A. Latar Belakang
Ratna W. Dahar. Kesiapan Guru mengajar Sains di Sekolah Dasar: Tinjauan dari Segi Pengembangan
Keterampilan Proses Sains. Disertasi , ( Bandung, FPS IKIP Bandung 1985), P.7.
1
termasuk sistem nilai budaya yang mempengaruhi sekolah, rumah dan
masyarakat.2.
Studi
ini membatasi diri pada faktor model pembelajaran yang digunakan oleh
guru dalam melaksanakan pembelajaran dan faktor kemampuan siswa
yang melakukan kegiatan belajar. Kemampuan siswa yang akan diteliti
adalah kemampuan berpikir dalam mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar.
2
Dadang.S. Sumbangan Kecerdasan, Motif Berprestasi, Sikap Belajar, dan Kebiasaan Belajar terhadap
Hasil Belajar Akademik Para Siswa SMA di Jawa barat. Disertasi.(Bandung, FPS IKIP Bdg.1984)P.19
3
Moegiadi, Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar di Indoensia, Makalah, (Jakarta,Depdikbud,1987).p.10
4
Depdikbud, Hasil Evaluasi hasil belajar IPA dan Matematika pada Pendidikan dasar(Jkt, 1986).P.25.
2
disertasinya yang berhubungan dengan klasifikasi logis, meliputi
Klasifikasi Matriks (KM); Alternatif Klasifikasi (AK); Klasifikasi Ulang
(KU); Inklusi Kelompok (IK). Hasil penelitian ini membuktikan, bahwa
secara keseluruhan anak usia 6-12 tahun mempunyai kemampuan KM
dan IKA yang cukup tinggi, AK rendah, dan KU yang sedang, Dengan
demikian dapat diartikan bahwa kemampuan berpikir konvergen
menggunakan obyek konkret cukup tinggi, tapi untuk berpikir divergen
atau alternatif masih rendah, selain itu berpikir dikotomi atau memberi
nama kurang bergitu tinggi.5
Selain
itu, pernah dilakukan observasi dan wawancara dengan para guru IPA
pada beberapa SD di kota Bengkulu tahun 2002, antara lain SDN 62,
dapat disimpulkan pendapat para guru yang diwawancarai, bahwa mereka
mengeluh karena materi kurukulum IPA di SD terlalu sarat, guru dikejar-
kejar target, bukan berorientasi pada proses. Guru-guru IPA belum
menggunakan berbagai strategi dan model pembelajaran secara
bervariasi, tetapi cenderung pada penggunaan metode ceramah, tanya
jawab, di mana kadar CBSA yang sangat terbatas. Anak-anak masih
diarahkan pada penguasaan kognitif tingkat rendah, kurang
mempertimbangkan kesiapan dan kemampuan berpikir anak atau tidak
menekankan pada proses berpikir (thinking process). Di samping
memang para guru belum banyak mengenal berbagai model pembelajaran
yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA, sehingga dapat
meingkatkan hasil belajar yang optimal.
5
Nuryani Rustaman, Kemampuan Klasifikasi Logis Anak (Studi tentang kemampuan Abstraksi dan
Inferensi Anak Usia SD Pada Kelompok Budaya Sunda), Disertasi (Bandung, FPS IKIP
Bandung,1990).p.50.
3
Mencermati beberapa hasil penelitian di atas memberi kejelasan bahwa
terdapat sisi kelemahan pembelajaran IPA pada anak SD, bahwa
kemampuan mengkasifikasi belum mecapai kemampuan yang optimal.
Oleh karena itu perlu ada upaya untuk dapat meningkatkan kemampuan
klasifikasi kepada anak SD. Salah satu upaya tentu berpulang kepada
tugas guru, agar membelajarkan anak pada upaya maksimal, misalnya
dengan mensiasati proses pembelajaran dengan berbagai variasi model
pembelajaran dan memperhatikan gaya belajar bagi masing-masing anak.
Bertitik tolak dari beberapa pernyataan dan fakta yang dihasilkan dari
beberapa penelitian di atas, maka melalui penelitian ini akan dikaji
“apakah model pembelajaran dan gaya kognitif berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir logis murid sekolah dasar”.
B. Perumusan Masalah
4
murid yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional
dalam mata pelajaran IPA di SD?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir logis antara murid
yang memiliki gaya kognitif field independent dan murid yang
memiliki gaya kognitif field dependent dalam mata pelajaran IPA di
SD?
3. Untuk murid yang memiliki gaya kognitif field independent, apakah
terdapat perbedaan kemampuan berpikir logis antara yang
mengikuti pembelajaran dengan model pencapaian konsep dan
murid yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional
dalam mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar?
4. Untuk murid yang memiliki gaya kognitif field dependent,apakah
terdapat perbedaan kemampuan berpikir logis antara murid yang
mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran pencapaian konsep
dan murid yang mengikuti pembelajaran model konvensional dalam
mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar?
5. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya
kognitif dalam pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir logis
dalam mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
model pembelajaran dan gaya kognitif terhadap kemampuan berpikir
konservasi kauntitas pada murid Sekolah Dasar kota Bengkulu.
5
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan;
D. Manfaat Penelitian
6
Dari segi teoritis, temuan penelitian dapat memperkaya khasanah
pengetahuan dalam bidang pendidikan, khususnya bagi pengembangan
keilmuan dalam bidang teknologi pembelajaran.
Dari
segi praktis, temuan penelitian ini bermanfaat bagi :
1. Guru dalam memilih model pembelajaran yang efektif bagi pembelajaran,
sehingga terjadi peningkatan mutu pada bidang Studi IPA di SD.
2. Murid agar lebih mudah memahami materi pembelajaran IPA di sekolah dasar.
3. Depdiknas sebagai masukan sebagai upaya bagi peningkatan mutu hasil belajar
IPA di SD.
4. LPTK sebagai masukan dalam mepersiapkan para calon guru prajabatan dan
dalam jabatan agar dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan
penggunaan berbagai model pembelajaran.
5. Para peneliti agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut bagi
peningkatan mutu pembelajaran IPA di sekolah dasar.
E. Kerangka Teoritik
6
Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Jakarta, Rineka Cipta 1992). P.81.
7
M. NG. Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung, Remaja Karya, 1988).P. 48-49.
7
hubungan-hubungan. Dengan demikian dalam berpikir terjadi proses
abstraksi dan mencari hubungan-hubungan dari obyek yang sedang
dipikirkan untuk mencapai suatu tujuan.
8
unsur-unsur kemampuan mengamati, mengerti, memahami dan
menerapkan pengetahuan, menganalisa, mengevaluasi, menemukan
hubungan-hubungan, membuat keputusan dan menunujukkan alasan-
alasan serta berbahasa dan belajar.
10
B., Joyce , M. Weil., Model of Teaching, (Boston-London, Allyn and Bacon, 1992). P.7.
9
berusia sekitar 9-10 tahun, dan (6) konservasi volume pada saat anak
berusia sekitar 11 atau 12 tahun ke atas.11.
Secara umum, prinsip konservasi dapat dinyatakan bahwa selama
suatu obyek atau peristiwa tidak ditambah atau dikurangi, maka
karakteristik-karakteristik tertentu dari obyek atau peristiwa (misalnya
panjang, kuantitas, massa, berat, luas dan vulume) tidak berubah (“tetap
sama”), meskipun pada obyek atau peristiwa itu telah dilakukan
transformasi-transformasi.
Pertama, konservasi jumlah (sekitar 6- 7 tahun); bahwa selama
tidak ditambah atau dikurangi, maka jumlah obyek (unsur-unsur) di
dalam suatu kelompok tertentu adalah tetap meskipun bentuk, posisi dan
urutan susunannya telah diubah-ubah. Cara mengukurnya, kepada anak
diperlihatkan dua deretan (A dan B); A berisi 8 buah lingkaran berwarna
biru dan B berisi 8 buah lingkaran berwarna kuning. Kedua deretan ini
sama panjang, sehingga berkorespondensi satu-satu. Selanjutnya, salah
satu dari kedua deretan itu (misalnya, A) agak direnggangkan sehingga
deretannya lebih panjang dari deretan B. Kemudian anak ditanya,
“apakah jumlah lingkaran pada deretan A sama dengan jumlah lingkaran
pada deretan B?”
Kedua, Konservasi kuantitas atau substansi (sekitar 7-8 tahun);
bahwa selama suatu obyek tidak ditambah atau dikurangi, maka kuantitas
atau substansi dari obyek itu tidak berubah (tetap) meskipun telah
dilakukan taransformasi pada obyeknya. Cara mengukurnya, untuk
konservasi kuantitas atau substansi zat cair, kepada anak diberikan dua
buah gelas (A dan B) sama besardan berisi air sama banyak (sama tinggi).
11
J. Turner, Cognitive Development and Education; New Essential Psychology. (New York,Nethuen &
Co. Ltd., New York. 1984). P. 85.
10
Kemudian air dari salah satu gelas (misalnya B) dituangkan pada gelas
lain (C ) yang lebih besar dari A dan B. Selanjutnya, anak ditanya,
“apakah air dalam gelas A sama banyak dengan air di dalam gelas C?.
Sedangkan untuk konservasi kuantitas atau substansi zat padat,
anak diperhadapkan dengan dua buah bola plastisin (A dan B) yang sama
besar. Selanjutnya, salah satu dari kedua bola plastisin itu (misalnya A)
diubah bentuknya menjadi “sosis” atau dibagi menjadi beberapa bagian
sehingga bentuk dan ukurannya suadah berbeda. Kemudian anak ditanya,
“apakah plastisin yang ada dalam bola sama banyak dengan pastisin yang
ada dalam sosis itu?” atau “apakah palastisin yang ada dalam bola sama
banyak dengan plastisin yang ada dalam bagian-bagian itu ?”
Ketiga, Konservasi panjang (sekitar 7 – 8 tahun); bahwa selama
suatu garis atau obyek tidak ditambah atau dikurangi maka panjang obyek
itu akan tetap, meskipun bentuk dan posisinya telah diubah-ubah. Cara
mengukurnya, anak diperhadapkan dengan dua buah tongkat (A dan B)
yang sama panjang dan diletakkan saling sejajar sehingga ujung-ujungnya
bersesuaian. Selanjutnya, salah satu dari kedua tongkat itu (misalnya A)
ditarik ke samping dengan arahsejajar (atau horizontal) sehingga ujung-
ujungnya tidak lagi bersesuaian. Kemudian anak ditanya, “apakah tongkat
A dan B sama panjangnya ?”
Keempat, konservasi luas (sekitar 8-9 tahun); bahwa selama
suatu bangun geometri tidak ditambah atau dikurangi, maka total luas
yang ditutupinya adalah tetap, maskipun bentuk dan susunannya telah
diubah-ubah. Cara mengukurnya, kepada anak diperlihatkan dua lembar
kertas ( A dan B) dengan bentuk dan ukuran yang sama. Selanjutnya,
salah satunya (misalnya, lembaran A ) dilipat menjadi persegipanjang
11
atau segitiga sehingga membentuk ukuran yang berbeda dengan ukuran
kertas B. Kemudian anak ditanya, “apakah luas kertas A tetap sama
dengan luas kertas B?”
Kelima, Konservasi berat (sekitar 9 – 10 tahun); bahwa selama
sesuatu obyek tidak bertambah atau dikurangi, atau tidak dipindahkan
dari suatu tempat tertentu ketempat lain yang berbeda percepatan
gravitasinya, maka berat obyek itu akan tetap, meskipun bentuk dan
ukurannya telah diubah-ubah. Cara mengukurnya, kepada anak
diberikan dua buah bola plastisin (misalnya, A dan B) yang sama besar
dan beratnya. Selanjutnya, salah satu dari kedua baola itu (misalnya B)
diubah menjadi bentuk sosis atau dibagi menjadi beberapa bagian.
Kemudian anak itu ditanya, “apakah berat palstisin yang berbentuk nola
sama dengan berat pastisin yang berbentuk sosis?” atau “apakah berat
pastisin yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian itu sama dengan
berat plastisin yang berbentuk bola ?”
Keenam, Konservasi volume (skitar 11 tahun ke atas ); bahwa
selama suatu obyek tidak ditambah atau dikurangi, maka volumenya atau
ruang yang akan ditempatinya adalah tetap, meskipun bentuk dan posisi
obyeknya telah diubah-ubah. Cara mengukurnya, kepada anak
diberikan sebuah gelas ukur yang diisi air separuhnya dan sebuah bola
palstisin. Kemudian bola palstisin itu dimasukkan ke dalam air yang
berada dalam gelas ukur itu. Ternyata, air dalam gelas ukur itu naik
sebanyak 10 sekala. Kemudian bola palstisin itu diambil atau mengambil
bola plastisin yang seukuran dengan itu, lalu bentuknya diubah menjadi
sosis. Selanjutnya anak ditanya, “apakah palstisin yang berbentuk sosis
ini juga akan menaikkan air dalam gelas ukur itu sebesar 10 skala?” atau
12
“berapa skalakah air dalam gelas ukur itu akan naik jika plastisin yang
berbentuk sosis ini dimasukkan ke dalamnya?”.
Dari cara-cara pengukuran tersebut, umumnya muncul beberapa
tipe kemampuan dan cara berpikir logis anak sebagai berikut.
Pertama, kemampuan berpikir reversibel; dalam hal ini anak
memahami bahwa suatu obyek dapat dikembalikan ke keadaannya
semula, karena pada waktu itu dilakukan transformasi pada obyeknya
tidak ada sesuatu yang dikurangi atau ditambahkan.
Kedua, kemampuan berpikir konpensasi atau resiprokal; dalam
hal ini anak memahami bahwa sifat-sifat tertentu (misalnya, kuantitas dan
berat) dari suatu obyek adalah tetap walaupun sudah dilakukan
transformasi-transformasi pada obyek itu. Anak melakukan konpensasi-
konpensasi dalam membandingkan unsir perbedaan dari keadaan awal
dan akhir atau posisi dan tempat obyeknya untuk menemukan hubungan-
hubungan atau hal-hal yang menyebabkan perbedaan, serta
menyimpulkan bahwa ternyata yang berbeda hanyalah bentuk, posisi dan
ukuran obyeknya atau besar kecilnya wadah yang ditempati suatu obyek,
karena waktu dilakukan transformasi-transformasi pada obyek tiu tak ada
sesuatu yang dikurangi atau ditambahkan.
Ketiga, kemampuan berpikir identitas; dalam hal ini anak
memahami bahwa suatu obyek atau peristiwa atau sifat-sifat tertentu dari
suatu obeyk (misalnya, kuantitas dan berat) adalah tetap, apabila waktu
dilakukan transformasi-transformasi pada obyek itu tidak ada sesuatu
yang dikurangi atau ditambahkan.
13
Keempat, kemampuan berpikir analogi atau tautologi; anak
menurunkan kesimpulan secara logis atas dasar keserupaan dengan
pengalaman yang telah dilalui.
Kelima, kemampuan berpikir asosiatif atau kemampuan
berpikir kombinatorial; dalam hal ini anak memahami bahwa apabila
suatu obyek sudah dibagi menjadi beberapa bagian yang sama, maka
dapat dilakukan kombinasi dengan berbagai cara untuk memperoleh
kembali obyek semuala, asalkan waktu obyek itu dibagi menjadi
beberapa bagian yang sama tidak ada yang dikurangi atau ditambah.
Di samping itu, beberapa hal yang patut menjadi catatan penting
sehubungan denganm keterkaitan antara kemampuan berpikir anak dan
pentingnya masalah-masalah konservasi dikembangkan sebagai suatu
strategi pembelajaran konsep adalah seperti dikemukakan berikut ini.
Pertama, anak yang sedang berhadapan dengan tugas-tugas
konservasi menurut Piaget memungkinkan ia bertindak atau berinteraksi
langsung dengan obyek-obyek konkret. Menurut Pospoprojo & Gilarso,
bahwa pengetahuan manusia bermula dari pengalaman konkret, malelaui
fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang dapat dilihat. 12. Novak juga
berpendapat, bahwa pengalaman melalui benda-benda konkret
merupakan salah satu syarat penting bagi perkembaangan kognitif.13
Berdasarkan pendapat di atas jelaslah, bahwa pengalaman dengan
benda-benda konkret sangat diperlukan untuk memperkembangkan
struktur kognitif anaak. Proses pembelajaran di sekolah dasar akan sangat
berarti bagi anak-anak apaabila digunakan media-media konkret atau
12
W. Pospoprodjo, T. Gilarso, Logika Ilmu Menalaar, Dasar Berpikir logis, Kritis, Analitis, Dialektis,
Mandiri dan Tertib. (Bandung, Ramaja Karya, 1987).P.7.
13
J.D. Novak, A. Teheory of Education, (London, Cornell University Press 1979).p.120.
14
disertai dengan contoh-contoh yang konkret atau anak diberi kesempatan
berbuat dengan obyek-obyek konkret.
Kedua, merangsang anak-anak untuk melaakukan abstraksi empiris
dan reflektif, sehingga memungkinkan ia memperoleh pengetaahuan fisik
dan pengetahuan logiko-matematik. Bahkan tidak saja itu, anak juga
dituntut untuk menerapkan berbagai pengalaman atau pengetahuan yang
teah dimilikinya.
Ketiga, merangsang struktur kognitif anak atau mengaktifkan
sistem operasi intelektual anak untuk memahami transformasi-
transformasi. Kondisi ini sangat penting untuk membiasakan anak
berpikir kritis dan analitis. Namun dari kedua aspek ini yang lebih
penting adalah aspek operatif, karena berhubungan dengan transformasi
dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.14
Keempat, memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan self-
regulation. Hal ini akan memperkaya keterampilan mediasi dan strategi
kognitif anak. Dengan demikian ketarampilan mediasi dan strategi
kognitif sangat diperlukan dalam menyelesaikan tugas-tugas konservasi.
Keterampilan mediasi berperan terutama dalam hal anak mengatasi
konflik kognitif akibat adanya transformasi dan melakukan “self-
regulation”, sedangkan strategi kognitif berperan terutama dalam hal anak
menerapkan keterampilan-keterampilan intelektual yang telah dimilikinya
(aturan-aturan dan konsep-konsep). Namun, keduanya memiliki saham
bersama antara lain dalam hal anak mengingat pengalaman atau
pengetahuan sebelumnya dan berpikir.
14
Utari, S., Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan dengan
kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar-Mengajar, Disertasi (Bandung,
FPS IKIP Bandung, 1987) . P.46.
15
2. Hakikat Model Pembelajaran
15
Tuti S. dan Udin. S.W., Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran,(Ditjen. Dikti, UT, P2T UT,
1997). P. 78.
16
Op-cit, P.12.
16
Menutut Sri Anitah Wiryaman dan Noorhadi Th.
Pengoraganisasian materi pengajaran dengan pola tertentu akan
memberikan petunjuk kepada guru bagimana guru mengoragnisasikan
kegiatan belajar siswa , atau mengembangkan kegiatan belajar siswa
tersebut sesuai dengan materi pengajaran yang sudah dirumuskan.
Kemampuan guru dalam mengembangkan materi yang dipelajari siswa
akan menentukan ketepatan pemilihan model mengajar.17
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
model mengajar adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan melaksanakan aktivitas belajar
mengajar.Selain itu dapat pula diartikan suatu rencana atau pola yang
digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur metari pengajaran, dan
memberi prtunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran
ataupun setting lainnya.
b. Model Pecapaian Konsep
17
Sri Anitah Wiryaman dan Noorhadi Th., Strategi Belajar mengajar, (Depdiknas, UT, Pusat
penerbitan Universitas Terbuka, 2001). P.2-4 s.d. 2-5.
18
Tuti S. dan Udin. S.W., Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran,(Ditjen. Dikti, UT, P2T UT,
1997). P. 85.
17
menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut
warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Untuk mempelajari suatu
konsep anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu.
Dalam pada itu anak harus dapat mengadakan diskriminasi untuk
membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses
belajar konsep memakan waktu dan berlangsung berangsur-angsur.19
Model pembelajaran pencapaian konsep ini dapat diterapkan oleh
guru sesuai dengan prosedur penggunaannya. Joyce dan Well
mengemukakan, bahwa model pembelajaran pencapaian konsep memiliki
unsur-unsur sebagai berikut.20.
(a) Sintakmatik, yaitu tahap-tahap kegiatan dari model itu.
(b) Sistem sosial, ialah situasi atau suasana, dan norma yang berlaku
dalam model tersebut.
(c) Prinsip reaksi , ialah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana
seharusnya guru melihat dan memperlakukan para pelajar, termasuk
bagaimana seharusnya pengajar memberikan respon terhadap mereka.
Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya para pengajar
menggunakan aturan permainan yang berlaku pada model
pembelajaran yang diterapkan.
(d) Sistem pendukung ialah sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk
melaksanakan model pembelajaran tersebut.
(e) Dampak instruksional dan dampak pengiring . Dampak instruksional
ialah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan
para pelajar pada tujuan yang diharapkan, sedangkan dampak
19
S. Nasution., Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar Mengajar, (Bandung, Bina Aksara,
1982).p.138.
20
Op-cit, P.34.
18
pengiring, ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses
pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami
langsung oleh para pelajar tanpa pengarahan langsung dari pengajar.
Sintamatik
Model Pencapaian Konsep memiliki tiga fase kegiatan sebagai
berikut;
Fase Pertama : Penyajian data dan Identifikasi Konsep
1) Pengajar menyajikan contoh yang sudah diberi label,
2) Pebelajar membandingkan ciri-ciri dalam contoh positif dan
contoh negatif,
3) Pebelajar membuat dan mengetes hipotesis,
4) Pebelajar membuat definisi tentang konsep atas dasar ciri-ciri
utama/esensial.
Fase Kedua : Mengetes Pencapaian Konsep.
1) Pebelajar menidentifikasi tambahan contoh yang tidak diberi
label dengan menyatakan ya atau bukan,
2) Pengajar menegaskan hipotesis, nama konsep, dan menyatakan
kembali definisi konsep sesuai dengan ciri-ciri yang esensial.
Fase Ketiga: Menganalisis Strategi berpikir
1) Pebelajar mengungkapkan pemikirannya,
2) Pebelajar mendiskusikan hipotesis dan ciri-ciri konsep,
3) Pebelajar mendiskusikan tipe dan jumlah hipotesis.
19
Sistem Sosial
Model pembelajaran pencapaian konsep memiliki struktur yang
moderat. Pengajar melakukan pengendalian terhadap aktivitas, tetapi
dapat dikembangkan menjadi kegiatan dialog bebas dalam fase itu.
Interaksi antara pebelajar digalakkan oleh pengajar. Dengan
pengorganisasian kegiatan itu diharapkan pebelajar akan lebih dapat
memperhatikan inisiatifnya untuk melakukan proses induktif bersamaan
dengan bertambahnya pengalaman dalam melibatkan diri dalam kegiatan
belajar mengajar.
Prinsip-prinsip Pengelolaan/Reaksi
1) Berikan dukungan dengan menitikberatkan pada sifat hipotesis
dari diskusi-diskusi yang berlangsung,
2) Berikan bantuan kepada para pelajar dalam mempertimbangkan
hipotesis yang satudari yang lainnya,
3) Pusatkan perhatian para pelajar terhadap contoh-contoh yang
spesifik,
4) Berikan bantuan kepada para pelajar dalam mendiskusikan dan
menilai strategi berpikir yang mereka pakai.
Sistem Pendukung
Sarana pendukung yang diperlukan berupa bahan-bahan dan data yang terpilih
dan terorganisasi dalam bentuk uni-unit yang berfungsi memberikan contoh-contoh.
Bila para pebelajar sudah dapat berpikir semakin kompleks, mereka akan dapat
bertukar pikiran dan bekerjasama dalam membuat unit-unit data, seperti yang
dilakukan dalam fase dua pada saat mencari contoh-contoh lainnya.
Dampak Instruksional dan Pengiring
20
Gambaran tentang dampak instruksional dan pengiring dari model ini dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.21
Dampak Pengiring
Strategi Pembentukan
Konsep
Model
Pencapaian
Konsep Konsep-konsep yang
Spesifik
Gambar 1.
21
Op-cit, P.39.
22
Udin S.W.Konsep dan masalah Pengajaran Ilmu Sosial di Sekolah Menengah, (Jakarta,Ditjen Dikti,
P2LPTK, 1989) . p.15.
21
KEGIATAN LANGKAH POKOK KEGIATAN
PENGAJAR PEBELAJAR
Pengetesan Pencapaian
Konsep
Analisis Strategi
Berpikir
(Adaptasi, Udin:1984)
22
Ada hal penting sebagai karakteristik utama pada model
pembelajaran konvensional, di mana aktivitas pembelajarannya lebih
berpusat kepada guru (teacher centre ). Sedangkan model pembelajaran
yang modern aktivitas pembelajarannya lebih berpusat kepada anak
(child centre). Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sering-sering dikatakan
pendekatan pembelajaran yang modern, karena dapat membuat anak atau
siswa lebih aktif (learning activity). Selanjutnya ada pula istilah
Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) sebagai pendekatan pembelajaran
yang mengandung CBSA tinggi. Antara penerapan CBSA dan PKP
hendaknya saling keterkaitan.
Sebagai ciri-ciri dari model pembelajaran konvensional (PK) dapat
dijelaskan di bawah ini.23
a) Tujuan pembelajarannya tidak dirumuskan secara spesifik dalam
bentuk kelakuan yang dapat diamati dan diukur.
b) Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada kelas
keseluruhan tanpa memperhatikan murid-murid secara individual.
Pelajaran diberikan pada jam-jam tertentu menurut jadwal pelajaran
c) Dalam kegiatan instruksional bahan pelajaran kebanyakan
disampaikan dalam bentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis dan media
lain menurut pertimbangan guru.
d) Pengalaman belajar berorientasi pada kegiatan guru dengan
mengutamakan proses mengajar.
e) Partisipasi murid kebanyakan bersikap “pasif”, karena terutama harus
mendengarkan uraian guru.
f) Kecepatan belajar murid ditentukan oleh kecepatan guru mengajar.
23
Op-cit, p.209-211 .
23
g) Penguatan atau reinforcement biasanya baru diberikan setelah
diadakannya ulangan atau ujian. Itupun jika ulangan itu kemudian
dibicarakan.
h) Keberhasilan belajar kebanyakan dinilai oleh guru secara subyektif.
i) Penguasaan diharapkan hanya sebagian kecil saja akan menguasai
bahan pelajaran sepenuhnya, sebagian lagi akan menguasainya untuk
sebagian saja dan ada lagi yang akan gagal.
j) Peranan pengajar terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur
pengetahuan. Ialah sumber pengetahuan utama.
k) Siswa biasanya menempuh beberapa tes atau ulangan mengenai bahan
yang telah dipelajari dan berdasarkan beberapa angka itu ditentukan
angka rapornya untuk semester itu.
3. Gaya Kognitif
24
a. Pengertian Gaya Kognitif
Goldstein dan Blackman mengemukakan bahwa, gaya kognitif
menunjuk kepada karakteristik individu dalam usaha
mengorganisasikan lingkungan secara konseptual.24. Park juga
mengungkapkan, bahwa gaya kognitif merupakan karakteristik
individu dalam berpikir, merasakan, mengingat, memecahkan
masalah, dan membuat keputusan. Informasi yang tersusun baik,
rapi, dan sistematis lebih mudah diterima oleh individu tertentu.
Individu lain lebih mudah menerima informasi yang tersusun tidak
terlalu rapi dan tidak terlalu sistematis.25
Sebagai karekteristik perilaku, gaya kognitif berada lintas
kemampuan dan kepribadian serta dimanifestasikan pada beberapa
aktivitas dan media.26
24
Kenneth M. Goldstein and Sheldon. Blackman, Cognitive Style: five Approachs and Relevant
Research, (New York: John Wiley & Sons, 1978). P.2.
25
Ok-choon, Park, “Adaptive Instructional System,”Handbook of Research for Educational
Communications and Technology. Ed. David H. Jonassen (New York: Simon & Schuster Macmillan,
1996). P. 639.
26
Anne, Anastasi and Urbina, Susana, Psychological Testing. (Upper Saddle River: Prentice Hall.,
1997).p.444
2
27
. Yu-ping, Hsiao, “The Effects of Cognitive Styles and Learning Strategies in Hypermedia
Environment: /www. Edb. Utexas.ed/mmresearch/Students 99/Hsiao/Style.html, 2001. p. 1
25
berpikir, merasakan, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat
keputusan, berada lintas kemampuan dan kepribadian serta
dimanifestasikan pada beberapa aktivitas dan media, serta gaya kognitif
melibatkan variabel dengan satu dikotomi, seperti global-holistik dengan
terfokus-detail, field independent dengan field dependent, atau otak kiri
dan otak kanan.
26
secara mandiri memberi kesempatan kepada individu field independent
untuk bisa berhasil lebih baik.30
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan,
bahwa individu field independent memiliki kemampuan menganalisis
untuk memisahkan obyek dari lingkungannya, memiliki kemampuan
mengorganisasikan obyek-obyek, memiliki orientasi impersonal, memilih
profesi yang bersifat individual, mendifinisikan tujuan sendiri,
mengutamakan motivasi intrinsik dan penguatan internal.
27
Selanjutnya dapat pula disimak pendapat Brame dan Wickens,
bahwa tujuan belajar bagi individu yang memiliki gaya kognitif field
dependent diikuti apa adanya, sehingga diperlukan tujuan pembelajaran
yang tersusun dengan baik. Struktur materi pembelajaran juga cenderung
diikuti sesuai dengan yang disajikan, sehingga diperlukan materi
pembelajaran yang terstruktur dengan baik dan sistematis. Proses
pembelajaran serial lebih menguntungkan bagi individu field dependent.32
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan,
bahwa individu yang memiliki gaya kognitif field dependent cenderung
untuk berpikir global, cenderung menerima struktur yang sudah ada,
memiliki orientasi sosial, cenderung memilih profesi yang menekankan
pada keteraampilan sosial, cenderung mengikuti tujuan yang sudah ada,
cenderung bekerja dengan motivasi eksternal serta lebih tertarik pada
penguatan eksternal, cenderung baik hati, ramah, dan bijaksana, sehingga
lebih mampu menjalin hubungan interpersonal dan lebih mudah diterima
orang lain, orientasi sosial, kurangnya kemampuan kemampuan
menganalisis, serta kecenderungan untuk menerima informasi seperti
yang disajikan menjadikan individu field dependent terintegrasi dan
cenderung lebih holistik.
F. Kerangka Berpikir
32
R. Brame, and C.D. Wickens, “ Time sharing Revisited: Test of a Componential Model for
Assesment of Individual Differences,” Cognitive Styles and Distance
Education,”http://www:westgaedu/distance/liu 23 html, 2000) .p. 3.
28
Tindakan menentukan model pembelajaran didasarkan pada asumsi
bahwa hanya ada “model belajar” tertentu yang sesuai untuk ditangani
dengan model mengajar tertentu pula.
Model pembelajaran banyak sekali, tetapi tidak merupakan
keharusan untuk menggunakan kesemua model. Hal ini didasarkan pada
tujuan dan materi pembelajaran. Mengingat penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemampuan berpikir logis anak SD, maka proses pencapaian
kemampuan berpikir logis itu lebih tepat digunakan model pembelajaran
Pencapaian Konsep (Concept Attainment). Namun pembandingnya
adalah model pembelajaran Konvensional (conventional model), yang
selama ini cenderung digunakan oleh guru-guru dalam proses
pembelajaran dalam berbagai mata pelajaran tidak terkecuali pada mata
pelajaran IPA di SD.
Asumsi yang dianut oleh Model Pencapaian Konsep ini adalah,
setiap konsep memiliki empat elemen yaitu, nama, contoh atau
eksemplar, ciri-ciri (atribut) esensial dan tidak esensial, dan nilai dari ciri-
ciri tersebut. Belajar konsep memungkinkan terwujudnya kemampuan
berpikir logis pada manusia tidak terkecuali pada anak-anak SD, karena
kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang
dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Dengan menguasai
konsep manusia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep
itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya.
Untuk mempelajari suatu konsep anak harus mengalami berbagai situasi
dengan stimulus tertentu. Dalam pada itu anak harus dapat mengadakan
diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk
29
konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung
berangsur-angsur
Model Pencapaian Konsep memiliki tiga fase kegiatan sebagai
berikut; (1) penyajian data dan identifikasi konsep, (2) mengetes
pencapaian konsep, (3) menganalisis strategi berpikir. Bagaimana pula
dengan pembelajaran melalui Model Konvensional, tentu berbeda dalam
langkah dan proses pembelajarannya, secara teoritis model Konvensional
lebih banyak aktivitas pembelajarannya pada guru, sehingga kurang
mengembangkan kemampuan berpikir pada anak sebagaimana yang telah
dijelaskan pada kerangka teoritik di muka..
Apakah benar Model Pencapaian Konsep lebih unggul bila
dibandingkan dengan model Konvensional dalam mewujudkan
kemampuan berpikir logis pada anak SD? Diduga kemampuan berpikir
logis anak yang mengikuti pembelajaran dengan model Pencapaian
Konsep lebih tinggi daripada kemampuan anak yang mengikuti
pembelajaran dengan model Konvensional.
30
mendifinisikan tujuan sendiri, mengutamakan motivasi intrinsik dan
penguatan internal.
Adapun individu yang memiliki gaya kognitif field dependent
kecendrungannya adalah; berpikir global, menerima struktur yang sudah
ada, memiliki orientasi sosial, memilih profesi yang menekankan pada
keterampilan sosial, mengikuti tujuan yang sudah ada, bekerja dengan
motivasi eksternal serta lebih tertarik pada penguatan eksternal.
Berdasarkan perbedaan kecenderungan-kecenderungan antara gaya
kognitif field independent dan gaya kognitif field dependent tersebut,
maka diduga terdapat pula perbedaan kemampuan berpikir logis
antara anak SD yang memiliki gaya kognitif field independent dan gaya
kognitif field dependent dalam mata pelajaraan IPA.
31
Model pembelajaran pencapaian konsep memiliki struktur yang
moderat, karena Model pembelajaran ini memiliki sistem sosial Pengajar
melakukan pengendalian terhadap aktivitas, tetapi dapat dikembangkan
menjadi kegiatan dialog bebas dalam fase itu. Interaksi antara pebelajar
digalakkan oleh pengajar. Dengan pengorganisasian kegiatan itu
diharapkan pebelajar akan lebih dapat memperhatikan inisiatifnya untuk
melakukan proses induktif bersamaan dengan bertambahnya pengalaman
dalam melibatkan diri dalam kegiatan belajar mengajar.
Lain halnya bila individu yang memiliki gaya kognitif field
independent dihadapkan pada model pembelajaran yang Konvensional.
Campur tangan guru sangat besar. Model pembelajaran konvensional
memiliki ciri antara lain; (a) Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok,
kepada kelas keseluruhan tanpa memperhatikan murid-murid secara
individual; (b) Pelajaran diberikan pada jam-jam tertentu menurut jadwal
pelajaran yang ketat, (c) Dalam kegiatan instruksional bahan pelajaran
kebanyakan disampaikan dalam bentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis
dan media lain menurut pertimbangan guru, (d) Pengalaman belajar
berorientasi pada kegiatan guru dengan mengutamakan proses mengajar,
(e) Partisipasi murid kebanyakan bersikap “pasif”, karena terutama harus
mendengarkan uraian guru, (f) Kecepatan belajar murid ditentukan oleh
kecepatan guru mengajar.
Berdasarkan perbedaan karakteristik dari kedua model
pembelajaran di atas diduga bahwa murid yang memiliki gaya kognitif
field independent, kemampuan berpikir logis dalam mata pelajaran IPA
yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Pencapaian
32
Konsep lebih tinggi daripada kemampuan murid yang mengikuti model
pembelajaran Konvensional.
33
identifikasi konsep, (2) mengetes pencapaian konsep, (3) menganalisis
strategi berpikir, maka model ini tidak begitu diinginkan oleh individu
yang memiliki gaya field dependent. Dalam proses pembelajaran model
pencapaian Konsep mengutamakan anak agar dapat mengadakan
diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk
konsep itu. Oleh karena itu kreatifitas anak sangat dituntut.
Lain halnya dengan model pembelajaran Konvensional yang telah
diulas di muka bahwa kegiatan instruksional bahan pelajaran kebanyakan
disampaikan dalam bentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis dan media lain
menurut pertimbangan guru; pengalaman belajar berorientasi pada
kegiatan guru dengan mengutamakan proses mengajar; partisipasi murid
kebanyakan bersikap “pasif”, karena terutama harus mendengarkan
uraian guru; kecepatan belajar murid ditentukan oleh kecepatan guru
mengajar. Karakteristik model pembelajaran ini lebih cenderung
digunakan bagi anak yang memiliki gaya kognitif field dependent.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat diduga, bahwa
bagi anak yang memiliki gaya kognitif field dependent, kemampuan
berpikir logis dalam mata pelajaran IPA yang mengikuti pembelajaran
dengan menggunakan model Konvensional lebih tinggi daripada
kemampuan murid yang mengikuti model pembelajaran Pencapaian
Konsep.
34
pembelajaran yang menggunakan model Pencapaian Konsep lebih tinggi
daripada kemampuan berpikir logis murid yang mengikuti model
pembelajaran Konvensional. Sebaliknya bagi anak yang memiliki gaya
kognitif field dependent, kemampuan berpikir logis dalam mata pelajaran
IPA yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model
Konvensional lebih tinggi daripada kemampuan murid yang mengikuti
model pembelajaran Pencapaian Konsep.
Bertitik tolak dari kedua dugaan tersebut maka diduga pula
terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya kognitif
dalam pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir logis.
G. Hipotesis Penelitian
35
kemampuan murid yang mengikuti model pembelajaran Konvensional
dalam mata pelajaran IPA di SD.
Keempat, bagi murid yang memiliki gaya kognitif field dependent,
kemampuan berpikir logis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan model Konvensional lebih tinggi daripada kemampuan
murid yang mengikuti model pembelajaran Pencapaian Konsep dalam
mata pelajaran IPA di SD.
Kelima, terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya
kognitif anak dalam pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir logis
pada mata pelajaran IPA di SD.
H. Metodologi penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan
grup faktorial 2 X 2. Sebagai variabel terikat dalam penelitian ini adalah
kemampuan berpikir logis. Sedangkan variabel bebas pertama sebagai
perlakuan adalah model pembelajaran, yaitu model pembelajaran
Pencapaian Konsep sebagai eksperimen dan model pembelajaran
Konvensional sebagai kontrol. Variabel bebas kedua sebagai intervensi
adalah gaya kognitif, yang dibedakan menjadi gaya kognitif field
independent dan gaya kognitif dependent. Desain eksperimen penelitian
dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Gambar : 3
Pola eksperimen dengan Rancangan Grup Faktorial
36
Model Model Model
Pem- Pembelajaran Pembelajaran
belajaran Total
Pencapaian Konvesional
Konsep Baris
(A1) (A2)
Gaya Kognitif
Field
Independent
A1B1 A2B1
(B1)
Field Dependent
(B2) A1B2 A2B2
Total Kolom
3. Intrumen penelitian
33
I Made Candiasa, Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Kognitif Terhadap kemampuan
memperogram Komputer, dalam sinopsis Disertasi (Jakarta, program Pasca Sarjana UNJ, 2002). P.21.
38
Oleh karena itu akan dikembangkan suatu instrumen atau alat
pengumpulan data yang mengacu dan diadaptasi dari teori Piaget yang
berhubungan dengan kemampuan berpikir anak, baik berupa pedoman
wawancara yang dilengkapi dengan alat-alat serta bahan-bahan berupa
air, gelas ukur, timbangan dan pastisin, dan alat lainnya yang ada
hubungannya dengan pengukuran kemampuan berpikir logis anak.
Intrumen dan alat-alat yang digunakan untuk menjaring data yang
diperlukan dalam penelitian ini akan divalidasi melalui para pakar,
terutama para pembimbing disertasi, tidak menutup kemungkinan para
pakar selain pembimbing, agar instrumen yang digunakan mengandung
validitas dan reliabelitas yang tinggi dan teruji.
Dalam pengembangan instrumen penelitian, langkah-langkah yang
akan dilalui adalah sebagai berikut; (a) merumuskan definisi konseptual,
(b) merumuskan definisi operasional, (c) membuat kisi-kisi intrumen (tes
dan kuesioner), dan (d) ujicoba dan kalibrasi.
Data selanjutnya yang diperlukan dalam penelitian ini adalah gaya
kognitif murid SD diperoleh melalui intrumen Group Embedded Figure
Test (GEFT) seperti yang telah digunakan oleh para peneliti-peneliti
terdahulu.
39
Apabila hasil uji-coba menunjukkan adanya interaksi antara antara
model pembelajaran dengan gaya kognitif dalam pengaruhnya terhadap
kemampuan berpikir logis, maka diteruskan dengan uji Tukey. Hal ini
dilakukan untuk melihat efek interaksi atau efek sedarhana mana yang
lebih unggul.34
I. Hipotesis Statistik
1. H0 : A1 = A2 5. H0 : INT A X B = 0
H1 : A1 > A2 H1 : INT A x B 0
2. H0 : A1B1 = A2B1
H1 : A1B1 > A2B1
3. H0 : A1B1 = A2B2
H1 : A1B1 > A2B2
4. H0 : A1B2 = A2B2
H1 A 1B2 < A2B2
DAFTAR PUSTAKA
40
Candiasa, Made, I., Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Kognitif
Terhadap kemampuan memperogram Komputer, dalam sinopsis
Disertasi, Jakarta: program Pasca Sarjana UNJ, 2002.
41
Nickerson, R.E., The Teaching of Thinking, Lawrenc, New York,
Laurence Elbaum 1985.
42
Utari, Sumarno., Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika
Siswa SMA dikaitkan dengan kemampuan Penalaran Logik
Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar-Mengajar, Disertasi,
Bandung: FPS IKIP Bandung, 1987.
43
Untuk merealisasikan GBHN di atas, perlu adanya upaya. Hal ini sejalan
dengan pendapat mendiknas (2002),“upaya utama yang harus kita tempuh ialah
pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan”.
Perguruan Tinggi (PT) adalah salah satu sub-sistem pendidikan nasional yang
juga merupakan ujung tombak bagi penyiapan sumberdaya manusia (SDM) yang
handal. Oleh karena itu PT perlu membenahi diri dalam berbagai komponen. Salah
satu komponen yang sangat penting adalah kurikulum.
Dewasa ini sering terdengar isu di tengah masyarakat konsumen bahwa
lulusan PT tidak siap pakai. Apa yang dijarkan kepada mahasiswa di bangku kuliah
belum memperlihatkan aspek relevansi dengan kebutuhan masyarkat dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat pemakai baik sektor formal (pemerintah) dan
informal (swasta) belum merasa puas terhadap mutu lulusan perguruan tinggi, apalagi
dihadapkan pada keahlian praktis dalam berbagai sektor pekerjaan.
Dunia perguruan tinggi dewasa ini selalu berupaya untuk meminimalkan isu
yang berkembang di masyarakat. Pihak PT memunculkan dan menawarkan berbagai
program guna memberikan pelayanan yang baik kepada para mahasiswanya agar
lulusannya berkualitas dan dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan
di mana mereka berada.
Inovasi kurikulum perlu dilakukan dalam rangka menemukan relevansi,
efektifitas dan efesiensi, dan peningkatan kualitas untuk mewujudkan paradigma PT
antara lain akuntabilitas.
Di Universitas Bengkulu juga tidak ketinggalan dalam menyiapkan kurikulum
sebagai bekal hidup mahasasiswa di masa depan misalnya penambahan beberapa mata
kuliah sebagai mata kuliah muatan lokal wajib bagi mahasiswa UNIB untuk ditempuh
dalam masa proses belajar di Universitas Bengkulu
Diangkatnya masalah pokok penilitian ini dilatarbelakangi oleh fakta yang ada di
lingkungan Universitas Bengkulu (UNIB) saat ini. UNIB selain menerapkan
kurikulum Nasional (Kurnas) juga menerapkan kurikulum khusus yang merupakan
spesifikasi Universitas Bengkulu. Di lingkungan UNIB disebut dengan istilah
Kurikulum Wajib Universitas (KWU). Hal ini merupakan konsekuensi dari SK Rektor
UNIB Tahun 1997. KWU bermuatan 4 mata kuliah, yakni Kewirausahaan, Aplikasi
44
Bahasa Inggeris II, Aplikasi Komputer, dan Komunikasi. Beberapa Mata kuliah
tersebut sebagai muatan lokal yang memberi muatan lebih bagi alumnus UNIB guna
mewujudkan relevansi kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Fakta menunjukkan bahwa implementasi kurikulum KWU belum berjalan secara
optimal bahkan mengalami banyak kendala pada setiap Program Studi yang ada di
lingkungan UNIB. Salah satu contoh kelemahan dalam kurikulum pada ke empat
mata kuliah KWU adalah belum berbasis pada kompetensi dasar Kurikulum (Basic
Competency Based Curriculum).
Bila ditinjau dari sisi akademik maka hal yang perlu dilakukan oleh pihak
Universitas, Fakultas, Jurusan, dan Prodi adalah bagaimana agar mata kuliah dalam
KWU itu memiliki konsep kunci (key concepts) melalui seleksi materi esensial
(pokok bahasan esensial, konsep kunci, tema dan sub tema esensial). Materi esensial
tersebut dapat ditetapkan sebagai Standar Kemampuan Dasar yang harus dikuasai
mahasiswa tidak hanya dari segi teoritis tetapi juga praktek. Misalnya mengajarkan
kewirausahaan kepada mahasiswa bukanlah mengajak mareka berjualan barang-
barang dagangan yang tidak sesuai dengan bidang ilmunya. Tetapi bagaimana
menumbuhkembangkan sikap mental berwirausaha dalam memanfaatkan disiplin
ilmunya masing-masing.
Mengapa implementasi KWU di UNIB belum optimal ? Hal tersebut disebabkan
belum adanya pengembangan model implementasi kurikulum yang jelas untuk dapat
dipedomani oleh pihak fakultas, jurusan, dan program studi terutama oleh para dosen
yang mengasuh mata kuliah KWU tersebut.
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang menjadi fokus penelitian ini adalah “Bagaimanakah
Pengembangan Model yang efektif bagi Implementasi Kurikulum Wajib Un-
iversitas (KWU)yang berbasis kompetensi di Lingkungan Universitas Bengkulu ?”
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a)Tujuan
45
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah menentukan
Pengembangan Model yang efektif bagi Implementasi Kurikulum KWU di
lingkungan Universitas Bengkulu.
b) Kegunaan
Manfaat yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini, antara lain; (a) Dari segi
teoritis, temuan dari penelitian ini merupakan masukan bagi penyusunan konsep
pengembangan model implementasi kurikulum wajib universitas (KWU) pada
Universitas Bengkulu sehingga memperkaya konsep model atau system yang ada saat
ini di Universitas Bengkulu. (b) Dari segi praktis, menyajikan informasi atau data
bagi pengembangan model implemetasi kurikulum KWU khususnya di Universitas
Bengkulu.
D. Tinjauan Pustaka
Suparman, dkk. (2001) berpendapat bahwa “Tujuan pendidikan pada umum-
nya adalah menyediakan berbagai program yang memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, keyakinan dan nilai-nilai
yang akan memungkinkan merekia menciptakan kehidupan yang produktif bagi diri
mereka sendiri dan bagi orang lain”.
Selanjutnya dapat pula disimak pendapat Philip Schlechty (1990), “Institusi
pendidikan harus mulai berubah fokus, yaitu agar mampu membuat mahasiswa dapat
bersaing di komunitas dunia yang berbasiskan informasi, yang sekarang sudah mulai
kelihatan bentuknya. Dalam era informasi ini orang bekerja dengan mengandalkan
pengetahuan bukan lagi sekadar mengandal fisik saja. Mereka harus mampu mencari,
memilah dan mengolah informasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Menyimak apa yang dikemukan oleh para ahli di atas mengandung
konsekuensi bagi intitusi pendidikan tidak terkecuali di perguruan tinggi bahwa PT
harus merancang kurikulum untuk mmemberi keterampilan yang mengacu pada
keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan (life skill) untuk masa depan pada
mahasiswa sebagi alumnus pergutuan tinggi tersebut.
Tidak dapat dihindari bahwa perlu penambahan mata kuliah- mata kuliah yang
bermuatan kompetensi bagi mahasiswa. Draper Kaufman (1976) menawarkan enam
46
area kompetensi (Suparman, dkk., 2001) yaitu; a) mampu mendapatkan akses ke
informasi; b) mampu berpikir jernih; c) mampu berkomunikasi (lisan dan tertulis)
secara efektif; d) memahami pentingnya lingkungan sehat bagi kehidupan manusia; e)
memahami dinamika individu masyarakat; serta f) memiliki kompetensi pribadi yang
tepat untuk bidang yang diminati dan ditekuni.
Secara bertahap enam area kompetensi itu sangat perlu ditanamkan di dalam
jiwa mahasiswa agar mereka dapat memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi dalam kehidupan.
Keberhasilan suatu upaya pendidikan tidak terlepas dari keterpaduan
komponen yang ada dalam kerangka system pendidikan itu sendiri. Salah satu
komponen yang dimaksud adalah “kurikulum”
Kurikulum itu sendiri adalah benda mati, maka gurulah yang membuat iia
hidup, oleh karena itu para pengajar diharapkan memiliki kemampuan dalam
membina dan mengembangkan kurikulum tidak terkecuali di PT. Hal ini menuntut
agar pihak pelaksana pendidikan tinggi lebih aktif dan kreatif.
Pembinaan dan pengembangan kurikulum secara desentralisasi merupakan
usaha peningkatan relevansi pendidikan dengan perkembangan teknologi, salah satu
langkah yang ditempuh adalah memantapkan pelaksanaan kurikulum muatan lokal.
Rektor Universitas Bengkulu (UNIB) menetapkan suatu kebijakan bahwa ada
penambahan 4 mata kuliah sebagai kurikulum muatan lokal yang wajib diikuti oleh
setiap mahasiswa UNIB, yakni; mata kuliah Kewirausahaan, Komputer, Bahasa
Inggeris, dan mata kuliah Komunikasi).
Implementasi kurikulum muatan lokal ini mengandung konsekuensi bagi bagi
para pengajarnya. Bagaimana mengajarkankan mata kuliah-mata kuliah tersebut
berbasis pada komptensi sehingga mahasiswa memiliki kompetensi dasar setelah
menempuh mata kuliah-mata kuliah tersebut. Mereka bukan dihadapkan pada
transfer of knowledge belaka tetapi juga sampai kepada kemampuan aplikasi praktis
adalam kehidupannya sebagai dampak pengiring.
Dalam proses pembelajaraan ke empat mata kuliah muatan lokal wajib
universitas tersebut diduga banyak kendala sehingga memunculkab beberapa
47
pertanyaan, apakah dosen telah memperhatikan asas filosofis, asas psikologis, asas
sosilogis, dan asas organisatoris dalam mata kuliah-mata kuliah tersebut.
Keempat asas di atas merupakan hal yang sangat penting sebagai dasar
pengembangan system pengajaraan di kelas yang meliputi; perumusan
tujuan, penetapan bahan atau materi pelajaran, penentuan metode,
penentuan alat dan media, dan system evaluasainya.
Implementasi kurikulum dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
digambarkan oleh Collin J. Marsh (1980) dalam sebuah paradigma, Marsh
melukiskan adanya tiga unsur penting dalam sebuah proses kurikulum. Ketiga unsur
tersebut menurut Marsh terdiri atas; Frames of Reference, Implementation Sources,
dan Social System Factors.
Frames of Reference, merupakan kerangka kerja yang menjadi orientasi utama
dalam pengembangan kurikulum yang unsur-unsurnya meliputi : interaksi sosial,
memproses informasi, pengembangan personal, dan modifikasi prilaku.
Implementation Sources,merupakan sumber -sumber yang dapat memberikan
umpan balik (feedback) sehingga turut menentukan keberhasilan implementasi.
Sumber-sumber inplementasi ada kalanya berasal dari internal participants seperti
pimpinan lembaga pendidikan, sejawat tenaga pengajar, dan siswa. Selain itu dapat
pula berasal dari external participants seperti ; penilik sekolah, pengurus BP3,
pengurus yayasan, orang tua siswa, dan lain-lain.
Social System Factors adalah faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
implementasi. Marsh (1988) mengemukakan " guru harus benar-benar
memperhatikan faktor-faktor tersebut selama berlangsungnya fase implementasi".
Selanjutnya dapat pula disimak pendapat Nana Syaodih Sukmadinata (1988)
mengemukkakan :"bahwa keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum sangat
dipengaruhi oleh kondisi dan aktivitas guru, siswa, para pelaksana kurikulum lainnya;
kondisi lingkungan fisik, sosial budaya, kondisi kelengkapan sarana dan prasarana
baik di sekolah maupun dalam keluarga.
Dengan demikian semakin jelas bahwa dalam implementasi suatu kurikulum
lembaga pendidikan banyak sekali faktor yang menpengaruhinya baik internal
maupun eksternal lembaga pendidikan itu sendiri. Rendahnya mutu pendidikan tidak
48
dapat dibebankan pada pihak lembaga pendidikan saja, tetapi masih banyak elemen
penting lainnya yang harus ikut bertanggung jawab terhadap rendahnya mutu
pengajaran khususnya dan pendidikan pada umumnya.
Implementasi kurikulum muatan lokal wajib universitas bagi mahasiswa
UNIB ini belum memperlihatkan hasil yang optimal. Sistem perkuliahan masih
berjalan secara tradisional, di mana peran dosen sangat besar. Oleh karena itu perlu
ada pembaharuan model dalam pembelajarannya. Penulis menawarkan model
mengajar pertemuan kelas (Clasroom meeting) sebagai inovasi dari model tradional.
Model tersebut dapat divisualisasikan pada Gambar 1 di bawah ini.
KEGIATAN MODEL
DOSEN MENGAJAR TRADISIONAL
MAHA KEGIATAN
SISWA BELAJAR
PEMECAHAN MASALAH
MELALUI PENERAPAN
MODEL PERTEMUAN KELAS
(CLASSROOM MEETING)
49
Gambar 1 : Visualisasi Implementasi Kurikulum Wajib Univeritas di UNIB
E. Metodologi Penelitian
a. Desain Penelitian
50
b. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua mahasiswa Universitas Bengkulu (9000
orang) yang tersebar pada 5 fakultas (FKIP, Fakultas pertanian, Fakultas Hukum,
51
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ekonomi) terdiri atas 7 Jurusan dan 28
program studi.
Sampel penelitian ini ditetapkan berdasarkan porposive sampling. Masing-masing
Fakultas akan diambil 1 program studi, masing-masing prodi terdiri atas 40 orang.
Dengan demikian jumlah mahasiswa yang menjadi sampel penelitian sebanyak 200
orang sebagai peserta uji coba model implementasi kurikulum wajib Universitas
(KWU) di lingkungan Universitas Bengkulu.
d. Analisis Data.
Data penelitian yang dikumpulkan pada penelitian ini bersifat kuantitatif dan
kualitataif. Data kuantitatif akan dianalisis dengan statistik sederhana seperti
persentase, Uji-t dan varians, serta teknik korelasi dan regresi. Analisis dilakukan
dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 9.01. Sedangkan data kualitatif akan
dianalisis melalui langkah-langkah reduksi data, display data, verifikasi dan
kesimpulan.
F. Daftar Pustaka
52
-------- 1988a. Pedoman Penerapan Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta: Balitbang
Dikbud.
Hamid Said Hasan.1988. Kurikulum Nasional dan Muatan Lokal. Makalah Dalam
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia di Bandung tanggal 19 sampai
26 Juli.
Johanes Sapri dan Turdjai. 1994. Studi Eksplorasi Pelaksanaan Muatan Lokal
Kurikulum Sekolah Dasar di Propinsi Bengkulu. Jurnal Ilmiah Triadik.
ISSN. 8053-8301. Nomor 2 Tahun I, September 1996. Bengkulu: FKIP
UNIB.
Nana Sudjana, dan R. Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung:
Penerbit Sinat baru.
--------, 1982. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bina
Aksara.
53
--------, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Semarak. 5 Maret 1996. Seminar Regional dan Rapat Kerja Perguruan Tinggi Negeri
di Universitas Bengkulu.
Siagian, Salim & Asfani. 1995. Kewiusahaan Indonesia dengan semangat 17-8-45.
Jakarta: Puslatkop dan PK Depkop dan Pembinaan Pengusaha Kecil
bekerjasama dengan PT Kloang Klede Jayta Putra Timur.
Sutoto, dan Luna. A. 1993. Buku Acuan Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Dasar.
Bengkulu: Kanwil Depdikbud.
Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development: Theory and Practice, Harcout Brace
And Woor Inc. New York. New York.
Tyler, Ralph W. 1970. Basic Prinsiples of Curriculum and Instruction, The University
of Chicago Press. Chicago London.
Wachidi, hadiwinarto, dan Johanes Sapri. 1994. Penerapan Muatan lokal oleh Guru
SD Propinsi Bengkulu. Jurnal Ilmu pendidikan ISPI. Jilid 2 Nomor 3
Agustus 1995. ISSN; 0215-9643. Jakarta.
Zais dan Robert S. 1976. Curriculum and Fundation, New York Harper and Row,
Publisher, New York.
54
RENCANA PENELITIAN
Oleh
Johanes Sapri
NIP. 131 477132
55
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2002
A. RUMUSAN MASALAH
56
Kurikulum Wajib Universitas (KWU) di Lingkungan Universitas
Bengkulu.
b) Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini, antara lain;
(a)Dari segi teoritis, temuan dari penelitian ini merupakan masukan
bagi penyusunan konsep pengembangan model implementasi ku-
rikulum wajib universitas (KWU) pada Universitas Bengkulu
sehingga memperkaya konsep model atau system yang ada saat ini di
Universitas Bengkulu. (b) Dari segi praktis, menyajikan informasi
atau data bagi pengembangan model implemetasi kurikulum KWU
khususnya di Universitas Bengkulu.
PARADIGMA PENELITIAN
KEGIATAN MODEL
DOSEN MENGAJAR TRADISIONAL
57
MAHA KEGIATAN
SISWA BELAJAR
PEMECAHAN MASALAH
MELALUI PENERAPAN
MODEL PERTEMUAN KELAS
(CLASSROOM MEETING)
MAKALAH
58
Oleh
59
memadai, di tambah lagi sering munculnya masalah internal sekolah, seperti antar
guru berkelahi di depan para peserta didiknya, kepala sekolah mencabuli siswanya
sendiri, ada pula guru yang tidak masuk mengajar tanpa alasan, belum lagi ada di
antara peserta didik yang semakin berani mengkonsumsi obat-obat terlarang (adiktif),
narkoba, sabu-sabu, ngelem, tawuran, memperkosa dan diperkosa, mencuri, kebut-
kebutan di jalan raya dan sebagainya.
Bila ditelusuri siapa yang bersalah dan dari mana sumber atau akar
permasalahannya ? Semua kita tidak mau mengakui kesalahan masing-masing.
Pemerintah, orang tua, masyarakat, guru, atau siswa itu sendiri tidak mau disalahkan.
Ataukah kesalahan itu bersumber dari perencanaan dan implementasi kurikulum ?
Bila kesalahan dibebankan pada implementasi kurikulum, maka perlu dilihat
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum. Implementasi kurikulum
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti digambarkan oleh Collin J. Marsh (1980)
dalam sebuah paradigma, Marsh melukiskan adanya tiga unsur penting dalam
sebuah proses kurikulum. Ketiga unsur tersebut menurut marsh terdiri atas; Frames
of Reference, Implementation Sources, dan Social System Factors.
*) Disajikan dan dibahas pada Seminar ”Persiapan Umat Islam Menyongsong Era
Globalisasi Melalui Pendidikan”, diselenggarakan oleh Panitia Seminar Sehari
Imtaq dan Iptek Pondok Pesantren Al-Hasanah bekerjasama dengan Depag dan
Dinas Diknas Propinsi Bengkulu 21 Januari 2002
*) Dosen FKIP Universitas Bengkulu.
60
Social System Factors adalah faktor-faktor sosial yang mem-pengaruhi
implementasi. Marsh (1988) mengemukakan " guru harus benar-benar
memperhatikan faktor-faktor tersebut selama berlangsungnya fase implementasi".
Kemudian Nana Syodih Sukmadinata (1988) mengemukkakan : " bahwa
keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi oleh kondisi dan
aktivitas guru, siswa, para pelaksana kurikulum lainnya; kondisi lingkungan fisik,
sosaial budaya, kondisi kelengkapan sarana dan prasarana baik di sekolah maupun
dalam keluarga.
Dengan demikian semakin jelas bahwa dalam implementasi suatu kurikulum
lembaga pendidikan banyak sekali faktor yang menpengaruhinya baik internal
maupun eksternal lembaga pendidikan itu sendiri. Rendahnya mutu sekolah tidak
dapat dibebankan pada pihak sekolah saja, tetapi masih banyak elemen penting
lainnya yang harus ikut bertanggung jawab terhadap rendahnya mutu sekolah
khususnya dan mutu pendidikan pada umumnya.
61
pengetahuan (transfer of knowledge), memberi tugas-tugas dan memeriksanya, serta
memberi penilaian terhadap capaian prestasi belajar siswa.
Sebagai pendidik (to educate) fungsi guru tidak hanya menanam pengetahuan,
tetapi juga menanamkan kepribadian serta mengembangkan potensi ke arah
perkembangan secara optimal berdasarkan potensi yang ada pada peserta didik. Yang
dimaksud dengan pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. (Umar Tirtarahardja,1994 : 55).
Sebagai pengelola (to manage) , guru diharapkan dapat menciptakan iklim
belajar yang kondusif bagi peserta didik dengan manajemen kelas yang baik.
Manajemen kelas tidak hanya berupa pengaturan belajar, fasilitas fisik, dan rutinitas.
Tugas manajemen kelas adalah menyiapkan kondisi kelas dan sekolah agar tercipta
kenyamanan dan suasana belajar yang efektif. Oleh sebab karena itu, sekolah dan
kelas perlu dikelola secara baik pula. (Maman Rachman, 1999:114).
Yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana profil guru yang ideal
dalam mempersiapkan manusia utuh (populis, islami,dan berkualitas) ? yang
berfungsi sebagai subyek pembangunan Indonesia Baru dan Islami yang bernuansa
IMTQ dan IPTEK.
Al-Ghazali dalam buku “Madzahibu fit-Tarbawiyyah” yang ditulis Fathiyyah
Hasan Sulaiman alih bahasa oleh Herry Noer Ali (1986 : 49-54) berpendapat bahwa di
samping guru harus memiliki sifat-sifat umum, seperti berakal sempurna, berakhlak
luhur dan pantas diserahi amanat untuk mengajar anak, dia juga harus memiliki sifat-
sifat khusus yang berhubungan dengan tugas-tugas peranannya, yaitu;
1. Guru sebagai pengajar dan pembimbing
2. Guru sebagai pengkaji sejarah, khususnya sejarah pendidikan
3. Guru sebagai pembimbing kehidupan agamawi murid
4. Guru sebagai penuntun murid
5. Guru sebagai teladan
6. Guru sebagai yang memahami perbedaan individual
7. Guru sebagai orang yang mengenali pribadi murid.
8. Guru sebagai pemegang prinsip-prinsip dasar.
62
Bagaimana tuntutan kepada guru pada abad ini ? Identitas dunia maju
dewasa ini dan identitas abad ke 21 adalah penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi di semua lapangan kehidupan. Karena kehidupan masyarakat bangsa-
bangsa di dunia dewasa ini dan di masa depan makin bersifat saling ketergantungan
maka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh para guru tidak dapat
dihindari.
Perlu pula disadari bahwa kalau hanya bertumpu pada pengusaan IPTEK
belaka tanpa pemilikan IMTQ, maka ada kecendrungan para guru lebih berpikir,
berprilaku, dan bertindak individualistis. Perpaduan antara pemilikan IMTAQ dan
IPTEK tersebut diharapkan guru akan dapat menjalankan tugas profesinya dengan
aktif, kreatif, dan inovatif, dan islami.
Bila guru tidak antisipatif ke arah perkembangan dan kemajuan IPTEK masa
depan, maka guru akan ketinggalan dari perkembangan masyarakat yang begitu cepat.
Contoh kecil saja, ada di antara para guru yang belum bisa mengetik dengan
menggunakan komputer, sedangkan banyak di antara siswanya sudah terampilnya
menggunakan komputer dalam berbagai software.
Ada sebuah anekdot, seorang guru IPA memanggil salah seorang muridnya,
Ibu Guru : he….he…..he… Sukiyem kemari ! “tolong ketikkan surat pengajuan
kenaikkan pangkat Ibu ke IVa ini dengan komputer” (dengan
perasaan bangga supaya siswanya tahu sebentar lagi pangkat ibu
gurunya semakin tinggi, dengan maksud agar siswanya ini jangan
melecehkan beliau).
Ibu Guru : “Ibu belum bisa mengetik dengan komputer”. (dengan jujur berkata
kepada siswanya)
63
Berdasarkan anekdot di atas dapat disimpulkan bahwa seorang Ibu Guru IPA
sehari-harinya berkutat menjelaskan materi pembelajaran IPA kepada siswanya, tetapi
dia telah ketinggalan dari siswanya yang kemampuan belajar IPA rendah namun lebih
unggul dari gurunya dalam mengoperasikan komputer.
Dalam hal penyiapan guru ke depan tentu menjadi beban berat bagi Lembaga
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Untuk menghasikan guru yang
memiliki IMTQ dan IPTEK perlu merancang kurikulum yang seimbang antara mata-
mata pelajaran yang bernuansa IMTAQ dan IPTEK.
Penyiapan guru dapat melalui 2 cara; (1) pendidikan prajabatan (pre-service
education) dan (2) pendidikan dalam jabatan (in-service education). Hal ini dapat
dilakukan kerjasama antara Kanwil Depag, Dinas dan Diknas Propinsi dengan
Perguruan Tinggi sesuai dengan kebutuhan di era otonomi daerah saat ini.
C. Perencanaan Kurikulum
Agar kurikulum suatu lembaga pendidikan itu betul-betul dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan IMTAQ dan IPTEK berkualiatas tinggi, maka
terlebih dahulu perlu dirumuskan Visi, Misi, dan Tujuan Lembaga Pendidikan tersebut
sesuai dengan jenis dan jenjangnya. Dari Visi, Misi, dan Tujuan tersebut akan
diselaraskan dengan conten atau mata pelajaran atau “subject curriculum” baik mata
pelajaran normativ dengan karakter pembinaan nilai dan sikap yang menuntut
pembelajaran yang aktual dan kontektual, maupun mata pelajaran inti (core
subject) dengan karakter universal, adaftif, transferable, aplikatif,
meaningfull, frame of thinking, breakthrough concept, dan creativity and
innovativeness menuntut pembelajaran yang yang berbasis kompetensi.
Kedua jenis mata pelajaran pelajaran (normative dan core subject)
memerlukan evaluasi terpadu (akliyah, imaniyah, dan amaliyah) guna menghsilkan
manusia utuh (populis, islami, dan berkualitas yang berfungsi sebagai subyek
pembangunan Indonesia Baru islami . Bagaimana alur pikir dari kurikulum
pendidikan yang bernuansa IMTAQ dan IPTEK dapat diperhatikan pada diagram di
bawah ini.
64
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
BERNUANSA IMTAQ DAN IPTEK
65
perlu dilaksanakan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan mulai dari Pra-
sekolah, Pendidikan Dasar (6 tahun SD + 3 tahun di atasnya/SLTP), Pendidikan
Menengah (SLTA), dan Perguruan Tinggi (PT).
Khusus mengenai pendidikan dasar, dalam PP-RI No: 28 tahun 1990 tentang
Pendidikan Dasar. Pasal 3 dikemukakan rincian tujuan-tujuan pendidikan dasar (UU,
1992:79-80) sbb:
1) memperkuat dasar keimanan dan ketaqwaan
2) membiasakan untuk berprilaku yang baik
3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar
4) memelihara kesehatan jasmani dan rohani
5) memberikan kemampuan untuk belajar
6) membentuk kemampuan untuk belajar.
66
Ibnu Khaldun meletakkan ilmu keagamaan dan syar’iyyah pada urutan pertama
untuk dibekali kepada peserta didik ( ilmu al-Maqshudah bidzdzat, seperti al-
Quranul Karim, as-Sunnah, fiqhi, tafsir, hadist) dan bagaimana sebaiknya
kurikulum di sekolah-sekolah kita, apakah sudah seimbang porsi antara kurikulum
yang bernuansa IMTAQ dan IPTEK ?
a. Simpulan
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di muka dalam rangka penyiapan Guru
dan kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan Bernuansa IMTAQ dan IPTEK
antara lain sebagai berikut;
1. Penyiapan guru dapat dilakukan oleh PT/LPTK bekerja sama Depag dan
Depdiknas baik pusat maupun daerah berdasarkan kebutuhan daerah melalui
2 strategi; (1) pendidikan pra jabatan (pre-service education) dan (2)
pendidikan dalam jabatan (in-service education) dengan menyeimbangkan
antara muatan kurikulum yang bernuansa IMTAQ dan IPTEK.
2. Agar kurikulum suatu lembaga pendidikan itu betul-betul dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan IMTAQ dan IPTEK berkualiatas tinggi,
maka perlu dirumuskan Visi, Misi, dan Tujuan Lembaga Pendidikan tersebut
sesuai dengan jenis dan jenjangnya. Dari Visi, Misi, dan Tujuan tersebut akan
diselaraskan dengan conten atau mata pelajaran atau “subject curriculum”
baik mata pelajaran normativ maupun mata pelajaran inti (core subject).
b. Penutup
Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat disajikan melalui forum seminar
ini, tentu saja apa yang disampaikan melalui makalah sederhana ini belumlah
melahirkan suatu pemikiran yang spesifik. Mari kita diskusikan secara arif dan
67
bijaksana dan mengemukakan masukan-masukan yang konstruktif sehingga muncul
suatu konsep bersama yang selanjutnya dapat diimplementasikan di lapangan.
Mohon maaf atas segala kekurangannya dan kepada Allah saya mohon ampun
Johanes Sapri
SIFAT-SIFAT GURU
A. SIFAT-SIFAT UMUM
BERAKAL SEMPURNA
BERAKHLAK LUHUR DAN PANTAS DISERAHI AMANAT
UNTUK MENGAJAR DAN MENDIDIK PESERTA DIDIK
B. SIFAT-SIFAT KHUSUS
SIFAT-SIFAT KHUSUS YANG BERHUBUNGAN
DENGAN TUGAS-TUGAS PERANANNYA, YATU;
68
KHUSUSNYA SEJARAH PENDIDIKAN
GURU SEBAGAI PEMBIMBING KEHIDUPAN
AGAMAWI PESERTA DIDIK
GURU SEBAGAI PENUNTUN PESERTA DIDIK
GURU SEBAGAI TELADAN
GURU SEBAGAI YANG MEMAHAMI PERBEDAAN
INDIVIDUAL
GURU SEBAGAI ORANG YANG MENGENALI
PRIBADI PESERTA DIDIK
GURU SEBAGAI PEMEGANG PRINSIP-PRINSIP
DASAR.
AL-Ghazali dalam buku “Madzahibu fit-Tarbawiyyah” yang ditulis
Fathiyyah Hasan Sulaiman alih bahasa oleh Herry Noer Ali
(1986 : 49-54)
69
EVALUASI TERPADU (AKLIYAH,
IMANIYAH, DAN AMALIYAH)
70
MEMBIASAKAN UNTUK BERPRILAKU YANG
BAIK
MEMBERIKAN PENGETAHUAN DAN
KETERAMPILAN DASAR
MEMELIHARA KESEHATAN JASMANI DAN
ROHANI
MEMBERIKAN KEMAMPUAN UNTUK BELAJAR
MEMBENTUK KEMAMPUAN UNTUK BELAJAR.
Khaldun dalam buku yang ditulis oleh Fathiyyah Hasan Sulaiman yang
berjudul Bahtsun “fil-Madzhabit Tarbawiyyi Inda Ibnu Khaldun”, alih bahasa oleh
Herry Noer Ali (1987: 50), urutan ilmu sesuai dengan kepentingan peserta didik
adalah sebagai berikut:
1. Ilmu keagamaan dan Syar’iyyah, yaitu ilmu al-Maqshudah bidzdzat, seperti al-
Quranul Karim, as-Sunnah, fiqhi, tafsir, hadist
2. Ilmu ‘aqliyyah seperti fisika dan ketuhanan. Ini juga termasuk ilmu al-
Maqshudah bidzdzat.
3 Ilmu alat yang membantu ilmu syar‘iyyah, seperti ilmu lughat, ilmu, ilmu
nahwu, balaghah.
4. Ilmu yang membantu ilmu ‘aqliyyah (fisika dan ketuhanan), seperti mantiq.
71
Pengantar Singkat “ Disain
PENELITIAN KUALITATIF dan
KUANTITATATIF
72
Makalah
Disajikan dan dibahas dalam Kegiatan
Pelatihan Metode Penelitian Dosen-Dosen Muda
Diselenggarakan Oleh Lemlit Universitas Bengkulu
Tanggal 6 Maret 2002
Oleh
Drs. Johanes Sapri, M.Pd.
NIP. 131 477 132
A. PENDAHULUAN
73
sosiologi, psikologi, kedokteran, kebidanan, hukum, politik dan
sebagainya.
Awal munculnya metode penelitian kualitatif tentu saja mendapat
kecaman dari para ahli penggemar penelitian kuantitatif. Metode
kuantitatiflah yang dianggap memenuhi syarat dalam menyelidiki
berbagai gejala terutama dalam pengetahuan alam, dan selanjutnya diikuti
pula oleh bidang ilmu-ilmu sosial.
Metode kuantitatif menggunakan alat-alat atau instrumen untuk
mengukur gejala-gejala tertentu misalnya kecepatan suara, tingkat
kelembaban tanah, pertumbuhan tanaman, dan penyelidikan lainnya.
Begitu pula dalam ilmu sosial, peneliti ingin mengetahui sikap dan
perilaku manusia, komitmen terhadap berbagai aturan untuk masyarakat
tertentu, motivasi dan kemampuan berperestasi para siswa, karyawan
suatu instansi, dan sebagainya. Data yang dihasilkan berupa angka-angka
sebab alat ukur untuk mengetahui berbagai gejala sudah distandarkan
berupa angka-angka kuantitatif.
Angka-angka diolah diolah secara matematis dan sistematis.
Analisis data menggunakan rumus statistik yang disesuaikan dengan
variable penelitian, apakah itu akan dilihat keterhubungan antar variable,
ataukah perbandingan prestasi kerja antara satu kelompok sample dengan
kelompok lainnya terhadap suatu kegiatan. Hal yang sangat perlu
diperhatikan adalah data yang diperoleh dengan menggunakan instrumen
yang lebih teruji tingkat validitas dan reliabilitasnya.
*) Disajikan dan dibahas dalam Kegiatan Pelatihan Dosen-Dosen Muda
**) Staf Pengajar FKIP Universitas Bengkulu 1985 s.d. Sekaran
SIKAP DAN TINDAKAN
SEORANG PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS
74
MENGAKUI DAN MENGHARGAI POTENSI YANG TERDAPAT
PADA SETIAP ANGGOTA KELOMPOK
75
SIFAT-SIFAT PRIBADI DAN PROFESI
A. SIFAT PRIBADI
BERKETUHANAN
RENDAH HATI DAN SEDERHANA
SUKA MENOLONG
SABAR DAN STABIL EMOSI
PERCAYA PADA DIRI SENDIRI
BERGAIRAH DALAM PEKERJAAN BERINISIATIF DAN TEKUN
B. SIFAT PROFESI
PENDIDIKAN YANG LUAS
BERPENDIDIKAN DAN LATIHAN KHUSUS KEAHLIAN/
PROFESIONAL
76
APAKAH SAYA BENAR-BENAR DAPATTURUT MERASA
GEMBIRA, JIKA SEORANG YANG SAYA PIMPIN DAPAT
MENINGKATKAN SAMPAI MELAMPAUI SAYA ?
Kajian Utama
“PENZHALIMAN TERHADAP MAHASISWA”
Oleh: Drs. Johanes Sapri, M.Pd.
77
Pada Kajian Utama MADING terbitan pertama ini mengambil tema “Penzhaliman
Terhadap Mahasiswa”.
Apa yang tersurat dan tersirat pada firman Allah di atas menunjukkan bahwa sangat
penting bagi manusia yang beriman untuk selalu menegakkan kebenaran karena Allah, selain itu
juga diperintahkan oleh Allah untuk berlaku adil agar manusia yang beriman itu lebih dekat
kepada takwa.
Bila disimak lebih teliti lagi, tersirat pula bahwa berlaku adil terhadap sesama adalah
salah satu perangkat sekaligus ciri orang yang bertakwa kepada Allah SWT.
Dewasa ini, dapat diperhatikan fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat kita,
baik sekala nasional maupun regional. Sebagian pemimpin kita sudah tidak memperlihatkan
perilaku adil. Kolusi –Korupsi-Nepotisme (KKN) adalah sebagai perwujudan dari perilaku
ketidakadilan. Perilaku KKN ini tidak hanya terjadi dalam lingkup pemerintahan negara saja,
tetapi sudah merasuk sampai ke ruang kuliah Perguruan Tinggi (PT) sekalipun.
Rasulullah SAW telah menje-laskan dalam hadistnya bahwa ada 7 golongan manusia
yang mendapat syafa’at beliau di hari mahsyar nanti, di antaranya adalah “pemimpin yang adil”.
“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan-nya di
hari akherat nanti” (al-Hadist).
Orang tua pemimpin bagi keluargnya, Dia harus berlaku adil terhadap anggota keluarga
dan anak-anaknya. Pemimpin masyarakat, Dia harus berlaku adil terhadap masyarakat yang
dipimpinnya. Pimpinan Universitas, Fakultas, Jurusan, dan Prodi, mereka harus berlaku adil
terhadap bawahan atau stafnya. Siapa saja yang bersalah harus diberi sanksi sesuai dengan tingkat
kesalahannya. Begitu juga bila mereka akan menerima haknya berikanlah sesuai dengan apa yang
seharusnya mereka terima, jangan mereka dizhalimi.
Demikian halnya dengan Dosen. Dosen adalah pemimpin bagi para mahasiswa yang
diajarnya. Dosen adalah pelayan bagi mahasiswanya. Berilah layanan yang baik. Mahasiswa
adalah “pelanggan” di dunia PT. Dosen diharapkan adil dalam melayani pe-langgannya demikian
konsep “Total Quality management” (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT).
Perilaku keadilan Dosen dapat dilihat dalam hal pemberian nilai suatu mata kuliah.
Jangan sampai pertimbngan nilai berdasarkan “human relation” antara dosen dan mahasiswa.
Bila hal tersebut menjadi ukuran, maka berarti dosen telah bersikap zhalim terhadap mahasiswa
yang benar-benar berlian. Mungkinkah PT dapat mewujudkan “Quality ansurance” pada masa
mendatang ?
Sebagai kata akhir, marilah kita semua berlaku adil pada semua tingkat dan tanggung
jawab perkejaan kita masing-masing Allah SWT selalu mengawasi dan mengetahui semua
perbuatan atau pekerjaan kita.
Wallahu a’lam Bishawab
Pebruari 2002
78
79
80