FENOMENOLOGI
DAN PANDANGAN DUNIA DALAM FILSAFAT ILMU
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd
Disusun oleh:
Agnestasia Ramadhani Putri
(15712251019)
(15712251029)
kekhawatiran
Husserl
pada
perkembangan
filsafat
yang
psikologi mesti dari kasus individual, yaitu kasus orang pertama yang dapat
diketahui langsung oleh peneliti. Kemudian ia melangkah pada pemikiran filsafat
lama tentang hakikat pengetahuan orang pengetahuan. Husserl menentang keras
dan sekaligus mengkritik positivisme (saintisme), pragmatisme yang saat itu ingin
menguasai dunia ilmiah.
Aliran-aliran yang ditentang oleh Husserl karena mereka tidak mengakui
akan geist (roh/ jiwa) dan benar-benar menyingkirkannya dari dunia ilmiah, lalu
mereka juga menolak peran intuitif dalam memperoleh kebenaran ilmiah. Husserl
selanjutnya malah memasukkan geist dan metode intuitif sebagai sarana mencapai
kebenaran ilmiah. Ada tiga tahap filsafat Husserl yang dikembangkan. Pertama,
Husserl merobohkan posisi ilmu psikologi yang kokoh dalam dasar-dasar
aritmatilkanya. Kedua, ia bertolak dari filsafat a konseptual-sebagai akar psikologi
deskriptif Bretanian-untuk selanjutnya mengembang-kan sebuah disiplin ilmu
baru mengenai fenomenologi dan mempunyai posisi yang bersifat metafisik, yang
dikenal dengan transcendental idealism. Ketiga, ia mentransformasikan
fenomenologinya dalam suatu fenomenologi intersubjektif, yang berujung pada
pandangan hidup sosial tentang budaya dan sejarah.
Hakikat Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos.
Fenomena berasal dari kata kerja Yunani phainesthai yang berarti menampak,
dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau
cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya.
Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai
gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu
menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,
fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam
kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih
dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang
murni (Denny Moeryadi, 2009). Donny (2005: 150) menuliskan fenomenologi
adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek
sebagai korelasi dengan kesadaran. Fenomenologi juga merupakan sebuah
pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi
bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis
kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi
sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu
sosial dan pendidikan. Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang
teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia.
Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi
penting
yang
muncul
dari
pengalaman
kesadaran
manusia.
Untuk
implisit.
Konsep
lain
fenomenologis
yaitu
Intensionalitas
dan
fenomena,
Objek Pengetahuan
Realitas
yang
nampak
tersebut
kemudian
dipahami
dengan
10
melainkan asal
kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek
dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek
diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan),
artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya
kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan
subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena
menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu
tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran,
namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya
diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk
menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna
menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu:
Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus
obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.
Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber
lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan
seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain
11
berhasil, maka
12
korelat
bagi
kesadaran,dunia
sebagai
fenomena.
Demikianlah
Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan fenomenologis
memusatkan
perhatian
pada
pengalaman
13
karena
akan
menjadikan
hasil
kajian
atau
penelitian
menjadi artifisial dan jauh dari sifat-sifat naturalnya. Hal demikianlah yang
menjadikan fenomenologi ini berbeda dengan aliran-aliran filsat yang lain,
dimana fenomenologi berusaha memberikan kesempatan suatu objek untuk
berbicara sendiri.
Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
14
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomenafenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu
yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu
sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan
maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak
memalsukan
fenomena,
melainkan
dapat
mendeskripsikannya
seperti
15
16
kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti dari
transkrip akan membantu analisis yang lebih komplit. Tahap ini di laksanakan
untuk memberikan keyakinan bahwa partisipan penelitian benar-benar menjadi
fokus analisis. Peneliti memulai proses ini dengan anggapan bahwa setiap katakata partisipant sangat penting untuk masuk dalam fase analisis dan data katakata itu diperlakukan secara aktif. Membaca kembali data dengan model
keseluruhan struktur interviu untuk selanjutnya dikembangkan, dan juga
memberikan kesempatan pada peneliti untuk memperoleh pemahaman
mengenai bagaimana narasi-narasi partisipant secara bersama-sama dapat
terbagi dalam beberapa bagian. Dengan membaca dan membaca kembali juga
memudahkan penilaian mengenai bagaimana hubungan dan kepercayaan yang
dibangun antar interviu dan kemudian memunculkan letak-letak dari bagianbagian yang kaya dan lebih detail atau sebenarnya kontradiksi dan paradox.
2. Initial Noting
Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan mungkin menghabiskan
waktu. Tahap ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang
digunakan partisipan dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga
kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan mencatat segala sesuatu
yang menarik dalam transkrip. Proses ini menumbuhkan dan membuat sikap
yang lebih familier terhadap transkrip data. Selain itu tahap ini juga memulai
mengidentifikasi secara spesifik cara-cara partisipan mengatakan tentang
sesuatu, memahami dan memikirkan mengenai isu-isu. Tahap 1 dan 2 ini
melebur, dalam praktiknya dimulai dengan membuat catatan pada transkrip.
Peneliti memulai aktifitas dengan membaca, kemudian membuat catatan
eksploratori atau catatan umum yang dapat ditambahkan dengan membaca
berikutnya. Analisis ini hampir sama dengan analisis tekstual bebas. Di sini
tidak ada aturan apakah dikomentari atau tanpa persyaratan seperti membagi
teks kedalam unit-unit makna dan memberikan komentar-komentar pada
masing-masing unit. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan
seperangkat catatan dan komentar yang komprehensif dan mendetail mengenai
data. Beberapa bagian dari interviu mengandung data penelitian lebih banyak
17
dari pada yang lain dan akan lebih banyak makna dan komentar yang
diberikan. Jadi pada tahap ini peneliti mulai memberikan komentar dengan
menduga pada apa yang ada pada teks.
Aktifitas ini menggambarkan difusi kebijakan gender pada pola-polanya
seperti hubungan, proses, tempat, peristiwa, nilai dan prinsip-prinsip dan
makna dari difusi kebijakan gender bagi partisipan. Dari sini kemudian
dikembangkan dan disamping itu peneliti akan menemukan lebih banyak
catatan interpretatif yang membantu untuk memahami bagaimana dan mengapa
partisipan tertarik dengan kebijakan gnder mainstreaming .
Deskripsi yang peneliti kembangkan melalui initial notes ini menjadi
deskripsi inti dari komentar-komentar yang jelas merupakan fokus dari
fenomenologi dan sangat dekat dengan makna eksplisit partisipant. Dalam hal
ini termasuk melihat bahasa yang mereka gunakan, memikirkan konteks dari
ketertarikan mereka (dalam dunia kehidupan mereka), dan mengidentifukasi
konsep-konsep abstrak yang dapat membantu peneliti membuat kesadaran
adanya pola-pola makna dalam keterangan partisipan. Data yang asli/original
dari transkrip diberikan komentar-komentar dengan menggunakan ilustrasi
komentar eksploratory. Komentar eksploratori dilaksanakan untuk memperoleh
intisari.
Komentar
eksploratori
meliputi
komentar
deskriptif
memberikan
komentar
eksploratori
peneliti
melakukan
18
ini
dilaksanakan
dengan
memberikan
catatan-catatan
commenting)
secara
komphrehensip.
Dengan
komentar
eksploratori tersebut maka pada seperangkat data muncul atau tumbuh secara
substansial. Untuk memunculkan tema-tema peneliti memenej perubahan data
dengan menganalisis secara simultan, berusaha mengurangi volume yang detail
dari data yang berupa transkrip dan catatan awal yang masih ruwet
(complexity) untuk di mapping kesalinghubungannya (interrelationship),
hubungan (connection) dan pola-pola antar catatan eksploratori. Pada tahap ini
analisis terutama pada catatatan awal lebih yang dari sekedar transkrip.
Komentar eksploratori yang dilakukan secara komprehensip sangat
mendekatkan pada simpulan dari transktip yang asli. Analisis komentar-
19
20
21
ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan
mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput
dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan
yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik
dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd.
Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh
tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini
dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak
mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi
menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya
mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status
seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan
penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut
terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang
diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran
yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu,
situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
Kesimpulan
Husserl sebagai filsuf abad ke 20, dengan filsafat fenomenologinya besar
sekali pengaruhnya di Eropa dan Amerika. Pada zaman di antara perang dunia
pertama dan perang dunia kedua pengaruh berpikir fenomenologi luar biasa.
Filsuf eksistensialisme juga sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan
dalam pemikiran fenomenologis (Harun Hadiwijono, 1980). Beerling (1958)
mengatakan sebagian eksistensialisme adalah murid-murid Husserl yang
mempraktekkan fenomenologi dengan cara yang berbeda. Intuisi dan kesadaran
intensionalitas Husserl merupakan alat yang mempunyai peranan urgen. Intuisi
mengamati genomin dengan cara rohani, tanpa harus melewati indera. Intuisi
adalah kesadaran yang di pandang secara sadar. Dalam intensionalitas antara
22
subjek dan objek tidak dapat dipisahkan. Subjek dan objek dalam hal ini terjadi
sintesis dalam fenomenologi Epistemologi fenomenologi sebagai sebuah metode
telah menghasilkan nilai kebenaran yang intersubjektif. Usaha untuk menemukan
makna noumenon di balik fenomenon dan makna yang dicari mempunyai
kesepakatan bersama. Intersubjektif mendekati sesuatu untuk dinilai dan
memberikan interpretasi, maka hasil dari nilai dan interpretasi tersebut selamanya
akan berbeda-beda, sampai ada kesepakatan yang dihasilkan bersama-sama.
Objek pengetahuan bagi Husserl adalah realitas yang menampakkan diri sendiri,
melalui kesadaran yang intensional. Fenomenon tidak mesti melawati indera,
karena fenomenon juga bisa ditangkap oleh rohani. Menemukan hakikat menurut
Husserl terjadi reduksi (penyaringan) yang dibaginya kepada tiga macam reduksi:
1. Reduksi fenomenologis 2. Reduksi eidetik 3. Reduksi transendental.
23
Daftar Pustaka
Jalaluddiin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
Muhadjir, Noeng. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.
http://fahmyzone.blogspot.co.id/2012/09/fenomenologi-edmund-husserl.html
http://www.eurekapendidikan.com/2014/11/desain-penelitian-kualitatif.html
http://sevannisa.blogspot.co.id/2012/11/hakikat-fenomenologi
ilmupendidikan.html
http://www.slideshare.net/rochiel13/fenomenologi-7662649