masih

implisit.

Konsep

lain

fenomenologis

yaitu

Intensionalitas

dan

Intersubyektifitas, dan juga mengenal istilah phenomenologik herme-neutik yang


diperkenalkan oleh Heidegger. Setiap hari manusia sibuk dengan aktifitas dan
aktifitas itu penuh dengan pengalaman. Esensi dari pengalaman dibangun oleh dua
asumsi (Smith, etc., 2009: 12). Pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya
adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan
pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Kedua, setiap bentuk
kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika melihat mobil
melewati kita, kita berpikir siapa yang mengemudikannya, mengharapkan
memiliki mobil seperti itu, kemudian menginginkan pergi dengan mobil itu. Sama
kuatnya antara ingin bepergian dengan mobil seperti itu, ketika itu pula tidak
dapat melakukannya. Itu semua adalah aktifitas yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, sebuah sikap yang natural. Kesadaran diri mere-fleksikan pada sesuatu
yang dilihat, dipikirkan, diingat dan diharapkan, inilah yang disebut dengan
menjadi fenomenologi.

Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya


sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis
perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya
dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau
gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak.
Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari
pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan
historis dari perkembangan pikiran manusia.
Deskripsi dari pengalaman yang fenomenologis hanya merupakan tahap
pertama. Yang real/nyata dilakukan dalam pengujian adalah untuk mendapatkan
pengalaman dengan lebih general. Pengujian dilakukan dengan mencoba dan
menetapkan apakah inti dari pengalaman subyektif dan apakah essensi atau ide
dari obyek (Smith, etc., 2009:14). Fenomenologi juga mengadakan refleksi
mengenai pengalaman langsung atau refleksi terhadap gejala/fenomena. Dengan
refleksi ini akan mendapatkan pengertian yang benar dan sedalam-dalamnya.
Fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang
orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya. Fokus fenomenologi bukan
pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni
realitas obyektif yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang.
Fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas obyektif di dalam
kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. Alfred
Schults sebagaimana dituliskan oleh Smith, etc., (2009: 15) mengadopsi dan
mengembangkan fenomenologi ini dengan pendekatan interpretatif praktis. Teori
tentang interpretative ini bermula dari teori hermeneutik. Hakekat dari metode
hermeneutik adalah metode interpretasi, memahami suatu gejala dari bahasanya
baik lisan maupun tulisan, dan bertujuan ingin mengetahui suatu gejala dari gejala
itu sendiri yang dikaji secara mendalam.
Konsep Kunci Fenomenologi Edmund Husserl

Istilah-istilah kunci yang dalam fenomenologi mencakup

fenomena,

kesadaran, intensionalitas, konstitusi, redaksi, dan epache. Istilah-istilah ini


menjadi konsep-konsep yang saling terkait satu sama lain untuk tiba pada
pemahaman fenomenologi secara tepat.
Kesadaran (Intuisi)
Husserl memulai analisis filsafat fenomenologinya dengan menggunakan
konsep kesadaran atau intuisi langsung. Hanya apa yang secara langsung
diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat
dianggap salah sejauh diberikan. Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus
menjadi dasar filsafat, sebab kesadaran secara langsung diberikan kepada peneliti
selaku subjek.
Fenomena
Fenomenologi mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan
diri atau fenomena. Bagi Kant, fenomena adalah sesuatu yang menunjuk kepada
realitas yang tidak dikenal in se (pada dirinya), yang tampak bagi seseorang
semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Sedangkan dalam
paradigma Husserl, fenomena ialah realitas itu sendiri yang tampak. Bagi Husserl,
tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dari realitas, realitas itu
sendiri tampak bagi kita.
Konstitusi
Konstitusi merupakan aktifitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya
realitas. Husserl mengatakan bahwa dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Hal ini
bukan berarti bahwa kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia beserta
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya, melainkan hanya bahwa
kesadaran harus hadir pada dunia agar penampakan dunia dapat berlangsung.
Tidak ada kebenaran pada dirinya,lepas dari kesadaran. Realitas tidak lain
daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh
kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakan yang dialami
oleh dunia ketika menjadi fenomena bagi kesadaran intensional.
Intensionalitas

Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran


individu, yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas (intentionality),
menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan
obyek yang menjadi perhatian pada proses itu. Dalam term fenomenologi,
pengalaman atau kesadaran selalu kesadaran pada sesuatu, melihat adalah melihat
sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu.
Sesuatu itu adalah obyek dari kesadaran yang telah distimulasi oleh persepsi dari
sebuah obyek yang real atau melalui tindakan mengingat atau daya cipta
(Smith, etc., 2009: 12). Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari
tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri.
Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas
sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran.
Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan
intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang
bertujuan pada satu obyek.
Reduksi
Reduksi fenomenologis atau reduksi transedental yang juga menggunakan aplikasi
praktis epoche (sebuah metode penundaan atau penyaringan) merupakan
penangguhan sejenak terhadap segala pengetahuan yang telah kita peroleh
sebelum kita melakukan pengamatan intuitif. Dalam aktifitas pengamatan seharihari, kita merasa berhubungan secara langsung dengan realitas yang tampak di
hadapan kita secara dangkal atau di level permukaan saja ketika kita melihat,
mendengar, menyentuh, dan menangkap realitas kehidupan sehari-hari, kita segera
mengakui bahwa semua kenyataan tersebut bersifat objektif (apapun yang kita
candra merupakan realitas yang sebenarnya). Sudut pandang yang demikian
disebut Husserl sebagai natural standpoint (sudut pandang awam). Bagi Husserl
natural standpoint belum cukup, penglihatan tersebut masih terhalang oleh kabutkabut yang menutupi hakikat realitas. Kabut-kabut tersebut ialah vkonsepsikonsepsi kita, endapan-endapan kultur dimana kita hidup, cara-cara kita berpikir,
dan semua suasana hidup yang sudah menjadi prasangka dalam diri kita. Kabut-

kabut perspektif inilah yang menjadikan pengamatan kita terhadap realitas


menjadi subjektif.
Dengan metode reduksi, Husserl mendambakan fenomenologi menjadi suatu
ilmu rigorus. Suatu ilmu rigorus tidak boleh mengandung keraguan, ketidak
pastian atau kedwiartian apa pun jga. Ucapan-ucapan yang dikemukakan dalam
suatu ilmu rigorus (tidak mengizinkan perkembangan dan perubahan lebih lanjut).
Kriteria rigorus tidak pernah dapat dipenuhi dalam ucapan-ucapan kita tentang
dunia real. Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara
apodiktis dan absolut. Setap benda material selalu diberikan melalui profil-profil
(Abschattungen)
Tolok Ukur Kebenaran
Kebenaran ialah yang terkandung dalam suatu pengetahuan. Pada pengetahuan
nilai kebenaran tergantung pada cara atau bagaimana memperoleh pengetahuan,
sikap pada subjek dalam mencoba untuk menggali sebuah kebenaran, sarana yang
dipergunakan untuk mengamati objek. Kemudian tidak kalah pentingnya
kebenaran pengetahuan tergantung pada kualitas dan karakteristik pengetahuan,
relasi subjek dan objek, serta kandungan nilai yang melekat pada pengetahuan,
apa ia objektif kebenarannya atau subjektif. Fenomenologi Husserl yang menjadi
tolok ukur kebenarannya adalah intersubjektif. Ia berpandangan bahwa
pengetahuan mempunyai nilai benar jika melakukan eksplorasi makna noumenon
di balik yang phenomenon menuju ke metateori atau metasains. Makna noumenon
dapat mengacu pada acuan monolitik, kemudian boleh juga mengembangkan
alternatif acuan divergen. Melihat suatu objek akan menghasilkan interpretasi
yang berbeda-beda, setelah diamati oleh subjek, kemudian dari interpretasi yang
berbeda-beda tersebut dalam intersubjektif harus menuju konsensus bersama.

Objek Pengetahuan

Objek pengetahuan menurut Husserl adalah realitas sendiri yang menampakkan


diri sendiri pada kita, melalui kesadaran yang intensional. Suatu fenomenon tidak
mesti dapat diamati oleh indera yang lima buah itu, sebab fenomenon dapat juga
dilihat dan diamati secara rohani, tanpa melalui indera, dan fenomen bukan suatu
peristiwa.

Realitas

yang

nampak

tersebut

kemudian

dipahami

dengan

menggunakan intuisi. Inutuisi menurut Husserl adalah kesdaran atau mempunyai


kesadaran yang dapat di pandang secara sadar. Dalam penilaian dan interpretasi
terhadap objek realitas yang diamati seringkali terjadi reduksi-reduksi. Menurut
Husserl reduksi-reduksi tersebut merupakan langkah metodis yang dibaginya
menjadi tiga macam:
1. Reduksi fenomenologis
Istilah lain sering dipergunakan adalah epoche, yang mempunyai arti sama,
yaitu menyaring segala keputusan di antara tanda kurung yang muncul
terhadap objek realitas yang diamati. Penyaringan segala keputusan seperti
teori maupun hipotesis-hipotesis yang pernah ada, yang pada akhirnya
menyisihkan segala macam tradisi yang berusaha membahas dan memberikan
keputusan tentang objek tersebut.
2. Reduksi Eidetik
Yaitu reduksi yang ingin menemukan intisari atau sampai kepada esensi.
Fenomenologi adalah ilmu hakikat. Hakikat maksudnya ialah struktur
dasariah. Ia meliputi: isi, fundamental, ditambah dengan semua sifat hakiki,
ditambah juga dengan semua relasi hakiki dengan kesadaran, dan objek-objek
yang lainnya yang disadari. Usaha yang paling pokok adalah menangkap
hakikat fenomena-fenomena. Reduksi kedua bisa menyisihkan hal-hal yang
tidak hakiki, dan agar hakikat dapat mengungkapkan diri sendiri, yang
demikian bukan abstraksi, tetapi intuisi mengenai hakikat (wesenserchuung).
3. Reduksi Transendental
Reduksi yang ketiga tidak lagi mengenai objek atau fenomin, bukan pula
mengenai hal-hal sejauh menampakkan diri kepada kesadaran, tetapi reduksi
trasendental khusus merupakan: wende zum subject (pengetahuan ke subjek)
dan mengenai terjadinya penampakkan sendiri, dan mengenai akar-akar
kesadaran Supaya mendapatkan kepastian akan kebenaran pengertian kata,
menurut Husserl, harus dicarinya dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang

10

dengan sadar. Dalam pengalaman tersebut mengalami diri sendiri. Segala


pengalaman empiris yang ada pada dunia benda untuk sementara waktu
diletakkan pada tanda kurung, kemudian melakukan penyaringan, setelah itu
tampaklah yang tertinggal adalah kesadaran murni atau transendental, tidak
empiris lagi.
Fenomenologi dalam Memandang Obyek
Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa
kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyekobyek harus diberikan kesempatan

untuk berbicara melalui deskripsi

fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl


berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan

melainkan asal

kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek
dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek
diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan),
artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya
kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan
subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena
menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu
tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran,
namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya
diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk
menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna
menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu:
Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus
obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.
Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber
lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan
seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain

11

harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini

berhasil, maka

gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin


Pandangan Dunia dalam Fenomenologi
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif
serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan
tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Dari segi fenomenologis dapat dilihat bahwa :
1. Manusia sejak dilahirkan itu merdeka, artinya manusia memiliki kebebasan
untuk menentukan sendiri pilihannya. Ia bebas bertingkah laku sesuai dengan
kemampuannya. Ia juga dapat mengemukakan pendapat, kemauan dan
perasaannya kepada orang lain tanpa paksaan. Ia juga punya kebebasan untuk
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
yang ada padanya. Untuk itu pendidik perlu menyediakan kondisi dan situasi
dan situasi dimana anak dapat menutarakan pikiran, kemauan, dan
perasaannya dengan jelas dan terbuka serta membimbing dan mengarahkan
kearah pencapaian kepribadian yang utuh.
2. Kelahiran manusia dibatasi dengan kodrat yang telah ditentukan tuhan,
artinya tiap manusia mempunyai keterbatasan kodrati, apakah ia laki laki
maupun perempuan. Dalam hubungannya degan sifat kodrat manusia tidak
bisa memilih.
3. Manusia pada hakekatnya perlu bantuan orang lain. Ia tidak berdaya untuk
hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Untuk itu manusia selalu berusaha
mengadakan kontak dengan lingkungan sekitar. Sejak kelahirannya anak
memerlukan bantuan ibunya untuk dapat bertahan hidup.selanjutnya dalam
perkembangannya ia butuh bantuan orang lain untuk dapat tumbuh kembang
baik secara fisik maupun mental sampai akhirnya dapat mencapai
kemandirian baik jasmani maupun rohani.

12

4. Berbeda dengan hewan perkembangan manusia itu memerlukan waktu yang


panjang. Hewan hanya berkembang dan bertugas mempertahankan hidup,
sedangkan manusia bukan hanya sekedar mempertahan kan hidup tetapi juga
mempunyai tugas untuk meningkatkan kualitas hidupnya baik jasmani
maupun rohani. Dalam perkembangannya ia harus dapat menemukan
kehidupannya untuk dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Sebagaimana dibahas pada sub sebelumnya, bahwa reduksi merupakan
penangguhan sementara segala pengetahuan yang telah dimiliki sebelum
melakukan pengamatan intuitif. Pencandraan awal kita bersama dengan asumsiasumsi yang kita bawa, hanya menjadi first look, tilikkan pertama yang belum
mampu menyingkap selubung yang membaluti hakikat realitas yang sebenarnya.
Karena itulah diperlukan second look, tilikkan kedua dengan melakukan
pengamatan intuitif agar hakikat dunia eksternal menampilkan wujudnya secara
murni sesuai dengan relitas sesungguhnya.
Reduksi dapat menyingkirkan kesadaran yang terarah pada dunia sebagai
intensionalitas. Di dalam fenomenologi, dunia tidak dibicarakan secara naif,
seakan-akan dunia sama sekali tidak berkaitan dengan kesadaran, sepeti dibuat
dalam sikap natural. Tetapi dalam sikap fenomenologis kita menemui dunia
sebagai

korelat

bagi

kesadaran,dunia

sebagai

fenomena.

Demikianlah

fenomenologi dapat mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan apodiktis


dan absolut tentangnya. Dunia dapat diberi tempat dalam fenomenologi sebagai
ilmu rigorus. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia,
sebaliknya, realitas material ditemui dalam suatu perspekif baru yaitu sebagai
korelat bagi kesadaran.

Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan fenomenologis

memusatkan

perhatian

pada

pengalaman

subyektif. Pendekatan ini berhubungan dengan pandangan pribadi mengenai dunia


dan penafsiran mengenai berbagai kejadian yang dihadapinya. Pendekatan

13

tersebut mencoba memahami kejadian fenomenal yang dialami individu tanpa


adanya beban prakonsepsi. Pendekatan fenomenologis meliputi:
1. Pengamatan , yaitu suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis,
dibentuk berdasar rangsang-rangsang dari obyek.
2. Imajinasi , yaitu suatu perbuatan (act) yang melihat suatu obyek yang absen
atau sama sekali tidak ada melalui suatu isi psikis atau fisik yang tidak
memberikan dirinya sebagai diri melainkan sebagai representasi dari hal yang
lain. Dunia imajinasi berdasa aktivitas suatu kesadaran.
3. Berpikir secara abstrak. Bidang yang sangat penting dalam hidup psikis
manusia ialah pikiran abstrak. Aristoteles berpendapat bahwa pikiran abstrak
berdasarkan pengamataan ; tak ada hal yang dapat dipikirkan yang tidak dulu
menjadi bahan. Dengan menghilangkan ciri-ciri khas (abstraksi) terjadi
kumpulan ciri-ciri umum, yaitu suatu ide yang dapat dirumuskan dalam suatu
defenisi.
4. Merasa/menghayati. Merasa ialah gejala lain dari kesadaran mengalami.
Pengalaman tidak disadari dengan langsung, sedangkan perasaan biasanya
disadari. Merasa ialah gejala yang lebih dekat pada diri manusia daripada
pengamatan atau imajinasi.
Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa sebagai sebuah aliran,
fenomenologi diartikan sebagai: yang menampakkan dirinya di dalam dirinya
sendiri menurut adanya. Dengan demikian, fenomenologi merupakan refleksi
mengenai pengalaman langsung dari setiap tindakan secara intensif, yang
berhubungan obyek. Tidak cukup sampai di situ, fenomenologi juga menolak
penggunaan kerangka teori sebagai langkah untuk melakukan kajian ataupun
penelitian,

karena

akan

menjadikan

hasil

kajian

atau

penelitian

menjadi artifisial dan jauh dari sifat-sifat naturalnya. Hal demikianlah yang
menjadikan fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran filsat yang lain,
dimana fenomenologi berusaha memberikan kesempatan suatu objek untuk
berbicara sendiri.
Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu

14

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomenafenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu
yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu
sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan
maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak
memalsukan

fenomena,

melainkan

dapat

mendeskripsikannya

seperti

penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak


menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami
fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada
bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu
mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia. Filsafat
fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara
menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya
yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai Hakikat segala
sesuatu.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk
mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche
berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: menunda keputusan atau
mengosongkan diri dari keyakinan tertentu. Epoche bisa juga berarti tanda
kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih
dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa
dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal
penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung
dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek
kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka
macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan seharihari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

15

2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap


semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan
fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai
pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi
Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai
cara, diantaranya observasi dan interview, baik interview mendalam (in-depth
interview). In depth dalam penelitian fenomenologi bermakna mencari sesuatu
yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang
fenomena sisoal dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga bermakna menuju
pada sesuatu yang mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya
straight-forward secara aktual secara potensial lebih complicated. Pada sisi lain
peneliti juga harus memformulasikan kebenaran peristiwa/ kejadian dengan
pewawancaraan mendalam. ataupun interview. Data yang diperoleh dengan indepth interview dapat dianalisis proses analisis data dengan Interpretative
Phenomenological Analysis sebagaiman ditulis oleh Smith (2009: 79-107). Tahaptahap Interpretative Phenomenological Analysis yang dilaksanakan sebagai
berikut: 1) Reading and re-reading; 2) Initial noting; 3) Developing Emergent
themes; 4) Searching for connections across emergent themes; 5) Moving the next
cases; and 6) Looking for patterns across cases. Masing-masing tahap analisis
diuraikan sebagai berikut:
1. Reading and Re-reading
Dengan membaca dan membaca kembali peneliti menenggelamkan diri
dalam data yang original. Bentuk kegiatan tahap ini adalah menuliskan
transkrip interviu dari rekaman audio ke dalam transkrip dalam bentuk tulisan.
Rekaman audio yang digunakan oleh peneliti dipandang lebih membantu
pendengaran peneliti dari pada transkrip dalam bentuk tulisan. Imaginasi kata-

16

kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti dari
transkrip akan membantu analisis yang lebih komplit. Tahap ini di laksanakan
untuk memberikan keyakinan bahwa partisipan penelitian benar-benar menjadi
fokus analisis. Peneliti memulai proses ini dengan anggapan bahwa setiap katakata partisipant sangat penting untuk masuk dalam fase analisis dan data katakata itu diperlakukan secara aktif. Membaca kembali data dengan model
keseluruhan struktur interviu untuk selanjutnya dikembangkan, dan juga
memberikan kesempatan pada peneliti untuk memperoleh pemahaman
mengenai bagaimana narasi-narasi partisipant secara bersama-sama dapat
terbagi dalam beberapa bagian. Dengan membaca dan membaca kembali juga
memudahkan penilaian mengenai bagaimana hubungan dan kepercayaan yang
dibangun antar interviu dan kemudian memunculkan letak-letak dari bagianbagian yang kaya dan lebih detail atau sebenarnya kontradiksi dan paradox.
2. Initial Noting
Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan mungkin menghabiskan
waktu. Tahap ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang
digunakan partisipan dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga
kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan mencatat segala sesuatu
yang menarik dalam transkrip. Proses ini menumbuhkan dan membuat sikap
yang lebih familier terhadap transkrip data. Selain itu tahap ini juga memulai
mengidentifikasi secara spesifik cara-cara partisipan mengatakan tentang
sesuatu, memahami dan memikirkan mengenai isu-isu. Tahap 1 dan 2 ini
melebur, dalam praktiknya dimulai dengan membuat catatan pada transkrip.
Peneliti memulai aktifitas dengan membaca, kemudian membuat catatan
eksploratori atau catatan umum yang dapat ditambahkan dengan membaca
berikutnya. Analisis ini hampir sama dengan analisis tekstual bebas. Di sini
tidak ada aturan apakah dikomentari atau tanpa persyaratan seperti membagi
teks kedalam unit-unit makna dan memberikan komentar-komentar pada
masing-masing unit. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan
seperangkat catatan dan komentar yang komprehensif dan mendetail mengenai
data. Beberapa bagian dari interviu mengandung data penelitian lebih banyak

17

dari pada yang lain dan akan lebih banyak makna dan komentar yang
diberikan. Jadi pada tahap ini peneliti mulai memberikan komentar dengan
menduga pada apa yang ada pada teks.
Aktifitas ini menggambarkan difusi kebijakan gender pada pola-polanya
seperti hubungan, proses, tempat, peristiwa, nilai dan prinsip-prinsip dan
makna dari difusi kebijakan gender bagi partisipan. Dari sini kemudian
dikembangkan dan disamping itu peneliti akan menemukan lebih banyak
catatan interpretatif yang membantu untuk memahami bagaimana dan mengapa
partisipan tertarik dengan kebijakan gnder mainstreaming .
Deskripsi yang peneliti kembangkan melalui initial notes ini menjadi
deskripsi inti dari komentar-komentar yang jelas merupakan fokus dari
fenomenologi dan sangat dekat dengan makna eksplisit partisipant. Dalam hal
ini termasuk melihat bahasa yang mereka gunakan, memikirkan konteks dari
ketertarikan mereka (dalam dunia kehidupan mereka), dan mengidentifukasi
konsep-konsep abstrak yang dapat membantu peneliti membuat kesadaran
adanya pola-pola makna dalam keterangan partisipan. Data yang asli/original
dari transkrip diberikan komentar-komentar dengan menggunakan ilustrasi
komentar eksploratory. Komentar eksploratori dilaksanakan untuk memperoleh
intisari.

Komentar

eksploratori

meliputi

komentar

deskriptif

(descriptive comment), komentar bahasa (linguistic comment) dan komentar


konseptual (conceptual comment) yang dilakukan secara simultan. Komentar
deskriptif difokuskan pada penggambaran isi/content dari apa yang dikatakan
oleh participant dan subjek dari perkataan dalam transkrip. Komentar bahasa
difokuskan pada catatan eksploratori yang memperhatikan pada penggunaan
bahasa yang spesifik oleh participant. Peneliti fokus pada isi dan dan makna
dari bahasa yang disampaikan. Komentar konseptual ini lebih interpretative
difokuskan pada level yang konseptual. Koding yang konseptual ini
menggunakan bentuk bentuk yang interogatif (mempertanyakan).
Setelah

memberikan

komentar

eksploratori

peneliti

melakukan

dekonstruksi (deconstruction). Ini membantu peneliti untuk mengembangkan


strategi dekontekstualisasi yang membawa peneliti pada fokus yang lebih detail

18

dari setiap kata dan makna dari partisipan penelitian. Dekonstekstualisasi


membantu mengembangkan penilaian yang secara alamiah diberikan pada
laporan-laporan partisipan dan dapat menekankan pentingnya konsteks dalam
interviu sebagai keseluruhan, dan membantu untuk melihat interrelationship
(saling hubungan) antar satu pengalaman dengan pengalaman lain. Setelah
dekonstruksi peneliti melakukan tinjauan umum terhadap tulisan catatan awal
(overview of writing initial notes).
Langkah

ini

dilaksanakan

dengan

memberikan

catatan-catatan

eksploratory yang dapat digunakan selama mengeksplore data dengan cara: 1)


Peneliti memulai dari transkrip, menggarisbawahi teks-teks yang kelihatan
penting. Pada saat setiap bagian teks digarisbawahi berusaha juga untuk
menuliskan dalam margin keteranganketerangan mengapa sesuatu itu
dipikirkan dan digarisbawahi dan karena itu sesuatu itu dianggap penting; 2)
Mengasosiasi secara bebas teks-teks dari partisipan, menuliskan apapun yang
muncul dalam pemikiran ketika membaca kalimat-kalimat dan kata-kata
tertentu. Ini adalah proses yang mengalir dengan teks-teks secara detail,
mengeksplore perbedaan pendekatan dari makna yang muncul dan dengan giat
menganalisis pada level yang interpretative.
3. Developing Emergent Themes (Mengembangkan kemunculan tema-tema)
Meskipun transkrip interviu merupakan tempat pusat data, akan tetapi data
itu akan menjadi lebih jelas dengan diberikannya komentar eksploratori
(exploratory

commenting)

secara

komphrehensip.

Dengan

komentar

eksploratori tersebut maka pada seperangkat data muncul atau tumbuh secara
substansial. Untuk memunculkan tema-tema peneliti memenej perubahan data
dengan menganalisis secara simultan, berusaha mengurangi volume yang detail
dari data yang berupa transkrip dan catatan awal yang masih ruwet
(complexity) untuk di mapping kesalinghubungannya (interrelationship),
hubungan (connection) dan pola-pola antar catatan eksploratori. Pada tahap ini
analisis terutama pada catatatan awal lebih yang dari sekedar transkrip.
Komentar eksploratori yang dilakukan secara komprehensip sangat
mendekatkan pada simpulan dari transktip yang asli. Analisis komentar-

19

komentar eksploratori untuk mengidentifikasi munculnya tema-tema termasuk


untuk memfokuskan sehingga sebagian besar transkrip menjadi jelas. Proses
mengidentifikasi munculnya tema-tema termasuk kemungkinan peneliti
mengobrak-abrik kembali alur narasi dari interviu jika peneliti pada narasi awal
tidak merasa comfortable. Untuk itu peneliti melakukan reorganisasi data
pengalaman partisipan. Proses ini merepresentasikan lingkaran hermeneutik.
Keaslian interviu secara keseluruhan menjadi seperangkat dari bagian
yang dianalisis, tetapi secara bersama-sama menjadi keseluruhan yang baru
yang merupakan akhir dari analisis dalam melukiskan suatu peristiwa dengan
terperinci. Untuk memunculkan tema-tema dari komentar eksploratori
menggunakan tabel pencatatan sebagai berikut: Tabel 5: Mengembangkan
Kemunculan Tema-tema Kemunculan Tema-tema Transkrip Asli Komentar
Eksploratory, termasuk: komentar deskriptif, komentar bahasa (linguistic) dan
komentar koseptual.
4. Searching for connection a cross emergent themes
Partisipan penelitian memegang peran penting semenjak mengumpulkan
data dan membuat komentar eksploratori. Atau dengan kata lain pengumpulan
data dan pembuatan komentar eksploratori di lakukan dengan berorientasi pada
partisipan. Mencari hubungan antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah
peneliti menetapkan seperangkat tema-tema dalam transkrip dan tema-tema
telah diurutkan secara kronologis.
Hubungan antar tema-tema ini dikembangkan dalam bentuk grafik atau
mapping/pemetaan dan memikirkan tema-tema yang bersesuaian satu sama
lain. Level analisis ini tidak ada ketentuan resmi yang berlaku. Peneliti
didorong untuk mengeksplore dan mengenalkan sesuatu yang baru dari hasil
penelitiannya dalam term pengorganisasian analisis. Tidak semua tema yang
muncul harus digabungkan dalam tahap analisis ini, beberapa tema mungkin
akan dibuang. Analisis ini tergantung pada keseluruhan dari pertanyaan
penelitian dan ruang lingkup penelitian. Mencari makna dari sketsa tema-tema
yang muncul dan saling bersesuaian dan menghasilkan struktur yang
memberikan pada peneliti hal-hal yang penting dari semua data dan aspek-

20

aspek yang menarik dan penting dari keterangan-keterangan partisipan.


Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi yang mungkin muncul dalam
Interpretative Pheno-menology Analysis selama proses analisis meliputi:
Abstraction, Subsumtion, Polarization, Contextualization, Numeration, dan
Function.
5. Moving the next cases
Tahap analisis 1 - 4 dilakukan pada setiap satu kasus/partisipan. Jika satu
kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah
pada kasus atau partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus. Langkah ini
dilakukan pada semua transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang
sama.
6. Looking for patterns across cases
Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari
polapola yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi
antar kasus, dan bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus
yang lain memandu peneliti melakukan penggambaran dan pelabelan kembali
pada tematema. Pada tahap ini dibuat master table dari tema-tema untuk satu
kasus atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/ organisasi.
Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan
fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam
teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan seharihari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk
mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang
utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut
pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh
pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu
kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-

21

ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan
mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput
dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan
yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik
dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd.
Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh
tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini
dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak
mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi
menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya
mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status
seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan
penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut
terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang
diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran
yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu,
situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
Kesimpulan
Husserl sebagai filsuf abad ke 20, dengan filsafat fenomenologinya besar
sekali pengaruhnya di Eropa dan Amerika. Pada zaman di antara perang dunia
pertama dan perang dunia kedua pengaruh berpikir fenomenologi luar biasa.
Filsuf eksistensialisme juga sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan
dalam pemikiran fenomenologis (Harun Hadiwijono, 1980). Beerling (1958)
mengatakan sebagian eksistensialisme adalah murid-murid Husserl yang
mempraktekkan fenomenologi dengan cara yang berbeda. Intuisi dan kesadaran
intensionalitas Husserl merupakan alat yang mempunyai peranan urgen. Intuisi
mengamati genomin dengan cara rohani, tanpa harus melewati indera. Intuisi
adalah kesadaran yang di pandang secara sadar. Dalam intensionalitas antara

22

subjek dan objek tidak dapat dipisahkan. Subjek dan objek dalam hal ini terjadi
sintesis dalam fenomenologi Epistemologi fenomenologi sebagai sebuah metode
telah menghasilkan nilai kebenaran yang intersubjektif. Usaha untuk menemukan
makna noumenon di balik fenomenon dan makna yang dicari mempunyai
kesepakatan bersama. Intersubjektif mendekati sesuatu untuk dinilai dan
memberikan interpretasi, maka hasil dari nilai dan interpretasi tersebut selamanya
akan berbeda-beda, sampai ada kesepakatan yang dihasilkan bersama-sama.
Objek pengetahuan bagi Husserl adalah realitas yang menampakkan diri sendiri,
melalui kesadaran yang intensional. Fenomenon tidak mesti melawati indera,
karena fenomenon juga bisa ditangkap oleh rohani. Menemukan hakikat menurut
Husserl terjadi reduksi (penyaringan) yang dibaginya kepada tiga macam reduksi:
1. Reduksi fenomenologis 2. Reduksi eidetik 3. Reduksi transendental.

23

Daftar Pustaka
Jalaluddiin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.
http://fahmyzone.blogspot.co.id/2012/09/fenomenologi-edmund-husserl.html
http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/desain-penelitian-kualitatif.html
http://sevannisa.blogspot.co.id/2012/11/hakikat-fenomenologi
ilmupendidikan.html
http://www.slideshare.net/rochiel13/fenomenologi-7662649

Anda mungkin juga menyukai