Anda di halaman 1dari 195

KUMPULAN REVIEW

MAHASISWA PASCASARJANA IAI

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Keislaman


Dosen Pengampu : Dr. H. Sholihan, M. Ag.

PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2019

1
Daftar isi
1. Sampul................................................................................................................1
2. Daftar isi.............................................................................................................2
3. Dr. H. Sholihan, MA. Epistimologi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman
(Book Review
1)............................................................................................................4
4. Sholihan. Mohammad Arkoun Kritik Nalar Islam Mengkritik Ortodoksi
Membangun Islam Masa Depan (Book Review
2)...........................................15
5. Dr. H. Sholihan, M.Ag. Pengantar Filsafat (Mengenal Filsafat Melalui
Sejarah dan Bidang Kajiannya) (Book Review
3).........................................................28
6. Louay Safi. Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan
Metode Penelitian Islam dan Barat (Book Review
4).......................................34
7. Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Book
Review
5)..........................................................................................................45
8. Jujun S. Suriasumantri. Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu
(Book Review
6)...............................................................................................52
9. Zaenal Abidin Bagir. INTEGRASI ILMU DAN AGAMA: INTERPRETASI
DAN AKSI (Book Review
7)......................................................................................57
10. Nasim Butt. SAIN DAN MASYARAKAT ISLAM (Book Review
8)...................63
11. Drs. H. Mohammad Adib, MA. FILSAFAT ILMU: ONTOLOGOI,
EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI, DAN LOGIKA ILMU PENGETAHUAN
(Book Review
9)..........................................................................................................74
12. Mahdi Ghulsyani. Filsafat Sains Menurut Al-Quran (The Holy Quran and the
Sciences of Nature) (Book Review
10).............................................................80

2
13. C.A. Qadir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Philosophy and
Science in the Islamic World) (Book Review
11).............................................90
14. Drs. Rizal Muntasyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum. Filsafat Ilmu
(Book Review
12).............................................................................................96
15. Sholihan. Modernitas, Pos Modernitas dan agama (Book Review
13)..........102
16. Saeful Anwar. Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi
(Book Review
14)......................................................................................................108
17. Amin Abdullah. ISLAMIC STUDIES DI PERGURUAN TINGGI (Book
Review
15)...................................................................................................................114
18. M. Amin Abdullah, dkk. MENYATUKAN KEMBALI ILMU-ILMU AGAMA
DAN UMUM: “Upaya Menyatukan Epistemoligi Islam dan Umum” (Book
Review
16)......................................................................................................122
19. Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Book
Review
17)......................................................................................................134
20. Prof. A. Qodri Azizy. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keisalman (Book Review
18)...................................................................................................................143
21. Mulyadhi Kertanegara. Menyibak Tirai Kejahilan : Pengantar Epistemologi
Islam (Book Review 19).................................................................................149
22. Dr. Muhyar Fanani, M.Ag. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan (Book
Review
20)......................................................................................................154
23. Osman Bakar. Tauhid dan Sains; Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam (Book Review
21).................................................................................165
24. Ismail Raji’ al Faruqi. Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge:
General Principles and Workplan) (Book Review
22)...................................174

3
25. Seyyed Hossein Nasr. Sains dan Peradaban di dalam Islam. (Science and
Civilization in Islam) (Book Review
23).........................................................184

Book Riview 1

Dr. H. Sholihan, MA. Epistimologi Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman


[Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)] Cet. 1
(Semarang : Walisongo Press, 2011)

Oleh: Zalussy Debby Styana

Buku karangan Dr. H. Sholihan yang berjudul Epistimologi Ilmu-Ilmu Keislaman,


merupakan kajian tentang Epistimologi Islam, khususnya dalam kaitannya dengan
landasan Epistimologi bagi usaha Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Peradaban
modern sekarang ini berada dalam kondisi krisis sebagaimana dikatakan Sholihan,

4
beberapa masalah yang menandai krisisnya peradaban modern diantaranya adalah
tersisihkannya dimensi ilahiah dalam kehidupan manusia sebagai akibat sekularisasi,
adanya degedrasi nilai-nilai humanitas, alienasi manusia dan krisis lingkungan
sebagai akibat pengurasan dan pengrusakan sumber daya alam. Sehingga
terakumulasi sebagai krisis global, Karena masalah-masalah ini bersama dengan
masalah-masalah lain saling mempengaruhi (hal. 1).
Topik ini juga memiliki relevansi universal untuk pemahaman kita mengenai
peradaban modern. Berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara tentang
Ilmu Pengetahuan modern.1 Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Ilmu
Pengetahuan modernlah yang menjadi “tulang punggung” peradaban modern. Apabila
peradaban modern yang berada dalam keadaan krisis itu ditulangpunggungi oleh Ilmu
Pengetahuan modern, maka Ilmu Pengetahuan modern itu sendiri tidak lain adalah
perwujudan eksteral suatu epistimologi empirisme yang di pelopori oleh Francis
Bacon dan epistimologi rasionalisme yang dipelopori oleh Descarte, yang ciri
utamanya adalah dikotomi antara “fakta” dan “nilai”,serta antara “realitas objektif”
dan “Emosi subjektif”. Maka dari itu baik kalangan pemikir Barat maupun di
kalangan pemikir Muslim merasa sangat berkepentingan untuk mengkaji ulang secara
kritis terhadap Ilmu Pengetahuan moder, terutama yang berkaitan dengan landasan
filosofisnya, dan berusaha untuk menemukan paradigm Ilmu Pengetahuan alternative
yang diharapkan lebih membahagiakan umat manusia (hal. 2-3). tentu saja sumber
pokok dan utama Islam itu sendiri adalah Al-qur’an dan as-Sunnah (hal. 3).
Metodologi

Kandungan utama karya ini adalah bahwa kalangan pemikir Intelektual Barat
maupun di kalangan pemikir Intelektual Muslim Kontemporer merasa sangat
berkepentingan untuk mengkaji ulang secara kritis terhadap Ilmu Pengetahuan
modern yang berusaha untuk menemukan Paradigma Ilmu Pengetahuan alternative
yang diharapkan dapat lebih membahagiakan umat manusia.
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dikalangan intelektual muslim usaha itu dikenal
dengan “Humanisasi Ilmu-ilmu keislaman” dan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” 2 (hal.
1
Ilmu pengetahuan modern adalah model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh
para filsuf dan ilmuan Barat sejak abad ke 17, termasuk seluruh aplikasi praktisnya dalam wilayah
teknologi. Lihat pada Sholihan, Epistimologi Pengembangan Imu-ilmu Keislaman, (Semarang :
Walisongo Press, 2011), hal. 2.
2
Sayyed Hossein Nasr dapat disebut sebagai pemikir Muslim pertama yang menunjukkan
kemungkinan Islam sebagai alternatif sains modern. Pandangan Nasr ini telah dikemukakannya pada

5
2). Oleh karena itu dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan Islam, perumusan
epistimologi Islam merupakan hal yang tak terelakan. Dalam merumuskan
epistimologi Islam inilah, warisan intelektual Islam yang kaya menjadi sangat
berharga, yakni sebagai sumber informasi yang dapat digali yang sumber utamanya
langsung dari Al-quran dan as-Sunnah. (hal. 3). Tetapi Persoalan sistem epistimologi
ini menjadi faktor penting keterbelakangan dunia Islam, tidak lain disebabkan
kenyataan bahwa epistimologis adalah titik sentral dari setiap pandangan dunia,
sehingga jenis suatu masyarakat yang dibangun pun akan sangat dipengaruhi oleh
sistem epistimologinya (hal. 45).
Menurut Arkoun ada jarak sistem epistimologis antara nalar-skolastik yang
mengulang-ulang dan konservatif, yang masih berlanjut hingga kini, dengan nalar
Barat-modern yang kritis, inventif,dan preogesif. Sementara intelektual Muslim
Kontemporer memberikan kritik secara tajam terhadap sistem epistimologis umat
Islam. Khususnya yang tercermin dalam metodologi ilmu-ilmu keislaman, yang
dianggap kaku sehingga kurang responsif terhadap dan tuntutan zaman dan sekaligus
menawarkan metodologi ilmu-ilmu keislaman yang baru yang diharapkan dapat lebih
menjawab tantangan zaman (hal. 46). Inilah yang dimaksud oleh Sholihan dengan
“Epistimologi” pengembangan Ilmu pengetahuan modern, baik dari usaha
Humanisasi Ilmu-ilmu keislaman maupun Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Yang
memberi cahaya kepada umat manusia modern dalam menjawab berbagai tantangan
zaman masyarakat modern.
Kedua respon epistimologi intelektual Muslim kontemporer terhadap tantangan
modernitas sebagaimana dikemukakan baik humanisasi ilmu-ilmu keislaman maupun
islamisasi ilmu pengetahuan memang masih relative baru dalam wacana pemikiran
Islam. Meskipun menurut para penggagas itu ditujukan untuk menuju kepada
pembangunan perabadan Islam yang lebih baik, namun dalam perjalanan sampai
sekarang pun masih diliputi kontroversi (hal. 48).
Dalam memilih sumber data yang digunakan dalam penelitiannya, Sholihan
menerapkan uji sederhana, yakni: jika suatu pernyataan menarik banyak respons,
tahun 1967 dalam karyanya The Encounter Of Man and Nature. Namun gagasan yang lebih dikenal
dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” ini merebak dalam perbincangan intelektual muslim secara luas
adalah sejak Ismail al-Faruqi melontarkannya dalam The First Interntional Converence of Islamic
Thought and Islamization of Knowledge pada tahun 1982 di Islamabad, yang kemudian diikuti dengan
penerbitan bukunya dengan judul Islamization of Knowledge pada tahun yang sama. Lihat pada
Sholihan, Epistimologi Pengembangan Imu-ilmu Keislaman, (Semarang : Walisongo Press, 2011), hal.
2.

6
maka pernyataan itu penting; dan jika berlalu begitu saja tanpa diperhatikan, maka
pernyataan itu tidak penting. Sholihan sadar bahwa pentingnya suatu karya untuk
dikaji adalah berdasarkan karena kurang perhatiannya intelektual muslim terhadap
pernyataan yang butuh secara khusus untuk dikaji dan relative terhadap suatu
pernyataan. Itulah sebabnya, sumber-sumber data utama dalam studinya kebanyakan
berkenaan dengan pemikiran mengenai Epistimologi (hal. 4).
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data itu adalah menggali
dari karya-karya makalah penulis yang diterbitkan dalam bentuk buku maupun jurnal,
karena ada keterkaitan tema-tema yang penting dan beragam maka masih ditemukan
pengulangan bahasan tertentu di sana-sini tidak dapat dihindari. Guna membangun
konteks dan latar belakang tema-tema ini dalam bidang Epistimologi pengembangan
Ilmu-ilmu keIslaman, maka penulis menganalisis cara pandang modern terhadap topik
ini. Dengan kata lain Sholihan berusaha memetakan isu-isu paling menonjol,
Epistimologi, isu-isu yang menjadi pusat pembahasan Pengembangan Ilmu-Ilmu
keislaman, dan untuk menganalisis posisi-posisi utama yang dibangun terhadap isu-
isu tersebut oleh orang-orang Muslim modern.
Pendekatan ini menurut Sholihan, bahwa pendekatan berdasarkan topik dapat
mencerminkan cara masyarakat terdahulu dan masyarakat Muslim modern saat ini
dalam mendekati masalah epistimologi, dan secara akurat dapat mencerminkan
struktur kajian mereka. Dengan cara ini Sholihan bermaksud menggambarkan
pembahasan modern mengenai Epistimologi sebagai bagian dari pembicaraan yang
terus berlangsung di kalangan kaum intelektual Muslim kontemporer yang terpusat
pada pencarian bersama akan suatu visi tentang masyarakat yang setia kepada tradisi
dan relevan dengan situasi kontemporer (hal. 3-4).

I. EPISTIMOLOGI ISLAM : BELAJAR PADA PEMIKIRAN AL-


GHAZALI

Pemikiran epistimologi al-Ghazali adalah salah seorang Pemikir Islam Klasik


terbesar pada zamannya. Ketertarikan Sholihan untuk mengkaji pemikiran al-Ghazali
ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa al-Ghazali adalah filosof Muslim yang
banyak memberikan perhatian pada masalah epistimologi. Pemikiran Al-Ghazali 3
3
Harus dibedakan antara pemikiran al-Ghazali sendiri dengan Ghazaliisme, yang disebut
terakhir ini tidak lain adalah produk penafsiran terhadap pemikiran-pemikiran dari para eksponennya.
Lihat pada Sholihan. Epistimologi Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang : Walisongo Press,

7
mengenai tiga persoalan yakni Hakekat, Validitas dan Sumber pengetahuan
diharapkan dapat memberikan gambaran sekilas tentang epistimologi al-Ghazali.
Menurut sholihan, al-Ghazali adalah seorang pemikir yang skeptik – kritis. Yang
dimaksud dengan sikap skeptik kritisnya disini ialah sebagai pemikir yang menolak
filsafat dalam pandangan sejarah, sebagaimana yang dapat dilihat dalam karyanya
Tahafatul Al-Falasifah. Filsafat yang ditolak al-Ghazali sebenarnya adalah cabang
filsafat metafisika, sedangkan dalam bagian-bagian lain, khususnya dalam logika
formal tidak saja diterima, tetapi ia juga ikut mengembangkannya (hal. 40). Tetapi hal
itu dilakukan secara filosofis oleh al-Ghazali dengan kompetensi yang tidak dapat
dipersoalkan. Karena al-Ghozali adalah seorang tokoh filsuf yang menguasai disiplin
ilmu sedalam-dalamnya.
Namun semangat anti filsafat al-Ghazali ini tertangkap, sementara dalam
berpikir dan metodologinya yang skeptic-kritis menjadi terkesampingkan, terbukti
dalam catatan sejarah sebagai seorang figur al-Ghazali sepenuhnya terbalik dari apa
yang dilakukannya sendiri. Dan generasi Muslim yang datang setelahnya ini hanya
mengambil “Produk Jadi” pemikiran al-Ghazali, bukan pada metodologi
pemikirannya. Hal inilah yang menyebabkan berhentinya pemikiran dunia Islam,
yang pada gilirannya membawa kemunduran peradaban Islam. Dan ketika umat Islam
berusaha kembali membangun peradabannya kembali, yang tidak hanya menjadikan
Barat sebagai model, karena peradaban Barat itu sendiri sedang berada dalam kondisi
kritis, khususnya dengan hilangnya dimensi spiritual. Dan usaha ini cukup signifikan
dengan pemikiran epistimologi al-Ghazali (hal. 42). Penyelesaian yang ditawarkan
oleh al-Ghazali itu sedemikian hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam
dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Sementara ahli melukiskan, al-
Ghazali sedemikian komplitnya memberi penyelesaian masalah-masalah keagamaan
itu, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah, bahwa dia bagaikan telah menciptakan
sebuah kamar untuk ummat yang walaupun sangat nyaman, namun kemudian
mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual Islam, dari sinilah al-Ghazali
amat berjasa dalamm menstabilkan pemahaman ummat kepada agamanya. Berkat al-
Ghazali pula kekaxauan pemahaman keagamaan itu teratasi (hal. 27).

2011). Hal. 40.

8
II. HUMANISASI ILMU-ILMU KEISLAMAN DAN ISLAMISASI ILMU
PENGETAHUAN SEBAGAI GAGASAN PENGEMBANGAN ILMU DI
KALANGAN INTELEKTUAL MUSLIM KONTEMPORER

Islam telah melalui sejarah yang panjang sejak kemunculannya yakni lebih dari
empat belas abad. Sejarah Islam yang panjang itu dibagi dalam tiga periode besar,
pertama, Periode Klasik yang berlangsung tahun 650-1250 M, yang merupakan masa
kemajuan Islam, kedua, Periode Tengah yang berlangsung tahun 1250-1800 M, yang
merupakan masa kemunduran Islam, ketiga, Periode Modern yang berlangsung tahun
1800 M sampai dengan dewasa ini. Islam mulai melepaskan diri dari cengkeraman
Barat dan menjadi Negara-negara yang merdeka semenjak pecahnya Perang Dunia II
menjelang paroh abad ke 20. Akan tetapi, dalam banyak hal dunia Islam masih
tergantung kepada Barat. Dunia Islam masih terbelakang bila dibandingkan dengan
Dunia Barat. Menurut Arkoun terdapat dalam banyak bidang, diantaranya adalah
keterbelakangan system-sistem, lembaga-lembaga, sarana-sarana produksi, struktur,
dan interaksi sosial, praktek-praktek budaya dan peralatan-peralatan teknik. Salah satu
factor penting kalau bukan yang terpenting penyebabnya adalah bangunan dan system
epistimologis umat Islam yang memang tidak mendukung untuk maju dalam
mengejar ketertinggalannya dari Barat, bahwa Epistimologi adalah titik sentral dari
setiap pandangan dunia, sehingga jenis suatu masyarakat yang dibangun pun akan
sangat dipengaruhi oleh epistimologisnya (hal. 44-45).
Melihat kenyataan seperti itu, beberapa intelektual Muslim Kontemporer
melakukan respond dan kritik secara tajam terhadap system epistimologis umat Islam,
khususnya yang tercermin dalam metodologi ilmu-ilmu keislaman, yang dianggap
terlalu kaku sehingga kurang responsive terhadap tantangan zaman, dan sekaligus
menawarkan metodologi ilmu-ilmu keislaman yang baru yang merupakan hasil dari
dialognya ilmu-ilmu social dan humaniora yang muncul pada era modern, khusysnya
pada abad ke 19 dan sesudahnya, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, dan filsafat,
seperti yang dilakukan oleh Rahman, Arkoun, Hanafi, dan al-Jabiri inilah yang
disebut oleh Amin Abdullah dengan Humanisasi Ilmu-ilmu Keislaman (hal. 46).
Humanisasi Ilmu-ilmu Keislaman ini perlu dilakukan karena ilmu-ilmu keislaman
selama ini terlalu bersifat teosentris, atau menurut ungkapan Qodri Azizy,
“merupakan barang langit atau barang mati” yang tidak lagi applicable (bisa
diaplikasikan) ditengah-tengah masyarakat dan yang menggantung di awang-awang

9
karena tidak bisa tersentuh oleh pemikiran baru (hal. 50). Sementara sebagian dari
Intelektual Muslim kontemporer yang lain memberikan respon epistimologi dengan
melakukan sebuah gerakan yang dikenal dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa
peradaban modern dewasa ini sedang berada alam kondisi krisis sebagaimana telah di
singgung diatas (hal. 55). Yang diharapkan dapat lebih mampu menjawab tantangan
zaman, tantangan modernitas di satu sisi dan keterbelakangan umat Islam (hal. 50).

III. HUMANISASI ILMU-ILMU KEISLAMAN : PENGEMBANGAN ILMU


KALAM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU SEBAGAI
ILUSTRASI

Secara historis, Islam mempunyai tradisi keilmuan yang besar, tidak saja pada
Ilmu-ilmu keislaman itu sendiri, melainkan juga pada ilmu pengetahuan pada
umumnya. Berdasarkan kenyataan sejarah inilah, Wells dalam bukunya The Ountline
of History, sebagaimana dikutip oleh Koento Wibisono menyimpulkan, “Jika orang
Yunani adalah Bapak metode ilmuah, maka orang Muslim adalah Bapak angkatnya”.
Tradisi keilmuan yang besar ini kemudian memudar dengan terjadinya penjarahan
kota Baghdad. Yang saat itu merupakan pusat kebudayaan Islam, oleh bangsa Mongol
pada tahun 1258 (hal. 63-64). Usaha untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan
khususnya dalam bidang Ilmu keagamaan, di Indonesia diantaranya dilakukan di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sebagai pusat pendidikan dan kaijan Ilmu-ilmu
keislaman, IAIN tidak saja berusaha menghidupkan kembali tradisi keilmuan yang
telah dirintis para ulama terdahulu, melainkan juga berupaya mengembangkan sesuai
dengan masyarakat modern sekarang. Pengembangan ini perlu, agar nilai-nilai agama
tidak mengalami krisis relevansi dan aktualitasnya (hal. 65).
Menyadari akan luasnya ruang lingkup Ilmu Agama Islam yang terdiri dari
berbagai bidang, Sholihan tidak akan membahas secara keseluruhan, melainkan hanya
mengambil satu bidang saja sebagai studi kasus, yang dalam hal ini adalah Ilmu
Kalam. Agar dapat mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, maka makalah
tersebut disusun dalam sistematika penulisan4 (hal. 67). Berkaitan dengan
pengembangan ilmu kalam, sebagai salah satu ilmu tradisional dalam Islam, dari

4
Lihat pada Sholihan, Epistimologi Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang : Walisongo Press,
2011), hal. 67.

10
perspektif filsafat ilmu, perlu adanya pergeseran orientasi ontologis, yang dari semata-
mata “ke atas” menjadi “ke bumi” juga. Ini juga harus di ikuti dengan pendekatan
epistimologi dan aksiologi yang sesuai (hal. 98-99). Ilmu-ilmu keislaman perlu untuk
dikembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat modern, sehingga berbagai
persoalan-persoalan masyarakat yang senantiasa berkembang mendapat tawaran
pemecahan dengan visi ketuhanan yang jelas. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
yang mengkaji ilmu secara filsafati, meliputi ontology, epistimologi, dan aksiologi
ilmu dapat dijadikan sebagai mitra dialog bagi ilmu-ilmu Keislaman untuk
mengembangkan dirinya.

IV. ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN : ISLAMISASI PSIKOLOGI


SEBAGAI ILUSTRASI

Untuk mengetahui sifat dasar atau hakikat ilmu pengetahuan modern, kita perlu
meninjau landasan filosofisnya, yakni menyangkut landasan ontologis, epistimologi,
dan aksiologi (hal. 103). Islamisasi ilmu merupakan proyek peradaban yang besar.
Dalam proyek ini dibutuhkan kerja intelektual yang tidak tanggung-tanggung dan
sungguh-sungguh, baik dalam memformulasikan kerangka paradigma filosofik,
maupun lebih-lebih dalam operasionalisasi kongkrit pembentukannya (hal. 117).
Secara ontologis, apa yang ingin atau dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan modern
adalah realistas empiris. Realitas empiris adalah realitas yang dapat dialami lansgung
oleh manusia dengan panca inderanya. Secara epistimologi dalam hal cara untuk
mengetahui kebenaran adalah dengan apa yang disebut sebagai Metode Keilmuan.
Metode Keilmuan ini pada dasarnya adalah gabungan metode rasionalistik dan
empiristik atau metode deduktif dan induktif (hal. 103-104). Secara aksiologi, ilmu
pengetahuan modern telah banyak memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Ilmu
pengetahuan telah banyak mengubah dunia dengan memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang duka. Namun tidak selamanya ilmu
selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia, nyatanya tidak demikian,
karena di pihak lain ini juga bisa berakibat sebaliknya, yakni membawa kepada
penciptaan bom atom yang dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Ilmu
pengetahuan modern dengan teknologinya, disatu sisi telah memberikan manfaat yang
banyak, tetapi di sisi lain telah memberikan mudarat yang lebih banyak lagi (hal.
106).

11
Islamisasi ilmu sebenarnya adalah usaha untuk mencari dan menyediakan
sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan modern. Ini merupakan sebuah
persepsi dan tanggapan baru dari intelektual muslim kontemporer yang berbeda
dengan persepsi dan tanggapan intelektual muslim pada masa sebelumnya. Pada abad
ke 19 dan paruh abad ke 20, tanggapan intelektual muslim terhadap ilmu pengetahuan
modern secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok utama (hal. 108). Kelompok
pertama menanggapainya secara negatif, dengan menyatakan perlawanan dan
penolakan terhadap ilmu pengetahuan modern. Kelompok pertama ini adalah mereka
yang oleh kaum modernis disebut sebagai penganut pandangan dunia taqlid. Karena
banyak kaum konservatif dan tradisionalis agama yang menentang pengajaran Ilmu
Pengetahuan modern dengan alasan ketidaksesuaian yang besar antara pandangan
dunia ilmu dengan konsepsi tradisional mereka tentang alam semesta. Sementara itu
kelompok kedua adalah intelektual muslim seperti Jamaluddin al-Afghani yang
menanggapi ilmu pengetahuan modern secara secara positif. Yakni berusaha keras
untuk mempelajari dan menguasainya. Disini al-Afghani justru mengkritik para
sarjana agama atas sikap negative mereka terhadap pengetahuan modern (hal. 108). Ia
berpendapat bahwa tidak ada ketidaksesuaian antara ilmu pengetahuan dan Islam, jadi
seharusnya kaum Muslimin tidak menolaknya. al-Afghani juga mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan tidak Barat dan tidak Timur, tidak ada Islam dan non Islam tetapi
Universal. Karena tidak mempelajari ilmu pengetahuan modern akan menyebabkan
kerugian yang lebih besar bagi kaum muslimin (hal. 109).
Dengan Islamisasi Ilmu, terdapat perbedaan antara ilmu pengetahuan modern
dengan ilmu pengetahuan Islam. Perbedaan ini terutama berkenaan dengan landasan
filosofisnya (hal. 110). Dalam dimensi Epistimologi, metode keilmuan yang rasional-
empiristik meniadakan peran wahyu dan intuisi atau ilham sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Ini merupakan titik perbedaan filosofis ilmu pengetahuan modern
dengan ilmu pengetahuan Islam dalam dimensi Epistimolognya, sementara dalam
dimensi aksiologi, islam mengakui peran Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
membantu manusia memenuhi kebutuhan materialnya, namun peran ini harus
diwujudkan dalam kerangka etik. Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus
dilingat sebagai instrument untuk melayani tujuan-tujuan spiritual dan moral manusia.
Gagasan Islamisasi Ilmu ini mulai merebak dalam perbincangan di kalangan
intelektual Muslim, menurut al-Faruqi diperlukan Islamisasi Ilmu yang berprinsip
pada keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan,

12
serta kesatuan hidup. Dan ia juga menetapkan lima sasaran dari rencana kerja
Islamisasi Ilmu, yakni menguasai disiplin-disiplin modern, menguasai khazanah
Islam, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetaguab
modern, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam
dengan khazanah ilmu pengetahuan modern, dan mengarahkan pemikiran Islam
kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah (hal. 111-
112). Gagasan al-Faruqi disambut antusiasme tinggi dikalangan intelektual muslim,
tetapi ada juga yang menolak atau lebih tepatnya tidak sependapat, seperti Fahlur
Rahman yang berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri tidak ada yang salah.
Yang salah adalah penggunaannya. Sedangkan yang menyetujui dan mendukungnya
diantaranya adalah Naquib al-Atas, Sayyed Hossein Nasr, dan Zainuddin Sardar,
namun tidak menyetujui langkah-langkahnya. Sardar, sebagaimana disebutkan
Djamuluddin Ancok, menurtutnya Islamisasi Ilmu harus dimulai dengan membangun
Epistimologi Islam. Hanya dengan langkah seperti itu kita akan benar-benar
menghasilka system ilmu pengetahuan yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam
(hal. 112-113).
Demikianlah telah dikemukakan secara singkat mengenai ilmu pengetahuan
modern dan tanggapan intelektual Muslim Kontemporer terhadapnya yang berupa
Islamisasi ilmu. Harus dikui, sampai sekarang ini pada tingkat operasionalisasi
kongkrit pembentukan ilmu pengetahuan yang Islami masih belum banyak dilakukan,
bahkan masih banyak perdebatan pro dan kontra di dalamnya. Oleh karena itu, kalau
memang Islamisasi ilmu itu diyakini sebagai respons yang paling tepat terhadap Ilmu
pengetahuan modern yang dengannya umat Islam dapat mencapai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pada saat yang sama dapat mempertahankan
pandangan intelektual, moral, dan spiritual mereka, maka usaha untuk
mewujudkannya harus lebih ditingkatkan lagi.
Dialog yang intens dan terus menerus serta kerjasama yang sistematis dan
terstruktur perlu dilakukan oelh jajaran intelektual Muslim, baik dari kalangan ahli
agama, pemikir, maupun praktisi ilmu, Karena hal ini memang membutuhkan waktu
yang tidak singkat. Dengan demikian diharapkan usaha Islamisasi Ilmu akan berhasil.
Keberhasilan ini akan signifikan, bukan saja bagi penghidupan kembali tradisi
intelektual Islam, namun juga bagi perkembangan masa depan ilmu pengetahuan itu
sendiri dan bagi perabadan dunia, yang pada gilirannya akan lebih membahagiakan
umat manusia (hal. 117-118).

13
Catatan Kecil sebagai Penutup

Sebagai sebuah gagasan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, buku Sholihan


ini telah berhasil dengan baik menjelaskan dan memetakan Epistimologi
Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Dan juga menjelaskan bagaimana pemikiran
intelektual Barat dan pemikiran intelektual Muslim kontemporer, serta membahas
persoalan dan tantangan zaman yang muncul di kalangan kaum Muslim modern saat
ini, mengenai Epistimologi ilmu-ilmu keislaman dalam kaitannya dengan tantangan
modernitas yang melingkupinya. Secara garis besar Sholihan dalam bukunya
Epistimologi Pengembangan ilmu-ilmu keislaman membahas ke dalam empat tema
atau kelompok, diantaranya pertama, Epistimolog Islam, kedua Humanisasi Ilmu-
ilmu keislaman dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Gagasan Pengembangan
Ilmu Di Kalangan Intelektual Muslim Kontemporer, ketiga Humanisasi Ilmu-ilmu
keislaman: Pengembangan Ilmu Kalam Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Sebagai
Ilustrasi, keempat, Islamisasi Ilmu pengetahuan : Islamisasi Psikologi Sebagai
Ilustrasi, yang kesemuanya memperlihatkan saling keterkaitannya antara pemikiran
barat dan pemikiran Muslim kontemporer mengenai epistimologi dan pengembangan
ilmu keislaman.
Karya Sholihan ini jelas memberikan sumbangan yang besar bagi khazanah Ilmu
dalam bidang Epistimologi Islam, khususnya dalam kaitannya dengan landasan
epistimologi bagi usaha pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Keberhasilannya dalam
membukukan kumpulan dari setiap makalah-makalah hasil dari mengikuti pendidikan
pada progam S2 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan cuplikan hasil-hasil penelitian
penulis diharapkan dapat memberi manfaat bagi umat dan menjadi ladang amal
jariyah untuk penulis. Aamiin..

Wallahu a’lam bi ass-shawab.

14
KRITIK EPISTIMOLOGIS DALAM PEMIKIRAN ISLAM

Book Review 2

Sholihan. Mohammad Arkoun Kritik Nalar Islam

Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan (Semarang: Walisongo


Press, 2009).

Oleh: Atik Dina Nasikhah

15
(1800018024)

Buku karangan Sholihan , Mohammad Arkoun Kritik Nalar Islam mengkritik


Ortodoksi Membangun masa depan, merupakan kajian tentang kritik mohammad
Arkoun terhadap epistimologis yaitu penggabungan hasil berbagai ilmu pengetahuan
Barat yang mutakhir dengan pemikiran Islam yang dapat melahirkan suatu pemikiran
yang Islami yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi manusia muslim di
dunia Modern. Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 pebruari 1982 di Taurirt-
Mimoun, Kabila, ia adalah seorang ahli bahasa dan sejarawan, bukan hanya itu ia juga
terkenal sebagai pemikir islam yang terkemuka yang mempunyai cita-cita untuk
selalu berusaha memadukan berbagai cara berfikir, terutama semangat keagamaan
yang lebih terpelihara di kalangan massa penganut Islam dan sikap rasional secara
kritis yang lebih berkembang di dunia Barat (hal. 15).

Sebagai seorang ilmuwan Arkoun juga menulis dan menerbitkan buku-buku


yang tersebar luas dibeberapa jurnal Ilmiah terkemuka, namun diantara buku-bukunya
yang penting ialah Traite d’ethigue: tarduction francaise avec introduction et notes
du tahdhib al-Akhlaq de Miskawayh (Tulisan tentang etika: terjemah prancis dengan
pengantar dan catatan-catatan dari Tahdhib al –Akhlaq karya Miskawayh). Semua
buku yang ditulis Arkoun menggunakan bahasa prancis yang mempunyai ketertarikan
dan ciri khas Arkoun dalam menulis karya-karyanya . dari beberapa karya yang ditulis
oleh Arkoun sebagain besar memperhatikan persoalan dalam pemikiran Islam, yaitu
tentang masalah kemasyarakatan, pemahaman tentang kitab suci, etika, dan kaitan
islam dengan modernitas. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh Arkoun dengan
melalui karya-karyamya itu dijadikan sebagai suatu pemaduan dari unsur yang paling
mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang paling dalam pemikiran barat Modern,
dari kedua unsur tersebut yang ingin diambil oleh Arkon dari pemikiran Islamnya
yaitu semangat kegamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial
dalam masyarakat muslim, dan ingin menghilangkan aspek negatif yaitu kejumudan
dan ketertutupan yang dapat menghasilkan berbagai penyelewengan dan pembudakan
dalam bidang sosial politik, sedangkan yang diambil dari pemikiran barat yaitu
tentang rasioanlitas yang dapat dijadikan sebagai pemahaman dan pendalaman
terhadap agama yang dapat menjawab aspek negatif dari pemikiran islam. (hal 15-23).

Faktor yang Melatarbelakangi Pemikiran Mohammad Arkoun.

16
Dua faktor yang melatarbelakangi pemikiran Mohammad Arkoun yaitu:
pertama, kondisi objektif umat islam : Persoalan Epistimologi, dalam bidang ini
kondisi umat islam dibagi menjadi tiga tahapan yaitu periode kemunculan klasik yang
berangsung pada tahun 610-661, periode perkembangan klasik pada tahun 661-1258,
periode repitisi fragmantasi skolastik yang berlangsung pada tahun 1258-1800, dari
ketiga periode tersebut dapat dijelaskan bahwasanya pada periode klasik merupakan
zaman kemajuan bagi umat islam dengan berkembangnya serta memuncaknya ilmu
pengetahuan yang melahirkan ulama-ulama besar. Sedangkan pada masa pertengahan
atau periode perkembangan klasik umat islam mulai terpecah belah dalam bidang
politk sehingga menyebabkan kemunduruan bagi umat islam yaitu perbedaan antara
syi’ah dan sunni pintu ijtihad pun juga tertutup dikalangan umat islam. Sehingga
menjadikan umat islam yang berada dispanyol dipaksa untuk masuk Kristen dan
keluar dari spanyol.(hal. 24-26).

Periode modern yang berlangsung mulai tahun 1800 dan seterusnya


merupakan zaman kebangkitan umat islam, runtuhnya kerajaan islam di spanyol
membuat barat semakin ingin menyaingi islam yaitu dengan munculnya rivalitas yang
baru dan kemudian muncul imperialisme-kolonialisme dunia barat atas dunia islam
yang dijadikan sebagai komunitas sosial politik walaupun dunia islam dan dapat
melepaskan diri dari dunia barat dimulai sejak setelah perang dunia ke dua, namun
faktor tersebut menurut Arkoun di dalam dunia islam masih menjadi terbelakang hal
ini disebabkan karena keterbelakangan sistem-sistem, lembaga-lembaga, sarana-
sarana produksi struktur dan interaksi sosial, praktek-praktek budaya dan peralatan-
peralatan teknik, diantara faktor-faktor tersebut yaitu bangunan dan sistem
epistimologis yang tidak dapat dikejar karena ketertinggalan dari dunia barat.

Epistimologi menjadi titik sentral dari pandangan dunia yang menyebabkan


pembangunan masyarakat yang ingin dibangun dan juga sangat dipengaruhi oleh
sistem epistimologinya, dalam pandangan Arkoun ada jarak epistimologi antara nalar
islam-skolastik yang mengulang-ulang dan konservatif sehingga diperlukan adanya
mempersempit jarak epistimologis nalar islam skolastik barat-modern yaitu dengan
cara dialog ilmiah ini pun juga tidak mudah dilakukan dikarenakan adanya fenomena
yang terdapat di kalangan umat islam yaitu” taqdis al afka ad-diniyah (pensakralan
ilmu agama), untuk itu Arkoun mencoba untuk memeperkenalkan islamologi atau
kajian Ilmiah, walaupun Islamologi sudah dilakukan oleh barat dan dapat

17
menyelamatkan unsur penting dari khazanah pemikiran islam, namun tidak dapat
menjawab persoalan nyata yang dihadapi umat islam dewasa ini yang kemudian
Arkoun mengenalkan Islamologinya yaitu “islamologi terapan” suatu kajian tentang
berbagai masalah yang tidak terhindarkan akibat dari kemoderenan.(26-36).

Perkembangan Ilmu Pengetahuan Kontemporer Di Barat

Pemikiran Arkoun terkait dengan pemikiran keislaman sangat berbeda dengan


para islamolog barat, dikarenakan Arkoun memang menguasai ilmu-ilmu yang
berkembang di barat, sperti ilmu filsafat, humaniora, maupun ilmu-ilmu sosial
khususnya di Negara perancis, Arkoun berusaha menggabungan pemikiran barat dan
pemikiran islam dengan menggunakan pendekatan metodologi dari berbagai ilmu
pengetahuan barat kontemporer.(hal 37-38).

Dalam hal ini Arkoun berusaha menjadikan rujukan di antara pemikir-pemikir


barat kontemporer dari hasil pemikirannya dalam melakukan kajian-kajian tentang
islam, seperti Ferdinand de sausussure, ahli bahasa dari swiss; Roland Barthers, ahli
semiotika dari prancis;Northrope Frey, ilmuwan kesusasteraan dari Kanada;Jack
Good, antropolog dari Inggris dan Pierre Bourdieu antropolog dari prancis;serta
filsuf-filsuf prancis; Paul Ricoeur, Michel Foucault, dan Jacques Derrida.

Pada pemikiran Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss


menurutnya bahasa pada intinya terdiri atas sejumlah tanda yang tidak langsung
merujuk pada sekian banyak benda dalam kenyataan. Sausure juga berpendapat
tentang unsur material dari tanda yaitu “signifiant” (penanda atau yang
menandakan) dan untuk unsur mentalnya adalah “signifie” (pertanda atau yang
ditandakan) istilah bakunya sering dipakai dalam kebanyakan karya bahasa yaitu
semiotika, semiotika ini banyak dikembangkan dari beberapa ahi diantaranya Roland
Barthes yang mengembangkan semiotika ke dalam ruang dan bidang, Louis
Hjelmslev dan Algirdas Julien Greimas dengan aliran prancisnya yang terkenal antara
lain karena analisisnya tentang interaksi antara pemegang peran (subjek dan objek
tindakan, pengim dan penerima suatu pesan dan sebagainya) sedangakan kajian
Arkoun Sendriri mengenasi semiotika mempunyai arti studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya, semiotika sendiri mempunyai manfaat terhadap Al-
Qur’an yang memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai suatu sistem
interen.(hal 38-41).

18
Perkembangan baru pemikiran di barat yang juga memberikan pengaruh
kepada Arkoun yaitu visi tentang mitos, menurutnya mitos bukanlah suatu hal yang
harus ditinggalkan karena mengandung unsur dongeng, khayalan dan Pra-Rasional
atau anti rasional yang banyak ditinggalkan oleh masyarakat modern namun mitos
aalah sesuatu yang positif yang mendsar dalam masyarakat manusia, yang ia tentang
adalah penyelewengan mitos dalam bentuk”pemistikan’ dan ‘ pemitologian” apabila
Recoeur dan frye sesuai dengan agama dan lingkungan budayanya yang memusatkan
analisis mereka pada Alkitab, Arkoun mengambil alih teori itu dan menerapkannya
pada Al-Qur’an dan pemikiran Islam

Selain Ricoeur, filsuf perancis kontemporer yang banyak memeberikan


pengaruh kepada Arkoun adalah Michel Foucalt(1926-1984) dan Jacques Derrida
(lahir 1930. Pemikiran Foucalt terlihat jelas memberikan pengaruhnya terhadap karya-
karya Arkoun terutama dalam istilah-istilah seperti “episteme”,” wacana” (discourse),
dan “arkeologi” yang dapat diartikan sebagai “Epistime adalah sistem pemikiran
dengannya manusia menangkap, memandang, dan memahami kenyataan karena
manusia menangkap dengan cara tertentu maka ia membicarakannya dengan cara
tertentu pula, cara manusia yang membicarakan itulah yang disebut”wacana”
sedangkan “ arkeologi” adalah usaha untuk mengeksplisitkan atau menggali episteme
yang menentukan suatu periode tertentu. Sedangkan Derrida Arkoun mengambil
konsep-konsep”logosentrisme”, “dekonstruksi”, yang tak terpikirkan, “ logosentrisme
yang dipakai Derrida antara lain dalam arti bahwa manusia tidak mengungkapkan diri
dan malahan tidak dapat berpikir kecuali melalui bahasa.

Arkoun mendapatkan kritikan serta hujatan di dunia arab karena gagasan-


gagasannya yang terlalu maju salah satu gagasan yang dikritik oleh Arkoun menurut
Jamal Sulthan dalam sebuah artikelnya yang berjudul “ Fenomena Arkounisme”
menurutnya Arkoun adalah seorang sekularis-weternis karena Arkoun berusaha
menghapus kesakralan semua yang sakral bagi umat islam teristimewa Al-Qur’an,
namun yang dilakukan Arkoun sesungguhnya ialah berusaha untuk mendialogkan
antara pemikiran Islam dengan pemikiran Barat dalam bentuk kajian kritis terhadap
pemikiran islam dengan menggunakan ilmu pengetahuan barat kontemporer. (hal. 41-
51).

Kritik Epistimologis Mohammed Arkoun terhadap pemikiran islam

19
Sekilas Tentang Tradisi kritik Epistimologis: Posisi Mohammed Arkoun.

Naqd al-‘aql Al-Islami (kritik nalar islami), kritik nalar islami ini tidak lain
adalah “kritik epistimologis” terhadap pemikiran islam, itulah sebabnya, titik sentral
pemikiran Arkoun terletak pada kunci “kritik epistimologis”. Bukan hanya Arkoun
saja yang menggunakan kritik epistimologis, namun beberapa filsuf di barat juga
menggunakan kritik epistimologis tersebut seperti Immanuel kant (1724-1804),
Christian Wolf (1679-1754), David Hume (1711-1776), Permenides (540-475 SM),
Heraklitos (540-475 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) (hal 53-
57).

Kritik epistimologis berjalan dan berkembang baik serta berkesinambungan


dalam sepanjang sejarahnya, tetapi kritik epistimologis yang dilakukan oleh filsuf
hanya diarahkan pada bangunan keilmuan manusia pada umumnya, bisa saja krtik
tersebut diarahkan pada pemikiran atau keilmuan keagamaan, tetapi sayangnya para
filsuf barat tidak mengarahkan secara khusus pada pemikiran atau bangunan keilmuan
keagamaan, berebeda dengan kritik epistimologisnya Arkoun yang mengarahkannya
terhadap bangunan keilmuan atau pemikiran keagamaan yang dalam ini adalah
pemikiran keislaman hal ini merupakan sebuah keberanian dilakukan oleh Arkoun
karena jarang dilakukan oleh orang lebih-lebih dalam budaya muslim pendapat ini
dikemukakan oleh Amin Abdullah. Bukan berarti budaya kritik di kalangan umat
islam tidak pernah ada namun hanya saja tradisi kritik epistimologis tidak berjalan
dan berkembang dengan baik dalam wilayah budaya muslim. (hal 57-63).

Al Gazhali (1058-1111) dalam filsafatnya dengan “Tahafut al-falasifahnya-


nya yang semakin memperkokoh ortodoksi Sunni, menurut Amin Abdullah seorang
pemikir yang dapat dimasukkan ke dalam tradisi kritis, namun sayangnya generasi
muslim setelah Al-Ghazali hanya mengambil “produk jadi” dari pemikiran Al-
Ghazali dan bukan metodologi pemikirannya sehingga semakin memperkuat
ortodoksi Sunni, untuk itu ketika Ibn Rusd (1126-1198) melontarkan kritik
epistimologis terhadap pemikiran Al-Ghazali bagaikan “ menepuk air di dulang” di
lingkungan Sunni Ortodok sehingga pemikirannya tidak laku dikalangan Sunni
Ortodok inilah yang juga menyebabkan kritik epistimologis tidak berkembang dan
mulai ditinggalkan di kalangan umat muslim.

20
Kritik Nalar Islam Arkoun pada hakikatnya yaitu kritik epistimologis terhadap
pemikiran islam, seringkali kajian epistimologi memang lebih banyak terbatas pada
dataran konsepsi asal-usul atau sumber, hakekat, dan validitas pengetahuan secara
konseptual-filosofis, sementara Arkoun sangat menekankan perlunya metode historis
yang memiliki posisi sentral itulah sebabnya Arkoun menyebutnya seorang sejarawan
terlebih dahulu sebelum menjadi filsuf, metode historis yang dilakukan oleh Arkoun
bukan hanya semata-mata hanya mendeskripsikan atau menutur secara kronologis
suatu peristiwa tertentu dan juga bukan metode historis yang disebutkan
sebagai”sejarah tradisional yang berkisah” yang bertumpu pada penuturan kisah-kisah
atau cerita-cerita. Meskipun analisis historisnya menduduki tempat paling penting
dalam kritik nalar islamnya, ia tidak berhenti disitu justru karena kritik Nalar
Islamnya adalah kritik epistimologi, analisis historis hanya merupakan tahapan awal
dari kritik Nalar Islami, yang menurutnya bahwa pada tahap historis sekalipun, secara
implisit sesungguhnya telah terkandung pula unsur serta benih-benih kritik filosofis.
(hal.63-70).

Pemikiran islam:proses pembukuan dan penutupan

Pendekatan historis yang dilakukan oleh Arkoun dalam pemikiran islam dapat
dilihat ketika Arkoun membuat pembedaan antara dua model teks, teks pertama
disebutnya dengan teks pembentuk( an-nash al mu’assis) di satu pihak,dan teks kedua
di pihak lain, yakni teks yang menjelaskan atau menginterpretasikan teks pembentuk,
yang disebutnya teks pementuk (an-nash at- tafsiri). Menurut Arkoun Al-Qur’an
sebagai wahyu ilahi sehingga dapat diberikan makna yang konkret dalam berbagai
macam keadaan yang berbeda yang dilalui umat manusia bukan hanya itu aktualisasi
dari Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi juga dapat dinyatakan sebagai pemikiran islam
baik dalam bidang teologi, hukum, filsafat, maupun lainnya.(hal 70-75). Pemikiran
islam yang disebut dari aktualisasi dari Al-Qur’an tersebut muncul dan berkembang
pesat dalam kurun waktu empat abad pertama hijriyah. Menurut Arkoun dinasti
umayyah yang memainkan peranan sangat penting dalam pemikiran tersebut namun
dinasti umayyah ini sangat berhat-hati dalam dalam menerapkan hukum Islam, akan
tetapi yang dimaksud tidak secara eksplisit dan lengkap dirumuskan dalam Al-Qur’an
sehingga harus dijabarkan itulah yang menjadikan Al-Qur’an yang mula-mula dipakai
oleh para hakim untuk dijadikan sumber pengambil keputusan.

21
Fiqih merupakan langkah pertama dalam penjabaran hukum agama (Syari’ah)
yang dijadikan sebagai penetapan terhadap suatu disiplin pokok dalam pemikiran
islam yang kemudian melahirkan banyak tokoh dari pemikiran hukum yang berbeda-
beda hal ini diakibatkan karena lingkungan sosio-kultural yang berbeda, untuk itu
posisi ilmu fiqih dalam islam sangat vital karena secara lahiriah atribut umat islam
dapat diukur dengan ilmu-ilmu fiqih. Dari pernyataan tersebut bukan berarti ilmu-
ilmu dalam bidang filsafat, kalam ataupun tasawuf tidak berkembang karena
mempunyai sifat spekulatif-komparatif, namun filsafat menjadi tradisi pemikiran yang
mapan dalam khazanah intelektual islam dikarenakan Al-farabi dinilai sebagai peletak
dasar piramida filsafat dalam islam, yang diletakkan secara kokoh yang terus
dilanjutkan pembangunannya oleh para penerusnya. (hal.75-80).

Perkembangan pemikiran islam baik dalam bidang hukum teologi, filsafat,


maupun tasawuf yang terjadi dalam periode formatif pemikiran islam, keseluruhan
dan karya-karya para mufassir itu Arkounnya sebagai teks hermeneutis yang juga
merupakan aktualisasi dari al-Qur’an sebagai teks pembentuk yang masih bersifat
potensial, sehingga tersusunlah berbagai doktrin islam yang kurang lebih bersifat
standar dan baku, namun Arkoun menyesalkan dari munculnya perkembangan baru
yang bersama-sama dengan perkembangan pemikiran islam itu yakni persaingan yang
terjadi diantara berbagai pemikiran, baik antar aliran aliran dalam satu bidang
pemikiran, maupun antara bidang pimikiran yang satu dengan yang lain (hal 80-82),
persaingan diantara berbagai tradisi pemikiran islam tersebut memunculkan
ortodoksi dalam islam yakni ketika setiap tradisi pemikiran tertentu baik dari Syi’ah,
Sunni, Khawarij maupun lainnya yang telah berfungsi sebagai sistem budaya yang
meniadakan yang lain, dengan berusaha menegaskan keunggulan, kemerosotan, dan
kekuasaaanya di dalam menghadapi tradisi saingan. Arkoun melihat pemikiran yang
berkembang dalam islam lebih sebagai proyeksi mental terhadap teks al-Qur’an hal
ini disebabkan karena munculnya ortodoksi yang telah disebutkan di atas tersebut
terdapat klaim kebenaran dari tradisi pemikiran tertentu, yakni dengan menganggap
pemikirannya saja sebagai “agama yang sebenarnya”. (hal 83).

Konsep proyeksi mental membantu menunjukkan bagaimana al-Qur’an teks


al-Qur’an dipakai sebagi pretext tidak sebagai teks, menurut definisi sejarah dan
linguistik modern ynag berarti teks al-qur’an yang asli telah ditulis ulang direproduksi
dalam perkembangan sejarah kelompok tertentu . wahyu dinyatakan sebagai

22
kenyataan ilahi yang subtansial dan tak berubah, tetai pada waktu yang sama,
dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan mendesak dan nyata. Arkoun juga melihat
bahwa seluruh pemikiran islam tak terkecuali filsafat, kemudian terkungkung dalam
ketertutupan logosentris, karena menurutnya pemikiran islam paling maju dari sudut
pandang rasional saja terdapat logosentrisme, terlebih dalam bidng pemikiran yang
lain, ada tiga ciri-ciri logosentrisme: pertama, setiap kegiatan pemikiran dikuasi oleh
gambaran dogmatis dari suattu nalar yang mampu mencapai keberadaan (Allah),
kedua, Nalar-Akal-Budi (‘aql) yang cahayanya dari intelek bertugas mengenali
kembali keberadaan-Esa-Benar-Sebab pertama-pencipta, ketiga,aktifitas dari nalar
dalam usahanya “kembali ke landasan-landasan”, keempat, terkungkungnya
pemikiran islam kedalam logosentrisme itu dalam prakteknya ditunjang oleh Agama,
Budaya dan Negara, (hal 83-86).

Kungkungan logosentrisme dalam pemikiran islam telah membawa


kecenderungan untuk membenarkan penafsiran sendiri dan mengabaikan penafsiran
lain, sementara pemikiran yang terjelma dari dimensi sosial, politik,maupun budaya,
akibat dari proses pemaknaan dan aktualisasi diri inilah, maka terjadilah pembekuan
dan penutupan pemikiran islam. Babak baru yang muncul dalam pemikiran islam
yakni periode skolastik dalam periode ini medan taqlid menjadi meluas dalam sistem
berfikir umat islam pada periode ini yang terjadi pada abad pertengahan
berkumandang bahwasanya pintu ijtihad telah ditutup dilanjutkan ketika pemikiran
islam memasuki periode modern yakni pada abad kesembilan belas, dalam periode
modern ini ketertutupam pemikiran islam itu diusahakan dibuka kembali oleh
reformis dan modernis dengan membuka kembali pintu ijtihad, akan tetapi menurut
pandangan Arkoun neo-ijtihad yang dilakukan oleh reformis dan modernis itu masih
belum bisa diri pada kemodernan yang sebenarnya, karena nalar yang digunakan
adalah nalar islami yang itu-itu saja yang telah berkembang dan berfungsi dalam
pemikiran islam sejak periode klasik. Dalam konteks itulah Arkoun berbicara tentang
pluralitas nalar dalam pemikiran islam, sekaligus tentang adanya nalar islami yang
tunggal secara epistimologis yang mempunyai unsur-unsur atau ciri-ciri pokok nalar
islami yaitu: Pertama. Ketundukan nalar-nalar itu terhadap wahyu yang terberi.
Kedua, penghormatan terhadap otoritas dan keagungan, serta ketatan kepadanya.
Ketiga, nalar memainkan perananya melalui cara pandang tertentu terhadap alam
semesta. Menurut pendapat Arkoun terhadap pemikiran islam yang masih

23
terkungkung dalam “ruang mental abad pertengahan “ yang berkembang hingga kini
tidak mampu untuk menjawab berbagai persolan yang dihadapi oleh manusia dewasa
ini.(hal 86-90).

Pemikiran Islam: Keterkaitan antara Bahasa, pemikiran dan Sejarah

Arkoun merasa gelisah dan prihatin terhadap pemikiran islam yang


didalamnya terdapat dogmatisme dan absolutise yakni dengan kembalinya wacana al-
Qur’an dalam keadaan seperti sediakala, untuk dapat melihatnya haruslah dilakukan
dekonstruksi terhadap teks-teks hermeneutis yang bertumpuk-tumpuk bagaikan
lapisan geologis, metode dekontruksi dan pembongkaran ini berasal dari Derrida yang
merupakan kritik dari dalam terhadap teks atau wacana tertentu. Bagi Arkoun metode
deskontruksi dan analisis arkeologis atau arkeologi pemikiran yang berfungsi untuk
membongkar timbunan lapisan-lapisan tersebut serta menunjukkan lapisan-lapisan
merupakan episteme yang pembentukanya sangat dipengaruhi kondisi historis
tertentu. Disamping Arkoun ingin menunjukkan adanya hubungan antara pemikiran
dengan sejarah dengan kritik epistimologisnya Arkoun juga ingin menunjukkan
bahwasanya ada hubungan yang tak terpisahkan antara pemikiran dengan bahasa.
Kritik epistimologis yang dilakukan oleh Arkoun terhadap pemikiran atau bangunan
keilmuan islam ukanlah bertujuan untuk sekedar melakukan pembongkaran tanpa
tujuan, namun mempunya tujuan yang jelas serta Arkoun juga ingin menunjukkan
adanya pertautan yang erat antara bahasa, sejarah dan pemikiran dalam bangunan
keilmuan atau pemikiran islam itu. (hal 90-95).

Arkoun melakukan“dekonstruksi” (pembongkaran) dan “rekonstruksi”


(pembangunan kembali) suatu wacana atau kesadaran yang meninggalkan
keterbatasan, pembekuan, dan penyelewengan wacana sebelumnya, yaitu gagasan
tentang “pembacaan” secara baru dalam al-Qur’an yang terbagi menjadi tiga cara “
membaca” al-Qur’an yakni: Pertama, pembacaan secara liturgis, Kedua, pembacaan
secara eksegetis, Ketiga, memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang
disumbangkan oleh ilmu bahasa dan ilmu-ilmu kemanusiaan kontemporer. Namun
sayangnya ‘rekontruksi” yang telah dilakukan Arkoun masih terlalu samara tau terlalu
sedikit dan hanya bersifat metodologis ketimbang menghasilkan produk yang berupa
doktrin fikih atau teologis yang baru, yang serba lengkap dan tuntas sebagai pengganti
berbagai doktrin tradisional yang dikritiknya, oleh karena itu Arkoun tidak

24
menawarkan berbagai doktrin yang lengakap dan tuntas serta siap pakai tersebut
sehingga orang yang mengharapkan tidak puas terhadapnya. (hal 96-100).

Implikasi Kritik Nalar Islam Mohammed Arkoun Terhadap


Keberagamaan Islam Masa Depan

Agama Dan Tantangan Zaman; Tipologi Keberagamaan Masa Depan

Arkoun tidak menawarkan doktrin keberagamaan yang sangat lengkap, tuntas


dan baku, dan siap pakai sebagai pengganti doktrin tradisional yang dikritiknya,
karena dikhawatirkan akan muncul hegemoni tafsir baru yang pada gilirannya akan
menutup kemungkinan terbukanya berbagai penafsiran lain, dan hal ini justru menjadi
titik dari kritik epistimologis yang dilakukannya, Arkoun dapat dikategorikan sebagai
pemikir muslim yang dapat dimasukkan ke dalam aliran postmodernisme, yang inti
pokok alur pemikirannya adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan
baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan
yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari
berbagai sumber yang beragam. (hal 101-102)

Pada era postmodernisme ini banyak sekali proyek modernisme yang gagal
yang menimbulkan krisis global dimana setiap manusia mengunggulkan kelompoknya
sendiri, serta meningkatnya kekerasan, keterasingan, dan kehilangan mental manusia
modern serta nilai moral-relegius yang kehilangan wibawanya, maka bukan berarti
bahwa krisis yang terjadi di bumi ini bukan hanya karena persoalan material saja,
tetapi lebih-lebih yang bersifat transendental, yaitu tidak disertakannya agama
didalamnya (hal.106). pada lingkungan interen umat beragama sendiri baik islam,
katolik, protestan, hindu, budha, maupun agama-agama lain masih disibukkan dengan
persoalan truth claim (klaim kebenaran), truth claim bukan hanya terbatas pada
wilayah ontologis-metafisis, yang tidak perlu untuk dirisaukan, akan tetapi sudah
memasuki sosial politik yang prkatis-empiris,sedangkan menurut Amin Abdullah
apabila perbincangan truth claim bercampur dengan perbincangan politik prkatis
maka harapan-harapan besar terhadap peran agama dalam mengatasi berbagai
problem dunia akan sulit untuk diwujudkan. Lalu bagaimana mengatasi krisis dunia
yang telah ditimbulkan oleh proyek modernisme itu?.(hal 107-116).

25
Untuk menjawab hal tersebut sangatlah tidak mudah, namun apabila
pertanyaaan tersebut diajukan kepada masing-masing penganut corak keberagamaan
tersebut tentu corak kebergamaan lah yang diharapkan ampu untuk mengatasi krisis
tersebut, tetapi corak keberagmaan yang eksklusif, skiptual ideologis lebih
menekankan truth claim yang tidak dialogis, akan tetapi truth claim tidak dapat
mengatasi krisis tersebut, sedangkan dalam era globalisasi, yang berkat dan teknologi
dan transportasi memebuat manusia hidup menjadi sebuah “desa buawana” (global
village), dimana manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama
lain, akan tetapi sekaligus juga lebih membawa kepada penghadapan dan konfrontasi
langsung, sehingga sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian, dengan
kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan. (hal 117) .

Kritik Epistimologis Mohammed Arkoun terhadap Pemikiran Islam:


Menuju Keberagamaan Islam Masa Depan yang Dialogis.

Amin Abdullah mengungkapkan bahwasanya keberagamaan umat islam tidak


bisa lagi membedakan antara agama sebagai wahyu dengan pemikiran keagamaan
sebagai produk manusia, sehingga menimbulkan berbagai problem dan krisis global
yang belum bisa diatasi, serta corak kebergamaan yang diharapkan dapat dijadikan
sebagai salah satu upaya atau cara yang dapat mengatasi problem tersebut, Arkoun
melihat adanya fenomena keberagamaan lain yakni ideologis islam yang bersifat
tertutup, intoleran, radikal, dan apologis hal tersebut yang membuat Arkoun merasa
prihatin dan merasa tergugah untuk melakukan kritik epistimologis terhadap
pemikiran islam. Mengapa harus epistimologis yang kritik oleh Arkoun? Karena
persolan keberagamaan yang dilihat oleh Arkoun yaitu taqdis al-afkar ad-diniyah,
persoalan tersebut lebih bersifat epistimologis.(hal 119-120).

Usaha yang dilakukan oleh Arkoun untuk menyadarkan umat islam akan
adanya perbedaan antara islam sebagai wahyu dan pemikiran islam sebagai produk
umatnya, atau antara normativitas dan historisitas keberagamaan islam itu, dengan
menunjukkan hubungan yang circular, hubungan melingkar yang tidak ada putus-
putusnya, antara pemikiran, bahasa dan sejarah. Yang ingin dilakukan oleh Arkoun
yaitu desakralisasi, deabsolutisasi, atau relafitisasi tehadap pemikiran islam, apabila
upaya tersebut membawa implikasi tertentu pada corak keberagamaan yang
diharapkan mampu membawa keberagamaan islam kepada keberagamaan yang

26
inklusif, tidak menekankan truth claim, terbuka, toleran serta dialogis. Harapan
Arkoun terhadap kritik epistimologis terhapa pemikiran islam dapat memunculkan
“buah” yaitu keberagaman yang dialogis yang dapat terwujud apabila umat islam
tidak menekankan pada truth claim. Arkoun juga menghendaki adanya dua macam
dialog yakni dialog internal antara sesama umat islam dengan antara umat islam
dengan agama lain, dialog antara umat islam dengan berbagai perkembangan ilmu
pengetahuan dan budaya kontemporer, serta dialog antara islam dengan berbagai
persoalan aktual yang menyangkut umat islam sendiri maupun umat manusia pada
umumnya, dengan keberagamaan semacam ini diharapkan umat islam dapat
menjawab tantangan zaman dan dapat memberikan sumbangannya bagi peradaban
masa depan masa depan umat manusia yang cenderung pluralistic dan globalistik. (hal
120-128).

Catatan kecil sebagai penutup

Sebagai sebuah gagasan pemikiran, buku karangan Sholihan ini yang


membahas krtis yang dilakukan oleh Arkoun ini telah berhasil membuat sebuah
pemikran baru dalam perkembangan keilmuwan islam, Arkoun dengan kritik
epistimologis yang inti dari pemikirannya yaitu menentang segala hal yang berbau
kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau
pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis serta memanfaatkan nilai-nilai
yang berasal dari berbagai sumber yang beragam, untuk itu Arkoun berusaha untuk
memadukan krtik epistimologinya dengan unsur keagamaan didalamnya dengan
menjadikan al-Qur’an sebagai kitab utamanya.

Sebetulnya bukan hanya Arkoun saja yang melakukan krtik epistimologis


tetapi sudah ada yang melakukannya yaitu para pemikir barat, namun tidak ada yang
mngkeritik terhadap pemikiran islam, ia ingin membuat pemikiran dunia islam maju
dan berkembang, namun yang disayangkan oleh Arkoun ialah walaupun dunia islam
sudah melepaskan diri dari barat tetapi masih sangat jauh ketertinggalan dengan barat,
dan juga para pemikir islam yang sudah terpengaruh terhadap bidang politik sehingga
menjadi terpecah belah, dan munculnya aliran-aliran baru dalam islam yang satu sama
lainnya beranggapan bahwa dirinyalah agama yang paling benar. Untuk itu menurut
pendapat Arkoun untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan mempersempit jarak

27
epistimologi nalar islam skolastik barat-modern, sehingga Arkoun melakukan
Islamologi Terapan.

Munculnya ortodoksi sebagai klaim kebenaran dan menganggap al-Qur’an


sebagai pretext bukan teks menjadikan al-Qur’an telah ditulis ulang dan direproduksi
dalam kalangan kelompok tertentu, yang dalam pemikiran islam terdapat
logosentrisme yang membawa kecenderungan untuk membenarkan penafsiran sendiri
dan mengabaikan penafsiran lain, yang kemudian juga umat islam disibukkan dengan
adanya truth claim yang membuat keberagamaan yang muncul akan cenderung,
eksklusif, tertutup dan anti dialog.

Karya bapak Sholihan ini jelas memberikan sumbangan yang besar bagi
khazanah ilmu dalam bidang filsafat, utamanya dalam menjelaskan serta
mengungkapkan pemikiran atau krtik epistimologi dalam pemikiran islam yang
dilakukan oleh Mohammed Arkoun seorang ahli bahasa yang mengkritik tentang
epistimologis pemikran islam meruapakn suatu hal yang tidak dialakukan oleh para
pemikir lainnya, menurutnya keberagaman yang terjadi pada islam di era modern ini
tidak seharusnya umat islam menjadi terpecah belah, tetapi sikap saling pengertianlah
yang akan membuat umat islam menajadi bersatu.

Wallahu a’lam bi ass-shawab.

Pengantar Filsafat

Book Review 3

Dr. H. Sholihan, M.Ag. Pengantar Filsafat (Mengenal Filsafat Melalui


Sejarah dan Bidang Kajiannya)

Oleh : Hamzah Prasetya Nugraha

28
1800018029

Buku karangan Bapak Dr. H. Sholihan, M.Ag adalah sebuah yang


memaparkan kajian kajian yang mendalam tentang filsafat dan bidang bidang
yang dikaji dalam sebuah ilmu filsafat. Buku ini dibagi menjadi 3 bagian
dengan bagian pertama yaitu membahas tentang pengertian filsafat, objek,
tujuan dan metode filsafat, persoalan dan pembidangan filsafat kaitan filsafat
ilmu dan agama dan dilengkapi dengan fungsi dan manfaat serta metode
mempelajari filsafat. Bagian kedua yaitu membahas tentang sejarah filsafat
yang meliputi diantaranya filsafat Yunani, filsafat Helenika dan Romawi,
filsafat Patristik dan Skolastik filsafat modern dari kemunculannya sampai
abad ke Dua Puluh. Pada bagian ketiga membahas tentang sistematika filsafat
yang didalamya membahas metafisika, epistimologi dan etika.

Pembahasan dalam buku ini sangat cocok untuk memahamkan kita


yang masih baru mempelajari atau ingin memahami tentang dasar dasar ilmu
filsafat, sejarah filsafat hingga aliran aliran yang diajarkan dalam filsafat.
Mengingat banyaknya pertanyaan pertanyaan tentang filsafat yang masih
belum terjawabkan oleh khalayak ramai serta pendapat pendapat yang susah
dipahami pada zaman sekarang ini. Sebagai sebuah buku pengantar, buku ini
dirancang untuk memberikan pengenalan kepada mahasiswa tentang filsafat
secara dasar dan global, dalam arti tidak detail dan jlimet.

Metodologi

Sampai sekarang, usaha untuk memberikan pengertian tentang filsafat


yang memuaskan masih terus dilakukan oleh para ahli. Para ahli masih
berdebat mengenai “apa filsafat itu”?. Dalam banyak literatur filsafat dapat
ditemukan banyak sekali pengertian tentang filsafat yang berbeda-beda antara
satu dengan lainnya. Itulah sebabnya banyak ahli yang menyarankan, supaya
pengertian filsafat itu tidak diberikan pada awal pembahasan, melinkan di
akhir pembahasan. Menurut penulis para ahli seakan akan menyampaikan
bahwa “belajarlah filsafat dengan membaca buku buku filsafat sebanyak-
banyaknya, nanti dengan sendirinya anda tahu apa itu filsafat”. Akan tetapi
dalam kenyataannya banyak orang tidak memiliki banyak waktu untuk

29
membaca buku buku filsafat sebanyak banyaknya. Kebanyakan orang ingin
segera mengetahui apa itu filsafat begitu memulai mempelajari filsafat. Maka
penulis menghadirkan buku yang dapat menjawab permasalahan dasar dalam
mempelajari filsafat. Yaitu memberikan pengertian filsafat pada awal
pembahasan agar menjadi arahan dalam mempelajari filsafat lebih dalam.

Filsafat disebut sebagai “the mother of sciences” (induk dari semua


ilmu). Asal muasalnya pengetahuan merupakan bagian dari filsafat. Ketika
pengetahuan kemudian dikembangkan menjadi logis-empiris-sistematis maka
kemudian menjadi pengetahuan ilmiah atau sains dan memisahkan diri dari
filsafat. Dalam buku pengantar filsafat ini, penulis tidak hanya memaparkan
pengertian filsafat yang berlandaskan kepada satu atau hanya dua ahli filsafat,
akan tetapi penulis membandingkan dari berbagai pendapat ahli dan menarik
sebuah pendapat yang berasal dari penulis sendiri. Seperti pendapat yang
paparkan oleh kattsoff yang memberikan definisi tentang filsafat, yang
disebutkan sebagai definisi operasional: “filsafat merupakan hasil perenungan
kefilsafatan”. Pendapat ini dirasa oleh penulis tidak cukup untuk
menggambarkan tentang apa itu filsafat, karena untuk mengetahui filsafat
lewat definisi ini harus mengetahui terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud
dengan “perenungan kefilsafatan” itu, dan apa yang membedakan dengan
model perenungan lain.

Penulis juga menyajikan pendapat Harorld Titus dkk mengenai betapa


sulitnya membuat definisi filsafat yang dapat memuat semua dimensinya,
dalam bukunya Living Issue in Philosophy, yang mengemukakan lima definisi
sekaligus.5 Menurut penulis, kelima definisi tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan dimensi-dimensi tertentu dari filsafat, dan dengan
terungkapnyaberbagai dimensi itu terungkap pula pengertian filsafat yang
lebih utuh. Pandangan Harorld Titus dkk ini disandingkan dengan pandangan
ahli filsafat lain seperti Joe Park, Mulder yang juga sejalan atau searah dengan
definisi yang dipaparkan Harorld Titus dkk.
5
Pertama, “filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis”. Kedua, “filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran
terhadap kepercayaan sikap yang kita junjung tinggi. Ketiga, “filsafat adalah upaya mendapatkan
gambaran keseluruhan. Keempat, “filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep. Kelima, “filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung
mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli ahli filsafat”.

30
Menurut penulis, Filsafat sebagai pandangan hidup adalah kristalisasi
nilai yang diyakini seseorang atau sekelompok orang sebagai kebenaran yang
kemudian diperjuangkan untuk diwujudkan. Filsafat sebagai pandangan hidup
ini dijadikan sebagai dasar tindakan manusia dalam hidupnya, dan juga
menjadi pegangan serta pedoman dalam menyelsaikan berbagai persoalan
dalam hidupnya. Dari sekian banyak khas cara berfikir filsafat, penulis
menuliskan ada beberapa ciri berfikir yang khas filsafati, yaitu: berfikir
filsafati adalah berfikir secara menyeluruh, berfikir secara mendasar dan
berfikir secara spekulatif.

Setiap ilmu pasti memiliki objek kajian tertentu, objek kajian ilmu ini
mencakup dua hal, yaitu: objek materia dan objek forma. Yang dimaksud
objek materia adalah bahan atau lapangan yang dijadikan penyelidikan suatu
ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan objek forma adalah sudut pandang
yang digunakan dalam penyelidikan terhadap objek materia ilmu tertentu.
Dalam hal ini penulis memberikan contoh sebagai berikut: Ilmu psikologi
objek materianya adlaah manusia dan objek formanya adalah proses
kejiwaannya. Ilmu sosiologi objek materianya adalah manusia dan objek
formanya adalah hubungan antara satu dengan lainnya. Ilmu ekonomi objek
materianya adalah manusia dan objek formanya adalah bagaimana memenuhi
kebutuhannya. Dengan kata lain penulis meyakini nahwa objek materia antara
ilmu satu dengan ilmu lainnya bisa saja sama yang membedakan antara ilmu
yang satu dengan ilmu yang lainnya adalah objek forma atau sudut pandang
dalam pengkajiannya.

Sebagai ilmu, filsafat juga memiliki objek kajian. Meski masih banyak
perdebatan antara para ahli tentang objek kajian filsafat. Akan tetapi bagi
penulis, yang menjadi objek materia atau bahan/lapangan yang dikaji filsafat
adalah semua yang ada (being). “Ada” merupakan sifat paling dasar dari
segala sesuatu: Tuhan ada, alam ada, manusia ada. Penulis menyederhanakan
pendapatnya dengan menjadikan Tuhan, alam, manusia dan semua hal yang
berkaitan termasuk diri manusia sendiri sebagai yang berfikir merupakan
objek materia filsafat.

31
Pendapat yang dikemukakan oleh penulis dipadukan dengan pendapat
Kattsoff yang dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa objek materia filsafat
ternyata adalah sesuatu yang sering (meski tidak selalu) menjadi objek materia
ilmu lain juga. Dan yang membedakannya antara ilmu filsafat dan ilmu
lainnya tidak lain adalah objek forma atau sudut pandangnya.

Dalam buku Pengantar filsafat (Mengenal Filsafat Melalui Sejarah dan


Bidang Kajiannya), penulis tidak lupa pula membahasan tentang filsafat dan
pernbandingannya dengan ilmu dan agama yang merupakan dua institusi
kebenaran lain disamping filasafat. Disimpulkan bahwa yang menjadi kata
kunci dalam filsafat adalah sifatnya yang logis dan spekulatif, sedangkan kata
kunci dalam ilmu adalah sifatnya yang logis dan empiris. Adapun agama, kata
kuncinya adalah kepercayaan dan kitab suci (wahyu yang berasal dari Tuhan.

Penulis memaparkan persamaan dan perbedaan antara filsafat, ilmu


dan agama yaitu: persamaan, memiliki tujuan yang sama, atau sekurang-
kurangnya berurusan dalam hal yang sama yaitu: kebenaran. Perbedaannya
ada beberapa poin, pertama adlah dari segi sumber asal kebenarannya, kedua
dari segi sifat kebenarannya, ketiga adalah dari titik mulainya.

Terkait sejarah filsafat, penulis menuliskan sejarah filsafat didalam


buku pengantar filsafat dengan cukup terperinci, didalamnya terdapat filsafat
yunani dan pembahasannya tentang periode pra-sokrates hingga periode
klasik. Filsafat helenika dan romawi yang mana pada saat itu corak pemikiran
filsafat terbagi menjadi dua yaitu corak etik dan corak agama. filsafat
patrilistik dan skolastik, filsafat modern yang didalamnya juga membahas
gerakan renaissance dan munculnya aliran aliran seperti rasionalisme,
empirisme dan kritisisme. Filsafat abad ke sembilan belas yang dan muncul
lagi aliran seperti dinamisme, positivisme, materialisme, materialisme
dialegtis dan anti-Teisme. Filsafat abad ke dua puluh yang juga memunculkan
teori pragmatisme, filsafat hidup, fenomenologi, eksistensisme hingga
analitika bahasa.

Bagian ketiga dari buku ini lebih dalam membahas tentang sistematika
filsafat. Bab ini membahas tentang metafisika yang dikupas dengan terperinci
dan sangat mudah dipahami oleh pembaca. Katsoff mendefinisikan metafisika

32
sebagai “bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan
pertanyaanmengenai hakekat yang ada yang terdalam” metafisika berbicara
mengenai kenyataan (reality), bukan hal yang nampak (appearence).
Selanjutnya epistimologi yang menurut penulis objek kajiannya epistimologi
adalah ilmu pengetahuan. Selain itu penulis juga menegaskan bahwa
epistimogi adalah cabang dari filsafat itu sendiri. Karna epistimologi adalah
cabang dari filsafat, maka sebagaimana keseluruhan dari filsafat itu sendiri,
epistimologi mengkaji pengetahuan secara filosofis, yakni secara kritis dan
reflektif.

Terlebih rinci lagi, penulis juga membahas tentang persoalan-persoalan


epistimologi yang penulis sendiri mengutip dari The Liang Gie yang meliputi
persoalan tentang kemungkinan pengetahuan, persoalan tentang asal mula
pengetahuan, persoalan tentang validitas pengetahuan, persoalan tentang
batas-batas pengetahuan, persoalan tentang jenis jenis pengetahuan dan
persoalan tentang kebenaran. Selain itu dibahas juga tentang aliran aliran
filsafat dan lain sebagainya.

Buku Pengantar Filsafat (Mengenal Filsafat Melalui Sejarah dan


Bidang Kajiannya) yang tulis oleh Dr. H. Sholihan, M.Ag. ini jelas
memberikan sumbangan yang sangat besar bagi khazanah ilmu filsafat,
utamanya bagi pemula yang sedang ingin mendalami filsafat itu sendiri.
Sebagai pengantar, buku ini sangat cocok untuk dipadukan dengan buku buku
lainnya, mengingat didalam buku ini juga didalamnya terdapat pendapat
pendapat yang dipadukan dengan pemikiran dan pendapat penulis itu sendiri
dan dikutip dari ahli filsafat besar lainnya. Meskipun buku ini mengupas
filsafat cukup dalam dan luas, akan tetapi bagi seseorang yang ingin
mendalami filsafat lebih dalam lagi, tentunya tidak hanya cukup dengan buku
ini saja, mengingat buku ini hanyalah sebuah pengantar filsafat yang nantinya
oleh orang yang ingin mendalami filsafat haruslah mencari referensi dan buku
buku yang lebih banyak lagi.

33
URGENSITAS SINTESA METODOLOGI

Book Review 4

Louay Safi. Ancangan Metodologi Alternatif:

34
Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat

Penerjemah Imam Khoiri (Yokyakarta: PT Tiara Wacana, 2001)

Oleh: Ramdhan Yurianto

Buku karangan Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah


Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat adalah hasil
terjemahan dari Imam Khoiri, yang berjudul asli The Foundation of
knowledge: a comparative study in Islamic and Westren method of inquiry,
1996, ,merupakan kajian tentang penggalian metodologi islami baru yang
perlu adanya, setelah beragam metodologi yang sudah ditawarkan, karena
menariknya antara metode barat dan mulsim tidak pernah ada titik temu,
metodologi barat memiliki kekurangan begitu pula metode muslim klasik.
Terutama masalah dikotomi antara wahyu dan akal, Louay
menggarisbawahinya dengan catatan perlunya metodologi alternatif ini agar
ditemukannya kesesuaian antara akal dan wahyu.(hal. vii)

Jika dicermati isi buku ini adalah sebuah perbandingan atau studi
komparatif antara metode-metode islam dan Barat dengan penggalian metode
baru yang menjadi sintesa antara metode yang telah adabisaatau sebuah
penelusuran metode alternative yang menjadi perpaduan dari metode yang ada
(hal. 1). Dan buku ini sendiri terbagi menjadi empat bagian dan tujuh bab
pembahasan.(hal. xi). Tentu saja tidak ada tujuan dibalik pembuatan buku ini,
seperti di katakana oleh Louay Safi setidak nya buku ini memiliki dua tujuan
pokok. Pertama, membahas metode-metode rsearch dan pendekatan-
pendekatan metodologis muslim klasik maupun barat modern. Kedua, selain
memahami metode-metode tersebut bisa dimasukan kedalam sebuah
metodologi silam modern yang mamppu menjawab persoalan-persoalam
social dan intelektual masyarakat modern (hal. 1)

35
Metodologi

Kandungan utama karya ini adalah sebuah usulan andanya metodologi


alternative yang menjembatani adanya metodologi yang telah ada namun
masih belum sempurna seperti metode muslim klasik yang masih ada
kesenjangan dengan logika Yunani dan juga metode barat yang sama sekali
tidak ingin mengakui akan adanya metafisika. Tentu saja ini hanyalah sebuah
ancangan metodologi bila mana ada acangan metodologi alternative lain tidak
pernah dipikirkan oleh penulis buku. Dapat memahami metode-metode yang
mempengaruhi perkembangant radisimuslim dibarat tetapi juga menilai sejauh
manametode metode ini dapat dimasukan kedalam sebuah metodologi islam
(hal. 1)

Secara garis besar Louay Saffi sendiri membagi bagian pembahasan


dalam buku ini menjadi 4 bagian utama dengan tujuh bab pembahasan yang
sudah dirinci secara sitematis sesuai dengan alur perkembangan ilmu dan
tokoh tokoh yang berpengaruh didalamnya. Memaparkan secara gambling
seperti apa alur munculnya suatu ilmu dan pengetahuan serta dari mana
sumbernya.

Dalam memilih sumber data Louay Safi memadukan antara pendapat


dari barat dan juga dari muslim dengan harapan ada perpaduan ataupun
alternative sebagi metodologi yang padu antara metode barat dan muslim.
Setelah dilihat adanya banyak perdebatan antara satu tokoh dan tokoh lain
akan suatu permasalahan ini justru menarik baginya untuk menemukan titik
temu yaitu berupa metode alternative.

Kekurangan Metode Yang Telah Mapan

Tentu saja pembahasan ini memiliki tujuan tersediri, diantaranya


adalah 1. Untuk menjelaskan mengapa dibutuhkan suatu metodologi islam

36
baru 2. Menegaskan kesulitan-kesulitan yang ada menuju kearah
pengembangan metodologi yang dikehendaki 3. Memunculkan pertanyaan-
pertanyaan urgent yang membutuhkan perhatian segera tentunya baik mereka
yang terlibat dalam tugas mengidentifikasi metode-metode yang sesuai dengan
kemajuan data (hal. 7). Selain dari sudut pandang kekurangan metode ini
ternyata juga secara menyeluruh untuk dianalisa lebih jauh. Bahkan definisi
metodologi pun banyak yang mulai lupa. Metodologi adalah bidang peneltian
ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang
digunakan dalam mengkaji fenomena alam dan manusia.

Kekurangan metode barat, Pertama. semenjak awal formulasinya


dalam karya-karya Franscis Bacon dan Rene Descrates, metode modern barat
mengalami bias empiris yang pada masa kontemporer mencapai puncaknya
pada pendekatan positivistic logis yang dijelmakan dalam behavioralisme
Barat. (hal. 9). Kedua. Pada tiga abad terakhir, sarjana Barat secara sempurna
dapat menyingkirkan wahyu sebagai suatu sumber pengetahuan, dan dengan
demikian mereduksi wahyu pada tingkat semata adalah sbagai khayalan dan
dongeng semata.(hal. 10)

Sarjana Barat yang menganggap segala sesuatu harus bisa diukur dan
dibuktikan ini menjadikan mereka sama sekali tidak mempercayai adanya
wahyu, mereka benar-benar telah mengesampingkan bahkan menyingkirkan
wahyu sebagai sumber pengetahuan, dalam pandangan mereka wahyu
semattat-mata hanyalah khayalan dan dongeng.(hal. 10) sedangkan sarjana
muslim klasik juga hanya terfokus kepada pemagaman teks-teks suci dan
menerapkan aturan-aturan hukumya dalam mengarahkan tidakan sosial. Hal
ini dikarenakan sarjana muslim klasik sama sekali tidak tertarik pada studi
prilaku social yang tidak terdapat didalam norma-norma wahyu. Oleh karena
ini buku ini bertujuan untuk menanggulangi kelemahan baik itu terdapat dalam
metode-metode muslim maupun barat modern dengan sintesa dari beberapa
elemen yang ada didalam kedua metode tersebut. Namun untuk projek
islamisasi pengetahuan itu sendiri sudah sejak lama.

Sarjana muslimpun tidak tinggal diam, ada beberapa tokoh yang


berusaha mencari metode baru, diantaranya adalah gaungan untuk islamisasi

37
pengetahuan seperti yang dikemukakan oleh Ismail Raji Al-Faruqi dalam
monografnya, yaitu dengan mengislamkan disiplin-disiplin atau lebih tepatnya
memproduksi buku-buku pelajaran tingkat universitas dengan menyusun
kembali beberapa disiplin abad XX sesuai dengan pandangan Islam (hal. 10).
Namun pemikiran al-Faruqi menuai pro dan kontra, diantara yang tidak
sependapat adalah Sa’id Ramadhan al-Buthi yang berpendapat bahwa metode
ilmiah tidak dapat dimodifikasi atau diubah oleh akal, oleh karena itu harus
ada metode lain, karena modifikasi metode ilmiah akan membawa pada
kemunduran yang tak terbatas. Meksi sama sama tidak sependapat dengan al-
Buti tapi alasan Fazlu Rahman berbeda, menurutnya satu-satunya harapan
umat Islam untuk menghasilkan Islamisasi itu adalah dengan memelihara
pemikiran umat islam, karena menurutnya orang tidak dapat menemukan suatu
metodologi atau merinci suatu strategi untuk mencapai pengetahuan islami
(hal. 17). Ketidakcukupan metode tradisional inilah yang menjadikan adanya
gagasan untuk pencarian metodologi baru. (hal. 19).

Metode Muslim Klasik

Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’I atau dikenal dengan


sebutan Imam As-Syafi’I dalam kitabnya yang berjudul al-Risalah adalah
bentuk disiplin ilmu yang dibangun atas dasar metode-metode untuk
menganalisis teks wahyu yang hingga saat ini dikenal dengan istilah ushul
fiqh (hal. 45). Begitu pula imam asy-syatibi dalam kitabnya al-muwafaqat ini
telah berhasi membawa ushul fiqh kepada tingkat perbaikan dan kematangan
yang imperative dengan memperkenalkan teori maqasid (hal. 46).

Dengan mendasarkan pada kekuatan logika Yunani, dan edngan


memasukan penalaran induktif dalam analissis tekstual, asy-syatibi dapat
mentransformasikan usul fiqh ke dalam suatu metodologi sistematik yang
tinggi. Namun sayangnya, pendekatan maqasid as-Syatibi ini mengalami
kematangan ketika intelektualisme muslim berada dalam masa kemunduran.
Sehingga tidak ada yang melanjutkan as-syatibi dan karyanya pun tetap kabut

38
hingga beberapa sarjana kontemporer menunjukan ketertarkan kepada
karyanya.

As-syafi’i mengidentifikasi dua sumber pengetahuan utama:


pengetahuan yang terdapat dalam nass (teks wahyu) dan pengetahua istinbat
(deduktif). Oleh karena itu as-syafi’I membahas prosedur-prosedur ilmiah
dalam dua bab: bayan (klarifikasi) dan ijma’ (konsensus). Ijma’ adalah
pengetahuan yang didasarkan pada kesepakan komunitas ilmiah, sedangkan
ikhtilah munujukan wilayah pengetahuan yang diperselisihkan. (hal. 47)

Selanjutnya, interpretasi realitas ini memunculkan berbagai metode


yang digunakan oleh ilmuan-ilmuan dan para sarjana. Persoalan-persoalan
logika pun akhirnya dibagi menjadi tiga cabang, yaitu logika konsep
(tasawwur), logika proporsi (qadiyah), dan logika silogisme (hal. 94).
Penterjemahan ilmu-ilmu Yunani ke dalam bahasa arab ini melahirkan ilmu
kalam untuk membela islam melawan klaim-klaim filsafat Yunani, khussunya
wilayah ketuhanan. Namun dalam problematikan metafisik ini terjadi
perdebatan yang sangat menegangkankan antara para sarjana kalam dan
filosof. Pasalnya para sarjana kalam ini mengikuti al-Ghazali yang menolak
bahwa mengetahuan tentang realitas metafisik dapat dicapai melalui argument
rasional. Selanjutnya hal ini pun ditolak mentah-mentah oleh Ibnu Rusydi
karena kecacatan argument para sarjana sarjana kalam. Perdebatan antara al-
ghazali dan ibnu rusyd serta komentar srjana sarjana muslim setelahnya
terhadap perdebatan ini, membawa watak problematika persoalan-persoalan
memtafisik. Karena metafisik sendiri berkaitan dengan pembahasan tentang
sesuatu yang melampaui batas-batas intera, yakni yang tidak tampak. (hal.
117)

Puncak dari ketegangan antara para sarjana kalam dan filsuf ini pada
perdebatan teoritis antara sarjana sarjana muslim terkemuka. Al-ghazali yang
akhirnya menuliskan kitab dengan judul tahafut al falasifah (kerancuan para
filsuf) untuk menolak karya-karyanya pafa filsuf khususnya dalam hal
ketuhanan. Tuduhan utama al-ghazali terhadap para filsuf adalah bahwa
keputusan mereka tidak didasarkan pada pengetahuan yang telah teruji dan
pasti tetapi masih spekulasi dan problitas. (hal. 118) sementara itu Ibnu Rusyd

39
menyerang balik tahafut al-ghazali dengan menuliskan kitab yang berjudul
Tahafut at-tahafut (kerancuan dari kerancuan al-ghazali). Karena bai ibnu
rusyd dia lebih percaya pada filususf dari pada argument al-ghazali dan para
mutakallimun pada umumnya. Tentusaja dia tidak secara total tidak setuju
dengan al-ghazali dalam peolakan terhadap filsafat dan tidak pula secara
sempurna mendukung argument mereka (hal. 124)

Tidak seperti al-ghazali yang hanya mengkritik filsafat karena aspek


ketuhanan, disini ada tokoh bernama Ibnu Taimiyyah yang secara sempurna
menolak logika Yunani, dia mnegatakan bahwa logika Yunani sama sekali
tidak memiliki prinsip-prinsip yang kuat logika mencakup prinsip-prinsip
lemah dan tidak memiliki landasan. karena itulah baginya bahwa kajian logika
tidak perlu diwajibkan kepada mereka yang mencari ilmu tidak hanya karenaia
mencangkup gagasan gagasan yang tidak memiliki landasan tetapi juga karena
prinsip- prinsip logika yan gkuat terdapat dalam penalaran manusia itu secara
fitriyah (hal. 137)

Namun ternyata diakhir keruntuhan islam setelah masa masa kejayaan


dan keemas an islma lahirlah seorang cikal bakal filusuf di barat. Bernama
ibnu Khaldun. Berbedan dengan ibnu taimiyyah dia berpendapat bahwa loika
adalah perangkat dan metode penalaran tidak cukup memadai untuk mengkaji
realitas dan ketuhanan. Namun juga untukk emnunjukan kebunaran
keputusannya ini ibnu Khaldun memberikan ringkasan cermat tentang struktur
dasar logika dan logika ibnu khaldu yang paling terkemukan adalah teori
kausalitas (hal. 139) menurutnya gambaran yang dipaparkan logika ini
bertujuan merekonstruksi suatu system konseptual dimana konsep konsep
dibuat dengan mengabstraksikan dari yang kongkrit dan partikulas yakni
empiris (mahsus).(140)

Dari hal inilah kita tau bahwa tradisi intelektual muslim benar benar
berkembang sangat luar biasa. Pada dasarnya metode-metode yang
dikemukakan oleh sarjana muslim terfokus interpretasi dan analisis teks dan
tidak memberi cukup perhatian untuk mengebangkan metode-metode yang
dimaksudkan untuk memahami fenomena sosial (hal. 46).

40
Metode Barat Modern

Jika tadi kita sudah membahasa metode muslim klasik yang


menganggap bahwa logika Yunani menjadi suatu kekhawatiran, sebaliknya
dalam pemikiran pemikir-pemikir barat justru ini adalah sebuah alternative
metodologi. Dan upaya pertamakali untuk mewujudkan suatu metodologi
alternative dalam sarjana barat dulakukann leh filsuf inggris, fransic bacon
(1561-1627) dalam Novum Organum (1620). Bacon menyalahkan ahli lohika
pada masanya yang secara ekslusid mendasarkan pada metode deduktif dan
menffunakan penalaran silogistik, dengan mengabaikan penedkaran induktif.
Bahkan ketika ahli logika menffunakan induksi, mereka tida mneggunakan
metode yang telah dirancang dengan baik.(hal. 149) Menurutnya metode
penalaran deduktif merupakan pemikiran yang kasar dan tidak kualitatif.
Sebalikmya, metode induksi merupakan metode penalaran yang absah.(hal.
150)

Pemikiran ini selanjutnya diikuti oleh para sarjana barat,


musalnya john Stuart Mill (1806-1873) yang mengembangkan kerangka
pemikiran induksi Bacon. Setelah itu juga ada pemikir besar yang lahir yaitu
John Locke yang juga menerima penolakan Bacon bahwa pengalaman indera
adalah fondasi dasar seluruh pengetahuan manusia dan penolakan Bacon
terhadap penalaran deduktif sebagai penalaran yang tidak berguna.(hal. 159).
Selanjutnya projek empirisme mencapaikongkslusi logisnya dalam tulisan
David Hume (1711-1776). Kesimpulannya bahwa intelek manusia
menanggung rasa malu yang amat sagat. Baginya prinsip prinsip penalaran itu
relah ada dalam diri manusia dia mengidentifikasi tiga prisnip yang
bertanggung jawab untuk menyusun ide ide:kemiripan, hubungan dalam ruang
dan waktu, dan sebab akibat. Hume mengatakan “suatu kesumpulan
sederhana, pemikiran, ini ahak jauh dari terori teori dilsafat seluruh keyakinan
terhadap fakta atau ada yang real samara mara diperoleh dari beberapa ibjek
yang masuk ke dalam memori ata intra dan hubungan kebiasaan antara objek
yang masuk kedalam memori atau indra dan hubungan kebiasaan antara objek
itu dengan objek lain” (hal. 167). Kemudian dilanjutkan oleh Emanuel Kant

41
yang mencari solusi dalam metafisika. Dia menanyakan apakah sesuatu yang
metafisis itu sama sekali mungkin. Yang berarti pernyaan yata yang diajukan
kanti untuk menulis keritiknya adalah unutk menemukan apakah nungkin bagi
pemikiran untuk memperoleh pengetahuan yang terlepas dari pengalaman.
Kant mengeluarkan argument tentang intuisi murni yang pada akhirnya ia
mengabadikan empirisme dengan memberinya dasar dasar rasional. Dia
menyimpulkaan bahwa manusia hanya dapat menerima intuisi yang dapat
diindra. Menurutnya, dunia kita sangatlah besar dan intuisi kita tidak dapat
memahami yang lain kecuali yang terindra (hal. 169). Tradisi empriris yang
dikukuhkan bacon, mencapai puncaknya dengan peniadaan perinsip kausalitas
dan ileh karenanya meruntuhkan gagasan tentang akal. Singkatnya, argument
Hume mengakibaktan ktisis intelektual. Krisis itu kemudian ditanggulangi
oleh kant yang menunjukan prinsip-prinsip akal yang ada dengan sendirinya
atau aptiorti, termasuk prinsip kausalitas. Dalam ha ini kant menekankan
perlunya penggunaan konsep metafisikan (transedental) and memperhatikan
bahwa krtisis yang diciptakan Hme adaah akibat dari pennyataanya yang
menagikan seluruh argument metafisika. Namun upaya ini berakibat kepada
pengabdian knosep kebenaran kepada kenearan emporos, ilmu dan moted
metode ilmiah tidak memiliki akses terhadap ralitas yang berada dibalik
pengalaman indra. Maka metode kealaman menekankan pengalaman sebagai
penguji tertinggi untuk menetapkan kebenaran ilmiah. Dua pemikir yang
paling berpengaruh dalam membenruk struktur metodologi kealaman adalah
Kalr Popper dan Emile Durkhaim. (hal. 179)

Sebagian besar metode metode barat moredn ditingkatkan kea


rah kajan fernomedologi kealaman dan social, akibatnya conocern metodologi
kesarjanaan barat terfokus para presepsi metode induktif dan analisis social.
Teks dan analisis teks dibuang pada kekaburan dalam perkembangan
intelektualisme barat modern yang mula mula. Kesarjanaan barat memiliki
konstribusi penting dalam pengembangan suatu metode emprirs. Namun
secara gradual focus kajian metode metode empiris di naikkan kepada wsuatu
pendekatan metodologis empiris yang membatasi kebenaran dan kebenaran
empiris. Demikian pula analissi aksi seecara gradual pada kebnaran empiris/.

42
Munculnya metodologi ilmu social kealaman yang mengadopsi ilmu alam
merupakan gejala trend ini. (hal. 199)

Suatu Metodologi Alternatif

Upaya yang telah dilakukan untuk mewujudkan suatu pendekatan


metodologis tang mengakui wahyu sebagai suatu seumber primer dan
menganjurkan penggunaan Teknik analissi teks dan aksi sebagai suatu
perangkat niscaya untuk membangun teori. Metode teknis tidak dibaas
secarakhusus tetapi ia dapat diambil dari metode metode teksual kesarjanan
muslim dan kesarjanaan barat modern. Upaya inilah yang dicangangkan oleh
Louay Safi untuk mewujudkan suatu pendekatan metodologis yang mengakui
wahyu sebagai suatu sumber pengetahuan primer namun juga mermuskan
suatu model pendekatan yang padu untuk menganalisis teks-teks wahyu
maupun fenomena sosial (hal. 203). Mengapa muncul serangan terhadap
wahyu, tentu saja karena Barat menganggap wahyu itu disamakan dengan
metafisik yang tidak memiliki landasan den menganggapnya rival
pengetahuan dan dipertentangkan dengan pengetahuan yang dianggap benar
oleh akal. (hal. 204)

Metode teknis tidak dibagas secara khusus tetapi ia dapat diambil dari
meted meted tekstual kesarnaan muslim dan barat modern tetntunya dengan
beberapa pembaharuan dan modifikasi. Untuk menginterpretasikan konsep
dari wahyu tuhan kita perlu penggunakan suatu metode yang dikembangkan
dan memungkinkan untuk sistematisasi aturan aturan dan konsep konsep itu
secara memadai.

Metode yang ditawarkan disini adalah terdiri dari emapat langkah:


pertama, dimaksudkan untuk menfidentifikasi seluruh petanyaan baik dari
alquran maupun nabi yang relevan dnegan pertanyaan yang sedang dibahas,
kedua, mencakup suatu upaya untuk memahami makna pernyataan al-quran
yang relevan, secara individual dan dalam kaitannya dengan yang lain, ketiga,
berkaitan dengan ta’lili (penjelasan) terhadap teks, yakkni mengedentifikasi

43
illah yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks, keempat,
dimaksudkan untuk membawa kesatuan dan keteratuan ke dalam berbagai
atudan dan prnisip yang melahikan dari teks wahyu. (hal 218).

Pendekatan metodologis yang padu atas kajian tekstual dan historis ini
secara general dapat diringkas ke dalam lima prosedur berikut ini.

1. Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu


pernyataan/aksi.

2. Pengemlompokan pernyataan atau aks yang sama dibawah satu kategori..

3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori.

4. Intertifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun


interaksi atau iter-relasi berbagai kategori.

5. Sistematisasi aturan-aturan yang dipeeroleh melalui prosedur-prosedur


sebelumnya (menghilangkan kontradiksi) (hal. 327).

Catatan Kecil sebagai Penutup

Sebagai sebuah sejarah gagasan akan pentingnya terobosan baru dalam


sebuah metodologi atau yang disebutkan penulis sebagai metodologi alternatif,
buku Louay Safi ini telah berhasil dengan baik mengklasifikasikan
kekurangan-kekurangan metodologi yang sudah ada, baik metodologi muslim
klasik dan barat modern serta adanya metodologi alternatif mengenai
metodologi penggalian pengetahuan. Secara garis besar Louay Safi
mengarahkan pembaca akan ancangan metodologi alternatifnya yang menjadi
sintesa dari metodologi yang sudah ada. Dengan menghadirkan beberapa
pendapat para tohoh tohoh pemikir ataupun fulsuf dari tokoh Yunani dan
tokoh muslim klasik dan tokoh barat modern. Dengan berbagai memikiran
mereka dan sangkalah serta bantahan antara satu sama lain. sehingga didalam
buku ini dihadirkan beberapa perdebatan perdebatan mengenai filsafat.

44
Karya Louay Safi ini benar benar memberikan sumbangan besar bagi
sarjana muslim, pasalahnya Louay Safi memberikan sebuah saran dan
terobosan baru yaitu ancangan metodologi alternatif untuk menyelesaikan
masalah dikotomi antara wahyu dan akal.

Wallahu a’lam bi ass-shawab

45
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer

Book Review 5

Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 1996)

Oleh : Muhammad Maghfur

NIM : 1800018036

Buku karangan jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,


merupakan suatu buku yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dalam bidang
filsafat ilmu agar masyarakat bisa mengenal suatu keilmuan dengan berbagai
aspeknya, sehingga diharapkan bisa mempercepat berkembangnya paragdigma
keilmuan dalam kehidupan. Untuk itu, maka penyajiannya dilakukan secara populer
agar mempunyai daya jangkau yang lebih luas, serta disajikan dengan ringan dan
santai dimaksudkan agar tumbuh kecintaan pada para pembacanya terhadap bidang
keilmuan, yang mana pada akhirnya akan mendorong mereka untuk mempelajari
keilmua tersebut secara mendalam (hal. 13).

Tujuan utama dalam pengkajian buku ini adalah untuk mengenal alur-alur
berpikir dalam kegiatan keilmuan, dan mencoba menerapkannya kepada masalah-
masalah praktis dalam kehidupan. Untuk itu, maka asas-asas filsafat keilmuan dicoba
diterapkan terhadap permasalahan yang aktual dewasa ini seperti usaha peningkatan
penalaran, permasalahan moral dalam kegiatan keilmuan, kaitan ilmu dengan
kebudayaan perkembangan bahasa nasional, penerapan asas-asas keilmuan dalam
kegiatan penelitian dan pembahasan tentang penulisan ilmiah. Pengetahuan
kefilsafatan secara pragmatis ditujukan kepada kemampuan mendiagnosis persoalan
dan mencari alternatif pemecahan (hal. 13-14).

Pemahaman Filsafat dan Fisafat Ilmu

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu
dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa

46
yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati
bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak
terbatas ini (hal. 19).

Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang,


seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau. Berfilsafat tentang
ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri: apakah sebenarnya yang saya
ketahui tentang ilmu? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa
ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang kita pakai dalam
menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa kita mempelajari ilmu? Apakah
kegunaannya sebenarnya? (hal. 19-20).

Berfilsafat juga berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang


telah kita ketahui: Apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang
seyogyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di
batas manakah dia berhenti? Kemanakah saya harus berpaling di batas ketidaktahuan
ini? Apakah kelebihan dan kegunaan ilmu? (hal. 20).

Filsafat adalah pemikiran/penelaahan tentang sesuatu secara mendalam,


menyeluruh dan berkesinambungan. Adapun karakteristik berpikir filsafat adalah
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Adapun tugas utama filsafat adalah
menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah
yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau?
Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? Adakah hukum yang mengatur alam dan
segenap satwa kehidupan? Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka filsafat
menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia (hal. 20-22).

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang


secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu
tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering
dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial (hal. 33).

Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab


beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:

47
1. Ontologi

Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

2. Epistemologi

Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?


Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?

3. Aksiologi

Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional? (hal. 33-35).

Dasar-Dasar Pengetahuan

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan
kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, tetapi tidak semua kegiatan berpikir
menyandarkan diri pada penalaran (hal. 42).

Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses


penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika. Secara lebih luas logika didefinisikan sebagai
“pengkajian untuk berpikir sacara sahih”. Cara penarikan kesimpulan berdasarkan
penalaran ilmiah, yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif
merupakan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata (khusus) menjadi
kesimpulan yang bersifat umum, sedangkan logika deduktif merupakan penarikan
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual

48
(khusus). Penarikan kesimpulan secara deduktif menggunakan pola berpikir
silogisme. Disusun dari dua buah pertanyaan dan sebuah kesimpulan (hal. 46-48).

Kaitan Ilmu dengan Kebudayaan dan Bahasa

Kebudayaan didefenisikan pertama kali oleh EB. Taylor pada tahun 1871 di mana
dalam bukunya Primitive Culture, di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta
kemampuan dan kebiasaan lainya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Yang menjadi dasar dari kebudayaan adalah nilai (hal. 261). Di samping
nilai ini, kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan
manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata
hidup merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak:
kegiatan manusia ini dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya
tertangguk oleh budi manusia. Di samping itu nilai budaya dan tata hidup manusia
ditopang oleh sarana kebudayaan (hal. 262).

Ada dua pola kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-
ilmu sosial. Raiso de’etre yang menjadi argumentasi bagi eksistensi pembagian
jurusan ini brdasarkan pada dua asumsi. Asumsi yang pertama mengemukakan bahwa
manusia mempunyai bakat yang berbeda dalam pendidikan matematika yang
mengharuskan kita mengembangakan pola pendidikan yang berbeda pula. Asumsi
yang kedua adalah yang menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial kurang memerlukan
pengetahuan matematika dapat menjuruskan keahliannya di bidang keilmuan ini.
Asumsi kedua ini sekarang tidak relevan lagi karena pengembangan ilmu sosial
membutuhkan bakat-bakat matematika yang baik untuk menjadikannya pengetahuan
yang bersifat kuantitatif. Sedangkan dalam memberikan penilaian terhadap asumsi
yang pertama sebaiknya kita mempelajarinya dengan sangat hati-hati (hal. 285).

Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan,


pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya
dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk
“pengetahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat.

49
Terminologi pengetahuan ini adalah terminologi artifisial yang bersifat sementara
sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari
produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu hal. 293).

Seluruh bentuk tersebut dapat digolongkan dalam kategori pengetahuan


(knowledge) di mana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakter obyek
ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologi masing-masing. Salah satu
bentuk knowledge ditandai dengan :

1. Obyek Ontologis yaitu pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat
dijangkau lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan pancaindra;

2. Landasan epistemologis, yaitu metode ilmiah yang berupa gabungan logika


deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut logico-
hyphotetico-verifikasi;

3. Landasan aksiologi: kemaslahatan manusia artinya segenap wujud


pengetahuan itu secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia (hal. 293-294).

Hakikat dan Kegunaan Ilmu

Suatu hari Plato ditanya oleh seorang muridnya tentang pakah kegunaan dari
pelajaran matematika yang telah diberikanya selama ini? Filsuf ini merasa sangat
tersinggung dengan pertanyaan tersebut dan langsung memecat serta mengeluarkan
murid tersebut dari sekolah. Itulah gambaran secara umum tentang kegunaan ilmu
atau pengetahuan pada masa itu. Pengetahuan-pengetahuan, termasuk juga ilmu, pada
waktu itu memang tidak mempunyai kegunaan secara praktis, melainkan hanya
estestis saja. Artinya seperti kita mempelajari piano, atau membaca sajak cinta, maka
pengetahuan semacam ini lebih ditujukkan kepada kepuasan jiwa, dan bukan sebagai
konsep untuk memecahkan masalah. Bahkan sekarang pun gejala ini masih terlihat, di
mana orang mempelajari berbagai pengetahuan ilmiah bukanlah sebagai teori yang
mempunyai kegunaan kegunaan praktis, melainkan sekedar upaya untuk memperkaya
jiwa (hal. 364).

Penempatan ilmu dalam fungsi estetis pada zaman Yunani Kuno itu
disebabkan filsafat mereka yang memandang rendah pekerjaan yang bersifat praktis

50
yang waktu itu dikerjakan oleh budak berlian. Adalah kurang tepat kalau kaum
merdeka memikirkan masalah yang tidak sesuai dengan status sosial mereka.
Sebenarnya pendapat seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh, sebab sekarang pun
masih ada yang berpendapat seperti itu. “Jangan mau jadi masinis atau pekerja
teknik Anakku, jadilah pegawai negeri, Asyik !” (hal. 365).

Catatan Kecil sebagai Penutup

Di akhir reviev ini, saya ingin memberikan sedikit tanggapan tentang buku karangan
Jujun ini. Pertama, saya masih teringat cerita pak dosen Dr. H. Sholihan, M.Ag
tentang seorang mahasiswi yang bertanya kritis pada dosennya saat itu. Hingga
sampailah pada suatu saat ketika mahasiswi itu menanyakan, “Kalau Tuhan Maha
Kuasa, maka Ia kuasa membuat batu yang mahabesar sehingga Ia tidak kuasa
mengangkat batu tersebut”. Pertanyaan tersebut cukup membuat dosennya tersebut
berkeringat dingin sebelum pada akhirnya dia berusaha menemukan jawabannya.
Ternyata cerita tersebut dimuat dalam buku Jujun ini, lebih tepatnya di halaman kata
pengantar. Yang mana mahasiswi kritis tersebut adalah pengarang buku ini sendiri,
Jujun S. Suriasumantri, sedangkan dosennya adalah Bapak Andi Hakim Nasution
(hal. 11-12). Meskipun saya tidak menangi secara langsung, tetapi cukup buat saya
terkaget dengan pertanyaan seperti itu. Dari sini, saya tertarik untuk menjawabnya.
Dan inilah jawaban saya “Sudah barang tentu sebenarnya Tuhan kuasa
melakukannya. Karena tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Akan tetapi,
semahabesar apapun sesuatu itu, tentu kekuasaan Allah lebih besar dari itu. Sangat
mustahil jika ada sesuatu yang bisa mengalahkan kemahakuasaan Tuhan.”

Kedua, saya sangat tergelitik dengan penutup buku ini, yaitu mengenai hakikat
dan kegunaan ilmu. Bahwa ilmu seharusnya bukan hanya untuk dihafal, namun
hendaknya mempunyai kegunaan praktis untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Nyatanya, di negeri ini orang berlomba-lomba bersekolah tinggi sekali dengan
jurusan yang katanya menjamin masa depan. Tapi entah kenapa negeri ini masih
belum berubah (hal. 365). Hal ini memang sudah menjalar menggerogoti mental para
pelajar di Indonesai. Menghapal tanpa memahami isi dan inti dari yang dihapal sudah
seperti wacana wajib untuk bersaing dengan yang lain.Yang mana pada akhirnya nanti

51
esensi belajar hanya untuk mengejar nilai dan mendapatkan ijazah saja. Tentu saja
tradisi seperti ini harus segera di atasi.

Ketiga, saya akan memberi sedikit tanggapan tentang gaya penulisan dari
buku Jujun ini. Tak dapat dipungkiri lagi, segala sesuatu ciptaan manusia di bumi ini
mesti ada kelebihan dan kekurangan masing-masing, begitu pula buku ini ada
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan buku ini adalah gaya bahasa yang mudah
dipahami. Pada dasarnya filsafat sangat menarik untuk dipelajari, dengan hadirnya
buku ini mampu menjauhkan kesan bahwa filsafat sangat sulit untuk dipahami. Isi
dalam buku filsafat ilmu ini memiliki pembahasan yang luas dan detail dalam
penyampaiannya. Tidak hanya terpaku pada satu ide pokok. Namun, penulis dapat
mengaitkan antara suatu pokok masalah ke dalam hal-hal yang bersifat umum,
sehingga mudah untuk dinalar. Pesan yang hendak disampaikan penulis tersaji secara
rinci melalui ilustrasi gambar, syair, anekdot, dan karikatur. Penulis juga memberikan
contoh dalam kehidupan sehari-hari yang memudahkan pembaca untuk memahami isi
dan pesan dari buku tersebut.

Kekurangan dalam buku ini adalah terlalu banyak contoh pada buku sehingga
terlihat contoh yang lebih mendominasi dari pada inti dari pembahasan tersebut.

Wallahu a’lam bi ass-shawab

52
ILMU DALAM PERSPEKTIF

Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu

Oleh: Jujun S. Suriasumantri

BOOK REVIEW 6

NAMA : TRI MAMIK RAHAYU

NIM : 1800018043

Salah satu karya fenomenal Jujun S. Suriasumantri dalam bidang filsafat yaitu
sebuah buku yang berjudul “Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu)” yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada
tahun 2015 silam. Di dalam buku ini Jujun berfokus pada persoalan hakekat ilmu,
karena banyak pihak-pihak yang berkecimpung di dalam bidang keilmuan dimana
masih kurang begitu memahami tentang hakekat ilmu yang sebenarnya. Di dalam
bukunya Jujun mengumpulkan berbagai kumpulan karangan dimana sebagian besar
dari kumpulan karangan nya tersebut disusun selama redaksi di Harvard University
antara tahun 1971 dan 1974. Kumpulan karangan tersebut Jujun memberikan sebuah
pengantar yang mengemukakan kerangka ilmu yang bersifat menyeluruh.

Dalam pengantar nya Jujun menyampakan bahwa untuk menghargai ilmu


sebagaimana mestinya maka kita harus mengerti apakah hakekat ilmu itu yang
sebenarnya. Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber
kebenaran sering tidak mengetahui hakekat ilmu yang sebenarnya. Begitu sebaliknya,
bagi mereka yang memalingkan muka dari ilmu, orang-orang semacam ini mereka
tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti yang
bisa kita lihat sekerang ini, kepicikan seperti itu disebabkan karena mereka kurang
mengenal hakekat ilmu yang sebenarnya. Untuk menghadapi dua pendapat ekstrem
tersebut maka kita harus bersifat netral dengan menyadari bahwa walaupun ilmu
memang memberikan kebenaran, akan tetapi kebenaran ilmu bukanlah satu-satunya
kebenaran dalam hidup ini. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang dapat

53
memperkaya khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran tersebut mempunyai
manfaat selama ditempatkan pada tempatnya yang layak. Dalam kehidupan manusia
selain ilmu terdapat tempat masing-masing bagi falsafah, seni, agama dan yang
lainnya. Semua lini tersebut semuanya bersifat saling membutuhkan dan saling
melengkapi antara satu dengan yang lain. Dalam memahami hakekat dari ilmu, ada
tiga hal penting yang menjadi pokok pembahasan dari ilmu yaitu pertama, apa yang
ingin kita ketahui (ontologi), kedua, bagaimana caranya bisa mendapatkan
pengetahuan dari apa yang ingin ketahui (epistemologi), dan yang ketiga apa nilai
guna atau manfaat nya bagi kita (aksiologi).6

Pertama, Ontologi Ilmu

Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita
ingin tahu bisa dikatakan ontologi merupakan suatu pengkajian mengenai teori
tentang “ada”. Karena ontologi diaplikasikan dalam bidang keilmuan maka ontologi
ilmu adalah apa yang ingin kita ketahui tentang ilmu? Atau dengan kata lain apakah
yang menjadi bidang telaah ilmu?

Dalam pengkajiannya, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang


bersifat empiris saja dan objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek yang dapat
diuji oleh panca indera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari
objek-objek empiris seperti batu-batuan, binatang, tumbuhan atau manusia itu sendiri.
Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapnnya
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek ditelaah, maka ilmu
dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris dimana objek-objek yang berbeda di
luar jangkauan manusia tidak termasuk kedalam penelaahan keilmuan. Dan hal ini
menjadi salah satu ciri yang dimiliki ilmu yaitu orientasi terhapa dunia empiris.7

Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang


penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan
semuanya saling terjalin secara teratur. Ilmu memiliki tiga asumsi tentang objek
empiris, yaitu pertama mengganggap objek-objek tertentu memiliki kesamaan satu
sama lain misalkan dalam hal bentuk, struktur, sifat dan yang lainnya. Asumsi kedua

6
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 5.
7
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 7.

54
adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu
tertentu, sementara kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek
dalam keadaan tertentu, sehingga kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan apabila
objek nya selalu berubah setiap waktu. Dan tidak mungkin bagi kita manusia
menuntut adanya kelestarian absolut, maka dari itu ilmu hanya menuntut adanya
kelestarian relatif artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda akan mengalami
perubahan. Asumsi ilmu yang ketiga yaitu determinisme, yaitu kita menganggap
setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang sifatnya kebetulan, melainkan
setiap gejala tersebut mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan
kejadian yang sama.8

Kedua, Epistemologi Ilmu

Epistemologi yaitu teori tentang pengetahuan untuk mengetahui bagaimana


cara kita mendapatkan pengetahuan menegenai suatu objek tertentu. Epistemologi
membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang di dapat melalui proses
tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu
dengan buah pemikiran yang lain.

Ditinjau dari segi perkembangannya ilmu merupakan gabungan dari cara-cara


manusia sebelumnya dalam mencari pengetahuan. Jika ditinjau dari sejarah berpikir
manusia terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan yaitu pertama, berpikir
secara rasional dimana berdasarkan paham rasionalisme ini, ide tentang kebenaran
sebenarnya sudah ada. ide tentang kebenaran tersebut diperoleh lewat berpikir secara
rasional terlepas dari pengalaman manusia. Sistem pengetahuan dibangun secara
koheren diatas landasan-landasan pernyataan yang sudah pasti. Kemudian yang kedua
yaitu empirisme. Untuk mendapatkan pengetahuan kaum empiris mengajarkan kita
untuk kembali kepada alam. Menurut mereka pengetahuan tidak ada secara apriori di
benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.

Dengan berjalannya waktu akhirnya baik dari kubu rasionalisme maupun kubu
empirisme kedua nya menyadari mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Dan digabungkanlah antara pendekatan rasionalis dan emiris dimana

8
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 11.

55
penggabungan dari keduanya disebut dengan metode keilmuan, dimana dalam metode
keilmuan ini rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis,
sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu
kebenaran. Kedua metode ini menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan
sistematis serta dapat diandalkan karena pengetahuan tersebut telah teruji secara
empiris.9

Berpikir secara keilmuan ini selain memiliki kelebihan akan tetapi juga tidak
terlepas dari sebuah kekurangan. Kelebihan ilmu terletak pada pengetahuan yang
tersusun secara logis dan sistematis dan telah teruji kebenarannya. Kegiatan keilmuan
tidak dilakukan secera misterius, melainkan dilakukan secara terbuka. Setiap unsur
dan langkah yang terlibat di dalamnya diungkapkan dengan jelas sehingga
memungkinkan semua pihak mengetahui keseluruhan proses yang telah dilakukan.
Pengungkapan ini dilakukan secara tersurat dengan menggunakan berbagai media
yang ada dalam komunikasi keilmuan. Kedua sifat ini yaitu terbuka dan tersurat yang
kemudian dikomunikasikan kepada semua pihak menyebabkan ilmu mengalami
penilaian yang dalam dan luas. Setiap orang bisa mengajukan sanggahan terhadap
teori yang dikemukakan atau memperlihatkan bukti-bukti baru yang mendukung atau
menggugurkan suatu teori tertentu.10

Dunia rasionalis dan dunia empiris membentuk sebuah dunia keilmuan yang
merupakan gabungan dari keduanya. Dunia rasioal adalah dunia yang koheren, logis
dan sistematis, dengan logika deduktif sebagai pengikatnya. Sedangkan dalam dunia
empiris yang bersifat objektif dan berorientasi pada fakta sebagaimana adanya.
Kesimpulan umum yang ditarik dari dunia empiris secara induktif merupakan suatu
ujian kenyataan dalam menerima atau menolak suatu kebenaran. Kebenaran keilmuan
tidak hanya merupakan keismpulan rasional yang koheren dengan sistem pengetahuan
yang berlaku, akan tetapi juga harus sesuai dengan keyataan dalam menerima atau
menolak suatu kebenaran. Kebenaran keilmuan bukan saja merupakan kesimpulan
rasional yang koheren dengan sistem pengetahuan yang berlaku, tetapi juga harus

9
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 15.
10
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 17.

56
sesuai dengan kenyataan yang ada. Kekuatan berpikir otak manusia lebih asasi telah
membudayakan umat manusia.11

Ketiga yaitu Aksiologi Ilmu

Aksiologi yakni teori tentang nilai, teori aksiologi ini untuk menjawab
pertanyaan tentang apa kegunaan atau manfaat suatu ilmu bagi kita. Tidak dapat
dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia. Dengan ilmu maka banyak
persoalan-persoalan bisa terselesaikan seperti memberantas penyakit, mengatasi
kemiskinan dan lain sebagainya. Tapi tidak selalu ilmu menjadi anugrah bagi
kehidupan, terkadang karena ilmu juga bisa terjadi suatu kerusakan bagi kehidupan,
hal ini karena ilmu disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu, dan orang-orang seperti
itu lah yang tidak benar-benar memahami apa sesungguhnya hakekat dari ilmu itu
sendiri. Sebagaimana yang disampaikan oleh Francis Bacon bahwa pengetahuan
adalah kekuasaan. Apakah kekuasaan tersebut akan menjadi berkat atau malapetaka
bagi kehidupan, itu semua terletak pada orang yang menduduki kekuasaan tersebut.12

Sementara ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau
buruk dan orang yang memiliki pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap
bagaimana seharusnya memanfaatkan ilmu yang ia miliki. Dengan kata lain netralitas
ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja, jika benar katakan benar dan
jika salah katakan salah tanpa berpihak kepada siapapun selain kepada kebenaran
yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu
menilai antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah, yang pada
hakekatnya mengharuskan ia untuk mengambil sikap tertentu.

Kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai


landasan moral yang kuat, karena tanpa di landasi moral yang kuat maka seorang
ilmuwan akan lebih seperti seorang tokoh seperti Frankenstein yang menciptakan
momok kemanusiaan yang merupakan sebuah kutukan. Jadi bagi para tokoh dalam
keilmuan jangan hanya menjadi seorang ilmuwan yang mempunyai otak besar saja,
akan tetapi juga harus diimbangi dengan memiliki jiwa yang besar pula.13
11
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 44.
12
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 44.
13
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 45.

57
BOOK RIVIEW 7

INTEGRASI ILMU DAN AGAMA:


INTERPRETASI DAN AKSI

Disusun Oleh:
ETY WULANDARI (1800018026)

PENDAHULUAN

Bahwa salah satu pilar peradaban manusia adalah ilmu dan agama, ilmu tidak
bisa lepas dari perhatian agama-agama dunia, upaya memberikan suatu warna
keagamaan dalam pendidikan telah menjadi perhatian perguruan perguruan tinggi
keagamaan. Buku ini berupaya mengangkat masalah penting ini dengan
menghadirkan upaya transformasi IAIN menjadi UIN sebagai salat satu konteks
terdekatnya.

Kepentingan, perhatian, dan kegelisahan yang mempertemukan MYIA14 dan


UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tercermin dalam fakta bahwa ketika proses
penyusunan buku ini sedang berlangsung , IAIN Sunan Kalijaga mengalami
transformasi kelembagaan yang bersejarah menjadi Universitas Islam Negeri,
berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 50 tahun 2004, tertanggal 21 Juni
2004 bersamaan dengan UIN Malang. Sebelumnya UIN Jakarta telah mengawali
terlebih dahulu.

Tujuan utama pendirian MYIA sendiri adalah terciptanya forum terbatas


untuk para pengajar perguruan tinggi di Yogyakarta dan sekitarnya yang berminat
pada wacana ilmu dan agama dalam arti luasnya. Misi utamanya adalah
mengembangkan wacana tentang ilmu dan agama yang kontruktif, karakter utamanya

14
MYIA(Masyarakat Yogyakarta Ilmu dan Agama) adalah lembaga yang didirikan atas inisiatif program
studi agama dan lintas budaya UGM, pada Maret 2003 telah menjadikan isu integrasi ilmu dan agama
pada tahun pertamanya, dan perbincangan isu dari berbagai perseptif dan dalam berbagai disiplin
ilmu palam pertemuan selanjutnya.

58
adalah lintas disiplin dan lintas agama. Anggota-anggotanya berasal dari berbagai
latar belakang disiplin ilmu, seperti ilmu-ilmu alam, sosial, filsafat, dan teologi, serta
dari berbagai universitas (UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Kristen Duta
Wacana dan Universitas Kristen Satya Wacana, Universitas Kristen Sanata Dharma,
dan sebagainnya). (hal 13, 1)

Perhatian daan kepentingan MYIA dan UIN Sunan Kalijaga , - yang satu
berbasis lembaga pendidikan tinggi islam sementara yang lain sebuah universitas
umum- , bertemu mengadakan diskusi panel berjudul “Integrasi Ilmu dan Agama di
Perguruan Tinggi” yang dilaksanakan pada 20 Desember 2003, makalah-makalah
dalam pertemuan itulahyang menjadi embrio buku ini.

METODOLOGI

Buku ini merupakan kumpulan makalah yang pernah dipresentasikan dalam


berbagai forum MYIA ditambah beberapa tulisan undangan khusus. Menampilkan
beragam jenis tulisan dari penulis dengan beragam latar belakang disiplin ilmu
maupun agama. 13 (tiga belas) makalah tersajikan sebagai pendahuluan adalah
makalah yang di tulis oleh Zainal Abidin Bagir Direktur CRSC UGM Yogyakarta
adalah salah satu editor buku ini, makalahnya berjudul Bagaimana
“Mengintegrasikan” Ilmu Dan Agama?

Bambang Sugiharto guru besar Fakultas Filsafat Universitas Katholik


Parahyangan menuliskan makalah dengan judul Ilmu dan Agama Dalam Kurikulum
Perguruan Tinggi. Guru besar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
Liek Wilardjo dengan spesialisasi yang ditekuni fisika dan matematika selain itu ia
meninati bidang filsafat ilmu, etika, pendidikan sains, bahas keilmuan dan telaah
lintas agama, tulisannya yang berjudul Hipotetikalitas: ketidakpastian dan pilihan
Etis? Dan makalah tentang ilmu agama di perguruan tinggi : dipadukan atau
dibincangkan? Tersaji dalam buku ini.

EG Singgih dan Robert Setia anggota MYIA dosen dari Universitas Kristen
Duta Wacana Yogyakarta, makalah dengan judul Kuhn dan Kung; Perubahan
Paradigma Ilmu dan Dampaknya Terhadap Teologi Kristen karya EG Singgih,
Robert Setio menulis makalah berjudul Universitas Pada Era Pascakolonial. Sindung
Tjahyadi juga anggota MYIA dosen Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta makalah

59
yang ditampilkan berjudul Dasar - Dasar Validitas Ilmu dan Agama Dalam
Perspektif Teori Krikis Jurgen Habermas.

Dr. Armahedi Mahzar, M.Sc seorang fisuf Islam, fisikawan, dan pengajar di
Institut Teknologi Bandung (ITB) memaparkan makalah berjudul Integrasi Sains Dan
Agama: Model Dan Metodologi.

Penulis lain yang makalahnya dimuat dalam buku ini adalah Dr. Ahmad
Zainul Hamdi, M. Ag dosen UIN Sunan Ampel tentang Menilai Ulang Gagasan
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan” Sebagai Blue Print “ Pengembangan Keilmuan UIN
dan Dr Muslim, M.Pd dosen UPI Fakultas Pendidikan Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Prodi Pendidikan Fisika. Makalah yang dimuat berjudul Integrasi
Ilmu-Ilmu Alam dan Agama Islam Di Perguruan Tinggi .

Terdapat tiga rektor yang makalahnya disajikan dalam buku ini, Azyumardi
Azra rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam,
Imam Suprayogo UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Membangun Integrasi Ilmu
dan agama pengalaman UIN Malang, M . Amin Abdullah Rektor UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan kalijaga : dari
pola pendekatan Dikotomis-atomistik ke arah integratif interdisiplinary.

ANALISIS ISI BUKU

Dalam buku ini yang berjudul Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi
yaitu membahas kaitannya Ilmu dan Agama yang berkembang serta interpretasi dan
aksi dalam kehidupan sehari-hari serta diskusi secara formal maupun non formal.
Integrasi sains ilmu beserta agama islam yang didasarkan pada struktur epistimologi
yang bersifat global memberikan indikasi pararelisme yang komperhensif antara
epistemology sains dan kandungan ontologism maupun epistimologis ayat-ayat al-
quran serta hadist.

Dalam perkembangan ilmu serta agama yaitu adanya hubungan yang


signifikan melalui dukungan-dukungan para pemikir dan filosof,selain al-quran dan
hadis,para menikir mengartikan juga bahwa ilmu adalah salah satu dasar pemikiran
yang harus di integrasikan sesuai kemampuan individu tetapi jika ilmu itu selalu
berkembang maka diri kita lah yang selalu mencari serta belajar demi naiknya derajat
ilmu didalam dirinya. Begitu pula agama,banyak sekali selain Al-quran dan hadis

60
yang mengartikan bahwa agama adalah panutan yang utama dibandingkan
ilmu,karena dari alquran dan hadis mengatakan bahwa adanya agama tanpa ilmu itu
buta dan sebaliknya ada ilmu tanpa agama itu hancur,oleh karana irtu agama adalah
penting bagi individu karana agama adalah salah satu percaya adanya maha pencipta
sang khalik dan memberikan kenyamanan hati secara rill dan konkrit.

Ilmu adalah suatu yang sangat menonjol dalam agam Islam, hal ini dapat
dilihat dalam Hadist maupun dalam Al-Qur'an, disana banyak sekali ungkapan afala
tatafakkarun, hal ini menunjukkan bahwa manusia diwajibkan untuk mengembangkan
ilmu baik ilmu agama maupun ilmu sosial. Bahwa orang yang berilmu dan orang yang
tidak dalam islam kedudukannya sangat berbeda jauh. Nabi juga bersabda "tuntutlah
ilmu sampai kenegeri cina". Kenapa kenegeri cina? Karena pada masa itu cina sudah
berkembang dengan pesat bahkan sudah menciptakan kertas. Nabi menganjurkan
bahwa ilmu untuk mengembangkan agama boleh diambil dari orang selain islam
asalkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dan islam sebagai filter (penyaring ilmu-
ilmu tersebut).

Kemudian dalam hal agama dan ilmu ini bahwa sejauh menyangkut
keilmuan,tantangan terkini umat islam saat ini ada dua hal.pertama ,ilmu-ilmu yang
terpisah dari nilai-nilai spiritual dan etis dalam beberapa hal diharamkan bahkan
untuk masa depan umat manusia dan alam semesta. Ilmu-ilmu semacam ini harus
direndam oleh nilai-nilai keagamaan dan spiritual sehingga ilmu-ilmu tersebut
membawa manfaat sepenuhnya bagi umat manusia dan alam semesta. Kultivasi ilmu-
ilmu terpadu dalam dunia islam jelas bergantung pada system pendidikan yang
memungkinkan transmisi dan implantasi ilmu pengetahuan diseluruh bentuknya
dalam sebuah sikap yang terpadu dan holistik, system pendidikan islam harusnya
menekankan pada seluruh ilmu keagamaan sekaligus juga mencangkup semua bentuk
ilmu pengetahuan dan sains.

Maka dari itu bahwasannya agama dan ilmu saling berkaitan satu sama lain,
hanya saja bahwa agama dan ilmu mempunyai kekurangan dan kelebihan serta
kelemahan dari sisi masing-masing pengetahuan yang ada, entah itu dari masalah
yang kecil hingga yang besar serta penyelesain masalah dari agama serta ilmu ada
semua secara sistematis maupun agamis.mungkin dari diri kitanya saja bisa
mengaitkan antara agama dan ilmu secara baik dan benar.

61
Dalam buku ini dituliskan bahwa tak terlalu sulit disepakati bahwa agama
mesti diintergrasikan dengan pelbagai bidang kehidupan, demi menjadikannya rahmat
bagi alam semesta. Maka, terasa wajar saja jika muncul gagasan mengitergrasikan
agama dan ilmu, alih-alih berjalan sendiri-sendiri, apalagi bertentangan keduanya.
Tapi ungkapan”integrasi ilmu dan agama” bisa bermakna macam-macam. Apakah
nitu berarti penggabungan sistem sekolah agama dan sekolah umum? Penyandingan
rumus-rumus fisika dengan ayat suci? Penafsiran ayat suci dengan temuan ilmiah
modern? Penyatuan kompleks universitas dengan tempat ibadah? Dosen-dosen
dengan kualifikasi ganda keilmuan dan keagamaan? Pendidikan yang
mengembangkan kecerdasan emosional, intelektual, spiritual (IQ/EQ/SQ)? Atau
dalam bahasa filsafat ilmu, apakah intergasi bisa dilakukan pada tingkat ontologi,
epistimologi atau aksiologi?

buku ini berupaya menjelajahi masalah penting di atas, buku ini mencoba
lebih jauh memasuki wilayah ini dengan mempertimbangkan penerapan gagasan
intergrasi ilmu dan agama di tingkat pendidikan tinggi. Salah satu kelebihan buku ini
adalah menghimpun tulisan tiga rektor IAIN yang baru-baru ini berubah menjadi
UIN. Meski demikian buku ini tidak memusatkan perhatiannya hanya satu agama.
Kesejajaran perkembangan wacana ini dikalangan pemikir muslim dan kristen juga
dicoba dilacak disini. Para penulis buku ini berupaya membawa wacana “ilmu dan
Agama” ke tingkat yang lebih jauh, dari gagasan yang telah berusia lama ini
mendekati kenyataan.

Isu-isu penting lain yang digarap dalam buku ini mencakup

1. Mengapa ilmu dan agama perlu dipertemukan


2. Perjumpaan paradigma-sains Thomas Kuhn dan teologi Hans Kung
3. Ilmu dan agama dalam perspektif kritis Habermas
4. Model integralisme Islam bagi integrasi ilmu dan agama
5. Posisi agama dalam berhadapan dengan keterbatasan ilmu dan teknologi
6. Etika dan penerapan sains teknologi
7. Tantangan intergrasi ilmu dan agama dalam perguruan tinggi di Indonesia
8. Intergrasi inmu agama di perguruan tinggi di Indonesia
9. Integrasi ilmu dan agama dalam transformasi IAIN menjadi UIN

62
integrasi ilmu dan agama interprestasi dan aksi. Menggambarkan bahwa
agama mesti dipadukan dengan ilmu-ilmu dalam kehidupan manusia, hanya dengan
inilah agama bisa bermakna dan menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia
atau bahkan keseluruhan alam semesta. Integrasi dalam artian generiknya sebagai
upaya memadukan ilmu dan agama memang dapat dan telah dimaknai berbeda-beda.

KELEBIHAN DARI ISI BUKU

Buku ini mempunyai banyak kelebihannya baik dari segi bahasa,pengetahuan


dan lain-lain dan sangat bermanfaat bagi yang pembacanya. Buku ini mempunyai
karakter yang unik artinya dapat dipelajari dengan mudah bagi tingkatan pelajar dan
bagi mahasiswa,dan isinya pun sangatlah berarti karena mempunyai unsur-unsur baik
dan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian dari para tokoh dan pengarang buku ini yaitu mempunyai
pemikiran yang akurat secara konkrit maupun rill. Dan pendidikan mereka juga yaitu
lulusan dari universitas – universitas yang terkenal. Dan buku ini mempunyai
hubungan yang erat antara ilmu dan agama sehingga para pembaca tertarik untuk
mempelajarinya, dan salutnya lagi buku ini setelah mengintegrasikan agama dan ilmu
banyak referensi-referensinya dari para pemikir dan tokoh yang terdahulu dan itu pun
di dukung oleh al-quran dan hadist. Oleh karena itu buku ini bukan bersifat khayalan
maupun imajinasi tetapi bersifat nyata yang harus dan wajib di pelajari manusia
khusunya yang beragama muslim.

KELEMAHAN DARI ISI BUKU

Kelemahan dari buku ini yaitu tidak banyak hanya sekedar dari segi
pengetahuan mengenai perbedaan ilmu dan agama tidak terlalu banyak menggunakan
Al-Quran dan hadist tetapi hanya menggunakan pemikiran – pemikiran dari para
tokoh. Walaupun Al-quran serta hadist hanya sekedar pendukung dari penjelasan para
pemikir ataupun tokoh-tokoh tersebut,tetapi menurut saya Al-quran serta hadist harus
menjadi penjelasan yang utama dalam pemikiran tokoh karena lahirnya manusia
dengan Al-Quran yaitu Al-quran terlebih dahulu.maka dari itu Al-quran serta hadist

63
menjadi penunjang yang utama dan signifikan bagi kehidupan sehari-hari secara nyata
bagi umat manusia.

SAIN DAN MASYARAKAT ISLAM

Book Review 8

Oleh:

Ida Arofa : 1800018030

REVIEW BUKU 8 “ SAIN DAN MASYARAKAT ISLAM”

1. Identitas Pengarang
Penulis buku ini adalah Nasim Butt. Beliau adalah kepala bidang sains di
King Fahd Academy London dan konsultan pendidikan sains pada Iqro’ trus.
Setelah mendapatkan gelar B.Sc di bidang ilmu makanan dan teknologi. Butt
beralih ke bidang sejarah dan filsafat sains hingga meraih gelar M.Sc di
Universitas Collego London. Selanjutnya Butt memulai kuliah Ph.D. secara paruh
waktu di institutE of Education, Universiti of London. Butt memadukan
pengajaran kimia dan sains umum bagi siswa sekolah menengah pada tingkat A
dengan kajian keagamaan Islam. Selama beberapa tahun terakhir Butt
memusatkan topic penelitian dan tulisannya pada pengaruh kurikulum nasional
sains Inggris bagi siswa dan guru muslim.
2. Identitas Buku
Penulis : Nasim Butt
Penerjemah : Masdar Hilmy
Penyunting : Ilma Ismail
Penerbit : Pustaka Hidayah
Tahun Terbit : 1996
Nama Buku : Sain dan Masyarakat Islam
Tempat Terbit : Bandung

64
Latar belakang dari buku ini adalah Pemikiran dan emosi masyarakat
dapat dengan cepat menyebar secara luas, yang pada gilirannya bias
menimbulkan salah masayarakat akan posisi sains. Sisi sains lainnya yang sangat
mendasar adalah bahwa tanpa menghiraukan serangkain percobaan yang telah
berhasil dilakukannya, apabila terdapat pengujian yang secara sah menunjukkan
bahwa teori itu salah, maka seluruh bangunan teoritis itu menjadi runtuh. Jadi
yang menjadi tugas sains sekarang adalah merencanakan pengujian yang
dirancang untuk menentukan batas-batas tingkat aplikabilitas (kemungkinan
dapat diterapkannya) sebuah teori daripada pembuktian absolutnya.
Empat abad lampau tentang gambaran sains yang sudah digunakan
sebagai sarana mencari kebenaran, sekarang ini, telah berubah dan diperbaharui
secara drastis. Sayangnya, banyak ilmuan yang mempunyai kesan bahwa sains
dengan sendirinya memiliki kemampuan menyelasaikan sebagian besar
permasalahan global. Belum lagi jika mereka di hadapakan pada persoalan
dampak merusak dari sains pada masyarakat, mereka menyatakan tidak bersalah
dan terbebas dari tanggungjawab-moral. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa ilmuan tersebut menggunakan pengetahuan yang sudah ada untuk
menyelsaikan permasalahan hidup selanjutnya dan membangun segala sesuatu
dengan pengetahuan yang persial. Semua persoalan politik, sosial, ekonomi,
lingkungan dipaksakan agar dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang ilmiah.
Yang perlu dievaluasi “ Sudahkan sistem etika Islam berpijak pada
monoteisme murni dan mampu menyajikan penangkal yang komprehensif serta
efekti terhadap pandagan hidup sains beserta akibat merusaknya”?. Di masa
lampau, islam telah berhasil dan memberikan dasar pijakan etis bagi
perkembangan sains kontemporer dan pendidikan sains serta alternative
pemecahan holistic yang selaras dengan sifat manusia. Hal ini menjadi satu garis
pemikiran yang hendak dikembangkan di seluruh bagian buku ini.
3. Ringkasan Buku
BAB 1
Akar dan Asal Mula Sains Barat

Francis Bacon memilki satu pandangan dunia, sebuah visi mengenai


masyarakat yang bisa terwujud melalui para ilmuan dengan metode intelektuak

65
yang telah dia dukung. Dalam tulisan-tulisannya dia menekankan bahwa
penerimaan pengetahuan asli tentang alam adalah sama halnya mendapatkan
kekuatan. Gagasan penlitian sistemtis agar ilmu pengetahuan bisa dicapai dengan
cepat merupakan sumber inspirasi bagi ilmuan itu sendiri atau lembaga-lembaga
ilmiah. Pemekiran semacam ini mengilhami berdirinya The Royal Societi dan
Charles Darwin dalam bukunya yang amat terkenal, The Origin Of Species,
menyatakan bahwa seluruh ranagkaian penelitian ilmiahnya dengan bangga di
dasarkan atas prinsip-prinsip Bacon. Inti dari prinsip-prinsip ini adalah bahwa
ilmu pengetahuan itu dicapai dengan menjauhka spesikulasi filosofis dan
berupaya menggapai hasilnya dari observasi dan eksperimen semata. Pandangan
semacam ini mendominasi seluruh sains berikutnya.
Menurut Karl Popper, tahap pertama dalam perkembangan sains adalah
pengenalan atas suatu persoalan. Sebuah teori kemudian diformulasikan untuk
menjabarkan problem yang diuji itu secara akurat oleh ketentuan-ketentuan
empiris yang dirancang untuk menyangkalnya. Popper mencoba merumuskan
catatan metodologi yang universal dan historis. Faksifikasi metode
(penyangkalan) adalah kriteria pembatas antara sains dan non sains.
Menurut Thomas Khun, salah satu gagasan penting yang dikembang
Khun adalah konsep sebuah pradigma yang menolak definisi tertentu. Menurut
Khun semua cabang sains mulai berkembang tahap “pra sains” tapi tidak terdapat
ketidak kesepakatan yang tajam di kalangan praktisi berkaitan dengan
karakteristik asumsi dasar dan jenis persoalan yang harus diteliti. Sekolah-
sekolah bersaing sampai gagasan darisalah satu sekolah diterima secara luas oleh
peneliti lain di bidang yang sama dan mencapai posisi pradigma.
Menurut Maxwell mengutip ketidak seimbangan di abad ke-20 antara
perkembangan pengetahuan sains dengan kemjuan persaudaraan umat manusia.
Kritik di dalam dan di luar sains menunjukkan sains dan kelalaiannya di tentukan
secara sosia. Sedangkan Marxis mengatakan bahwa sains tidak netral, akan tetapi
mampu menyajikan realitas ilmu pengetahuan kepada kita. Prespektif Marxis
terhadap sains tidak lengkap tanpa menyebut pandangan J.D Bernal, seorang
komunis yang fanatik. Bernal berpendapat bahwa sains itu sendiri sebenarnya
progresif, tetapi bisa menghasilkan keuntungan yang sangat potensial hanya jika
ia berada dalam masyarakat komunis. Dengan demikian Bernal menyamakan
sains dengan komunisme. Sekalipun ini adalah pendapat radikal, ada juga

66
pendapat radikal non Marxis lainnya, seperti pendapat J.R. Ravetz adalah seorang
filosof dan sosiolog sains kontemporer yang telah memberikan sumbangan
penting bagi tranformasi pemahaman kita tentang sains yang radikal selama
beberapa dekade lamanya.
Kritik islam atas sains modern, berpusat pada satu konsepsi dasar: sains
Barat yang memasukkan sikap fundamentalistik ke penalaran. Seluruh lembaga
sains telah merosot menjadi sebuah alat reduksi yang bekerja di dalam batas-
batas sistem epistimologi yang sangat sempit. Hal ini berarti bahwa hanya aspek
fenomena yang sejalan dengan penalaran murnilah yang berarti bagi penelitian.

BAB II

SAINS ISLAM

Konsep sains islam masih belum terjemah oleh sebagian ilmuan dan
lingkungan intelektual Muslim. Sebagian dari mereka tidak melihat relavensinnya
karena pemikiran mereka terpusatkan pada lembaga sains Universal yang
diyakini netral dan beabas nilai, yang lebih penting dari perbedaan sosial-kultural.
Meskipun tidak mampu menyuarakannya, mereka memiliki iman dibalik
keberadaan metode sains yang historis dan universal, sehingga persoalan sains
Barat atau Cksidental atau Islami menjadi tak berwujud atau, paling banter,
sekedar sebuah renungan persoalan filosofis yang tidak penting. Meskipun
demikian ada sebgian muslim yang mengancam akan mengislamkan sains
modern dengan mencocokkannya dengan al-Qura’an. Mereka melakukan denagn
menunjukkan bahwa al-Qur’an memberi penekanan yang besar pada pencarian
ilmu pengetahuan tentang alam, bahkan bukti-bukti statistik yang meyakinkan.
Oleh karena itu, kita mebutuhkan sains yang disusun dari kandungan
Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mampu bekerja sama dengan
semangat nilai-nilai Islami yang dilaksanakan semata-mata untuk mendap
keridhaan Allah SWT. Sains semacam ini akan mampu memenuhi kebutuhan

67
masyarakat Muslim dan bekerjasama dengan konteks etika Islam. Sains Islam
masih dalam tahap perkembangan dan dalam proses diartikulasikan secara
mengesankan.
Di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang membentuk upaya sains
dan teknologi haruslah nilai Islam, yang di dalam singkatnya disebut dengan
konsep islami. Dan juga perlu dipahami antara Islam dan sains tidak saling
bertentangan. Sains dan teknologi, ekonomi, politik semua tercakup dalam ajaran
Islam dan etika dan nilai-nilai Islam merupakan perpaduan dari berbagai
aktivitas, Islam merupakan sebuah sistem yang menyentuh seluruh aspek
manusia.
a. Menjabarkan Islam
Sains Islam masih dalam tahap perkembangan dan masih proses
diartikulasikan secara mengesankan. Kesimpulan diilustrasikan oleh biolog
muslim Munawar Ahmad Anees, yang dengan mudah mendaftarkan hal-hal yang
bukan termasuk sains Islam ketimbang mendaftarkan sains Islam yang
sebenarnya. Beliau menulis bahwa sains Islam bukanlah: sains yang di Islamkan,
reduktif, anakronistik, dominan secara metodologis, terkotak-kotak,
ketidakadilan, sempit, ketidak sesuaian secara sosial, bucalisme, dan pemujaan.
Bagi sains Islam adalah ajaran Islam, karena merupakan satu kesatuan
bila memandang sains Islam sebagai bagian pradigma sains makro ajaran Islam
menyajikan susunan intelektual yang didalamnya terkandung gagasan, pemikiran
dan teori sains yang bisa direnungkan dikembangkan dan diperluas lagi. Sains
apapun yang dipahami dan dikembangkan dalam sebuah kerangka yang
menampik norma-norma Islam universal, maka ia dapat diistilahkan tersaing
dengan sains Islam. Oleh karena itu, pradigma makro seperti yang dikatakan
Anees, bagi sains Islam adalah ajaran Islam. Dalam upaya mendefinisikan nilai-
nilai pijakan sains Islam yang tidak bisa pindahkan itu, sebuah seminar tentang ”
Pengetahuan dan Nilai” telah dilasanakan dibawah perlindungan international
Federation of institutes of Advance Studi di Stockolm pada September 1981.
Para peserta menyisipkan sepuluh konsep Islami dan secara bersama-sama
membentuk kerangka sains Islam: Tauhid, Khilafah, Ibaadah , ‘Illm, Haram,
Adil, Kezaliman, Ishtislah (kemaslahatan umum), Dhiya (kecerobohan)
b. Perbandingan antara sains Barat dan sains Islam

68
Ukuran Sains Barat Ukuran Sains Islam
1. Percaya pada rasional 1. Percaya pada wahyu
2. Sains untuk sains 2. Sains adalah sarana untuk
3. Satu-satunya cara untuk mendapatkan keridhaan Allah.
mengetahui realitas. 3. Banyak metode berlandaskan
4. Nertalitas emosional sebagai aka dan wahyu.
prasarat kunci menggapai 4. Komitment emiosinal sangat
rasional. penting untuk mengangkat
5. Tidak memihak usaha-usaha sains spritual
6. Tidak bias maupun sosial.
7. Penggantungan pendapat 5. Pemihakan pada kebenaran
8. Reduksionalisme 6. Adannya subjektivitas
9. Fragmentasi 7. Menguji pendapat
10. universalisme 8. Sintesis
11. Individualisme 9. Hoilistik
12. Netralitas 10. Universalisme
13. Loyalitas kelompok 11. Orientasi masyarakat
14. Kebebasan Absolut 12. Orientasi nilai
15. Tujuan membenarkan sarana 13. Loyalitas pada mahluk-Nya
14. Manajemen sains merupakan
sumber yang tak terhingga
nilainya
15. Tujuan tidak membenarkan
sarana

Penerapan sains Islam menciptakan susuna yang menggugah ingatan kita


keapda Allah, mendorong perilau yang sesuai ketentuan syari’at, dan
meninggalkan nilai-nilai konseptual yang ada dalam al-Qur’an. Salah satu bagian
karakter sains yang benar-benar bersifat international adalah adanya kebutuhan
mendesak akan pembangunan kembali semangat intektual di kalangan umat
muslim. Lahirnya sains Islam berawal dari perkawinan antara semangat wahyu
al-Qur’andan keberadaan sains dan bermacam-macam peradaban yang
diwariskan kepada Islam dan diubah melalui kekuatan spritualnya kedalam
sebuah subtansi yang baru, yang suatu saat dan selamanya berbeda dengan apa

69
yang telah ada sebelumnya. Sifat dasar peradaban Islam yang telah meliputi
semua bangsa dan alam raya itu berasal dari karakter wahyu Islam yang universal
dan terwujud melalui penyebaran dunia Islam secara geografis, dan
menyebabkanya mampu menciptakan sains yang pertama dari alam semesta yang
benar-benar bersifat international dalam sejarah umat manusia.

BAB III

SAINS ISLAM DALAM SEJARAH

Sejarah sains Islam merupakan sebuah gambaran upaya yang luas dan
kompleks yang sangat mengakar sejak awal perode Abbasiyyah di Baghdad
selepas tahun 750 M dan bertahan 600 tahun kemudian. Selama itu tersebar di
sejumlah luas wilayah geografi yang terbentang di Andalusia sampai ke Asia
Tengah. Tujuan sains Islam dalam peran ilmuan muslim tidak hanya mengambil
alih dari Eropa yaitu hal-hal yang telah mereka peroleh dari Yunani dan wilayah-
wilayah lainnya. Alih-alih dari apa yang mereka peroleh dari nenek moyangnnya,
lebih baih baik mereka mengembangkan dan meperkaya dengan metode dan
tekik-teknik baru. Banyak kajian yang dilakukan oleh ilmuan Muslim di
pndahkan ke Eropa di abad Pertengahan sebagai gelombang penerjemahan dari
bahasa Arab ke Latin pada abad ke-12 dan 13.
Ilmuan muslim mengembangkan mastematika dan menggunakannya
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehodupan sehari-hari seperti
perhitungan pajak, zakat, dan warisan menurut hukum Islam. Dengan mengambil
prinsip-prinsip dasar dari Yunani, mereka mengembangkan sains matematika
secara teoritis dan praktis. Penerapan matematika itu termasuk studi problema,
misalnya perancangan dan pembuatan mesin giling, studi alat-alat mekanik.
Aristoteles dan Ptolomeus telah mengembangakan gagasan teori
geosentris yang diwariskan kepada astronom Muslim. Pada waktu itu, teori
heliosentris sudah tidak bisa dibuktikan. Al-Hasan bin Haytsam (w. 1039
M),yang dikenal didunia Barat sebagai Al-Hazen, bisa dianggap sebaga bapak
optik pertama. Yang berpijak pada landasan geometris yang di pelopori oleh
bangsa Yunani Kuno, dia mengembangkan teori topik yang kemudian meliki
pengaruh yang luasr biasa atas karya-karya ilmuan Barat. Kimian muslim
terbesar adalah Jabbir Ibnu Hayyan ()738-813) dari Kuffah, Irak. Dia melakukan

70
eksperimen pada materi hewan, tumbuhan dan mineral alam, perancangan alam
untuk memotong, pergeseran dan proses kristalisasi. Dia menggambarkan dan
menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, pencampuran,
pembesaran, dan penjernihan. Ibnu Hayyan menyatakan bahwa air dapat
dijernihkan cukup dengan proses penyulingan, membedakan penylingan langsung
dan tidak langsung. Selain Ibnu Hayyan ada juga ilmuan muslim dibidang kimia
yaitu Ar Razi dari Persia mengembangkan karya Ibnu Hayyan dan
menyenpurnakan proses eksperimen dengan menggunakan materi yang digunkan,
sarana, metode dan kondisi eksperimen. Dia membuat asam sulfat dan asam
lainya seperti alcohol mulai dari eksperimen.
Imuan Islam di bidang zoologi yaitu al Jahuz yang menulis al Hayawan.
Karya ini merupkan kajian zoologi pertama komprehensif tentang hewan yang di
tulis dalam bahasa Arab. Kemudian ada filosof dari Mesir bernama Kamal al-Din
Damiri karyanya yang monumental, hayat al hayaawan. Beliau mencantumkan
ciri-ciri hewan dengan menyusun dalam huruf abjad dan sekaligus membahas nili
terhadap tubuhnya bagi kesehatan dan pengobatan.
Sains Islam mencapi puncak kejayaan antara abad ke-10 dan sampa ke-
11, dan mnegalami pembaharuan penting sepanjang abad ke-12 dan 13.
Terjemahan karya-karya utama Islam ke bahasa Latin telah ikut memperbaharui
semangat ilmu pengetahuan di Eropa sepanjang abad Pertengahan. Karya-karya
pengarang muslim ternama Ar- Razi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dibaca secara luas
dan sering dikutip serta dibacakan oleh penuis Barat. Kesemuanya ini mengalir
dan semangat yang diberikan oleh Al-Qur’an yang mengagungkan asma Allah
dengan menggagumi ciptaan-Nya. Islam sama sekali tida bertentangan dengan
penelitian sains. Kecuali jika kebebasan penelitian sengaja dibelenggu, atas nama
ortodoks resmi, dan para ilmuan tunduk pada hukuman kurungan dan penyiksaan,
maka gugurlah bangunan sains. Dengan menerapkan sains dan etika Islam,
ilmuan muslim tidak saja telah melestarikan prestasi klasik, tetapi juga
menambah data baru yang orisinal untuk memelihara ilmu pengetahuan.

BAB IV

ISLAM DAN PENDIDIAN SAINS

71
Dari sudut pandangan Islam, pengajaran sains tidak menerapkan
pandangan umum yang menyesatkan, karena hal ini akan memperkuat dualisme
Barat anatara pola berfikir ilmiah dan keagamaan. Oleh karena itu tugas guru
sains sangat penting mereka memilki tanggungjawab moral untuk membantu
siswa menyatukan ilmu pengetahuan sains ke dalam pemahaman manusia secara
keseluruhan, ke dalam kehidupan dan alam semesta. Jika mereka memprtahankan
dikotomi antara wilayah sains dan dan wilayah agama, maka mereka memperkuat
pesan-pesan bantuan sekuler yang terselubung dan meningkatkan kesalahpaham
yang sudah menggejala tentang eksklusivitas pengetahuan sains dalam pikiran
siswa dewasa.
Dalam kaitannya sains di ruang kelas, pendidikan sains dan pendidikan
agama mendapat tempat di Inggris dalam rangka mengatasi problema-problema
sains dan agama. Karena sains dan agama telah dipisahkan dan dikotak-kotakkan,
maka kita mengharapkan hal itu diajarkan dalam sebuah pola komprehensif dan
integral. Sekalipun, demikian undang-undang sekarang ini membuka ruang baru
bagi pengajaran sains dan agama sebagai sebuah bagian sains yang sudah teruji
dalam kurikulum Inggris.
Pernyataan yang sering diucapkan oleh siswa di Inggris (biasanya non-
Muslim, tapi sebagian Muslim juga).
1. Jika Tuhan ada, kamu harus membuktikan secara ilmiah.
2. Manusian tidak lebih sekedar sebuah mekanisme kimiawi yang sangat rumit.
3. Penjbaran ilmiah sekaligus keagamaan dari peristiwa yang sama tidak bisa
diterima.
4. Jika kehidupan berasal dari Tuhan, ilmuan tidak akan mampu menemukan proses
keberadaannya.
5. Pernyataan “ Tuhan menciptakan manusia” dan “ Manusia adalah hasil dari
proses evaluasi” tidak perlu dipertentangkan lagi.
6. Keyakinan agama dapat dijabarkan dalam kerangka psikologis.
7. Asal mula hukum-hukum sains menyebabkan mukjizat dianggap sebagai sesuatu
yang tidak mungkin. Keyakinan tidak berperan dalm sains.
Satu persoalan adalah banyak guru sains jauh dari sentuhan filsafat sains.
Mereka menerapkan aliran Bacon, sudut pandang kontruktivisme dan metode
ilmiah yang melihat pengetahuan sains sebagai dasar perkiraan tertentu yang bisa
dibuktikan kebenarannya. Ini mendukung ide bahwa sains adalah pengetahuan

72
unggul dan mereka membuat perbedaan yang jelas antara pelajaran-pelajaran
sainsyang bertalian dengan fakta dan pelajaran pendidikan agama yang hanya
bertalian dengan pendapat.
Ide bahwa ilmu pemgetahuan sains dan pengetahuan agama adalah berdiri
sendiri, merupakan cara pandang ilmu pengetahuan Barat sekuler yang
menekankan bahwa tidak ada relevansi anatar sains dan agama. Memang perlu
diakui bahwa banyak kemajuan positif telah diraih melalui pencapain target
tuhjuh belas kurikulum Sains Nasional Inggris. Hakikat sains benar-benar
berupaya, sekalipun sedikit, menempatkan teori-teori sains ke dalam kerangka
agama dan spritual. Criteria sains yang dibuat oleh Jendra Sertifikat Umum
Pendidikan Lanjutan (GCSE) pentingnya menempatkan sains dalam salam
konteks sosial, ekonomi, teknologi, etika dan budaya. Pembatasan sains pada
akhirnya harus ditekankan, melepaskan diri dari ide objektivitas, yang tidak bisa
dperdebatkan dan tidak bisa dibantah.

KOMENTAR

Dari buku ini saya dapat mengatahui gambaran sains zaman dahulu dan
konsep sains Islam. Dan juga dapat mengetahui bagamana ilmuan-ilmuan
terdahulu memberikan pendapat tentang sains Islam. Memeperhatikan
Perbandingan sains Barat dengan sains Islam terdapat prebedaan yang sangat
kontras. Yang paling meninjil adalah dalam hal kepercayaan pada Tuhan. sains
Barat terlalu mendewakan rasio manusia, padahal rasio manusia itu memiliki
kelemahan sedangkan wahyu Tuhan tidak pernah ada kelemahan dan maha
sempurna sang maha pencipta, pemberi wahyu. Sains Barat hanya memiliki satu
metode untuk membuktikan realitas padahal banyak metode berlandaskan aka
dan wahyu. Selain metode masih banyak hal-hal yang bertolak blekang antara
sains Islam dan sains Barat.
Persamaanya hanya ada di Universalisme, sains Barat meskipun Universal
tetap saja untuk mereka yang yang mampu membelinya, tentunya hal itu
memihak pada orang-orang tertentu saja sedangkan sains Islam adalah untuk

73
semua umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijakan tidak bisa ditukar atau
dijual. Jika memperhatikan perkembangan sains Islam, ternyata para ilmuan
Islam sudah terlebih dahulu melakukan penelitian dan begitu banyaknya
penemuan-penemuan mereka mulai dari kimia, zoologi, botani, kedokteran, ilmu
bedah, pendidikan medis, optic, astronomi, dan matematika. Akan tetapi waktu
itu ilmuan Islam kurang terkenal dikalangan dunia luas.
Sains dan agama tak seharusnya dipisahkan atau dikotak-kotakkan.
Sebenarnya saons dan agama itu menyatu, agama memiliki wahyu berupa kitab
suci Al-Qur’an dan sains memiliki realitas, konkrit dan empiris. Al-Qur’an
sebagai isyarat kebenaran ilmu pengetahuan dan alam semesta adalah sebagai
bukti kebenaran AL-Qur’an. Oleh karena itu, seorang pendidik sains memiliki
tanggung jawab moral untuk mebantu siswa untuk menyatukan ilmu pengetahuan
Islam ke dalam pemahaman manusia secara keseluruhan, kedalam kehidupan dan
alam semesta.

74
FILSAFAT ILMU: ONTOLOGOI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI, DAN
LOGIKA ILMU PENGETAHUAN

BOOK REVIEW 9

Disusun Oleh:
Ari Khoirul Arifin (1800018023)

I. PENDAHULUAN
Buku karangan Drs. H. Mohammad Adib, MA yang berjudul Filsafat
Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, untuk dijadikan pembelajaran bagi
pembaca khusunya bagi pelajar, mahasiswa, dosen dan para pemerhati
dibidang sosial, budaya maupun politik, dan sebagai kontribusi dalam ilmu
pengetahuan khususnya dalam ilmu filsafat. Buku ini membahas filsafat
ilmu secara luas melalui pembahasan empat pilar utama filsafat ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan.
Buku ini menjadi cetakan kedua dengan memperbaiki pada penataan
sub-bab yang ada, koreksi radiksional dan penambahan daftar pustaka,
terdiri dari 14 bab dan masing-masing bab terbagi lagi menjadi beberapa
sub bab. Pada penerbitan revisi ini, terdapat bab yang ditambahkan yakni
“Paradigma Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan Sosial”. Penambahan ini
dipandang signifikan sehubungan dengan terus berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi pada zaman teknologi cerdas seperti “Android”
ini.

II. PEMBAHASAN

75
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat
Renaisans
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat
eksistensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-
hari. Bahkan dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor
penggerak kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun
sebagai manusia kolektif dalam bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dalam buku Hystory and
philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menerangkan
bahwa setidaknya sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan dapat dibagi
dalam tiga periode atau masa yakni (i) filsafat Yunani, (ii) Kelahiran
Nabi Isa, (iii) periode kebangkitan Islam.
Pada masa pertama, filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M), Thales
muncul sebagai ahli filsafat, astronomi, dan geometri. Pengembaraan
intelektualnya menggunakan pola deduktif serta dalam masa transisi
inilah kemunculan ilmu sangat berkembang di masyarakat.
Pada masa kedua, periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M), pada
masa ini terjadi pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para
pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa ini sempat mengalami keterpurukan, karena
terjadi pembatasan kebebasan seseorang dalam berpikir dan berkarya.
Masa yang ketiga ialah, periode kebangkitan Islam (abad 6-13 M),
pada masa ini Kristen Eropa mengalami masa kegelapan, namun dalam
sisi yang lain Islam sedang berada dalam masa keemasan yang ditandai
dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidangnya
masing0masing, diterbitkan juga berbagai buku ilmiah yang ditulis
oleh ilmuan-ilmuan muslim. Namun, setelah perang salib umat Islam
mengalami kemunduran karena diporak-porandakan oleh berbagai
peperangan.
Setelah itu terjadi masa kebangkitan Eropa (Abad 14-20 M), pada
masa ini Kristen yang menjadi penguasa, Islam mengalami
kemunduran mulai muncul pemikiran-pemikiran Yunani dan banyak
ilmuan yang muncul pada abad ini.

76
Ada beberapa aspek positif dari adanya semangat renaisans, yaitu
sebagai berkiut; 1) bermakna kebangkitan, 2) Kembali percaya akan
kekuatan akal, 3) Tokoh Rene Descartes yang menyatakan manusia
makhluk berpikir (Cogito Ergo Sum), 4) Ilmu pengetahuan dan metode
skeptic, 5) Bangkitnya paham rasionalisme, 6) Perlawanan terhadap
pemikiran bebas terhadap agama, 7) Penelitian filsafat alam yang
meragukan konsep geosentris. 8) Mazhab Itali dan temuan heliosentris,
9)Perkembangan empirisme da positivism, 10) Lahirnya ilmu
pengetahuan, 11) Filsafat vs Ilmu pengetahuan, 12) Bercerainya
filsafat dengan ilmu pengetahuan pada abad ke-17 hingga abad ke-20.
Dari berbagai sumber yang telah didapatkan ternyata dapat
diketahui bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menarik
sekali untuk dikaji, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bahwa
hukum-hukum alam yang diperoleh dari sains tidak memiliki
kebenaran kekal. Kita melihat bagaimana Hukum Newton ternyata
tidak dapat dipakai pada skala makrokosmos (digantikan oleh teori
relativitas Einsten) dan pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori
mekanika kuantum). Teori geosentris yang sempat dianut ribuan tahun
akhirnya terbukti salah dan digantikan oleh teori heliocentric berkat
jasa Nicolaus Copernicuc dan Galileo Galilei. Tidak seorang pun di
antara kita yang dapat menjamin kekekalan baik teori relativitas,
mekanika kuantum, dan heliocentric.

B. Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


Filsafat dalam pandangan memiliki dua objek, yaitu objek
objek formal dan objek material. Objek formal adalah objek yang
bersifat khusus dan berwujud dapat ditangkap dengan indra, sedangkan
objek material menurut Hoseddin (1964) ialah segala bentuk pemikiran
manusia tentang sesuatu yang ada dan mungkin ada.
Sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan terdiri
dari beberapa periode, antara lain periode atau masa Aristoteles,
Phythagoras, Heraklitus, Thales, Xenophanes, dan Parmenides yang
keseluruhannya merupakan periode dari masa lalu. Selanjutnya
deskripsi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami

77
perkembangan, terutama dalam segi pandangan dan cara pemikiran.
Aspek positif dari Renaisance dan sumbangan pemikiran filsafat Islam
(pada abad pertengahan). Yang kesemuanya sebagai satu kesatuan
dalam kajian ilmu sehingga terbentuklah suatu badan (body) dari
filsafat itu sendiri sampai masa sekarang ini.
Perbedaan pemikiran antara zaman modern dan zaman
kontemporer menjadi wujud dari perubahan itu sendiri, dimana pada
zaman modern corak pemikiran yang berlandaskan pada metode
pendekatan induktif-deduktif (menggabungkan metode induktif dari
Bacon dan metode induksi dari Aristoteles). Sehingga terwujud
sinkronisasi dalam pohon ilmu pengetahuan yang dihubungkan dengan
pengamatan dan hipotesis. Kemudian secara deduktif hipotesis ini
dihubungkan dengan perkembangan pengetahuan terbaru untuk
melihat signifikasi dan implikasinya.

C. Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


Filsafat disini secara epistemology berarti cinta kebijaksanaan
(love of wisdom) dalam pengertian yang sedalamnya. Secara
terminology, filsafat adalah ilmu pengetahuan mengenai segala sesuatu
dengan memandang sebab-sebab terdalam tercapai dengan budi murni.
Filsafat adalah segala sesuatu yang nyata. Ilmu adalah
kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan
kebenarannya telah teruji secara empiris. Sedangkan filsafat ilmu
adalah teory of science (teori ilmu), filsafat ilmu menampung
permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan keluar dan
kedalam yang terdapat dalam kegiatan ilmiah.
Hubungan filsafat, ilmu, filsafat ilmu dengan antropologi dan
ilmu politik antara lain: 1) Antropologi membahas segala aspek
tentang manusia sedangkan filsafat menelaah tentang segala yang
mungkin dipikirkan manusia. Ilmu hanya dapat maju apabila
masyarakat berkembang dan berperadaban, 2) Dalam antropologi
dibahas tentang manusia dan kebudayaannya dalam suatu masyarakat.

78
Filsafat ilmu merupakan metode penalaran dari suatu lambing atau
struktur penalaran dari suatu bidang studi, misalnya studi antropologi.

D. Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


Di dalam buku ini juga dijelaskan tentang landasan penelahaan
ilmu yang mana landasan ilmu sebagai berikut; Pertama, landasan
ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap
ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena
diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka
tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontology yang berbeda.
Terdapat dua objek yaitu material (hal yang ditelaah) dan formal (sudut
pandang).
Kedua, landasan epistemology adalah cara yang digunakan
untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut.
Dalam pandangan positivistic metode ilmiah pada dasarnya untuk
semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-
verivikasi.
Ketiga, landasan aksiologi adalah berhubungan dengan
penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu
terhadap pengembangan ilmu serta dalam meningkatkan kualitas hidup
manusia.
Keempat, landasan logika ilmu. Ilmu pengetahuan diciptakan
dan diperuntukkan bagi dapat diterima oleh penalaran manusia (logis),
rasional, atau masuk akal. Prinsip-prinsip umum logika dipilahkan
dalam logika deduksi (silogisme), dan logika induksi. Relevansi ilmu
politik dan antropologi dengan ketiganya adalah sama-sama
mempelajari tentang hakikat manusia.
Relevansi ilmu politik dan antropologi dengan ketiganya adalah
sama sama mempelajari tentang hakikat manusia. Ilmu politik dan
antropologi mempunyai relevansi dengan ontology karena ontology
mempelajari sesuatu yang ada. Antropologi memandang manusia
(objek materi) dari sisi (objek formal) kebudayaan yang berpola,
sedangkan ilmu politik melihat manusia dari sisi kekuasaan,

79
kepentingan dan lain-lain. Mempelajari ilmu politik dan antropologi
diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi dan penalaran. Disinilah
peran epistemology. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Didalam
pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan
objektif. Sifat pengamatan adalah konkret secara halnya ilmu politik
dan antropologi yang mempelajari sesuatu konkret seperti halnya ilmu
politik dan antropologi yang mempelajari sesuatu yang konkret artinya
isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan
terjadi dalam kehidupan manusia.

III. PENUTUP
Peradaban dunia mutakhir ini sedang dilanda krisis ilmu pengetahuan
dengan indicator sebagaimana dinyatakan oleh para ahli dengan istilah
The End of Ideology (Daniel Bell 1971), The End of History and The Last
Man (F. Fukuyama 1997), The Death of Education (Nell Postman 2000),
dan The Death of Science (John Horgan, 1997).
Krisis ilmu pengetahuan itu ditandai oleh: (i) tidak terdapat temuan
baru setelah temuan C. Darwin dan A. Einstein. Semua temuan dan teori
baru merupakan turunan teori-teori Evolusi dari Darwin dan Teori
Relativitas dari Einstein, (ii) ilmu dengan teori-teorinya gagal atau tidak
mampu menjelaskan gejala alam dan non-alam (gagal menjelaskan krisis-
krisis kemanusiaan, (iii) terjadi krisis moralitas dan kejahatan dalam dunia
ilmu yang terus meluas.
Dengan adanya buku filsafat karangan Dr. Drs. H. Mohammad Adib,
MA yang berjudul Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 memberikan
pemahaman yang begitu mudah dan dapat dipahami bagi para pelajar dan
mahasiswa yang baru mulai atau ingin memperdalam tentang filsafat.
Supaya kita sebagai akademis bisa mengembangkan ilmu pengetahuan
sekaligus mengatasi krisis pada era modern ini dengan mensinergikan
kembali kepada ibu kandung (the mother of sciences)nya yakni filsafat.

80
FILSAFAT SAINS MENURUT AL-QURAN
Book Review 10
Mahdi Ghulsyani. Filsafat Sains Menurut Al-Quran (The Holy Quran and the
Sciences of Nature) Penerjemah Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1999).

Oleh: Mirza Ali Sandi

Buku karangan Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, yang judul
aslinya adalah (The Holy Quran and the Sciences of Nature) merupakan materi kuliah
yang beliau sampaikan di tiga kesempatan yang berbeda15. Pertama, ketika membahas
konsepsi Islam tentang pengetahuan, yang mana di dalamnya mencangkup anjuran
agama islam bagi penuntut ilmu, bahwa pengetahuan tidak sebatas ajaran khusu
syari’ah, melainkan berlaku juga untuk seluruh ilmu pengetahuan yang dapat
menghantarkan kita lebih dekat kepada Tuhan (hal 37).
Dalam kesempatan kedua, penulis mencoba menekan alasan pentingnya
mempelajari ilmu-ilmu kealaman menurut perspektif Islam. Yang mana di dalamnya
akan kita dapati alasan fundamental mengenai pentingnya ilmu-ilmu tersebut dalam
pandangan Islam: 1. Peran ilmu-ilmu tersebut dalam mengetahui Tuhan. 2. Peran
ilmu-ilmu tersebut dalam pengembangan dan stabilitas umat Islam (hal 37).

15
Yaitu, Bab 1 “Sains dan Umat Islam”, Bab 2 “Kepentingan Ilmu Kealaman menurut Islam”, Bab 3
“Filsafat Sains” sebuah pendekatan Qurani.

81
Ketiga, ketika penulis membahas beberapa masalah dasar epistemologi dalam
pandangan Al-Quran, dalam hal ini, sedikit ilmuwan Muslim yang mencurahkan
tenaganya untuk membahas masalah ini (hal 37).

Sains dan umat Islam


1. Konsepsi Islam tentang ilmu
Al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah
hanya sebatas pelaksanaan-pelaksanaan yang diwajibkan oleh syari’at Islam
kepada umat muslim, yang harus diketahui dengan pasti. Contoh, seseorang yang
bekerja di lahan pertanian, wajib mengetahui aturan zakat pertanian. Kemudian
beliau juga membahas ilmu yang sifatnya fardu kifayah. Yang mana ilmu tersebut
dikelompokkan menjadi 2 bagian: pertama, ilmu agama. Kedua, ilmu non agama
(hal 40-41).
Menurut Al-Ghazali, ilmu agama dibagi menjadi 2 bagian dari segi hukum:
pertama, tercela (madzum) yaitu ilmu yang tampaknya mengarah kepada syari’ah,
namun realitanya menyimpang dari ajaran-ajaran syari’ah. Kedua, terpuji
(mahmud), yang mana ilmu agama tersebut diklasifikasikan menjadi 4 kelompok:
 Ushul (dasar-dasar; yaitu: Al-Quran, As Sunnah, Ijma’atau konsensus dan
tradisi para sahabat Nabi).
 Furu’ (cabang-cabang ilmu agama; yaitu: Fiqh, Etika dan pengalaman
mistik).
 Study-study pengantar (Qaidah, sharaf, nahwu dan lain-lain).
 Study-study pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-Quran,
mempelajari prinsip-prinsip fiqh dan lain-lain).
Adapun ilmu terpuji yang bersifat fardu ‘ain menurut Al-Ghazali, seperti:
mengetahui tentang Tuhan, perbuatan-perbuatan dan sifat – sifat NYA, harus
dipelajari sebanyak mungkin yang mana pembahasan-pembahasan tersebut masuk
katagori ilmu teologi (hal 41).
Al-Ghazali mengkelompokkan filsafat menjadi 4 bagian:
 Aritmatika, Geometri, hukum mempelajarinya diperbolehkan.
 Logika masuk katagori teologi.
 Ketuhanan masuk katagori teologi, yakni mencangkup wujud Tuhan dan
sifat-sifat NYA.

82
 Fisika, ada 2 bagian: pertama, bagian yang mendiskusikan masalah-masalah
yang bertentangan dengan syari’at. Kedua, mirip ilmu kedokteran.
Mulla Muhsin Faydh Al-Kasyani berpendapat mengenai mempelajari ilmu Islam: “
Mempelajari hukum Islam sesuai dengan kebutuhan sendiri merupakan kewajiban
perorangan (fardhu ‘ayni) bagi setiap orang Islam. Lebih jauh, belajar fiqh untuk
memenuhi kebutuhan orang lain adalah fardhu kifayah baginya”.
Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan Al-Ghazali ilmu yang wajib dipelajari
bagi setiap umat muslim hanya sebatas pada masalah-masalah ritual peribadatan
dan mu’amalah saja (hal 42).

2. Kriteria ilmu yang berguna


Pada dasarnya, semua ilmu yang bermanfaat bagi umat muslim, baik untuk
dipelajari, selama ilmu tersebut tidak menjadi alat ditangan thaghut (anti Allah).
Dikarenakan ilmu juga bisa menjadi alat manusia, sebagaimana yang telah
disampaikan Dr. Beheyti.16
Oleh karena itu, keaneka ragaman ilmu, tidaklah asing satu sama lain; karena
ilmu-ilmu tersebut memiliki jalannya masing-masing, sehingga terkadang ilmu itu
dapat menafsirkan berbagai lembaran kitab penciptaan kepada kita, sebagaimana
yang telah disampaikan oleh seorang penyair bijak yang bernama Mahmud
Syabistari:
Kepadanyalah, yang tercerahkan hatinya.
Seluruh alam adalah sebuah buku suci milik yang maha agung
Setiap cakrawala adalah bab-bab yang berbeda
Yang satu Al-Fatihah yang lain A-Ikhlas (hal 57).

3. Kemunduran sains dalam Islam


Pada awal- awal abad kejayaan Islam pada puncaknya, 17 cendikiawan muslim
memandang ilmu sebagai sesuatu yang saling berhubungan satu sama lain, mereka

16
Dr. Mahdi Ghulsyani berpandangan bahwa kriteria ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
didasarkan pada tujuan ibadah. Beliau menegaskan bahwa salah satu cara untuk menolong manusia
dalam perjalanannya menuju Allah adalah ilmu dan hanya semacam itulah ilmu dipandang bernilai (hal
54-56).
17
George Sarton mengakui bahwa selama periode antara tahun 750 M dan tahun 1100 M, orang-orang
islam adalah pemimpin-pemimpin dunia intelektual yang tak dapat disanggah; dan antara tahun 1100
M dan 1350 M, pusat-pusat belajar di Dunia muslim secara global amat penting dan menarik banyak
orang dari berbagai penjuru dunia (hal 57-58).

83
“menggambarkan” ilmu-ilmu tersebut sebagai cabang –cabang “pohon”
pengeahuan, yang mana era tersebut mulai menurun setelah tahun 1350 M, orang-
orang eropa mulai menyalip peradaban muslim, yang kala itu, umat muslim
mengesampingkan ilmu kealaman dalam madrasah-madrasah teologi mereka dan
hanya menyisakan astronomi dan matematika (hal 58). Hal ini menyebabkan:
 Ketika orang-orang Eropa sibuk mempelajari hukum-hukum alam dan cara
mengelola kekayaan dan sumber-sumbernya, orang Islam malah
menghentikan kegiatan ini, hingga pada akhirnya umat muslim harus
bergantung pada orang-orang Eropa.
 Kebanyakan orang-orang Eropa yang menuntut ilmu-ilmu empiris terasing
dari ilmu-ilmu agama, yang mengakibatkan mereka tak memahami
pandangan dunia Islam karena telah diganti oleh visi aetestik yang
mendominasi keilmuan barat.
 Penghapusan study imu kealaman dari kurikulum madrasah – madrasah
agama, berdampak pada pemikiran kaum muslim yang terbagi menjadi dua
aliran intelektual yang menympang di dunia Islam (hal 58):
 Dibawah kemajuan orang-orang barat, sebagian kaum muslim tidak
memiliki pengetahuan dasar agama yang kuat, yang mengakibatkan
mereka mencoba menginterpretasikan Al-Quran dan As Sunnah sesuai
pengetahuan ilmu-ilmu empiris tersebut.
 Sebagian mereka juga menganggap teori ilmiah bertentangan dengan
doktrin- doktrin Islam, dan begitu mudah mereka menyerang sains (hal
58).

Kepentingan ilmu-ilmu kealaman menurut Islam


1) Peranan sains dalam mengenal Tuhan
Ada banyak sekali dalil yang menunjukkan tentang fenomena alam, dan
manusia diharuskan mentadabburi fenomena-fenomena tersebut agar dapat
mengenal Tuhannya. Dalil tersebut dapat dikatagorikan sebagai berikut (hal 62):
 Ayat – ayat yang menggambarkan elemen - elemen pokok obyek atau
menyuruh manusia untuk menyingkapkan. Contoh: (Al-Insan: 2)
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setets mani yang

84
bercampur, yang hendak kami uji (dengan perintah dan larangan), dan kami
jadikan dia mendengar dan melihat.
 Ayat – ayat yang mencangkup masalah cara penciptaan obyek-obyek
material, maupun yang menyuruh manusia untuk menyingkap asal-usulnya.
Contoh: (Hud: 7) Dan dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
periode, dan adalah singgasana-Nya diatas air.
 Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari fenomena alam.
Contoh: (Al-‘Ankabut: 20) katakanlah: “berjalanlah di Bumi, lalu
perhatikanlah bagaiman Allah memulai penciptaan”. (hal 63).
 Ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari fenomena alam.
Contoh: (Ar-Rum: 48) Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu
menggerakkan awan, dan Allah membentangkannya dilangit menurut yang
dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat
hujan keluar dari celah-celahnya (hal 63).
 Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah bersumpah atas berbagai macam
obyek alam. Contoh: (As-Syams: 1) Demi matahari dan cahayanya di pagi
hari.
 Ayat –ayat yang dengan merujuk kepada beberapa fenomena alam,
kemungkinan terjadinya kebangkitan dijelaskan. Contoh: (yaasin: 81) Dan
tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa untuk
menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha
pencipta dan lagi Maha mengetahui.(hal 64).
 Ayat-ayat yang menekankan kelangsungan dan keteraturan penciptaan Allah.
Contoh: (Al-Anbiyaa’: 16) Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan
segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main (hal 65).
 Ayat-ayat yang menjelaskan keharmonisan keberadaan manusia dengan alam
fisis, dan ketundukan apa yang ada di langit dan di bumi kepada manusia.
Contoh: (Al-Hadid: 25) Dan kami turunkan besi, padanya terdapat kekuatan
yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia....(hal 65)18.
18
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa Tuhan menganjurkan kepada hamba-hamba NYA untuk melihat
dan memikirkan fenomena alam, dan dengan melihat keteraturan di dalam sistem penciptaan dan
keajaiban-keajaibannya akan lebih mendekat seorang hamba kepada Tuhan. Maka dari itu, untuk
konsep yang jelas terhadap masalah-masalah yang merujuk kepada ayat-ayat ini dan menemukan
jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah di dalamnya, seseorang harus akrab dengan ilmu
kealaman, karena ilmu yang superfisial mengenai fenomena alam tidak akan dapat mengungkapkan
kepada manusia keagungan penciptaan, karena alasan inilah, Allah berfirman: sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanya orang-orang yang berilmu (Fathir: 27-28) (hal 65-

85
2) Peranan sains dalam stabilitas dan pengembangan masyarakat islam.
Di zaman ini, kaum muslim sangat tertinggal jauh oleh negara – negara barat,
baik dari segi teknologi maupun ekonomi. Oleh karena itu kaum muslim memikul
tanggumg jawab yang besar untuk mempersiapkan itu semua agar dapat bersaing
dengan orang-orang non muslim. Sebagaimana tertuang dalam surat Al-Anfal ayat
60: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.....(hal 73).
Dalam hal ini, ada beberapa masalah yang harus diselesaikan guna dapat
merealisasikan ayat diatas:
 Kaum muslim perlu mempelajari sains dan teknologi dari negara-negara
yang ahli dibidang tersebut.
 Kaum muslim harus menghidupkan kembali semangat akademik para
sarjana muslim pendahulu mereka dan semangat membangun kembali
cabang-cabang ilmu dan memanfaatkannya demi kemajuan peradaban
islam. (hal 73).
 Allah berfirman dalam sutar Al-Baqarah ayat 30, bahwa manusia adalah
khalifah Allah di Bumi. (hal 74)
 Sekolah-sekolah dan universitas – universitas di negara muslim, harus
memberikan perhatian yang cukup dalam menyelesaikan problematika
moral para pelajar (hal 75).
 Al Quran menyebutkan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang yang
menjunjung tinggi keseimbangan dengan adil (hal 76). Sebagaimana
tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 143: dan demikian (pula) kami telah
jadikan kamu (umat islam), umat yang adil.

Filsafat sains: sebuah pendekatan Qurani.


a) Tujuan pemahaman alam
Jika kita mendengar kata”alam”, itu berarti dunia fisik, yang mana dalam dunia
tersebut, kita dapat berhubungan dengannya lewat panca indra. Menurut
pandangan Al-Quran, agar memahami alam dengan penuh makna, maka
seyogyanya pemahaman tersebut dapat mengembangkan wawasan manusia untuk
mengenal lebih dekat Tuhannya dan memungkinkannya untuk memanfaatkan
pemberian-pemberian Tuhannya lebih baik (hal 78).
66).

86
b) Kemungkinan memahami Al-Quran
Banyak dalil dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa memahami alam adalah
mungkin, oleh karena itu Allah menganjurkan kita mempelajarinya. Sebagaimana
yang telah disabdakan:
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan (At-Thariq
ayat 5) (hal 79).
c) Masalah-masalah utama dalam memahami alam.
Seperti yang telah diketahui bahwa tujuan Al-Quran dalam memahami alam
adalah agar lebih mendekat diri kita kepada Tuhan, namu disana terdapat beberapa
masalah yang ditunjukkan dalam Al-Quran (hal 79).
 Asal-usul dan evolusi makhluk-makhluk dan fenomena
Dalam hal ini, telah disebutkan di 3 tempat dalam Al-Quran salah satunya
dalam surat (Nuh: 15-16): Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat dan menciptakan padanya bulan
sebagai cahaya, dan menjadikan matahari sebagai pelita (hal 80). Ayat diatas
menunjukkan bahwa kaum muslimin harus berusaha mempelajari asal-usul
dan evolusi makhluk – makhluk, sebab hal itu dapat meningkatkan keimanan
dan mendekatkan kaum muslim kepada Tuhannya (hal 80).
 Penemuan aturan, koordinasi, dan tujuan alam.
Dalam hal ini, Al-Quran telah menyebutkan tentang aturan, koordinasi dan
tujuan alam sebagai bukti yang kuat untuk membuktikan eksistensi Tuhan
(hal 80). Ayat-ayat ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian (hal
81):
 Sebagian ayat menjelaskan tentang tujuan diciptakannya langit dan
bumi.
 Sebagian ayat menyebutkan bahwa kejadian-kejadian mengikuti suatu
jalur alami untuk periode tertentu yang sebelumnya sudah ditentukan.
 Sebagian ayat menyebutkan bahwa keseluruhan proses penciptaan dan
perjalanan kejadian-kejadian di dalam alam mengikuti suatu
perhitungan dan ukuran sesuai.

d) Cara-cara memahami alam


Salah satu cara memahami alam adalah dengan menggunakan panca indra, seperti:
pendengaran, pengelihatan dan intelek. Seperti yang telah disabdakan: Dan Allah

87
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan, dan intelek agar
kamu bersyukur (An Nahl: 78).
Ayat diatas menjelaskan bahwa memahami alam, dapat menggunakan
pendengaran, pengelihatan dan intelek. Diantara lima panca indra, hanya beberapa
saja yang disebutkan dalam ayat diatas. Karena keduanya merupakan alat-alat
utama yang membantu seseorang dalam memahami pengetahuan akan dunia fisik
(hal 83).
Melalui ayat-ayat Al-Quran, penulis buku menyimpulkan bahwa peranatar
terakhir yang manusia gunakan untuk memahami alam adalah:
 Indera-indera eksternal (dengan indra ini pengamatan dan eksperimen
dapat dilakukan).
 Intelek yang tak terkotori oleh sifat-sifat tercela.
 Wahyu dan inspirasi (hal 84).
e) Tingkatan-tingkatan dalam memahami alam
Menurut perspektif Al-Quran, manusia memiliki kemampuan untuk
memahami alam lewat panca indra eksternal dan intelek. Akan tetapi dalam
memahami hal tersebut, manusia memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda
(hal 100 - 102).
 Para perenung.
 Orang yang arif.
 Orang-orang yang memahami (ulil albab).
 Orang-orang beriman.
 Orang-orang yang bertaqwa.
 Orang-orang yang berilmu.
 Orang yang sadar.
 Orang yang mendengarkan firman Tuhan.
 Orang-orang yang yakin.
 Orang-orang yang menguji kebenaran, memiliki wawasan, dan memahami.
f) Beberapa faktor yang menyebabkan penyimpangan akal
 Mengikuti hawa nafsu.
 Cinta atau benci buta dan prasangka buruk tak beralasan.
 Sombong.
 Taqlid/fanatisme buta terhadap pendapat orang-orang terdahulu.

88
 Tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu (hal 110-114).

Dimensi Keilmuan Al-Quran


1. Al-Quran sebagai sumber pengetahuan ilmiah
Di masa sekarang, banyak ditemukan orang-orang yang mencoba menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran menurut perspektif pengetahuan ilmiah modern. Hal itu
bertujuan untuk menunjukkan mukjizat Al-Quran dalam keilmuan dan untuk
meyakinkan orang-orang non muslim tentang kebesaran dan keagungan Al-Quran
serta untuk menjadikan Al-Quran sebagai kitab kebanggaan umat muslim (hal
137).
Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Musthafa Shadiq Al-Rafi’i:
dalam Al-Quran, seseorang mungkin dapat menemukan banyak petunjuk
mengenai fakta-fakta keilmuan. Dan sains modern membantu kita menafsirkan
makna-makna beberapa ayat Al-Quran, dan membantu menyingkap fakta-
faktanya.
Orang – orang yang berpikir bahwa Al-Quran hanya sebatas kitab yang
mencangkup peraturan-peraturan dan hukum-hukum Islam, sebenarnya mereka itu
telah meninggalkan kebenaran Al-Quran. karena Al-Quran pada dasarnya
mencangkup sumber seluruh sains dan peradaban manusia (hal 140).
2. Al-Quran: Kitab petunjuk
Dalam hal ini, Abu Ishak Al-Syatibi berpendapat bahwa orang-orang shaleh
terdahulu lebih memahami Al-Quran daripada kita, dan mereka tidak berbicara
tentang bentuk ilmu tersebut (hal 141). Al-Syathibi menghubungkan hal tersebut
dengan ayat Al-Quran: ....kami tidak melalaikan sesuatupun dari kitab ini...(Al-
An’aam: 38). Akan tetapi pandangan beliau dikritik oleh ulama masa ini, dengan
berargumentasi sebagai berikut (hal 142):
 Penafsiran kata-kata Al-Quran yang hanya diketahui orang arab pada
zaman nabi, tidak dibenarkan.
 Al-Quran hanya bertujuan sebagai kitab petunjuk, oleh karena itu,
membicarakan sains dan teknologi adalah diluar tujuannya. Makna ayat
diatas mencangkup apa saja yang diperlukan sebagai petunjuk dari
kebahagiaan dunia dan akherat.

89
 Sains belum mencangkup pengetahuan yang paripurna. Maka dari itu,
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan metode yang dapat berubah-ubah
tidak dibenarkan.
3. Pesan Al-Quran bagi para ilmuwan muslim.
Dalam hal ini, ada beberapa masalah esensial dari pesan Al-Quran yang wajib
diperhatikan oleh para ilmuwan muslim (hal 144):
 Ayat-ayat yang menganjurkan untuk mengkaji seluruh aspek alam dan
menemukan misteri-misteri penciptaan, diantaranya: (Yunus: 101)
katakanlah: Lihatlah apa yang ada di langit dan di bumi..
 Ayat-ayat yang menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia itu teratur dan
bertujuan. Hal ini disebutkan dalam surat (Al-Furqon: 2) Dan Dia ciptakan
segala sesuatu, lantas Dia mengaturnya dengan sangat tepat.
 Al-Quran menyuruh kita mengenali hukum-hukum alam dan
mengeksploitasi bagi kesejahteraan manusia dengan tidak melampaui
batas-batas syari’ah (hal 145).

Catatan kecil sebagai penutup


Sebagai sebuah buku yang mengupas tentang filsafat sains menurut Al-Quran, buku
ini sangat bagus karena berhasil mengaitkan sains modern dengan salah satu sumber
hukum Islam yaitu Al-Quran, selain meneliti sains dalam Al-Quran, pembaca juga
dapat memperkuat keimanan akan kitab yang dikajinya tersebut. Buku ini juga
merupakan sebuah landasan awal dalam upaya menggagas ide “sains islam”.
Dalam buku ini, ada2 hal yang penting untuk diperhatikan: pertama, buku ini
berusaha untuk menunjukkan bahwa ilmu kealaman sangat penting untuk dipelajari,
hingga buku ini mengumpamakan belajar ilmu ealaman sebagai tugas keagamaan
muslim. Kedua, buku ini menjadikan “peran” mempelajari ilmu kealamaan sebagai
sarana hamba untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhannya (hal 57).
Buku ini mempunyai kelebihan dalam penyusunan bahasa yang digunakan,
sehingga pembaca mudah memahami pesan yang disampaikan oleh buku ini. Tidak
sampai disitu, teori-teori yang disajikan dari setiap babnya disertai dengan dalil-dalil
AlQuran dan pendapat penulis sebagai jalan keluar dari perbedaan pemahaman umat
islam tentang sains islam. Meskipun demikian, buku ini tetap memiliki kekurangan
yang disisi lain bisa dipandang kelebihan, yaitu penulisnya seolah-olah tidak

90
mengetahui pembahasan tentang perdebatan ekstensif yang berkembang mengenai
masalah filsafat sains. Walaupun pada dasarnya buku ini menawarkan banyak
orisinalitas (hal 33).

Dialektika Wahyu dan Naskah Yunani dalam Filsafat Islam

Book Review 11

C.A. Qadir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Philosophy and Science
in the Islamic World) penerjemah Hasan Basri (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989)

Oleh

Nur Hikmah (1800018040)

Menuju Yang Kudus

Buku yang berjudul asli Philosophy and science in the Islamic word ini
merupakan buku Filsafat yang ditulis oleh salah satu pendiri Pakistan Philosopical
Congress, C.A. Qadir. Ia menulis buku terinspirasi dari pertanyaan rekan mahasiswa
mengenai perbedaan filsafat India dan filsafat Islam. Menurutnya, jika dahulu banyak
buku mengenai filsafat India, sekarang buku mengenai filsafat Islam pun juga sudah
sangat banyak.

Meski buku filsafat karangan C.A Qadir terinspirasi dari pertanyaan perbedaan
filsafat India dan Islam, ia lebih banyak menjelaskan tentang filsafat barat dan Timur
dalam bukunya. Penjelasan tersebut bisa dilihat ketika Qadir menulis tentang
perbedaan teori pengetahuan antara timur dan barat. Menurutnya, terori pengetahuan

91
Islam berkonsepsi spiritual sedangkan barat bersifat sekuler dan tidak mengandung
wawasan tentang Kudus. Selain itu, filsafat dan ilmu pengetahuan Islam dikalangan
umat Islam zaman dulu merupakan suatu pencarian kerohanian, perkembangan, dan
kemajuan roh, sebab seluruh fenomena alam, penemuan, serta karya-karya ilmiah
merupakan petunjuk-petunjuk mengenai Allah sedangkan teori barat mengandalkan
pemikiran yang lahir dari tradisi-tradisi rasional dan sekuler bangsa Yunani dan Roma
serta spekulasi metafisis bukan kepada pengetahuan yang diwahyukan yang
menjadikan desakralisasi pengetahuan. (hal. 1)

Desakralisasi pengetahuan yang dimaksud seperti menghilangkan kandungan


spiritual pemikiran Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina. Dunia Timur mengenal Ibnu Sina
sebagai tokoh kerohanian akan tetapi, pemikiran Ibnu Sina yang diambil di Barat
adalah teori nominalismenya, begitu juga dengan Ibnu Rusyd menjadi lebih
rasionalistik daripada di Timur. (hal. 3)

Tidak ada Desakralisasi Pengetahuan

Pada bukunya ini, selain menjelaskan tentang Yang Kudus, ia juga


menjelaskan pentingnya semua ilmu, baik itu yang duniawi maupun yang ukhrawi.
Karena menurutnya, pada awal penciptaan, Allah mengajarkan Adam nama-nama
benda. Adam merupakan simbol manusia, sedangkan nama-nama benda berarti unsur-
unsur pengetahuan, baik yang duniawi maupun bukan duniawi. Pengetahuan
mengenai benda-benda inilah yang menjadikan Adam lebih mulia daripada malaikat.
Karena ketika Allah bertanya kepada Malaikat, mereka tidak mengetahuinya. Maka,
keunggulan Adam atas para malaikat itu disebabkan oleh pengetahuannya, bukan
karena kesalehannya. Karena memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat ilahi dan
mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi yang beriman.

Sumber-sumber ilmu pengetahuan selain wahyu, ada pengetahuan yang tidak


diwahyukan. pengetahuan tersebut merupakan ilmu-ilmu yang yang diperoleh melalui
pengalaman, pengamatan, dan penelitian. Pengetahuan ini sifatnya diskursif dan
diperoleh melalui penalaran deduktif atau induktif, atau keduanya. Dengan demikian,
wawasan tentang yang Kudus tidak menghalang-halangi untuk menekuni ilmu-ilmu
pengetahuan duniawi. (hal. 11)

92
Ilmu harus dicari, bahkan sekalipun harus pergi ke Cina. Kiranya perintah
Nabi itu tidak membatasi pengetahuan hanya pada ilmu hukum Islam, Salah satu
sabda Nabi yang dikutip oleh Qadir mengenai pentingnya semua Ilmu.

“Barangsiapa menginginkan kebaikan di dunia ini, hendaknya mencari ilmu;


barangsiapa menginginkan kebaikan diakhirat, hendaknya mencari ilmu, dan barang
siapa menginginkan kedua-duanya hendaknya mencari ilmu.”

Sumber inspirasi yang sesungguhnya bagi para pemikir muslim adalah al


qur’an dan hadits, bukan lahir dari pengetahuan Yunani. Meski tidak bisa dipungkiri
bahwa pemikiran Yunani telah memberikan dorongan dan rangsangan kepada sumber
inspirasi tersebut. Oleh sebab itu, jelaslah bahwa filsafat muslim bukan jiplakan dari
pemikiran Yunani.(hal.30)

Al Qur’an meminta umat Islam agar mengamati dan merenungkan. Filsafat


Yunanai memberikan metodologi dan teknik untuk berfilsafat. Isi dari filsafat itu
sudah barang tentu diambil dari al Qur’an dan sunnah Nabi. Akan tetapi, ketika ada
ilmu dan ada filsafat Yunani yang bertentangan dengan dasar-dasar Islam atau
mendistorsikan pandangan mereka, para filsuf muslim seperti al Ghazali dan Ibn
Taymiyah menolak dengan segala kemampuan mereka. (hal.33)

Semangat pengembahan pengetahuan pun semakin gencar, bahkan setelah


umat kristen berada di bawah kekuasaan Islam, pemimpin Islam tidak membatasi
kebebasan inteletual melainkan membuktikan kecintaan Muslim akan pengetahuan
dan para ilmuan. Satu hal yang perlu dicatat bahwa ketika bangsa Arab menaklukkan
negeri-negeri yang dekat maupun yang jauh, mereka tidak mencampuri urusan bahasa
dan kebudayaan bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Kemudian, pekerjaan
menerjemahkan dilakukan secara serius di zaman Abbasiyah, khususnya di
pemerintahan al Mansur. Al Mansur merupakan seoarang pemimpin yang menyukai
filsafat, ilmu hukum dan astronomi.

Kholifah al Mansur juga melakukan banyak penerjemahan naskah Yunani


mengenai filsafat dan ilmu pengetetahuan. Ia bahkan memberi upah yang besar
kepada para penerjemahnya. Kemajuan tersebut juga dirasa pada masa Harun ar
Rasyid. Pada masa Harus ar Rasyid, tidak hanya khalifah dan wazir saja yang
melindungi para ilmuwan dan filsuf, akan tetapi orang-orang biasa dan terpandang

93
kaya menyumbang banyak uang untuk keperluan menerjemahkan karya-karya Yunani
Kuno. (hal.39)

Penerjemhan dan penafsiran buku-buku Yunan di negeri Arab, tidak dimulai


dengan lahirnya agama Islam, Namun sudah jauh sebelum itu. Seperti negara Suriah
yang merupakan tempat bertemunya dua kekuasaan dunia waktu itu, Roma dan
Persia. Di kalangan umat kristen Suriah, terutama kaum Nestorian, menekuni dan
menyebarluaskan pengetahuan melalui sekolah-sekolah mereka meskipun kedudukan
ilmu kedoktran dan pengetahuan sekuler masih dipandang rendah daripada ilmu
pengobatan spiritual yang merupakan hak-hak istimewa para pendeta (hal. 35).

Metodologi Penggalian keilmuan yang dilakukan oleh para filsuf muslim


sendiri dimulai dari pengamatandan percobaan, kemudian hipotesis, verivikasi suatu
hipotesis, percobaan ke hukum-hukum umum, dan penafsiran fakta-fakta lain
berdasarkan hipotesis. (hal. 112)

Tahap Awal Pemikiran Religio-Filosofis

Beberapa hal dapat dikemukakan sebagai penyebab masuknya dialektika


dalam agama Islam. Dialektika diantara semua agama di dunia, menurut C.A Qadir
bahwa Islam mungkin paling sederhana. Bangsa Arab, merupakan bangsa yang
sederhana dan tidak berpendidikan, mereka tidak mampu memahami sesuatu yang
berada di luar yang paling nyata. Kemudian hal tersebut berubah setelah wafatnya
Nabi, karena banyak sekali perdebatan, seperti pengganti Nabi setelah wafat serta
timbulnya peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah. atau kelompok-
kelompok lain seperti jabariah dan Qadariah.

Perdebatan antara golongan kebebasan kehendak dan golongan determinis


mengenai manusia itu bebas atau terikat. Walaupun perdebatan tersebut telah
memecah umat Islam yang bersatu menjadi dua golongan, telah memaksa orang untuk
berpikir yang tidak memihak dan berat sebelah. Jika kedua belah pihak kaum
determinis dan kaum indeterminis memperoleh inspirasi dan kesahihan mereka dari
sumber yang sama, yakni al Qur’an. Hal inilah menurut penulis buku yang nantinya
akan mendorong orang untuk memikirkan siapa yang benar dan apakah al Qur’an
telah ditafsirkan dengan benar oleh pihak-pihak yang bersengketa itu. Perdebatan ini

94
selain dilakukan oleh jabariah dan qadariah, juga dilakukan oleh umat kristen dan
umat muslim.

Bila muncul pertanyaan mengenai beda atau samakah antara antara filsafat
muslim dengan filsafat Islam. Pertanyaan ini mempunyai jawaban yang bervariasi
seperti yang ditanggapi oleh Sayyed Hossein Nasr bahwa para filsuf yang berjiwa
Aristotelian dan diilhami oleh mazhab-mazhab pemikiran asing tidak dapat disebut
pemikir Islam yang ortodoks. Jawaban inipun diperkuat oleh tanggapan dari
Muhmmad Iqbal, ia mengatakan bahwa jiwa Islam anti klasik, artinya anti Yunani.

Sedangkan menurut C.A Qadir bahwa semua pemikir muslim adalah muslim.
mereka menganut Islam sebagai kepercayaan mereka, dan jia hasil-hasil pemikiran
mereka tidak selaras dengan ortodoks, maka bukan berarti mereka kurang beriman.
Pernyataan ini juga diperkuat oleh Amir Ali, menurutnya tujuan dari para filsuf
muslim adalah untuk memberikan kepada dunia suatu teori lengkap mengenai
kesatuan kosmos yang tidak hanya memuaskan akal pikiran, akan tetapi perasaan
keagamaan. Sehingga mereka harus bisa mendamaikan etika dan kerohanian dengan
segi filsafat ilmu pengetahuan yang tidak pernah disinggung dalam pemikiran Yunani.
(hal.76)

Berkaitan dengan tokoh filsuf muslim, banyak yang beranggapan jika Ibn
Rushd merupakan tokoh filsuf muslim terakhir artinya tidak ada lagi filsafat dalam
dunia Islam. Anggapan ini muncul dikarenakan perhatian yang hanya pada satu fokus
terutama kajian yang ditulis dalam bahasa Arab, sehingga yang tidak berbahasa Arab,
luput dari perhatian para sarjana Timur. Niscaya menjadi sebuah kewajiban para ahli
sejarah filsafat muslim untuk tidak membatasi diri kepada segelintir filsuf yang
terpengaruh oleh filsafat tetapi dari berbagai iklim dan bahasa yang berbeda-beda.

Ibn Rusyd mengutip beberapa ayat al Qur’an untuk menunjukkan bahwa


berpikir tidak dilarang dalam Islam. Sebaliknya ada perintah yang jelas dalam al
qur’an agar orang-orang beriman berpikir dan merenungi kejadin-kejadian alam,
karena berpikir secara filsafat merupakan suatu kegiatan yang sah manurut Islam.

Selain terdapat para filsuf yang terpengaruhi oleh pemikiran Yunani, ada juga
filsuf yang lebih menekankan cinta kasih dan hubungan langsung dengan Allah, dan
menganjurkan pengalaman yang langsung dari identits jiwa dengan sumber Ilahi.

95
Mereka itu adalah para sufi. Bagi para sufi, jalan menempuh penyucian diri dan
perealisasian diri adalah mutlak perlu bagi mereka untuk berpegang pada syariah
secara lahir dan batin. Karena satu-satunya alat yang tersedia bagi seorang sufi untuk
bertemu dengan Allah adalah cinta. Tokoh sufi tersebut seperi Dhu Nun al Misri,
Bayazid Bistami, Rabiah al Adawiyah, dan lain-lain.

Pudarnya Ilmu Pengetahuan dan Filsafat

Sejak masa Nabi, sampai abad 18 ketika ketiga dinasti habis riwayatnya, kaum
muslim telah menguasai kawasan di Asia, Afrika, ilmu pengetahuan berkembang
pesat. Namun, setelah abad tesebut, pengetahuan mulai pudar. meskipun sebelum
abad 18 ilmu pengetahuan pernah juga hancur pada abad ke 12.

Menurut Muhammad Iqbal ada tiga hal yang menyebabkan kemunduran


intelektual dalam Islam yaitu mistisme asketik; berkelana tanpa tujuan di lembah-
lembah mistisme Helenik-Parsi yang remang-remang, hilangnya semangat induktif;
semangat Islam penekanannya adalah kepada aspek kehidupan yang konkret,
berhingga dan berubah yang bertentangan dengan filsafat Yunani yang statis, tidak
berubah, dan deduktif, dan penyebab terakhir adalah adanya otoritas perundang-
undangan total. Menurut Iqbal undang-undang inilah yang melumpuhkan
perkembangan pribadi dan menyebabkan hukum Islam praktis tidak bisa bergerak
sama sekali.

Guna membangkitkan kembali semnagat intelektualisme, buku filsafat ini


menjelaskna bahwa Kemajuan tidak mungkin dicapai atas dasar wawasan-wawasan
lama yang sudah layu. Oleh sebab itu, perlu pembangunan kembali pemikiran
keagamaan dalam Islam. (hal. 176)

Buku yang berjudul asli Philosophy and Science in the Islamic world sangat
direkomendasikan untuk dibaca mahasiswa filsafat, khususnya mereka yang ingin
mengetahui perbedaan filsafat Islam dan filsafat Yunani. Karena dalam buku ini,
penulis sangat rinci menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut.

Pemaparan yang sangat detail mengenai perkembangan filsafat dan


pengetahuan Islam disajikan dalam buku yang dikarang salah satu pendiri Pakistan
Philosophical Congres. Ia tidak hanya menyajikan mengenai perkembangan filsafat
dalam dunia Islam, namun juga menarasikan perjalanan filsafat dan bidang intelektual

96
mulai dari sejarah awal masuk, pengembangan yang dilakukan oleh para pemimpin
Islam, serta faktor-faktor kemunduran intelektual dalam Islam. Ia juga menyertakan
rujukan-rujukan dari al-Qur’an dan Hadits dalam menerangkan isi buku-meskipun
tidak disertakan siapa yang meriwayatkan- yang membuat pembaca lebih yakin.

Book Review 12

Drs. Rizal Muntasyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum. Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

Oleh : Muhimmatul Khoiroh

Biografi Penulis

Drs. Rizal Muntasyir M.Hum lahir pada tanggal 24 Agustus 1954 di


Singkawang, Kalimantan Barat. Beliau menempuh pendidikan S1 di Fakultas Filsafat
UGM lulus tahun 1985 dan S2 Filsafat UGM lulus tahun 1995. Beliau merupakan
dosen Filsafat Ilmu di Fakultas Filsafat UGM. Rizal Muntasyir ini juga pernah
menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Filsafat (1990-1996) dan Pimpinan
Redaksi Jurnal Pusat Studi Pancasila (1997-2000). Selain buku Filsafat Ilmu ini karya

97
beliau yang pernah dipublikasikan adalah Filsafat Analitik, Rajawali Press, Jakarta,
1987; dan Filsafat Bahasa, Prima Karya, Jakarta, 1988.

Drs. Misnal Munir M.Hum lahir di Solok, Sumatra Barat pada tanggal 8
Oktober 1958. Beliau menempuh pendidikan S1 dan S2 di fakultas yang sama yakni
Filsafat UGM. Saat ini beliau menjabat sebagai Staf Pengajar di Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta. (hal 180)

Isi Buku

Buku ini berjudul Filsafat Ilmu ditulis oleh Rizal Muntasyir dan Misnal
Munir. Pada cover buku terdapat gambar Francis Bacon (1561-1626). Hal ini
dikarenakan Francis Bacon merupakan filsuf yang meletakkan landasan filsafat ilmu.

Dalam buku ini terdapat 6 bab dan 180 halaman. Setiap babnya diawali
dengan pengantar dan diakhiri dengan penutup lengkap dengan catatan kaki serta
sumber acuan. Namun pada bab 6 dalam buku ini tidak terdapat catatan kakinya.

Penulis mengawali tulisannya dengan membahas pengenalan ilmu filsafat


yang berisi pengantar, pengertian filsafat, ciri-ciri berpikir kefilsafatan, gaya
berfilsafat, cabang-cabang utama filsafat yakni metafisika, epistemologi dan
aksiologi, kemudian prinsip-prinsip berfilsafat dan di akhiri dengan penutup.

Sebelum membahas filsafat ilmu penulis mengenalkan kepada pembaca


tentang ilmu filsafat. Pengertian filsafat dalam buku yang saya review ini
menyebutkan bahwa secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Philosophia, Philos
yang artinya suka, cinta, cenderung pada sesuatu, dan Shopia berarti kebijaksanaan.
Sehingga filsafat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan.(hal 2)

Dalam buku ini dijelaskan tiga bidang utama filsafat adalah metafisika,
epistemologi, dan aksiologi merupakan landasan pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis lebih menekankan istilah metafisika daripada ontologi. Menurut Christian
Wolff, ontologi termasuk dalam klasifikasi metafisika umum. Adapun yang termasuk
metafisika khusus yang tercantum dalam buku ini adalah Psikologi, Kosmmologi dan
Teologi. Sedangkan yang dimaksud landasan ontologi ilmu yakni berkaitan dengan
hakikat ilmu. Bidang filsafat yang kedua adalah epistemologi. Epistemologi
merupakan teori pengetahuan. Landasan epistemologi ilmu berhubungan dengan

98
aspek-aspek metodis ilmu dan sarana berpikir ilmiah lainnya. Landasan aksiologis
ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Selain membahas tentang
cabang aksiologi, penulis juga membahas masalah nilai baik atau buruk yaitu etika.
(hal 10-38)

Buku ini mengajarkan 5 prinsip dalam berfilsafat. Pertama, dalam berfilsafat


seseorang harus mampu mengendalikan dirinya dari sikap yang menganggap dirinya
paling benar. Kedua, kesetiaan pada kebenaran. Ketiga, berusaha memikirkan
jawaban dari persoalan filsafati secara serius. Keempat, dalam latihan intelektual
dilakukan secara aktif dari waktu ke waktu dan diungkapkan secara lisan ataupun
tulisan. Kelima, seorang yang mempelajari filsafat harus mempunyai sikap terbuka.
(36-38)

Pada bab 2 dijelaskan tentang objek material dan formal filsafat ilmu,
pengertian filsafat ilmu serta tujuan dan implikasi filsafat ilmu. Objek material filsafat
ilmu yaitu ilmu pengetahuan itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah hakikat
ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga dijelaskan perbedaan antara pengetahuan dan
ilmu pengetahuan. Penulis memaparkan bahwa kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya
untuk meletakkan kembali peran dan fungsi Iptek sesuai tujuan semula, yaitu
mendasarkan diri dan concern19 terhadap kebahagiaan umat manusia. (hal 44)

Dalam mempelajari filsafat ilmu ini juga harus mempunyai pengaruhnya


dalam kehidupan seorang ilmuan tersebut. Dengan mempelajari filsafat ilmu kita
harus bisa lebih bijaksana dalam bertindak, serta tidak hanya bergantung dengan satu
ilmu saja sehingga kita dapat mengaitkan setiap aktivitas dengan kehidupan sosial-
kemasyarakatan agar seimbang. (hal 53)

Bab 3 berisi tentang sejarah dan peranan pemikiran filsafat barat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Disini dijelaskan beberapa zaman: Zaman Yunani
Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman Renaissans, Zaman Modern, dan Zaman
Komtemporer.

Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat zaman Yunani Kuno,


filsafat identik dengan ilmu pengetahuan. Dalam buku ini dijelaskan ciri-ciri
pemikiran filsafat Barat. Zaman Yunani Kuno cirinya adalah kosmosentris. Pada

19
Yang dimaksud concern dalam hal ini adalah fokus.

99
zaman ini ditunjukkan perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
untuk menemukan asal mula yang merupakan unsur awal terjadinya segala gejala.
Ciri pemikiran pada zaman Abad pertengahan disebut teosentris. Zaman ini
merupakan zaman keemasan bagi kekristenan. (hal 59-66)

Buku ini menyebutkan bahwa peralihan dari zaman pertengahan ke zaman


modern disebut zaman renaissans. Zaman ini terkenal dengan era kelahiran kembali
kebebasan manusia dalam berpikir. Selanjutnya penulis membahas zaman Modern.
Buku ini menjelaskan bahwa zaman modern ini muncul aliran-aliran filsafat
diantaranya adalah rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, positivisme,dan
marxisme. Selanjutnya penulis membahas zaman kontemporer yaitu abad 20 dan
seterusnya. Pada abad 20 kelahiran postmodernime merupakan reaksi terhadap
pemikiran modern yang telah berubah menjadi mitos baru. Dalam buku ini dijelaskan
singkat tentang beberapa aliran yang berpengaruh pada abad 20, seperti:
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme dan postmodernisme.
(hal 69-99)

Dalam bab berikutnya penulis membahas tentang prinsip-prinsip metodologi.


Dalam bab ini ada pandangan tentang prinsip metodologi menurut beberapa tokoh,
yaitu Rene Descartes, Alfred Jules Ayer dan Karl Raimund Popper.

Menurut penjabaran buku ini, yang dimaksud prinsip-prinsip metodologi


adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode. Kita dapat
membaca dalam buku ini ada tiga filsuf yang memiliki keistimewaan khusus dalam
mengajukan prinsip metodologis, yakni Rene Descartes yang bertitik tolak pada
prinsip keraguan metodis (skeptis-metodis), Alfred Jules Ayer mempunyai prinsip
verifikasi sebagai sarana untuk menguji bermakna atau tidaknya sebuah pernyataan,
Karl Raimund Popper mengajukan prinsip falsifiabilitas yang menyatakan bahwa
sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Menurut Popper prinsip ini dapat
memperkokoh sebuah hipotesa. (hal 118-119)

Pada bab berikutnya penulis menjelaskan perkembangan, pengertian, dan


klasifikasi ilmu pengetahuan. Ada beberapa periodesasi perkembangan ilmu yaitu
Periode Pra-Yunani Kuno, Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan, Zaman
Renaissans, Zaman Modern, dan Zaman Kontemporer. Selanjutnya penulis
memaparkan pengertian ilmu serta beberapa pandangan tentang klasifikasi ilmu

100
pengetahuan menurut Christian Wolff, Auguste Comte, Karl Raimund Popper,
Thomas S. Kuhn dan Jurgrn Habermas.

Sejarah perkembangan ilmu merupakan suatu fase yang terjadi sejarah


periodik. Setiap periode mempunyai ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Dengan membaca buku ini kita tidak hanya mengetahui bagaimana
perkembangan ilmu di dunia Barat, namun kita juga dapat mengetahui bagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. (hal 121-131)

Penulis memaparkan pandangan klasifikasi ilmu pengetahuan menurut


beberapa tokoh. Pada bab ini juga dilengakapi dengan skema klasifikasi ilmu
pengetahuan. Hal ini menarik sekali karena memudahkan pembaca dalam memahami
bacaan tersebut.

Bab terakhir penulis menjelaskan strategi pengembangan ilmu. Dalam bab ini
penulis menegaskan bahwa strategi pengembangan ilmu di masa yang akan datang
tidak boleh mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan di Barat, khususnya
pandangan yang menganggap ilmu itu bebas nilai. Salah satu tokoh sosiologi
menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai dan menjadi nilai yang relevan. (hal
168)

Dalam buku ini penulis menjelaskan faktor-faktor bahwa ilmu pengetahuan itu
bebas nilai. Diantaranya adalah bebas dari pengaruh politis, ideologi, agama, budaya,
dan kemasyarakatan lainnya. Selain itu perlunya kebebasan usaha ilmiah agar
otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Faktor terakhir adalah penelitian ilmiah
memerlukan pertimbangan etis, karena nilai etis itu bersifat universal. (hal 170-171)

Pada bagian ini diberikan pemaparan tentang syarat-syarat yang dibutuhkan


dalam melakukan strategi pengembangan ilmu di Indonesia. Selain itu dalam buku ini
mengatakan bahwa strategi pengembangan ilmu yang baik yaitu gerak rasionalisasi
yang beriringan dengan spiritualisasi, ekspresi keindahan, dan sosialisasi nilai-nilai
kemanusiaan. (hal 173-178)

Pembahasan

Buku Filsafat Ilmu yang saya review ini merupakan sebuah buku ringkasan
dari kumpulan karya orang lain yang disusun oleh penulis sedemikian rupa hingga

101
menjadi sebuah karya baru. Pada setiap bab penulis memberikan pengantar dan
memberikan kesimpulan di bagian penutup bab. Buku ini sangat bermanfaat bagi
mahasiswa yang akan belajar filsafat ilmu.

Dengan membaca buku filsafat ilmu ini kita dapat mengetahui berbagai
permasalahan pokok filsafat ilmu mulai dari sejarah, asumsi yang melatarbelakangi
sebuah metode hingga klasifikasi dan strategi pengembangan ilmu. Oleh karena itu
buku ini jelas memberikan pengetahuan yang besar untuk para pegiat ilmu.

Kelebihan buku ini adalah bahasa yang digunakan cukup mudah dipahami.
Selain itu penulis juga membahas mengenai ilmu pengetahuan di dunia Islam
sehingga menurut saya dapat mudah dipahami dengan apa yang terjadi di dunia Barat.
Buku ini bagus dikaji oleh orang yang ingin belajar filsafat dari sisi sejarah filsafat
terlebih dahulu.

Buku ini juga mengingatkan kita agar setelah setalah belajar filsafat nanti kita
lebih kritis dan bijak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Keberadaan
buku yang saya review ini tentunya dapat menambah wawasan bagi para pembaca
untuk mengenal filsafat ilmu serta sejarahnya.

Kekurangan buku ini adalah terdapat kalimat yang tidak sinkron antara
kalimat pengantar dalam bab 2 dengan kalimat yang ada di halaman cover belakang
buku. Dalam bab 2 menjelaskan bahwa Francis Bacon meletakkan dasar filsafat ilmu
pada abad 19. Sedangkan pada cover belakang menunjukkan bahwa Francis Bacon
merupakan peletak filsafat ilmu pada abad 16.

Selain itu buku ini kurang menjelaskan materi yang berhubungan dengan
filsafat ilmu. Lalu setelah saya baca buku filsafat ilmu ini saya menemukan
kekurangan lain yaitu dalam bab 6 penulis tidak mencantumkan catatan kaki, tidak
seperti bab-bab sebelumnya.

Setelah mereview buku ini saya berharap penulis agar lebih berhati-hati dan
teliti dalam menulis buku selanjutnya. Semoga buku yang akan diterbitkan
selanjutnya menjadi lebih baik dan lebih diminati para pembaca.

102
Modernitas, Post Modernitas, dan Agama

Book Review 13

Sholihan, Modernitas, Pos Modernitas dan agama ( Semarang: Walisongo press:


2008)

Oleh: Sani Muhammad Haidar

1800018042

Buku karangan Sholihan yang berjudul Modernitas, Pos Modernitas dan


Agama merupakan kajian tentang kontroversi pemikiran diskursus postmodernisme
yang berasal dari tradisi intelektual prancis. Postmodernisme merupakan

103
perkembangan antithesis dari pemikiran modernisme yang dianggap telah gagal dan
kadaluarsa sehingga perlu diperbaharui dengan pemikiran yang lebih maju dan
modern yang kemudian dikenal dengan postmodernisme.

Buku ini juga membahas perbedaan mendasar mengenai karakter pemikiran


modernisme dengan postmodernisme. bagi umat islam postmodernisme dipandang
sebagai kelanjutan dari proyek modernisasi barat. Melalui proyek modernisme, barat
secara terang terangan melakukan revolusi kultural terhadap tradisi umat islam yang
merupakan bentuk imperialisasi gaya baru, oleh karena itu, sudah semestinya umat
islam melakukan refleksi terhadap nilai nilai internal dan mengubah paradigma
pemikiranya tanpa harus kehilangan nilai nilai islam, sebagaimana dikemukakan
kazoo shimogaki dalam kiri islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme. (Hal ix-
xi)

A. Latar Belakang Modernitas

Modernisasi dalam dunia islam sejatinya merupakan pengaruh dari dunia


barat, Lemahnya intelektual islam diabad ke Sembilan belas, menjadi peluang barat
untuk memasukan ide ide modernisasinya, Sejak dulu islam dan barat sudah saling
bersaing dalam bidang pemikiran, keduanya saling mempengaruhi satu sama lain,
diabad kejayaan islam, islam dengan pemikiran dinamisnya ketika itu, mampu
memfilterasi ide pemikiran yunani sekaligus mampu merekonstruksinya menjadi
disiplin ilmu tersendiri, namun seiring berjalanya waktu, intelektualitas islam
melemah, puncaknya pada Sembilan belas, umat islam ikut terseret dalam arus
modernisasi barat.( hal. 45)

Pengaruh hegemoni barat terhadap dunia islam sudah begitu dominan, bahkan
hampir disemua bidang , awalnya dominasi barat terhadap islam terbatas pada bidang

104
militer, politik, dan ekonomi. Seiring berjalanya waktu dominasi itu menjalar pada
bidang sosial, budaya, dan intelektual.hal ini tentu menyebabkan goncangan pada
umat islam. Tatanan tradisi, sosial dan pendidikan yang sudah lama dilestarikan tiba
tiba dirubah dengan model gaya barat. ( hal.46)

Sebenarnya umat islam sudah berusaha melepas diri dari belenggu barat
sejak akhir abad ke dua puluh, ditandai dengan munculnya beberapa tokoh
revolusioner islam. Akan tetapi, ketergantungan umat islam terhadap barat sudah
begitu kuat. Akibatnya umat islam yang mayoritas tinggal di Negara muslim , masih
belum mampu berdikari dinegaranya sendiri. Umat islam dengan tingkat
intelektualitasnya saat ini masih dianggap terbelakang dan ketiggalan zaman, maka
tak heran bila Negara yang mayoritas penduduknya muslim dianggap sebagai Negara
dunia ketiga yang termarjinalkan dan sering mendapat perlakuan deskriminatif dari
Negara Negara barat. ( hal. 46)

B. Sekilas Tentang Modernisme dan Modernitas

Istilah modernitas berasal dari bahasa latin “modo”' yang berarti kini, Istilah
ini digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dan orang romawi dari
masa pagan yang lampau, sejak akhir abad ke lima. namun pada perkembanganya,
istilah ini lebih sering digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad
pertengahan.

Menurut para ahli sejarah, peradaban barat terbagi menjadi periode, yakni
periode ancient (kuno), periode medieval, dan periode modern, perbedaan ini terjadi
karena ada perubahan kondisi dari masa kemasa.

Diawali dengan gerakan renaissance yang berlangsung pada abad XV dan


XVI , Humanisme, dan reformasi, manusia barat berusaha melepas diri dari hegemoni
ortodoksi gereja, mereka mulai mengedepankan akal yang berorientasi pada
kebebasan, efeknya nilai ketuhanan yang sebelumnya diagungkan mulaik
dikesampingkan, dan secara tidak sadar, peran nya mulai digantikan oleh akal
manusia. Dengan kebebasan inilah barat modern dapat berkembang demikian pesat
hingga mampu menguasai teknologi dan pengetahuan sampai sekarang ini. (hal. 48)

105
Istilah modern yang berasal dari akar kata "modo" memiliki beberapa
turunan kata yang juga popular seperti "modernisme", "modernitas", “modernisasi”,
meski secara harfiah dan makna berbeda pada tiap turunanya, namu memiliki esensi
yang sama karena berasal dari akar kata yang sama. Merujuk pada Oxford English
Dictionary, “modernisme” didefinisikan sebagai pandangan atau metode modern ,
khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi dalam masalah agama, Adapun
istilah “modernitas” dipahami sebagai dampak dari “modernisasi” yang mana dunia
sosial dibawah dominasi estetisme , sekularisasi, militerisasi dan birokrasi ekonomi.
(hal. 50)

C. Kritik Terhadap Modernisme dan Kebangkitan Islam

Demi mengejar ketertinggalan yang begitu jauh dari barat, umat islam perlu
mempelajari pengetahuan dan teknologi yang berkembang dibarat. Secara perlahan
tapi pasti, melalui pendidikan dan pengetahuan umat islam mulai bangkit dan
berkembang menjadi agen agen modernisasi. umat islam mulai berani berperan
kembali dalam berbagai bidang di forum dunia. sikap kritis bahkan skeptis yang
merupakan implikasi model pendidikan barat, ternyata juga memiliki dampak positif
bagi umat islam dalam memandang modernisasi barat, karena secara tidak langsung ,
modernisasi telah menimbulkan berbagai macam permasalahan yang komplek, seperti
munculnya kapitalisme, militerisme, rezim militer otoritarian, negara korporatis,
hancurnya lingkungan hidup, munculnya kelas sosial, hilangnya kehidupan spiritual,
dengan kata lain modernisasi didunia islam mengalami kegagalan. ( hal. 55)

Sikap kritis dan skeptis terhadap peradaban barat sebagai sesuatu yang patut
ditiru merupakan salah satu faktor penting yang mendukung munculnya gerakan
kebangkitan islam. Dalam pandangan Ahmed , kebangkitan islam yang berlangsung
sejak tahun 1970 an hingga kini adalah fenomena postmodernisme didunia islam.
Sementara menurut Huntington, kebangkitan islam dipandang sebagai ancaman
terbesar bagi peradaban barat setelah berakhirnya era perang dingin. Meskipun
demikian umat islam masih dalam berproses untuk mencapai puncak kebangkitanya.

D. Posisi Agama Di Era Postmodern

106
Kemajuan yang dikuasai oleh dunia barat sekarang merupakan implikasi dari
pandangan dunia yang menekankan sentralnya peran akal, kebebasan dan otonomi
manusia. Dengan itu manusia barat dapat menciptakan dan menentukan masa
depanya sendiri. Manusia barat juga tidak membutuhkan lagi pesan ilahiyah untuk
memperbaiki dirinya, karena bagi mereka, sumber kebaikan berasal dari pengetahuan
dan teknologi yang mereka ciptakan sendiri. (hal.126)

Diawal kemunculanya, modernisme tampil dalam sejarah sebagai kekuatan


progresif yang menjanjikan kebebasan dan menyelamatkan manusia dari kungkungan
irrasionalitas. Setelah beberapa dekade berlalu tiba tiba modernisme yang sudah
demikian hebat digugat oleh sebuah gerakan yang kemudian dikenal dengan
"postmodernisme". Postmodernisme sendiri sudah muncul sebagai gerakan intelektual
sejak tahun 1960 , yang bermula dari kritik terhadap bidang seni arsitektur hingga
kemudian merambah pada bidang yang lain, baik itu sastra ilmu , gaya hidup, filsafat,
bahkan agama. Awalnya gerakan ini muncul dieropa, lalu menjalar ke amerika hingga
ke seluruh dunia. Era postmodernisme dianggap sebagai jawaban terhadap proyek
modernisme barat yang tidak saja gagal dalam mencapai tujuanya , tetapi lebih dari
itu, modernisme telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan
manusia dan alam pada umumnya, seperti disorientasi moral religius, krisis
fundamental, krisis ekonomi, ekologi dan politik yang terjadi secara global (hal. 127)

Setelah era modernisme runtuh, era post modernisme secara cepat menjalar ke
berbagai bidang termasuk keagamaan. Agama yang sudah demikian lama
termarjinalisasi karena efek modernisasi mulai diangkat kembali, hal ini terlihat jelas
sejak merebaknya wacana mengenai etika global yang dideklarasikan oleh parlemen
parlemen agama dunia dalam pertemuanya pada 28 Agustus sampai 4 September
1993. Yang dimaksud etika global adalah etika yang berdasarkan nilai nilai etik yang
bersumber dari agama agama didunia yang bertujuan menggalang kerjasama dalam
menjawab tantangan kemanusiaan dimana-mana baik pada tingkat global nasional
maupun lokal. (hal. 139)

Parlemen agama agama dunia meyakini bahwasanya nilai nilai etika yang
terdapat dalam agama agama dapat digunakan untuk mengatasi krisis global yang
melanda dan mengancam masa depan dunia. meski tidak dapat memberikan solusi
secara langsung bagi permasalahan dunia yang begitu rumit dan komplek, namun

107
paling tidak, dapat memberikan dasar moral bagi tatanan individu maupun global
yang lebih baik (hal.134)

E. Penutup

Modernisme sejatinya adalah proyek barat yang bertujuan memperluas


dominasinya terhadap Negara Negara berkembang terutama Negara yang mayoritas
berpenduduk muslim. Meski modernisme merupakan salah satu faktor kemajuan
teknologi dan pengetahuan, namun modernisme juga menyisakan barbagai
permasalahan yang rumit dan komplek bagi dunia dan peradaban, seperti
imperialisme, kolonialisme disorientasi agama dan moral.

Post modernisme adalah gerakan intelektual muncul di prancis yang awalnya


merupakan gerakan kritis terhadap seni dan budaya, yang kemudian menjadi
antithesis gerakan modernisme yang dianggap gagal dalam mencapai tujuanya,
bahkan menyisakan banyak masalah kompleks bagi peradaban dunia.

Posisi agama di era modernisme bisa dibilang sudah kehilangan otoritasnya,


manusia barat sudah bosan dengan kekangan barat yang cenderung membatasi
pengetahuan dan kebebasan berpikir. Efeknya mereka berusaha berlepas diri dari
dominasi gereja dengan cara menjadikan akal sebagai sentral kehidupan, dengan cara
ini mereka mampu mncapai kemajuanya dengan sangat pesat. Namun demikan,
manusia barat yang menuhankan akal mengakibatkan implikasi yang serius seperti
disorientasi moral.

Setelah masuk era pos modernisme, agama yang begitu lama terlupakan,
dicoba diangkat kembali. mereka sadar, masalah demi masalah yang timbul karena
tidak ada keseimbangan antara moral dan pengetahuan, karena pengetahuan yang
tidak didasari moral yang positif hanya akan membuat kerusakan bagi peradaban
dunia.

Ditandai dengan kesepakatan yang didiklarasikan oleh parlemen agama agama


didunia, diharapkan etika etika setiap agama yang dalam kerangka globalnya menjadi
istilah etika global, meski tidak bisa menjadi solusi secara langsung paling tidak
memberikan dasar moral yang bermanfaat bagi tatanan individu atau global yang
lebih baik.

108
FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI DIMENSI ONTOLOGI DAN AKSIOLOGI

Book Review 14

Oleh:

Mukti Hidayatul Fitrotin (1800018039)

Review buku Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi


karangan Saeful Anwar ini terdiri dari 6 bab, yang akan dipaparkan sebagai berikut:

I. Biografi dan Karya al-Ghazali

Pada bab I penulis memaparkan biografi dan karya tulis al-Ghazali. Nama
lengkap al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. Ia lahir

109
di Thus tahun 450 H. Sesudah belajar di kampung halamannya al-Radzakani, ia
belajar di Jurjan pada Abu Nashar al-Isma’ili sekitar tiga tahun, kemudian di
Madrasah Nizamiyyah Nesapur pada Imam al-Haramain al-Juwaini sekitar lima
tahun, kemudian ia hidup di Istana Wazir Nizam al-Muluk di Mu’askar selama
kurang lebih enam tahun, kemudian diangkat menjadi rektor Nizamiyyah Bagdad.

Kemudian al-Ghazali memutuskan untuk berkhalwat di Syam, Palestina


dan sekitarnya selama kurang lebih sebelas tahun. Kemudian ia dibebani lagi
menjadi rektor Nizamiyyah Nesapur, sampai ia meninggalkannya dan pulang ke
kampung halaman untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta di Thus sampai
wafat di sana pada tahun 505 H / 1111 M. Karya tulis al-Ghazali cukup banyak,
sehingga judul kitab dan risalah yang dinisbahkan kepadanya mencapai 400
(empat ratus) lebih. Menurut hasil penelitian ‘Abd al-Rahman Badawi, tulisan
yang dipastikan karya al-Ghazali sebanyak 69 (enam puluh sembilan) kitab dan 3
(tiga) risalah fatwa.

Diakhir hayatnya, Al Ghazali kian hari semakin tekun ibadah dan


berupaya untuk tidak terpengaruh kesenangan duniawi, ia larut dalam hidup
kerohanian mengutamakan kepentingan ukhrawi. Dialah orang pertama dalam
filsafat sufistik dan tokoh pembesar pembela aqidah Islam. Setelah berkhalwat di
tanah suci dan memperoleh apa yang ia cari, ia berupaya menyumbangkan
segenap tenaga dan pikirannya membela agamanya dari paham-paham sesat.

II. Hakekat Ilmu dan Struktur Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Al-Ghazali hidup pada masa puncak ilmu-ilmu keislaman. Menurut al-


Ghazali, hakekat ilmu adalah terhasilkannya salinan obyek pada mental subyek
sebagaimana realitas obyek sendiri, yang dalam bahasa dinyatakan dalam bentuk
proposisi-proposisi yang pasti dan sesuai dengan realitas obyek berdasarkan
metode ilmiah tertentu, untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia secara abadi.
Karena itu struktur filsafat ilmu al-Ghazali terbentuk dari beberapa dimensi, yaitu
konsep umum tentang hakekat ilmu, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dengan
demikian, filsafat ilmu al-Ghazali merupakan skeptisisme metodis.

III. Ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali

110
Tatkala al Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia meragukan segala
yang ada, yakni ia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Filsafat ilmu al-
Ghazali dibangun di atas konsep dasarnya mengenai hakekat “(yang) ada”, yang
lebih melihat obyek sebagai being qua being (yang ada sebagai yang ada).
Menurutnya, “ada” (wujud), yang dalam arti tertentu “eksistensi”, merupakan
konsep dasar a priori yang paling umum, mencakup semua “yang ada” (maujud).
Ia bukan substansi kecuali dalam arti grammer, dan tidak termasuk esensi sesuatu,
melainkan aksiden yang membutuhkan substansi. Karena itu al-Ghazali mengenal
lima macam “ada” secara gradual, yaitu “ada sesuatu pada dirinya” (wujud fi al-
a’yan), “ada sesuatu dalam mental subyek yang mengetahui (wujud fi al-adzhan)
yang disebut ilmu, “ada dalam ucapan” (wujud fi al-lafzi), “ada dalam tulisan”
(wujud fi al-kitabah), dan “ada keserupaan” (wujud syabahi).

Al-Ghazali mengkritisi sisi metodologisnya (metodologi pengetahuan).


Esensi ontologi al-Ghazali adalah paham dualisme islami yang berintikan tauhid
menurut konsep yang puncaknya wahdat al-syuhud (kesatuan penyaksian), di
mana keimanan kepada Allah, kenabian dan akhirat secara global merupakan
pangkal. Keimanan kepada Allah termasuk sesuatu yang sui generis (fitri), tetapi
secara ilmiah legitimasi rasional berdasarkan argumen-argumen tertentu berguna.
Dengan demikian ia menolak monisme, baik idealisme subyektif yang mereduksi
obyek material ke dalam mental subyek, maupun realisme ekstrim yang
mereduksi Tuhan, dunia metafisis dan dunia proses mental ke dalam dunia fisis
belaka. Karena itu, obyek ilmu bukan hanya dunia fisis-sensual, tapi segala
sesuatu, baik yang merupakan realitas obyektif dari keempat kawasan, maupun
yang hanya ada dalam konsep mental seperti obyek logika dan matematika.
Akibatnya, al-Ghazali menolak menjadikan fakta empirik-sensual sebagai
demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu.

IV. Epistemologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali

al-Ghazali mengenal tiga macam sarana pokok pencapain ilmu sesuai


obyek masing-masing, yaitu pancaindera untuk dunia fisis-sensual, akal untuk
dunia rasional, dan intuisi untuk dunia transrasional sampai batas tertentu. Karena
itu, untuk memperoleh ilmu non- a priori ada dua metode. Pertama, metode
penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual atau skriptural, terutama

111
dengan logika peripatetik atau mantik dengan ketiga bentuknya (deduksi, induksi
dan analogi-komparasi) serta “teori penafsirannya”. Kedua, metode kasyfi melalui
mujahadah (perjuangan) dan riyadlah (latihan mental-spiritual), berupa tazkiyah
(pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela), dan tahliyah (pengisian diri
dengan segala sifat dan akhlak terpuji), termasuk zikir kepada Allah seperti dalam
meditasi. Kedua metode tersebut secara keseluruhan merupakan sebuah sistem
pencapaian ilmu yang bisa disebut “Sistem Sembilan Tahap”, yang terbagi ke
dalam tiga fase yaitu: fase pra-penelitian, fase epistemologi I (empirik-rasional)
dan fase epistemologi II (kasyfi). Dengan demikian, epistemologi al-Ghazali
berbeda dengan empirisme-positivisme, rasionalisme (kritis), intuisionisme dan
fenomenologi, melainkan sebuah sistem sintetik-integralistik. Ia merupakan
kombinasi dari logika peripatetik dengan berbagai unsur lain, termasuk ilmu ushul
fiqh dan sufisme.

Pada dasarnya al-Ghazali mengkritisi metafisika dan menganut konsep


kebenaran korespondensial, yaitu bahwa suatu kepercayaan, persepsi, tesis, teori
atau hukum, adalah benar jika sesuai dengan realitas obyeknya, dan bahwa
kebenaran mengenai obyek yang sama dalam aspek yang sama adalah tunggal.
Karena itu penggabungan dua hal yang kontradiktif irrasional. Tetapi
pengartikulasian realitas sendiri bisa variatif sehingga dimungkinkan adanya
sintesis. Namun demikian al-Ghazali mengakui pula kebenaran koherensial
sebatas kebenaran formal-rasional. Ia menolak kebenaran pragmatis dan yang
serupa dalam dimensi epistemologi yang berbicara tentang fakta, meskipun fungsi
dan nilai pragmatis sesuatu diperhatikan dalam dimensi aksiologinya.

V. Aksiologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Al-Ghazali melihat bahwa ilmu-ilmu faktual pada dasarnya obyektif dan


netral (bebas nilai). Tetapi ilmu bukanlah tujuan, dan tidak ada sesuatu pun dalam
realitas empirik yang bebas konteks. Karena itu ia mengajukan sedikitnya tujuh
prinsip penerapan ilmu dalam praksis, yaitu: obyektivitas-kontekstualitas, ilmu
untuk amal guna kemajuan dan kebahagiaan, prioritas, proporsionalitas,
tanggungjawab moral dan profesional ilmuwan, kerjasama ilmu-politik serta
ilmuwan-birokrat, dan ikhlas.

112
Menurut al-Ghazali, strategi pengembangan ilmu harus dapat menjamin
pertumbuhan ilmu secara sehat, kokoh dan subur guna mencapai tujuan akhir ilmu
sendiri. Untuk itu ia mengajukan sedikitnya enam prinsip, yaitu: integralisme,
trilogi pengembangan ilmu, memperluas kawasan “kemungkinan”, mengutamakan
pengujian ilmu dari sudut falsifikasi, sedapat mungkin meminimalisasi
pengkapiran dan memperluas rahmat, serta keseimbangan antara substansialitas
dan utilitas ilmu. Secara umum, aksiologi ilmu al-Ghazali berintikan etika islami
yang dikombinasikan dengan berbagai unsur lain.

VI. Analisis Kritis atas Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Filsafat ilmu al-Ghazali cukup orisinal, sebagai hasil proses epistemologis


yang sangat terpengaruh oleh paradigma metafisis yang dianutnya dan oleh
konteks sosio-historis pada masanya. Kekuatannya terletak pada kerangka dasar
teoritisnya, terutama yang terkait dengan prinsip-prinsip dasar al-Qur’an dan
logika peripatetik. Ia cukup realistik, baik dalam kelima fondasi dan sintesisme-
integralismenya, maupun dalam satuan-satuan konsep fisis-rasionalnya, tetapi
konsep metafisisnya memerlukan verifikasi dengan “religious experiences”
(pengalaman keagamaan). Ia juga secara substansial cukup koheren dan konsisten.

Dari sudut fungsi produktifnya, ia sampai batas tertentu dapat mendorong


pertumbuhan ilmu secara sehat dan subur. Secara teoritis, hal ini terlihat terutama
dari hal-hal berikut : (a) Keluasan obyek ilmu, pluralisme kausalitas dengan
perluasan kawasan “kemungkinannya”, dan bahwa manusia mempunyai potensi
dan kapabilitas yang cukup untuk menyingkap realitas seluas mungkin; (b)
Sistematika dan prosedur penelitian ilmiah, keluasan metode penelitian dan
pemikiran ilmiah, sejak fase I (empirik dan rasional) sampai dengan fase II
(kasyfi), serta prinsip probabilitas, tentativitas dan testabilitas ilmu; (c) Strategi
pengembangan ilmunya yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat.
Secara empirik, filsafat ilmu al-Ghazali telah memberikan kontribusi yang
signifikan bagi timbulnya “ledakan” teori maslahat dan tarekat di Timur, serta
renaissans di Barat. Klasifikasi ilmunya cukup memenuhi fungsi integratifnya,
meskipun tidak usah diartikan membatasi jumlah bidang ilmu dan rincian isinya.
Kaidah-kaidah penerapan ilmunya menunjukkan efektivitas fungsi evaluatifnya.

113
Keperibadian al-Ghazali yang lebih merupakan seorang filosof sufi yang
teolog pada zamannya, sehingga lebih menekankan hal-hal yang abstrak-universal
ketimbang seorang saintis yang lebih mengutamakan hal-hal yang konkrit-
partikular. Karena itu: (a) Ia lebih menekankan penalaran deduktif sesuai fokus
kajian-kajiannya yang metafisis, sehingga tidak mengajukan konsep penurunan
hipotesis dan prediksi empirik dari premis atau teori. Hal ini kurang memacu
perkembangan ilmu-ilmu empirik-induktif. Ia juga cenderung lebih falsifikasionis
dalam lapangan empirik-rasional, sehingga kurang aktif-konstruktif dalam
menghasilkan temuan-temuan ilmiah baru. (b) Ia mengakomodasi metode kasyfi
yang pada akhirnya berimplikasi pada pengutamaan “Ilmu Jalan Akhirat”. Hal ini,
meskipun realistik dan rasional, tetapi secara pragmatis kurang relevan dengan
konteks kultur “positif-sensual”. Hasil-hasil temuan kasyfi sendiri sulit diteorikan
dan diuji secara populer. Al-Ghazali juga tidak memberi contoh pembuatan teori-
teori ilmiah mengenai fisika dan fenomena-fenomena supranatural, karena
memang ia bukan dukun dan bukan fisisian. (c) Konsep sintetik-integralistik,
meskipun merupakan posisi yang lebih aman dari kekeliruan dan dekat dengan
semua pihak, tetapi ia tidak memuaskan semua pihak dan sulit dipahami sehingga
bisa menimbulkan distorsi yang berakibat negatif. Ketiadaan demarkasi yang
konkrit antara ilmu dan filsafat dengan agama bisa menimbulkan dogmatisasi ilmu
dan filsafat karena dianggap sebagai agama seperti dalam kultur taklid. Al-
Ghazali memang mengecam keras sikap taklid, tetapi anjurannya bagi “santri”
untuk bertaklid buta kepada syaikh sufi dalam menempuh “metode khusus” bisa
menimbulkan akibat fatal yang kontradiktif dengan keseluruhan epistemologi
kritisnya sendiri.

114
Review Buku 15

ISLAMIC STUDIES DI PERGURUAN TINGGI (Amin Abdullah)

Nama: Andhika Maulana Wijaya

NIM : 1800018022

Buku yang terbagi menjadi 4 bagian. Pertama memuat seputar filsafat ilmu
keislaman yang meliputi problematika filsafat modern dengan kajian islam dan
epistimologi keilmuan yang integralistik. Bagian kedua membahas pemabaharuan
pada filsafat islam, menggunakan kajian ilmu kalam serta pemabaharuan paradigma
penafsiran kitab suci. Pada bagian ketiga menjelaskan pendekatan hermeneutis dalam
studi sosial – budya serta fatwa agama. Sedang bagian keempat menawarkan arah
baru pergeseran paradigma dalam dunia islam. Demikian buku ini bertujan untuk

115
mendiskusikan masalah kajian Islam atau Islamic Studies dilingkungan perguruan
tinggi secara filosofis.

Melalui paradigma keilmuan yang integratif - interkonektif, Universitas


Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, mencoba untuk mengembangkan konsep
segitiga hadharah, yaitu hadharah al-nash (peradaban teks), hadharah al-'ilm
(peradaban ilmu), dan hadharah al-faIsafah (peradaban filsafat). Menariknya, ketiga
wilayah tersebut tidak dikaji secara parsial,melainkan secara integratif - interkonektif,
atau saling berhubungan satu sama lain. Jika ditelaah secara historis, bidang – bidang
keilmuan tersebut sesungguhnya pernah dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuan
muslim pada era klasik dan tengah. Demikian seluruh bidang keilmuan itu dapat
dikatakan sebagai ilmu keislaman, selama secara ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.

Disinilah perbedaannya dengan ilmu sekuler yang meskipun mengklaim


dirinya sebagai value free, namun kenyataannya penuh dengan muatan kepentingan.
Realitas inilah yang menyebabkan muncurnya kritik dari berbagai pihak terhadap
ilmu sekuler yang dianggap ikut mendorong proses dehumanisasi.

Ilmu yang diajarkan didasarkan pada nomenklatur keilmuan yang mencakup


ilmu alam, sosial, dan humaniora, dengan menempatkan Al – quran dan Hadits
sebagai kajian utama. Dialog keilmua ini membagi wilayah studi keislaman dalam
tiga bagian, yaitu: hadlarah al-nash, yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari
nash (agama), hadlarah al-'ilm, yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari ilmu
– ilmu kealaman (natural sciences) dan kemasyarakatan (socials ciences), dan
hadlarah al-falsafah, yakni kemajuan peradaban bersumber dari etika dan falsafah.
Penulis dengan cermat mengetengahkan tiga lapis wilayah sekaligus peringkat ilmu
keislaman yang mencakup Wilayah praktik keyakinan dan pemahaman terhadap
wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan
masyarakat dan para ahli di bidangnya, serta masyarakat pada umumnya.

Menurut Amin Abdullah ,wilayah praktik ini umumnya tanpa melalui


klarifikasi dan penjernihan teori keilmuan. Mementingkan pengamalan. Pada level ini,
perbedaan antar agama dan tradisi, agama dan budaya, serta antara belief dan habits
of mind, sulit dipisahkan (h.72).

116
Pada lapis kedua, wilayah teori keilmuan dirancang secara sistematis dan
metodologis oleh para ilmuan dan ulama yang sesuai dengan bidangnya. Dengan
begitu, wilayah ini tidak lain merupakan teori – teori keilmuan agama Islam yang
terlihat abstrak, baik secara deduktif dari nash – nash atau teks wahyu, maupun secara
induktif dari praktik keagamaan yang hidup dalam masyarakat Muslim (h.73).

Pada lapis ketiga merupakan wilayah kajian kritis yang lebih populer disebut
sebagai meta discourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori – teori
yang disusun oleh kalangan ilmuan dan uIama pada lapis kedua. Lebih – lebih jika
teori - teori pada yang bisa berlaku pada wilayah lain. Menurutnya, wilayah keilmuan
yang ketiga inilah yang kompleks namun dibidangi oleh filsafat ilmu keislaman
(h.74).

Amin Abdullah berpendapat bahwa lapis ketiga tersebut kian hari makin
dirasakan dalam pengembangannya. Selain itu, agama Islam bukanlah satu – satunya
agama yang hidup (living religion), namun saat ini banyak terdapat living religion
yang mempunyai sistem, tata pikir, nilai dan keyakinan individual. Ditambah lagi,
saat ini kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik, ras, suku, dan agama
semakin dekat akibat perkembangan teknologi, sarana transportasi, komunikasi, dan
informasi yang canggih. (h.75).

Menghadapi tantangan lapis ketiga ini, diperlukan upaya pengembangan tiga


pola pikir, yaitu : pertama, pola pikir keagamaan Islam yang bersifat absolute atau
ta'abbud yang memandang persoalan agama senantiasa bersifat tauqify, dimana unsur
agama dikedepankan dari pada akal. Pola pikir ini sangat rigid, kaku dan tidak
mengenal kompromi. Semboyan yang digunakan adalah right or wrong is my country.
Mereka para pendukung pola pikir ini mudah terjebak pada proses taqdis al-fikral-
diniyah. Kedua, pola pemikiran keagamaan yang bersifat absolute relative atau
ta'aqqul yang berpendapat bahwa perilaku agama identik dengan perilaku sosial dan
budaya. Disini sulit dibedakan antara agama dengan tradisi, karenanya pola pikir ini
sangat longgar dan cenderung sekuler.

Dalam istilah sosiologi agama, corak pemikiran keagamaan yang kedua ini
lebih bersifat reduksionistik daripada yang pertama yang bersifat idealistik. Sedang
pola pikir ketiga adalah relative absolute yang tidak memandang rendah terhadap
aqidah yang dimiliki serta tidak beralasan untuk memandang rendah ajaran dan

117
doktrin agama, adat istiadat, dan tradisi yang dijunjung tinggi oleh orang lain.Umat
beragama tetap harus menjaga dan memelihara doktrin dan ajaran mereka sendiri.
Namun tidak serta merta meniadakan atau menganggap remeh kelompok lain yang
memiliki pandangan hidup, keyakinan dan keimanan yang dipegang oleh orang lain
secara absolut pula. (h.82-89).

Pola pikir ketiga inilah yang menurutnya merupakan pandangan bara yang
perlu dikembangkan dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Epistemologi, Bayani, Irfani dan Burhani penulis buku ini berargumen bahwa yang
lebih dipentingkan dalam studi agama Islam diperguruan tinggi adalah mengkaji
secara mendalam dan akademik aspek filosofis, baik yang menyentuh wilayah
ontologis, etis maupun epistemologis, dari keberagamaan Islam. (h.229).

Wilayah ontologis menunjukkan adanya makna yang sangat mendalam,


mendasar, transendental sekaligus spiritual. Oleh karenanya, setiap agama berbeda –
beda dalam menjabarkan, menafsirkan, membahasakan, dan mengaktualisasikan
dimensi spiritualitas –transendental faktor bahasa dan budaya yang selalu menyertai
dimensi ontologis ini. Dapat dipahami, jika dimensi ontologis tampak mempunyai visi
liberatif -emansipatoris. Ia dapat membuka visi dan horizon baru, ketika seorang
agamawan telah 'tergoda" untuk menutup diri.

Sedang wilayah etis bicara soal baik dan buruk. Dalam teori Islam kIasik
hanya ada dua pilihan : the theistic – subjectivism atau rationalistic - objectivism.
Yang pertama menekankan pada pemahaman bahwa baik dan buruk hanya ditentukan
oleh Tuhan. Sedangkan yang kedua lebih menekankan pada peran akal dalam
menentukan baik - buruknya sesuatu. Teori pertama menekankan pada Tuhan lewat
kitab suci. Tetapi, dalam praktiknya, seringkali apa yang diistilahkan dengan Tuhan
tersebut jika tidak hati – hati dapat saja direduksi menjadi subjektivitas masing –
masing individu pengikut agama - agama.

Peran individu di sini juga dapat diganti oleh peran kelompok. Yang kedua
Juga demikian halnya. Perbuatan baik dan buruk hanya tergantung dan diukur oleh
kemampuan rasio individu masing - masing. Wilayah epistemologis membangun
pemikiran keagamaan Islam dari sumber, asal usul (origin), metodologi yang
digunakan (methods), dan peran akal pikiran dalam merumuskan bangunan
epistemologi tersebut (validity). Semua rancang bangun epistemologi ilmu agama

118
Islam yang dipelajari saat ini dulunya juga merupakan respons dari para ulama ketika
mereka berkumpul dengan tantangan zaman klasik – skolastik.

Epistemologi dalam wilayah kajian keilmuan agama Islam memiliki ciri khas
dan karakter tersendiri yang dibangun secara integral, bukan dikotomis - atomistik.
Melalui inspirasi Muhammad Abid al-Jabiri, Amin Abdullah memodifikasi
perkembangan epistemologi dan tradisi keilmuan dalam perspektif bayani, irfani dan
burhani. Menurut al-Jabiri, corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fikih
dan kalam. Dalam keilmuan agama Islam.

Oleh karenanya, hal tersebut membentuk model dikotomik - atomistik. Corak


pemikiran irfani (tasawuf, intuitif, al-'atify) kurang begitu disukai oleh tradisi
keilmuan bayani (fikih dan kalam), lantaran bercampur aduknya bahkan
dikaburkannya tradisi berpikirkeilmuan irfani dengan kelompok – kelompok atau
organisasi – organisasi tarekat dengan syatahat – syatahatnya serta memang kurang
dipahaminya struktur fundamental epistemologi dan pola pikir irfani berikut nilai
manfaat yang terkandung di dalamnya (h.373).

Pengembangan pola pikir bayani hanya dapat dilakukan jika ia mampu


memahami, berdialog dan mengambil manfaat dari sisi fundamental yang dimiliki
oleh pola pikir irfani maupun pola pikir burhani, dan begitu pula sebaliknya.
Kelemahan mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani adalah ketika ia harus
berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa
atau masyarakat yang beragama lain, dimana umumnya mereka bersifat dogmatik,
defensif, apologis, dan polemis dengan semboyan kurang lebih semakna dengan right
or wrong is my country.

Berbeda dengan itu, corak berpikir burhani bersumber pada realitas atau al-
waqi'. Baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang
muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-'ihnal-husuli, yaitu ilmu yang dikonsep,
disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-manthiq, dan
bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi.

Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu bayani, irfani dan
burhani bisa saling terkait, terjaring dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka
corak dan model keberagamaan Islam, menurut Amin Abdullah, jauh lebih

119
komprehensif dan bukannya bercorak dikotomis – atomistik seperti yang dijumpai
sekarang ini. Keilmuan Tarbiyah atau fakultas yang lain belum tentu memahami basis
filosofi kelimuan Islam yang fundamental ini dan implikasi serta konsekuensinya
dalam dunia praktis kependidikan agama, dunia praktis kedakwahan, kesyari'ahan,
keushuludinan, dan seterusnya. Sekaranglah momentum untuk menyempurnakan
kembali klaim – klaim dan keabsahan ilmu yang bersifat samar melalui kajian
keagamaan secara integratif - interkonektif.

Memperkenalkan Konsep Pendidikan Hadlari

Pendidikan hadhari dapat dipahami sebagai pendidikan yang berkemajuan


dan berperadaban yang didasari oleh nilai-nilai keislaman. Dalam literatur
pendidikan Islam, istilah pendidikan hadhari itu belum begitu popuIer. Namun jika
ditilik pada perkembangan akhir-akhir ini, penyebutan kata hadhari mulai sering
dipakai. Ketika terjadi konversi IAIN menjadi UIN, paradigma keilmuan mulai
dikembangkan kearah pendidikan non-dikotomik. Seperti di UIN Malang dikenal
paradigma keilmuan berbentuk pohon ilmu, sedangan UIN Yogyakarta
mengembangkan pola jaring laba – laba ilmu dan konsep segitiga peradaban, yakni
hadharah al-nash, hadharah al-'ilm, dan hadharah al-falsafah.

Konsep pendidikan hadhari memandang perlu menempatkan etika Islam


yang bersumber dari nilai AI-quran dan Hadis untuk menjiwai seluruh pembidangan
ilmu alam, sosial, dan humaniora. Pendidikan hadhari berkarakteristik universal dan
tidak dikotomis. Secara epistemologis, pendidikan hadhari berangkat atau sesuai
dengan nilai-nilai dan etika Islam. Dan yang berangkat dari nilai-nilai dan etika yang
dasarnya bersifat objektif. Dengan kata lain, terjadi proses objektifikasi dari etika
Islam menjadi ilmu keIslaman yang dapat bermanfaat bagi seluruh manusia
(rahmatan lil alamin), tanpa membedakan golongan, ras, suku, bangsa dalam
membentuk ciri khas falsafah pendidikan lslami yang integralistik – interkonektif
atau yang saya sebut sebagai fakafah al-hadhariyah. Dari mata air inilah terbukti
telah mampu membangkitkan keilmuan hingga memancarkan hadharah al-Islam
selama sekitar 5 abad.

120
Falsafahal – hadhariyah bertumpu pada prinsip keterpaduan antara dimensi
ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris), sesuatu yang berbeda
secara diametral dengan falsafah umum yang hanya berpijak pada nilai-nilai
kemanusiaan semata (antroposentris). Falsafah al hadhariyah mengakui adanya alam
nyata sekaligus ghaib, fisik dan metafisik, sementara falsafah umumnya dibatasi oleh
gejala yang nampak dan tertangkap oleh indra. Falsafah al-hadhariyah memandang
penting peran wahyu, dan nilai-nilai moral dalam pendidikan, sementara falsafah
umumnya mengambil posisi sekularistik dan mendasarkan pada peranan akal, budaya
dan nilai-nilai sosial. Falsafah al-hadhariyah menilai bahwa perolehan ilmu-ilmu itu
demi tercapai keridhaan Allah (science for mardhatillah, thalabal-'ilm li
mardhatillah), lebih dari sekedar ilmu untuk ilmu (science for science atau art for art)
sebagaimana hal ini dikehendaki oleh falsafah umum. Karena prinsipnya yang
bersumber dari wahyu itu maka fakafah.

Modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tak luput
dari andil falsafah Barat dan Eropa yang telah berjaya sejak masa Renaissance,
Aufklaning, Revolusi industri, modernisme hingga post-modernisme. Tak ubahnya
seperti mata rantai yang saling bertautan, renaissance telah menimbulkan kemajuan
kemanusiaan dan ilmu pengetahuan yang spektakuler. Dunia seakan mengecil, jarak
tak menjadi hambatan, dan komunikasi dilakukan tanpa harus tergantung pada
tempat dan kabel. Temuan mesinuap James Wat, listrik Thomas Alfa Edison,
mikroskop Louis Pasteur, inti nuklir Marie Currie dan Piere Currie serta ilmuan
lainnya telah merubah wajah dunia Barat dan Eropa dari Dark Ages menuju Golden
Ages.

Gelombang Renaissance dinikmati hasilnya oleh manusia saat ini dengan


munculnya berbagai industri canggih dan mesin-mesin mekanik yang siap membantu
kerja berat manusia serta menciptakan tingkat kenyamanan hidup, pola kerja
profesional dan gaya hidup modern. Akan tetapi, keterpisahan falsafah Barat dan
Eropa dari pentingnya pertimbangan nilai, peran moral dan agama, telah pula
menimbulkan dampak serius. Sekularisme muncul ketika kekuasaan negara yang
dijalankan oleh Pemerintah harus terpisah wewenangnya dengan otoritas gereja.
Temuan Galileo Galilei melalui percobaan gaya grafitasinya terhadap benda yang
dijatuhkan dari tempat yang tinggi, serta teropong yang mengamati pergerakan benda
angkasa, menghasilkan kesimpulan bahwa bumi bukanlah pusat tata surya (geo-

121
sentris), melainkan matahari sebagai pusat tata surya (helio-sentris), dinyatakan
menyalahi tafsir oleh pihak gereja yang menganut geo-sentris, lalu menghukum
ilmuan tersebut. Hubungan antara ilmu dan agama di Barat mencatat bahwa
pemimpin gereja menolak teori helio-sentris Gali'leo atau teori evolusi Darwin.
Pemimpin gereja membuat pernyataan yang berada diluar kompetensinya. Tak lama
setelah itu kekuasaan negara dipisahkan dari otoritas gereja, dan muncullah paham
sekularisme. Sekularisme menegasikan peran penting agama dan dimensi spiritual-
ukhrawi, serta berpola pikir worldly or material oriented. Hidup di luar lingkup biara,
pendeta, ataupun jamaahnya.

Sekularisme berpandangan bahwa moralitas dan pendidikan tidak boleh


didasarkan pada agama, Morality and education should not be based on religion.
Sebaliknya, Issac Newton dan tokoh ilmu-ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya
sekedar sebagai penutup sementara lobang kesulitan (tofills gaps) yang tidak
terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya
diperoleh data yang lebih lengkap atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan
tersebut. Begitu kesulitan itu terjawab,maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak
lagi diperlukan. Akhirnya, Tuhan dalam benak para ilmuan"sekuler" hanya ibarat
pembuat jam (clock maker). Begitu alam semesta ini selesai diciptakan, ia tidak
peduli lagi dengan alam raya ciptaan-Nya dan alam semesta pun berjalan sendiri
secara mekanis tanpa campur tangan tujuan agung ketuhanan.

Kemajuan yang dinikmati oleh Barat dan Eropa menjadi timpang dan tidak
lengkap karena adanya world view yang terlampau antroposentris, rasio-budaya
oriented, dan sekularistik.Suatu hal yang kontras terjadi, ketika umat Islam
mengalami Golden Ages pada masa Abbasiyah, kemajuan ilmu pengetahuan
beriringan dengan kehidupan beragama, bahkan kemajuan itu sendiri dipastikan
sebagai inspirasi oleh spirit Islam. Jangan dilupakan, bahwa gelombang Renaissance
yang terjadi di Barat itu dipicu oleh adanya kontak dan kontribusi dengan dan oleh
para ilmuan Muslim. Hanya saja, disayangkan, bahwa dalam perkembangannya,
konflik politik dan sekterianisme menimbulkan problem akut dalam umat dan
pendidikan Islam.

122
REVIEW BUKU 16

“ MENYATUKAN KEMBALI ILMU-ILMU AGAMA DAN UMUM: Upaya


Menyatukan Epistemoligi Islam dan Umum”

Oleh : Amanatush Sholihah

1. Identitas Pengarang

123
Penulis buku ini terdiri dari sepuluh penulis yang memiliki latar
pendidikan yang mumpuni dibidangnya, diantaranya:
1) M.Amin Abdullah adalah seorang Guru Besar Ilmu Filsafat di UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. Beliau menyelesaikan studi sarjana di IAIN Sunan
Kalijaga, dan kemudian menyelesaikan S2 dan S3 di METU (Middle East
Technical University), Ankara, Turki, serta memperoleh postdoctoral
fellowship di Universitas Mc.Gill. Bidang ilmu yang beliau tekuni
diantaranya Filsafat Ilmu, Filsafat Islam. Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman,
Studi Agama-Agama, Agama Dan Masyarakat Mutikultural Serta
Pendidikan Inklusi. Kemudian meraih gelar Guru Besar dalam bidang
ilmu filsafat pada tahun 1999.
2) Mulyadhi Kartanegara adalah seorang Guru Besar Filsafat Islam dan
Mistisisme di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliau menyelesaikan
studi sarjana di IAIN Ciputat, dan kemudian menyelesaikan studi S2 dan
S3 di The Center Of Middle East Studies, The University Of Chicago.
Beliau adalah seorang pemikir muslim Indonesia yang banyak dikagumi,
dan kedalaman Ilmu dan keluasan wawasan terlihat dari banyaknya karya
yang beliau tulis.
3) Musa Asy'arie adalah seorang filosuf, cendekiawan, budayawan, sekaligus
pengusaha dan merupakan guru besar Filsafat Islam dan guru besar
Fakultas Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau juga pernah
menjadi mahasiswa tamu di The University of Lowa dan The University of
Chicago dalam kuliah Islamic Philosophy dan Readingon the Qur'an dari
DR. Fazlur Rahman pada tahun 1986.
4) Syamsul Anwar menyelesaikan S1, S2, dan S3 di IAIN Sunan Kalijaga.
Beliau adalah seorang dosen dan dekan fakultas syariah yang aktif
mengikuti kegiatan ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri.
5) Kuntowijoyo adalah seorang budayawan, sastrawan dan sejarawan alumni
Master University of Connecticut dan menyelesaikan S3 di University of
California. Dan tercatat sebagai guru besar fakultas ilmu budaya di
Universitas Gajah Mada.
6) Mochtar Naim merupakan alumni master McGill University, meraih gelar
doktornya di University of Singapore. Seorang antropolog dan sosiolog

124
Indonesia yang menyeesaikan studi sarjananya ke tiga universitas
sekaligus, yaitu UGM, PTAIN dan UII di Yogyakarta.
7) Abdul Munir Mulkhan merupaan guru besar dan pengamat sosial
keagamaan yang menyelesaikan S2 DAN S3 di sosiologi UGM, yang
pernah tercatat sebagai dosen Fakultas Tarbiyah dan ketua program studi
agama dan filsafat pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.
8) Kamsul Abraha merupakan guru besar fakultas MIPA di UGM yang
menyelesaikan S3 nya di University Of Essex pada tahun 1996.
9) Umar A. Janie adalah seorang ilmuwan dan pengajar Indonesia sekaligus
pernah menjadi ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Beliau
merupakan alumni dari Australian National University dan UGM.
10) Machasin adalah seorang guru besar sejarah budaya Islam di UIN Sunan
Kalijaga sekaligus direktur Pendidikan Tinggi Islam Indonesia dan aktif
mempromosikan dialog antar agama dan merupakan anggota Dewan Asia
untuk agama dan perdamaian.

2. Identitas Buku

Penulis : M. Amin Abdullah, dkk.


Penyunting : Jarot Wahyudi, M. Anas Amin dan Mustofa
Penerbit : SUKA-Press IAIN Sunan Kalijaga
Tahun terbit : 2003
Nama buku : Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum
Tempat terbit : Yogyakarta
Ukuran : 21 cm
Jumlah halaman : xii+215 halaman
ISBN : 979-8547-07-1

Latar belakang disusunnya buku ini adalah karena keprihatinan


terhadap fenomena pembidangan ilmu yang dikotomis dalam dunia
pendidikan di Indonesia yang sedemikian rupa. Mulai dari jenjang pendidikan
Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Berbagai upaya perombakan
pembidangan keduanya perlu dilakukan dengan metode pendekatan integratif,
yakni “which has sought to combine elements of indigenous knowledge

125
traditions in one another development framwork”. Salah satunya caranya
adalah pentingnya transformasi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi
UIN (Universitas Islam Negeri).
Studi Islam dengan pembidangan ilmu yang didalamnya didesain
berkiblat pada pola universitas Al-Azhar, Mesir. Karena itulah pola studi
Islam yang dikembangkan di Indonesia merujuk ke lembaga tersebut. Namun
pembidangan ilmu tersebut hanya berkutat pada tradis normatif-klasik, kurang
bersentuhan dengan ilmu-ilmu humaniora seperti yang berkembang di
perguruan tinggi modern di Barat. Lebih dari itu, bahkan ilmu sosial dan
humaniora kurang mendapat perhatian dalam pembagian tersebut.
Maka dari itu perlu adanya modifikasi atau bahkan perombakan dalam
sistem pembagian ilmu-ilmu yang ada, dimana hal ini juga berdampak pada
perubahan kurikulum dan silabi. Karena tuntutan sarjama Islam dewasa ini
dan masa mendatang bukan lagi ‘mengusung’ pendapat para ulama terdahulu,
tetapi harus menjadi sarjana yang menaruh perhatian penuh pada tuntutan
kebutuhan ‘konsumen’ seiring berkembangnya zaman.
Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkannya adalah dengan
mentransformasikan IAIN menjadi UIN. Dimana perubahan tersebut
merupakan cermin perubahan kerangka berpikir dan cara pandang terhadpa
makna studi islam yang selama ini dipahami oleh IAIN.
Buku yang merupakan pulikasi dari berbagai tulisan ini dibagi dalam
tiga bagian yakni pada bagian pertama memuat seputar upaya reintegrasi ilmu
agama, yang pembahasannya meliputi etika tauhidik sebagai dasar kesatuan
epistemologi kelilmuan umum dan agama, fondasi metafisik bangunan
epistemologi Islam, epistemologi dalam perspekstif pemikiran Islam dan
Kearah episteologi integratif mencari arah pengembangan keilmuan dalam
rangka pemekaran IAIN.
Bagian kedua memuat tentang hermeneutika dan ilmu-ilmu humaniora,
yang pembahasannya meliputi epistemologi dan paradigma ilmu-imu
humaniora dalam perspektif pemikiran Islam, epistemologi dan paradigma
ilmu-imu sosial dalam perspektif pemikiran Islam dan pengembangan fungsi
kesalehan dalam ilmu rekayasa sosial. Bagian ketiga memuat tentang upaya
menguak relasi IPTEK dan Islam, yang pembahannya meliputi epistemologi
dan paradigma kterpaduan Iptek dan Islam dalam perspektif Al-Qur’an dan

126
As-Sunnah, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif pemikiran
Islam, dan Etika spiritual epistemologi dalam Islamic Studies di IAIN.
3. Ringkasan Buku
1) Bagian pertama: Membongkar Epistemologi Ilmu Pengetahuan: Sebuah
Upaya Reintegrasi
Pada bagian pertama ini memuat penjelasan mengenai langkah pertama
dan paling mendasar yang harus dilakukan dalam melakukan reintegrasi
ilmu pengetahuan yaitu dengan membedah epistemologi yang menjadi
landasan ilmu pengetahuan saat ini dan memberi pemaparan mengenai
epistemologi dalam Islam.
a. Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
dan Agama (Dari paradigma Positivistik - Sekularistk ke arah
Teoantroposentrik - integralistik)
Pada sub bagian ini, Amin Abdullah mengemukakan bahwa
dikotomi antara agama dan ilmu dalam praktek kependidikan harus
diakhiri. Karena keduanya merupakan entitas yang tidak dapat
dipisahkan keberadaannya, berbeda dengan anggapan masyarakat luas
yang menganggap keduanya tidak dapat dipertemukan. Dalam sejarah
panjang kependidikan Islam, pola integralistik-ensiklopedik sudah
dikenalkan oleh beberapa tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun dan
Ibnu Rusyd.
Selain itu di dalam sub ini juga dijelaskan mengenai tantangan
perkembangan zaman Perguruan Tinggi Agama di era globalisasi dan
informasi sekarang. Dimana hal tersebut menuntut respon cepat dan
tepat dari sistem pendidikan Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu
perguruan tinggi Islam tidak hanya terdiri dari fakultas agama saja
akan tetapi juga harus mencakup fakultas umum. Dimuat pula
mengenai visi program reintegrasi epistemologi keilmuan, disini Amin
Abdullah memberi gambaran berbagai bidang keilmuan umum dan
agama sebagai jaring laba-laba, dimana semua bidang kelimuan
tersebut berpusat pada Alqur'an dan As-sunnah. Dijelaskan pula
mengenai upaya pengembangan akademik dan kelembagaan
pendidikan untuk masa mendatang secara komprehensif mulai dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.

127
b. Pondasi Metafisik Bangunan Epistemologi Islam: Perspektif Ilmu-Ilmu
Filosofis.
Pada poin ini, Mulyadhi Kartanegara mengemukakakan betapa
pentingnya epistemologi yang dijadikan landasan keilmuan, terutama
Islam. Disini diuraikan hubungan antara metafisika dan epistemologi,
basis ontologi yang dimiliki epistemologi Islam dan pengaruhnya
terhadap sistem klasifikasi dan hierarki ilmu. Dalam pembahasan
mengenai hubungan metafisika dan epistemologi diungkapkan bahwa
keduanya penting, penolakan terhadap status ontologi entitas metafisik
menyebakan pembatasan lingkup sains hanya pada objek inderawi,
sedangkan ilmu tidak hanya sebatas pada yang material belaka.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, basis ontologi
epistemologi Islam tidak hanya suatu objek yang sifatnya fisik
(mahsusat) akan tetapi juga non fisik (ma'qulat). Disini
diungkapkankan pula skema ontologi Ibn Sina yaitu pertama, wujud
yang niscaya tidak bercampur dengan gerak dan materi; kedua, wujud
yang bercampur antara keduanya; ketiga, wujud yang terpisah dari
keduanya. Dijelaskan pula kriteria keunggulan ilmu pengetahuan
menurut Al-Farabi yaitu menurut kemuliaan objekya, kedalaan
materinya dan menurut kegunaannya.
Selain itu dijelaskan pula tentang metodologi yang digunakan
dalam epistemologi Islam, diantaranya metodologi filosofis
(demonstratif) yang menggunakan silogisme penalaran logis dengan
menggunakan premis-premis "benar, primer dan niscaya", metodologi
empiris dan metode intuitif.
c. Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam
Pada sub bagian kali ini Musa Asy'arie mengatakan bahwa pada
hakikatnya tauhid dalam Islam tidak hanya berhubungan dengan
konsep teologi, kosmologi, antropologi, aksiologi dan epistemologi. Ia
mengungkapkan bahwa wahidah yang diusung tauhid tidak berarti
angka satu saja, akan tetapi juga berarti semua realita yang ada
merupakan perwujudan dari yang satu. Namun, belakangan ini terjadi
pergeseran makna wahdah yang sebenarnya, sehingga lahirlah
dualisme pengetahuan yang dikotomis.

128
Sehingga dalam pembahasan sub bagian ini, diuraikan sumber
genealogi epistemologi Islam yang fokus terhadap perbaikan akidah
dan penataan struktur masyarakat dan disinilah letak perspektif tauhid
dalam epistemologi Islam, serta alqur'an dan prinsip epistemologi yang
didalamnya dijelaskan bahwa dalam Alquran sesungguhnya terdapat
basis epitemologi untuk memahami sebuah kebenaran yaitu berpikir
hal-hal fisik dengan ratio, memahami hal yang material dan spiritual
dengan aql, serta memahami hal ghaib dan immaterial menggunakan
qalb. Dijelaskan pula objek kajian ilmu yang merupakan perwujudan
dari tanda-tanda Tuhan, ayat-ayat Tuhan terdapat dalam alam semesta,
ayat Tuhan yang ada dalam diri manusia dan sejarah, dan ayat-ayat
Tuhan yang tersurat dalam kitab suci.
Epistemologi Islam Integratif diperlukan untuk menyelesaikan
persoalan manusia yang semakin komplek. Maka dibutuhkan sebuah
sistem ilmu pengetahuan yang tidak terpecah-pecah dan berdiri sendiri
akan tetapi bekerjasama secara harmonis. Sehingga persoalan yang
kompleks tersebut dapat diselesaikan secara menyeluruh, terpadu, dan
mendalam.
d. Ke Arah Epistemologi Integratif Mencari arah pengembangan
Keilmuan dalam rangka Pemekaran IAIN
Pada sub pembahasan kali ini Syamsul Anwar mengungkapkan
bahwa dalam upaya reintegrasi keilmuan, hal pertama yang yang
dibutuhkan epistemologi baru untuk mengatasikelemahan yang
terdapat dalam ilmu-ilmu keislaman dan ilmu modern. Dijelaskan pula
mengenai dasar epistemologi untuk integrasi, terdapat empat aliran
pemikiran integratif Jamison, pertama, aliran yang memusatkan
perhatian terhadap dimensi filosofis dan spiritual ilmu Islam sebagai
alternatif terhadap sikap eksploitatif pada ala yang mencirikan ilmu
modern. Kedua, pandangan saintis muslim yang mencoba
mempertautkan secara lebih langsung kepercayaan Islam dengan sains
modern. Ketiga, aliran yang mencoba membangun suatu ilmu yang
keseluruhannya baru. Keempat, aliran yang mencoba melakukan
kombinasi prinsip-prinsip Islam dengan ilmu modern.

129
Dalam uraian bagian pertama ini dapat dikatakan berisi titik
lemah dari masing-masing ilmu agama dan ilmu umum, maka dari itu
menjadi suatu kemungkinan untuk mencari dasar epistemologi baru
untuk mengintegrasikan keduanya
2) Bagian kedua: Hermeneutika dan Ilmu-Ilmu Humaniora
Pada bagian kedua ini kita akan mengetahui betapa pentingnya ilmu
humaniora dalam keilmuan di masa yang serba teknifikasi dan saintifikasi
sekarang, hal ini dikarenakan oleh ilmu humaniora merupakan ilmu yang
mengacu pada hati nurani, yang mengedepankan humanis dan tidak hanya
menganggap manusia hanya sebagai human resource yang tidak beretika,
bermoral dan berspiritual dalam pembangunan.
a. Epistemologi dan paradigma ilmu-ilmu humaniora dalam perspektif
pemikiran Islam
Ada pembahasan ini, Kuntowijoyo menguraikan paradigma
ilmu humaniora dalam perspektif Islam. Ilmu humaniora lahir jauh
sebelum zaman yunani kuno. Dimana hal yang dicari dalam ilmu ini
adalah inner-world (dunia dalam) nya, bukan seluruh bangunan
keilmuan ilmu tunggal. Adapun landasan epistemologinya diantaranya
yaitu pertama, ciri khas humaniora yang fokus pada innerside, mental
life, mind effective worlds dan geistige welt manusia. Kedua, cara
menerangkan objeknya, humaniora melukiskan keunikan objeknya,
dengan memahami, memaknai, menafsirkan tapi tidak menerangkan
(explain). Ketiga, objektifitas dengan tidak pernah mengklaim sebagai
ilmu yang value free. Keempat, kausalitas. Kelima, validitas
humaniora yang terletak padad keabsahan sumbernya. Selain itu,
metode yang tepat digunakan dalam humaniora adalah hermeneutika.
Adapun dalam Alqur'an juga disebutkan bahwa ilmu itu ada tiga
bentuk, kauniyah, qauliyah dan nafsiyah. Humaniora dalam hal ini
dapat dikategorikan dalam nafsiyah.
Ilmu-ilmu sosial yang berkembang sekarang merupakan hasil
dari modernisme, yaitu ilmu yang terpisah dari agama, mandiri dan
sekular. Maka dalam rangka dedifferentiation antara keduanya
dibutuhkan paradigma baru berupa ilmu integralistik sebagai senjata

130
melawan matrealisme, sekularisme, hedonisme, utilitarianisme dan
pragmatisme.
b. Epistemologi dan paradigma ilmu-ilmu sosial dalam perspektif
pemikiran Islam
Mochtar Naim dalam tulisannya ini menguraikan tentang
pergeseran epistemologi ilmu sosial, bagaimana ilmu-ilmu alam
memberi pengaruh pada perkembangan ilmu sosial sehingga wajar jika
pendekatan yang digunakan pun sifatnya kuantitatif, namun akhirnya
dibutuhkan pendekatan-pendekatan integral-integratif dengan
memasukkan unsur-unsur normatif untuk dapat memahami dan
mengklasifikasi gejala yang ada mengingat yang menjadi objek ilmu
sosial bukan sesuatu yang dapat dihitung, diukur, dan ditimbang.
Dalam tulisannya ini, Mochtar juga mengungkap pentingnya
dimensi transendental dalam ilmu pengetahuan. Hal ini berbanding
terbalik dengan ilmu sekular yang memutus hubungan ontologis
dengan Tuhan, sehingga dalam melihat objek benda hanya sebagai
sasaran untuk ditundukkan karena ia memiliki epistemologi dan
aksiologi tanpa spirit dan akhlaq sebagai landasan. Sedangkan
ontologis Islam sendiri melihat segala yang ada sebagai grand design,
tidak sebagai benda yang berdiri sendiri, tidak ada dengan sendirinya,
termasuk manusia. Begitu juga dengan adanya ilmu, pemikiran Islam
menganggap bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah
yang diberikan kepada manusia untuk kemanfaatan manusia di dunia
sambil memelihara kelestarian dan keselamatan alam dan seisinya.
Oleh karena itu konsep ilmu dalam pemikiran Islam adalah bagian dari
rangkaian yang bersifat integral dan universal, yang tidak hanya
bersifat horizontal antara sesama, tetapi juga vertikal kepada Tuhan.
Dalam perspektif pemikiran Islam, sama dengan di Barat,
bagaimanapun, penghargaan yang diterima akal sehat tidak kurang dan
tidak dikurang-kurangi sedikitpun selagi diperguakan secara sehat dan
untuk tujuan-tujuan yang konstruktif. Artinya, tidak ada perbedaan
yang mendasar antara ilmu sosial, ilmu alam dan ilmu humaniora
kecuali objek yang diteliti. Jika objek yang diteliti dapat dihitung,
ditakar dan ditimbang, maka pendekatan kuantitatif bisa digunakan.

131
Jika tidak, maka kualitatif ataupn kombinasi keduanya yang
digunakan.
c. Pengembangan fungsi kesalehan dalam ilmu rekayasa sosial.
Ilmu memiliki fungsi untuk tujuan ideal kehidupan manusia
hingga bisa memenuhi tugas sebagai khalifah dan kemakmuran dunia,
disamping untuk beribadah. Setiap tindakan personal dan kolektif
ajaran Islam perlu dipertimbangkan sebagai nilai dasar ilmu sosisal
yang mendorong transformasi kehidupan sosial. Oleh karena itu
dibutuhkan adanya metodologi yang memungkinkan bagi setiap orang
untuk menjadikan referensi dan panduan tindakannya.
Dalam tulisannya kali ini, Abdul Munir mengoreksi kembali
ilmu-ilmu modern yang memberi dampak luar biasa pada
perkembangan hidup manusia. Namun, juga memberi dampak yang
kurang baik, diantaranya kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik
yang meluas merupakan konsekuensi logis struktur feodal
profesionalisme modern. Disini, pemikiran Islam memiliki doktrin
sosial amar ma'ruf nahi munkar menawarkan solusi kepada fenomena
diatas, sekaligus merupakan kritik terhadap modernisme, dimana ia
meletakkan kehidupan sosial sebagai mekanismefisik-material saja.
Wilayah dan tugas ilmu hanya sebatas pada penjelasan, penganalisaan
dan pemaknaan atas fakta-fakta empirik yang bersifat individual.
Fakta-fakta empirik individual menjadi ruang kosong tanpa makna
karena tanpa kaitan dengan struktur reallitas yang lebih tinggi,
transenden, dan metafisi. Disinilah letak keberartian pandangan Islam
terhadap rantai realitas sebagai bagian integral eksistensi manusia yang
berasaal dari Tuhan.
Diantara fungsi paradigma kesalehan ilmu sosial adalah
rahmatan lil alamin dan jalinan rantai metafisik seperti yang sudah
dijelaskan diatas. Begitupun iptek, ia bukan hanya sebuah kerja
eksplorasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi fakta-fakta sosial
empirik, tapi juga sebuah metodologi pemahaman atas rantai realitas
untuk mengungkap metafisika tauhid tentang tata hubungan ayat
qauliyah dan kauniyah.
3) Bagian ketiga: Menguak Relasi Iptek dan Islam

132
a. Epistemologi dan paradigma keterpaduan IPTEK dan Islam dalam
perspektif Alqur'an dan sunnah
Dalam tulisan ini, Kamsul Abraha bermaksud untuk
merekonstruksi paradigma keterpaduan iptek dan Islam dalam
perspektif Alqur'an dan sunnah. Peradaban manusia tidak pernah
mengenal satu agama pun yang begitu komprehensif menaruh
perhatian terhadap ilmu pengetahuan selain Islam yang selalu
menyeru, mendorong, dan menganjurkan penggalian ilmu. Karena hal
itu sudah menjadi sunnatullah bahwasanya langit tidak akan
menghujani manusia dengan ilmu, sedangkan ia hanya berdiam di
rumahnya. Ilmu hanya akan didapat oleh seseorang yang mencari dan
mengejarnya dengan susah payah.
Adapun kaidah dasar yang dipegang Islam adalah ilmu yang
ditunjang oleh dalil (argumentasi). Karenanya para ulama tidak
menganggap taqlid sebagai ilmu. Dalam Islam, ruang lingkup ilmu ada
tiga yakni aspek metafisika, aspek humaniora dan aspek material.
Ajaran Alqur'an dan sunnah menyiapkan tempat dalam jiwwa manusia
dan akal manusia untuk ditumbuhi ilmu-ilmu tersebut.
Membangun iptek umat Islam berarti berupaya meningkatkan
taraf pendidikan ke-iptek-an umat Islam. Format pendidikan yang
berbasis Alquran dan sunnah, baik yang formal maupun informal, yang
harus dikembangkan dan sudah pasti dikembalikan kepada
karakteristik tarbiyah nabawiyyah yang diajarkan Rasulullah. Dimana
karakteristik tersebut selalu memberi pengaruh dalam pengembangan
dan pengembangan pradaban Islam.
b. Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif pemikiran Islam
Pada pembahasan kali ini, Umar A. Janie berusaha
menunjukkan bahwa tidak ada keterpisahan antara ilmu pengetahuan
dengan agama Islam. Bahkan lebih dari itu dijelaskan pula ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan alat yang digunakan oleh umat
manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Ilmu
pengetahuan sendiri telah dianugerahkan melalui para utusanya dan
Alqur'an pun didalamnya berisi berbagai cerita dan penjelasan tentang

133
feomena-fenomena alam serta mendorong umat untuk melakukan
pengamatan terhadapnya. Begitu pula dengan sunnah.
c. Etika spiritual epistemologi dalam Islamic Studies di IAIN
Seiring perkembangan khazanah keilmuan Islam, Machasin
mengharuskan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) meletakkan nilai-
nilai dalam kerangka keindonesiaan dan kemanusiaan masa kini dan
yang akan datang. Yang perlu ditekankan disini adalah etika spiritual
yang dimiliki lembaga dan manusia sebagai langkah awal untuk
mewujudkan keharmonisan sosial. Untuk keperluan ini dibutuhkan
pengetahuan yang baik mengenai problem-problem manusia, hukum-
hukum dan sifat manusia. Jika dalam waktu yang cukup panjang
wacana keislama selalu didominasi kemahakuasaan dan kemahaan dari
Tuhan yang lain sebagai titik pangkal, maka dalam hal inimenuntut
pembalikan yakni menjadikan manusia sebagai titik pangkalnya. Oleh
karenanya, yang menjadi perhatian utama adalah manusia yang
mennjalani kehidupan itu, bukan Tuhan yang memberikan bimbingan.
Pilihan ini juga menyangkut metode kajian yang dipakai dan
pengubahan asumsi mengenai hakekat objek kajian. Selanjtnya,
dalamperencanaan pembelajaran, penyusunan kurikulum, penentuan
metode pembelajaran, pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan
pembuatan sistem evaluasi seharusnya didasarkan pada kesadaran
bahwa ilmu-ilmu keislaman berkait erat dengan kepribadian muslim.
Dimana keberhasilan pembelajaran tersebut akan terlihat bahwa
semakin seseorang menguasi ilmu keislaman, semakin ia dekat dengan
citra ideal pribadi muslim.

4. Komentar
Secara keseluruhan buku yang merupakan gabungan dari makalah-
makalah yang dipresentasikan oleh masing-masing penulisnya dalam Seminar
Nasional tentang "Reintegrasi Keimuan" ini menyajikan hal-hal yang terkait
upaya integrasi keilmuan sebagai respon terhadap pembagian ilmu yang
dikotomis seperti sekarang. Dengan mengungkap berbagai alasan mendasar
mengenai keharusan integrasi itu dilakukan, diantaranya dengan menguraikan

134
berbagai kelemahan ilmu-ilmu modern dalam menghadapi realitas saat ini dan
masa yang akan datang, memberi penjelasan bagaimana epistemologi Islam
menawarkan alternatif dengan menunjukkan sisi dinamis dan humanis dalam
menyikapi rantai realitas sosial. Berbeda halnya dengan ilmu modern yang
cenderung pragmatis dan hanya mengedepankan eksplorasi, deskripsi,
eksplanasi, dan interpretasi fakta-fakta sosial empirik semata.
Perombakan dan pembaharuan epistemologi menjadi hal urgen yang
harus dilakukan dalam mewujudkan keilmuan yang integral. Sebagai
konsekuensi hal tersebut, hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah
dengan transformasi IAIN menjadi UIN karena dengan begitu barulah sedikit
demi sedikit perbaikan pola dan sistem keilmuan terbenahi. Inilah merupakan
kelebihan dari buku ini, mampu menyajikan persoalan secara komprehensif
dari berbagai bidang.
Selain itu, dibagian terakhir dari buku ini disertakan pula rekaman dari
proses seminar dan lokakarya yang diadakan sekaligus sebagai bukti bahwa
seminar tersebut bernar-benar berlangsung. Hal ini juga memberi informasi
pembaca dalam mengetahui jalannya seminar, siapa saja yang terlibat
didalamnya dan perdebatan-perdebatan yang terjadi seputar gagasan
transformasi IAIN menjadi UIN. Semuanya dipaparkan secara rinci dalam
format dialog.
Oleh karena buku ini disusun guna memberi pengetahuan akan
pentingnya reintegrasi keilmuan dan sasaran pembacanya adalah para
akademisi, maka bahasa dan istilah yang digunakan juga istilah akademik.
Sehingga mungkin akan susah dipahami oleh orang awam yang membacanya.

Book Riview 17

Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika


(Jakarta: Teraju, 2004).
135
Oleh: Muhammad Amna Mushoffa (1800018035)

Sudah jamak diketahui bahwa dewasa ini Dunia Islam tertinggal jauh dengan
para penganut agama – agama besar lainya dalam segi kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologinya. Apalagi jika umat islam melihat kemajuan Barat maka mereka
menganggap bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang mengagumkan. Hal ini
menyebabkan sebagian kaum Muslim tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya
melakukan reformasi dengan jalan Westernisasi.

Kondisi yang demikian menyebabkan para cendikiawan muslim terdorong untuk


mencari jalan keluar dari agitasi intelektual Barat yang ditengarai telah menciderai
akar identitas keislaman. Guna menjawab persoalan ini beberapa tokoh muslim salah
satunya Ismail R alfaruqi menawarkan konsep Islamisasi sebagai upaya saluran
epistemologis membaca westernisasi secara cerdas. Namun gagasan ini bagi
Kuntowijoyo justru akan menciderai semangat substatif Islam sebagai rahmat bagi
siapapun dan apapun tanpa terjebak pada anatomi identitas Muslim atau Non Muslim.
Untuk itu dia memberikan gagasan baru yang lebih segar bernama Pengilmuan Islam
demi universalisme Islam sebagai rumah bersama umat manusia.

Buku yang ditulis Kuntowijoyo berangkat dari alasan yang pertama yaitu
keprihatinannya terhadap gagasan “Islamisasi Pengetahuan” yang cenderung lebih
bersifat reaktif. Buku ini mengingatkan penulis akan pemikiran-pemikiran Maryam
Jameelah dalam bukunya ”Islam Modernisme”. Kedua buku tersebut saling
berhubungan yaitu pada masalah diskursus hubungan antara Islam dan ilmu modern
yang berkembang begitu kompleks. Bukan hanya sekadar menyangkut hubungan
Islam dan ilmu, namun juga hubungan antara Islam dengan keseluruhan pengetahuan
modern. Hanya saja pada buku Kuntowijoyo disertakan perkakas metodologis dan
premis-premis yang membentuknya. Kuntowijoyo mengingatkan kembali bahwa
agama Islam sempurna dalam segala aspek terutama dalam pengetahuan.
Kuntowijoyo dalam bukunya mengajak berfikir “Maa haula al-Nass” (around the
Text), bukan hanya berhenti dalam “Ma fi al-Nass ( in the Text). Jika ditelaah secara
dalam buku tersebut menjawab problematika yang terjadi pada keilmuan modern ini,
yaitu karena kebanyakan ilmuwan itu mereduksi kemanusiannya sehingga tak heran

136
ada seorang filsuf Barat yang mengatakan bahwa agama itu candunya pengetahuan.
Maka dalam buku ini Kuntowijoyo mengajak mengembangkan akal tetapi jangan
melupakan jiwa. Orang yang tidak mau mengikuti tuntunan agama maka hatinya
kerdil, sempit, seperti jika semakin terbang tinggi maka udara yang didapat semakin
kecil, sempit, dan sesak. Dalam hal ini Kuntowijoyo mengajak untuk
menyeimbangakan ilmu dan iman. Kita perlu ilmu tapi juga perlu iman (agama). Ilmu
mempercepat kita sampai tujuan tetapi agama menunjukkan kita kemana tujuan yang
benar.

Selanjutnya Kuntowijoyo juga membantah pernyataan yang dikemukakan


ilmu sekular yang menyatakan bahwa agama hanya terbatas pada urusan individual,
tidak semestinya campur tangan dalam urusan publik. Buku ini menawarkan suatu
penyikapan baru perihal hubungan antara agama Islam dan ilmu. Dalam buku tersebut
menurutnya, dalam hal ilmu, gerakan intelektual Islam harus berani melangkah lebih
jauh, bergerak dari teks menuju konteks. Bukan lagi gerakan intelektual dari konteks
ke teks.

Alasan kedua adanya buku ini adalah karena terbaginya pengetahuan menjadi
dua yaitu qauliyah dan kauniyah. Ketiga soal-soal mengenai epistemologi,
metodologi, dan etika yaitu hubungan antara Islam sebagai ilmu dan realitas serta
adanya penyamaan Islamisasi Pengetahuan terhadap gerakan bisnis yang pragmatis
yaitu bisnis nonpri. Gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan tersebut menjadi
gerakan “Islamisasi nonpri’’. “Islamisasi pengetahuan” disamakan dengan “Islamisasi
sepotong daging”. Dari sini Kuntowijoyo mulai tidak lagi memakai “Islamisasi
Pengetahuan”dan ingin supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih
jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi “pengilmuan Islam”. Dari
reaktif menjadi proaktif.

Tiga hal penting yang dikemukakan dalam buku ini, yaitu pertama perlunya
pengilmuan Islam, umat Islam harus melihat realitas melalui Islam dan eksistensi
Humaniora dalam Al-Qur’an”. Melihat dari teks ke konteks yaitu melihat teks (Al-
Qur’an dan As-Sunnah) untuk dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari
maupun realitas ilmiah. Perlunya umat Islam melihat realitas melalui Islam adalah
pertama, menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu tidak dilihat
secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir ( kata, konsep,simbol, budaya,

137
persetujuan masyarakat). Orang yang melihat realitas tidak seperti anjing melihat
tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada bangsa manusia. Kedua, karena
adanya ilmu sekular yang tidak semuanya objektif. Ketiga tanpa mengakui adanya
faktor manusia, konstruksi pengalaman manusia menjadi ilmu tidak lengkap.
Misalnya, ilmu ekonomi hanya akan mengenal “hukum besi” permintaan-penawaran,
tetapi orang tidak akan tau pentignya bisnis: PR, iklan di media massa, dan baliho di
jalan. Bahkan MLM ( seperti Amway, DXN, CNI, Tianshi) yang anti-iklan
mengandalkan kepercayaan bahwa lebih efektif iklan door to door dan MLM
Syari’ah (sepertiAhad-net) mengandalkan unsur kesadaran keagamaan. Maka dari itu
kutipan pendek Humaniora dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa ilmu tidak hanya
dua yaitu qauliyah dan kauniyah tetapi tiga (qauliyah, kauniyah, dan nafsiyah). Tanpa
Humaniora ilmu tidak akan menyentuh seni, filsafat, antropologi, ilmu politik, dan
sebagainya. Dengan pengilmuan agama seperti ini dimaksudkan supaya sifat subjektif
agama itu berubah jadi sifat objektif ilmu. Sifat subjektif disembunyikan, sementara
sifat objektif mengemuka.

DI dalam prakatanya, kuntowijoyo menyebutkan bahwa ini bukanlah sebuah


buku, melainkan “nonbuku”. Karena sebenarnya isi buku ini merupakan kumpulan
tulisan-tulisan, baik yang sudah dibukukan maupun dalam bentuk materi seminar
yang selama ini beliau sampaikan. Beliau juga menyampaikan dalam buku ini adanya
pengulangan-pengulangan yang tidak terhindarkan maka sudah selayaknya berpikir
positif: bahwa pengulangan adalah penegasan. Cara pandang dalam menyikapi
persoalan sosial, yang dikaitkan dengan konsep-konsep religius merupakan hal baru
yang akan dirasakan oleh pembaca. Butuh waktu yang tidak sedikit serta pengetahuan
yang cukup komprehensif untuk dapat membentuk cara pandang seseorang yang tidak
terjebak pada verbalitas dan rigiditas teks.

Dalam buku ini juga dijelaskan pandangan lain yang digunakan dalam
menyelesaikan masalah umat yaitu “Islam Kontekstual”. Islam kontekstual menjadi
populer di Indonesia lewat Munawir Sjadzali Menteri Agama RI tahun 1983-1993.
Selain itu, ada pula konsep yang dikenal dengan istilah “Islam Profetik” yang
mencoba merekonstruksikan cara pandang terhadap keteladanan Rasulullah
Muhammad SAW. bahwa pemaknaan terhadap perilaku nabi harus elastis,
komprehensif, subtansial dan kontekstual. Jadi yang diambil dari pribadi nabi adalah

138
dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran
hidup; bukan sekedar phisyical perfomance.

Penulis buku ini memberi penjelasan yang sangat mudah dipahami serta untuk
menghindari adanya semantic confusion maka dalam buku tersebut Kuntowijoyo
menjelaskan dengan tiga istilah yang berdekatan, yaitu “ pengilmuan Islam” sebagai
proses, lalu “paradigma Islam” adalah hasil, dan “Islam sebagai ilmu” adalah proses
dan hasil sekaligus. Ketiga hal tersebut ditulis dengan sistematika penulisan yang
terbagi dalam lima bab. Yaitu, pertama pembuka, kedua Epistemologi Islam, ketiga
Metodologi Pengilmuan Islam, keempat Etika Paradigma Islam, dan kelima penutup :
Paradigma Islam sebagai Kritik Peradaban Modern.

Epistemologi Paradigma Islam

Tidak sedikit dari orang Islam sendiri sangsi tentang kemungkinan teks Islam
yang berasal dari abad ke-7 itu sanggup menjadi ilmu modern. Lebih-lebih mereka
yang belajar ilmu sekuler dan sebagian kaum orientalis yang berpendapat bahwa
agama membuat umat Islam keterbelakang serta mereka yang belajar secara ilmiah
melalui Marxisme yang menjadikan “agama sebagai candu” atau Freudianisme yang
menjadikan “agama adalah ilusi”. Sebab itulah dalam bab ini penulis buku tersebut
memilih artikel “Strukturalisme Transendal” untuk menunjukkan bahwa Islam yang
otentik mempunyai kapasitas structuring, baik sebagai agama maupun sebagai ilmu.
Untuk membangun Paradigma Islam, ukuran tertingginya (the ultimate yardstick)
ialah al-tauhid, sama seperti Islam itu sendiri.

Tujuan penulis buku ini memilih artikel tersebut adalah mencari suatu metode
yang tepat guna menerapkan teks (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang merujuk ke
gejala-gejala sosial lima belas abad yang lalu di Arab pada konteks sosial masa kini
dan di sini. Pada masa Arab masyarakatnya praindustrial, masyarakat kesukuan (tribal
society), dan masyarakat homogen, sedangkan masyarakat sekarang industrial,
masyarakat kenegaraan (civicsociety), dan masyarakat heterogen. Maka untuk
memahami tersebut diperlukan metode Struktural Transendental. Karena tujuan kita
bukanlah memahami Islam tetapi bagaimana menerapkan ajaran-ajaran sosial yang
terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah
strukturnya.

139
Dalam pembahasan mengenai epistemologi paradigma Islam, ada enam poin
pokok. Pertama, Islam adalah suatu struktur. Menurut Webster’s New International
Dictionary, kata berasal dari kata latin yaitu structure artinya bangunan, menurut
Jean Piaget dalam Structualsm ( New York: Harper & Row, Publisher, 1970)
menyebutkan tiga ciri dari struktur yaitu (1) Wholeness ( keseluruhan); (2)
transformation ( perubahan bentuk); dan (3) self-regulation (mengatur diri sendiri).
Kedua, Strukturalisme Transendental sebagau metode sesuai dengan keperluan Islam
masa kini dan disini. Ketiga, Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya
sendiri (transformasi diri) tanpa kehilangan keutuhannya. Keempat, tugas umat Islam
sekarang ini ialah menyadari perubahan-perubahan di lingkungannya untuk
menyesuaikan muamalahnya. Kelima, gambaran tentang Islam yang kaku, anti-
perubahan, dan kuno ternyata tidak benar. Keenam, kejian masalah-masalah
kontemporer dalam bidang sosial, kemanusiaan, filsafat, seni dan tasawuf dari sudut
pandang Islam dapat menghilangkan kesan tentang Islam yang garang, melihat segala
soal secara legalistic (halal-haram), dan egosentris.

Menurut Kuntowijiyo, struktural transendental akan sangat berguna bagi ilmu


alam, kemanusiaan, dan agama. Soal terbesar dalam Islam adalah bagaimana
mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati dirinya. Islam sebagai agama yang kaffah
dengan adanya teks suci sudah pastinya akan selalu bisa menjawab tantangan zaman,
dan memenuhi segala kebutuhan umat Islam. Namun, untuk bisa menggali hal
tersebut dibutuhkan berbagai metode-metode untuk bisa menghasilkan pengetahuan
dan pemahaman baru yang kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Maka dari itu, dalam Islam, sejumlah agenda baru sangat diperlukan supaya
agama “sesuai” dengan perubahan-perubahan, yaitu supaya unsur muamalahnya tidak
ketinggalan zaman. Agenda baru itu dapat menjadi lahan ijtihad. Pendekatan lama
yang sifatnya individual tetap diperlukan karena individualah yang akhirnya harus
mempertanggungjawabkan. Namun, diperlukan perluasan-perluasan supaya
muamalah Islam lebih efektif. Perluasan itu ada enam macam kesadaran yaitu (1)
kesadaran adanya perubahan, (2) kesadaran kolektif, (3) kesadaran sejarah, (4)
kesadaran adanya fakta sosial, (5) kesadaran adanya masyarakat abstrak, (6)
kesadaran perlunya objektifikasi.

Metodologi Pengilmuan Islam

140
Ada dua metodologi yang digunakan dalam proses pengilmuan Islam, yaitu
integralisasi dan objektifikasi. Pertama, integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan
keilmuan manusia dengan wahyu( petunjuk Allah dalam Al-Qur’an beserta
pelaksanaanya dalam Sunnah Nabi. Kedua, objektifikasi ialah menjadikan
pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang. Kuntowijoyo menjelaskan
adanya perbedaan paradigmatik antara ilmu sekular dan ilmu-ilmu integralistik. Ilmu
sekular sebagai normal sciences dan ilmu-ilmu integralistik yang sedang dirintis
sebagai sebuah revolusi. Kuntowijoyo berpendapat bahwa ilmu-ilmu sekular adalah
produk bersama seluruh manusia,sedangkan ilmu-ilmu integralistik (nantinya) adalah
produk bersama seluruh manusia beriman. Maka wajar jika Kuntowijoyo mengatakan
kita semua ini sekarang adalah produk, partisipan, konsumen ilmu-ilmu sekular.
Dengan demikian, Kuntowijoyo tidak gegabah dan memandang rendah ilmu-ilmu
sekular. Sebaliknya, beliau menghormati, mengkritisi, serta meneruskan
perjalanannya. Dalam buku tersebut Kuntowijoyo secara terang-terangan akan
membuat perbedaan-perbedaan yang jelas antara ilmu sekular dengan ilmu
integralistik untuk menunjukkan bahwa ilmu-ilmu integralistik justru lebih diperlukan
demi kepentingan keberlangsungan eksistensi subtansi ilmu-ilmu sekular sendiri.

Berikutnya, objektifivasi bermula dari internalisasi nilai, tidak dari subjektifikasi


kondisi objektif. Itulah yang menjadi perbedaan pokok antara objektivikasi dengan
sekularisasi. Internalisasi adalah proses penghayatan dan tindakan yang dilakukan
seseorang atas nilai-nilai agama yang diyakininya. Objektivikasi adalah penerjemahan
nilai-nilai internal kedalam kategori-kategori objektiv. Dengan kata lain, objektivikasi
adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama, tetapi disublimasikan
dalamsuatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Karnatujuannya adalah
untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lain-lain.

Etika Paradigma Islam

Ada empat hal yang dibicarkan dalam bab ini yaitu, (1) tujuan akhir Paradigma
Islam, (2) keterlibatan umat (paradigma Islam) dalam sejarah, (3) “Methodological
objectivism”, dan (4) sikap Paradigma Islam terhadap ilmu-ilmu sekular. Ilmu
sekular yang meramalkan bahwa transformasi kemanusiaan akan menuju ke arah
masyarakat secular, seperti terjadi di Dunia Barat. Tentu hal ini beretentangan dengan
Islam. Islam sebagai agama yang abadi dan kaffah semestinya menolak gagasan

141
tentang transformasi. Keabadian Islam justru merupakan perubahan yang permanen.
Permanensi menurut Islam harus disertai cita rasa mengenai tujuan, yaitu semakin
mendekatnya manusia kepada Yang Maha Abadi, Islam menghendaki adanya
transformasi menuju transendensi. Maka untuk menuju hal itu manusia harus mau
berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan, yaitu humanisasi, liberasi, dan
transendesi. Dengan menggunakan “Methodological objectivism” kita sepenuhnya
menghormati objek penelitian dan Paradigma Islam tidak akan bertindak seperti ilmu
sekular yang banyak merugikan Islam atas nama objektivitas ilmu. Dengan demikian,
memberi penegasan bahwa paradigma Islam tidak secara apriori menolak ilmu
sekular, tempat kebanyakan ilmuwan muslim belajar. Paradigama Islam tidak berniat
merobohkan hasil kerja keras kemanusiaan selama berabad-abad. Yang benar adalah
Islam sebagai ilmu secara tegas selalu kritis terhadap semua pengetahuan - sekular
atau tidak- bahkan kritis kepada diri sendiri.

Paradigma Islam Sebagai Kritik Peradaban Modern

Menurut Kuntowijoyo Paradigma Islam dan peradaban modern adalah satu poin
yang sangat penting untuk dipahami. Dalam bab ini Kuntowijoyo mempertanyakan
sekaligus memberi jawaban akan bagaimana cara menyosialisasikan paradigma baru
dalam ilmu. Kita semua ingin supaya Paradigma Islam diakui di jajaran ilmu secara
internasional, tidak sebatas dalam dunia Islam. Maka dalam buku ini penulis memberi
solusi supaya Paradigma Islam menggunakan strategi ganda : jalur bawah dan jalur
atas. Jalur bawah, kiranya persis seperti langkah-langkah “Islamisasi Pengetahuan”.
Di jalur atas peradigma Islam dapat dimulai dengan kritik sosial-budaya atas
peradaban modern seperti yang telah dilakukan oleh aliran Critical Theory dari
mahdzab Frankfurt.

Tema kemanusiaan di zaman modern ini menjadi sangat penting dibicarakan.


Selain karena tak sedikit manusia yang mereduksi kemanusiannya, mengingat dewasa
ini manusia semakin menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru yang semakin
kompleks sehingga membutuhkan cara-cara yang baru dipadukan dengan cara lama
dalam menyelesaikan. Kadang-kadang situasi yang problematik dewasa ini justru
disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Di balik kemajuan
ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang
dapat menghancurkan martabat manusia. Sejak manusia memasuki zaman modern,

142
yaitu sejak manusia mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka
memang telah terbebas dari belenggu pemikiran mistis yang irasional dan belenggu
pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Namun dibalik itu,
ternyata di dunia modern ini manusia justru tak dapat melepaskan diri dari jenis
belenggu lain, yaitu penyembahan kepada diri sendiri. Hal ini semakin tinggi ketika
muncul pemikiran bahwa manusia pusat segala sesuatu. Pandangan antroposentrisme
muncul sebagai pendobrak pandangan teosentris secara revolusioner. Pandangan
antroposentrisme, atau humanisme, beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat
pada Tuhan, tetapi pada manusia. Manusialah yang menjadi penguasa realitas, oleh
karena itu manusialah yang menentukan nasibnya sendiri. Cita-cita Renaisans adalah
mengembalikan lagi kedaulatan manusia, yang selama berabad-abad telah terampas.
Kehidupan ini berpusat pada manusia, bukan pada Tuhan,demikianlah anggapan
Renaisans.

Cita-cita Barat untuk melepaskan diri dari agama menjadi problem-problem


manusia dalam kebudayaan modern. Di dalam masyarakat modern yang berteknologi
tinggi,manusia menghadapi mekanisasi kerja. Manusia yang semula merdeka, yang
merasa menjadi pusat segala sesuatu, kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak
lebih sebagai bagian dari mesin, mesin raksasa teknologi modern.ini pun disebabkan
oleh pemikiran-pemikiran mereka sendiri. Karenanya, pandangan tentang manusia
menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi oleh proses bekerjanya teknologi.

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa di Barat kini telah terjadi
pergeseran konsepsi tentang manusia. Manusia yang pada zaman Renaisans
digambarkan sebagai pusat segala sesuatu, pada zaman modern ini telah tereduksi
hanya sebagai unsur kecil di dalam sistem raksasa, bahkan telah terbelenggu oleh
mekanisme-mekanisme sistem itu. Posisi manusia yang semacam ini, celakanya,
justru dijustifikasi oleh banyak aliran filsafat kontemporer Barat.

Maka dalam buku Islam sebagai ilmu, Kuntowijoyo berusaha memberikan


pemikiran-pemikiran segar dan solusi dengan sekaligus memperkenalkan Paradigma
Islam. Karena jelas konsepsi tentang manusia modern dalam filsafat Barat seperti itu
sangat jauh berbeda dari konsepsi Islam. Kuntowijoyo mengatakan bahwa tugas
utama Paradigma Islam adalah melawan sekularisme. Karena sekularisme mempunyai

143
multi-efek - merasuk ke dalam jiwa peradaban dan sangat fundamental dalam cara
pikir manusia.

CATATAN AKHIR

Konsep Islamsasi Ilmu yang diusung oleh beberapa tokoh Islam terkesan
simplistis dan eksklusif oleh karena keberpihakannya yang kaku terhadap umat Islam
sehingga terbaca hanya memayungi umat Islam dan memandang sumber nilai dan
etika hanya milik Islam yang konsekuensinya adalah ‘dari Islam, oleh Islam, dan
untuk Islam’. Untuk menjawab dilema ini Kuntowijoyo dengan bukunya Islam
Sebagai Ilmu menyodorkan formulasi baru berupa Pengilmuan Islam sehingga Islam
dapat eksis tanpa harus memakai baju Islam. Pengilmuan Islam dengan teori
objektivikasi ilmu yang dituntut oleh Kuntowijoyo lewat pengilmuan Islamnya
membuat baju dan atribut Islam yang melekat pada sistem, siyasiyah, dan objek lain
harus dilepaskan. Nilai Islam menjadi baik bukan karena atribut Islamnya, akan tetapi
karena kebaikan nilai itu sendiri. Ilmu pun dilepaskan dari label Islam, namun
Islamlah yang ditarik dalam lingkaran keilmuan, sehingga kebaikan yang ditimbulkan
oleh ilmu bukan karena label Islamnya, namun karena disesuaikannya Ilmu dengan
nilai-nilai keIslaman. Ia adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama,
disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang.
Tujuannya adalah untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan
lain-lain. Dengan demikian, Islam menjadi nilai dan etika, worldview tanpa harus tahu
bahwa itu adalah Islam. Dengan demikian, Islam menjadi rumah bersama dan atau
rahmat peradaban umat manusia.

PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEISLAMAN

Book Review 18

144
(Prof. A. Qodri Azizy : Pengembangan Ilmu-Ilmu Keisalman)

Oleh: Dea Rahmatika

Buku ini merupakan usaha untuk merumuskan masalah epistimilogi dan


pembidangan ilmu-ilmu keislaman bagi lembaga pendidikan perguruan tinggi Islam,
rancangan ini sangat penting karena memperhatikan secara cermat suatu keadaan,
pengalaman masa lampau serta rencana masa depan menuju satu arah perubahan yang
diinginkan. Semua ini merupakan langkah dasar untuk mencapai kesamaan
pandangan dilingkungan akademisi.

Kesamaan pandangan mengenai system keilmuan antar lingkungan akademisi


dalam prakteknya belum ada integrasi yang kongkrit antara dimensi wahyu dan
dimensi akal. Padahal pada dasarnya system keilmuan yang menjadi pijakan dasar
perguruan tinggi haruslah diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan
kegagalan dalam merumuskan sistem keilmuan tersebut mengakibatkan kaburnya
pembidangan ilmu dan bangunan kurikulum pada perguruan tinggi agama islam.

Membicarakan tentang kurikulum perguruan tinggi agama islam berarti


membicarakan awal mula terbentuknya ilmu-ilmu keislaman, yang berrdasarkan dari
Al-Qur’an dan Al-Hadis yang dimulai dari pembahasan tentang ilmu, dan ini tidak
bisa terlepas dari karya ilmuan muslim generasi pertama, seperti al-syafi’i dan al-
ghazali. pengelompokan ilmu yang didasarkan dari umum khususnya membuat al-
syafi’i dikenal sangat ilmiah dengan nuansa hukumnya sedangkan al-gazhali lebih
memperhatikan pada pengelompokan ilmu berdasarkan shar’iyyah dan ghoiru
shar’iyyah yang nantinya akan berkembang luas hingga berpengaruh besar terhadap
perkembangan keilmuan islam di hari ini.

Pengembangan ilmu-ilmu keislaman

Hasil pemikiran muslim itu sangat berkembang dan sama sekali tidak ada
stagnasi alhasil munculah beberapa jenis ilmu atau disiplin yang kemudian disebut
sebagai ilmu keilaman atau agama islam. Hal ini meliputi ajaran islam itu sendiri,
yang sering kita terjebak dengan menggunakan istilah doktrin. Padahal itu semua
karya manusia untuk memahami wahyu tadi yang nantinya bisa berkembang dan
terjadi perubahan. Namun kemudian jebakan doktrin itulah kini naik kedudukannya

145
menjadi doktrin yang mati, bahkan ada yang menganggap sakral yang seolah tidak
mungkin lagi disentuh olah akal manusia.

Untuk dapat meruntuhkan dari pemikiran “jebakan doktrin” tersebt diperlukan


adanya sebuah usaha dari universitas islam pada umumnya dan para akademisi pada
khususnya. Yaitu dengan merekonstruksi keilmuan islam yang dianggap baku untuk
kemudian disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Sebuah ijtihad baru ini dapat berupa
perbaikan disiplin, pengembangan atau pengurangan disiplin atau bahkan penciptaan
disiplin baru. Dalam fase ini juga dapat dilakukan pendekatan secara interdisipliner,
multidisipliner atau bahkan transdisipliner, tentu harus mengacu pada misi utama
islam yaitu kemaslahatan umat dan fakstor luar yang tidak dapat diabaikan begitu saja
yaitu tuntutan perkembangan zaman yang memungkinkan terjadinya eklektis dalam
epistimologi ilmu-ilmu keislaman.

Dalam implementasinya perguruan tinggi mempunyai pengaruh tinggi


terhadap perkembangan keilmuan yang tidak jarang bekerjasama dengan peusahaan
perusahaan besar terutama sekali untuk jenis natural science dan teknologi. Lalu apa
kabar dengan dirasah islamiah atau islamic studies?

Buku ini menjelaskan tentang pengelompokan studi islam pada beberapa jenis
sekaligus mengkritiknya. Seperti jenis “ngaji” adalah doktrinisasi mutlak yang
hampir dipakai di seluruh lembaga pendidikan dengan tujuan mempraktekan ajaran
islam. Jenis ini berseberangan dengan “islamologi” yang mana studi ini bukan untuk
mengamalkan ajaran islam, namun menjadikan islam sebgai pengetahuan inilah jenis
studi yang sering dihunakan oleh para orientalis. Lalu untuk menjawab atau merespon
studi islam jenis “islamologi” ada “apologis” sebagai pelurus terhadap kajian
orientalis yang tujuannya sering mendeskritkan islam, mentalitas apologetik
akademisi perlu dibuat seimbang yaitu kajian akademik terhadap karya-karya
orientalis pada khususnya dan kajian terhadapa barat pada khusunya. Lalu jenis lain
dari studi islam yaitu “islamization of knowladge” yand pada dasarnya respon
terhadap perkembangan keilmuan di barat yang begitu maju, kalau “apologis” adalah
respon balik dengan ciri utama prejudice terhadap islamologi yang sebagaimana
islamologi itu sendiri prejudice terhadap “ngaji”, maka “islamization of knowladge”
ini respon dengan upaya agar ilmu-ilmu sekuler itu mempunyai akar dan landasan dari
ajaran tauhid. Yang terakhir adalah “studi islam klasik” mengkaji islam secara kritis

146
dan realistik namun karena realistis inilah, maka tak heran kalau sebagai pemikir
islam yang ideologis dan normatif menganggap mereka sebagai terlalu lentur dan
bahkan opurtunis padahal sejatinya tidak.

Perguruan tinggi islam haruslah mempertahankan orientasi pengamalan ajaran


islam, dengan mengintegrasikan studi islam secara kritis dan realistis sampai pada
pengertian kontekstual, termasuk mempertimbangkan kajian islam oleh non muslim
dengan tujuan akhir tertap pada rangka memahami wahyu untuk diamalkan.
Akademisi agar lebih mengkritisi lebih lanjut dan menyadari bahwa kajian islam yang
dibarat karena kajian islam di barat lebih pada analisis realistis jadi bukan untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman.

Perlunya inovasi dalam pengembangan penelitian dalam perguruan tinggi


islam untuk mewujudkan kajian kritis yang mampu menghasilkan sumbangan ilmu
pengetahuan (contribution of knowladge) untuk itu beberapa hal harus dilakukan
untuk mencapai rekontruksi yang ideal. Pertama yang harus dilakukan adalah
pemanfaatan ilmu bantu untuk memahami ulang (reinterpretasi) ajaran islam. Yang
kedua adalah mereformasi posisi beberapa ilmu khusunya terhadap ilmu bantu, dari
segi metode pengajarnanya, sampai pada perkembangannya, agar perguruan tinggi
islam mampu melahirkan pemikiran yang bukan menggunakan ilmu tersebut untuk
kajian islam, namun juga mampu menunjukkan pemikiran islam untuk pengembangan
ilmu bantu tersebut. Lalu yang ketiga adalah perlunya merekonstruksi, yang diawali
dengan dekontruksi kajian islam perguruan tinggi islam, terutama sekali di
pascasarjana, karena lulusannya hendaknya mampu menganalisis sekaligus
mengaktualisasikan pemikirannya.

Sebagai aktualisasi terhadap dekontruksi kajian islam perguruan tinggi


terdapat 3 hal yang menjadi landasan utama untuk mencapai rekontruksi yang ideal
yaitu; Pertama, menempatkan hasil karya ulama yang lalu pada proporsi yang
sebenarnya. Yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu tidak terlalu
mensakralkan dan tidak pula terlalu mengkritik namun terdapat integrasi sehingga
mampu untuk berkolaborasi dengan ilmu-ilmu umum yang selama ini dianggap
sekuler. Kemudia Kedua, melihat hasil ijtihad secara kontekstual, sehingga menjadi
hidup dan mempunyai nilai, yan menurut Sayd Hossein Nasr disebut living tadition
and knowladge, oleh karena itu usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa

147
lampau perlu digairahkan, bahkan suatu keharusan, tidak cukup hanya membaca teks
dari hasil ijtihad tersebut namun juga dibarengi dengan kajian sejarah. kemudia yang
Ketiga, setelah mampu menciptakan kontekstualisasi, barulah akan mampu
mengadakan reaktualisasi.

Dengan tiga proses dekontruksi-rekontruksi ini, akan terkumpul antara tradisi


keilmuan islam dan keilmuan secara umum yang biasanya ditekankan pada “bebas
nilai”, dalam arti bahwa seseorang yang mengkaji tanpa harus terlibat sebagai
pelakunya dan amaliah sebagai pembawa misi. Di sinilah ciri yang membedakan
antara kajian islam yang dilakukan orientalis yang non muslim dengan kajian kritis
yang dilakukan oleh sarjana islam itu sendiri.

Pendekatan ilmu-ilmu sosial untuk kajian islam

Seseorang yg mengadakan kajian islam mengenai kemasyarakatan akan tidak


lepas dari disiplin ilmu sosial yang telah dibakukan di dunia ilmu pengetahuan seperti
ilmu politik, sosoiologi, antropoogi dan lainnya. Dan bukan rahasia lagi bahwa kajian
ilmu sosial, terutama antropologi, sering membuat generalisasi hasilnya, seperti
contohnya suatu studi tentang islam disuatu daerah dalam sebuah negara, kemudian
membuat sampel penelitian dari sebuah kota kecil hasilnya di kalim sebagai negara
itu, hasil penelitian dari kota kecil tersebut dipukul rata dengan keadaan negara
tersebut. Model seperti ini yang sering terjadi dalam antropologi. Inilah yang terjadi
dalam dunia ilmu sosial ketika dipergunakan untuk mengkaji islam dan ketika ilmuan
sosialnya adalah non muslim barat atau orang islam yang yang hanya mengikuti
disiplin ilmu sosial menurut ideologi barat yang sekuler. Inilah problem yang ada
dalam kajian islam yang dilakukan di Barat dengan menggunakan pendekatan ilmu
sosial, disamping generalisasi, adalah kurangnya kemampuan para sarjana ilmu sosial.
Cara yang lebih ideal adalah perguruan tinggi islam mampu mewujudkan para ilmuan
sosial yang dalam waktu yang bersamaan juga mendalami ilmu-ilmu keislaman; atau
ahli islam yang dalam waktu bersamaan mendalami ilmu-ilmu sosial.

Pemerintah dan perguruan tinggi

Disinilah pemerintah seharusnya bisa berkontribsi lebih, pemerintah tetap


mempunyai kekuasaan, kekuasaan disini bagaiman kaitannya dengan tanggung
jawabnya, terutama sekali terhadap perkembangan pendidikan tinggi. Seringnya
pemerintah acuh terhadap perguruan tinggi sebaliknya disaat para negara maju sangat

148
memperhatikan kemajuan perguuan tinggi, di beberapa negara bahkan menciptakan
“Free competition” untuk perguruan tinggi dan menyediakan dan menyekenggarakan
perguruan tinggi negri baik ditingkat kota maupun negara bagian, bahkan satu
pemerintah kota sering mempunyai perguruan tinggi yang lebih dari satu. Yang jelas
perguruan tinggi negri SPPnya jauh lebih murah dibandingkan milik swasta.

Buku ini smengkritik tentang pernyataan pemerintah yang akan di-BUMN-


ksn, yang berarti di seastakan yang berarti pula SPP-nya dinaikan . karena jika ini
yang terjadi yang dirugikan adalah rakyat miskin, karena dengan SPP yang tinggi
mereka tidak lagi mampu bersekolah di perguruan tinggi yang maju.

Dalam pemberian dana perguruan tinggi oleh pemerintah, tidak berarti


pemerintah yang memberi dana boleh semaunya membuat ketentuan agar perguruan
tinggi tunduk pada kepentingan pribadi mereka. Yang benar adalah: pemerintah harus
bertindak sebagai distributor dan fasilitator, karena dana yang diberikan adalah milik
rakyat, bukan milik oknum-oknum tersebut. Namun hal ini juga tidak berarti
pemerintah harus cuci tangan terhadap kehidupan perguruan tinggi atau hanya
pemberi dana saja tanpa terlibat apapun, pemerintah harus mampu bertindak sebagai
“watchdog” –meminjam istilah Qodry Azizi. Dengan cara pemerintah membentuk
sebah tim yang melibatkan beberapa perguruan tinggi, jadi jika terjadi penyimpangan,
harus ada tindakan besar dan sanksi tegas, sehingga tidak berlanjut pada kerugian
besar. Dalam waktu yang bersamaan, mentalitas orang-orang perguruan tinggi juga
harus diperbaiki.

Catatan kecil sebagai penutup

Buku ini menjelaskan secara gamblang tentang polemik kurikulum perguruan


tinggi pada umumnya dan perguruan tinggi islam pada khususnya. Bisa dikatakan
bahwa buku ini netral tanpa adanya pencondongan atau subjektifitas dari penulisnya
mengingat bahwa begitu banyak buku yang membicarakan tentang kritikan kurikulum
perguruan tinggi yang condong kepada instansi tertentu. Disamping itu buku ini
beberapa hal mengandung kritikan terhadap pembagian devisi kelimuan islam yang
sekarang ini dijalankan oleh sebagian besar perguruan tinggi islam. Dengan jelas dan
ringan namun tak melupakan bobotnya Qodri Azizi membuatkan contoh sederhana
untuk menunjang kritikannya terhadap problematika pembagian ilmu-ilmu keislaman.
Melihat pelbagai permasalahan dirosah islamiyah dengan radik dan berusahan untuk

149
mengintefrasikan ilmu-ilmu barat melalui paparan teori yang asik untuk ditelisik dan
dibaca lebih lanjut.

Buku ini juga menyinggung tentang peran para akademisi secara ideal. Yang
acapkali dilupakan oleh lembaga pendidikan perguruan tinggi pada umumnya dan
para pelaku akademisi pada khusunya. Menjabarkan dengan jelas perbedaan antara
tugas dan fungsi para akademisi islam merumuskan dengan jelas bagaimana sebuah
ilmu dikaji dengan tradisi keilmuan islam dan keilmuan secara umum agar para
akademisi tidak hanya mengkaji islam kemudian setelah selesai hilang begitu saja
tanpa meninggalkan pengaruh terhadap dirinya sendiri yang sering dikatakan dengan
“bebas nilai”.

Karya Qodri Azizi sungguh menjadi inspirasi besar terhadap para khalayak
akademisi jika menginginkan adanya rekontruksi terhadap kurikulum perguruan
tinggi islam agar terjadi perkembangan pada ilmu-ilmu keislaman. Agar ilmu-ilmu
keislaman lebih empiris dan menemukan pengaruh yang lebih besar terhadap
kecerdasan bangsa dan kemaslahatan umat.

Mulyadhi Kertanegara. Menyibak Tirai Kejahilan : Pengantar


Epistemologi Islam (Bandung : Mizan, 2003).

150
Book Review 19

Oleh : Muhammad Misbahul Munir (1800018034)

Buku ini mengkaji mengenai epistemologi islam secara kritis, dalam buku ini
pada dasarnya merupakan penjelasan tentang beberapa istilah yang sangat penting
dalam kajian epistemologi, seperti pada bab pertama terdapat kata sains, ilmu, dan
opini. Pada bab dua kata sains akan disandingkan dengan filsafat dan agama dan pada
bab tiga kita akan menemukan istilah indra, akal, dan opini.

Pada dasarnya bahwa ilmu dan sains tidak berbeda karena sebagaimana sains
yang dibedakan dengan pengetahuan (knowledge), ilmu juga dibedakan oleh para ahli
dengan opini. Sedangkan dalam epistemologi islam, ilmu diterapkan untuk segala
macam dan dibedakan dengan opini yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan
kesan indra atau pengetahuan yang belum teruji. Sementara sains dibatasi pada
bidang-bidang fisik empiris, ilmu tidak hanya meliputi bidang-bidang fisik tetapi juga
bidang nonfisik seperti matematika dan metafisika. Jadi, jika sains telah menjadikan
objek-objek fisik sebagai objek penelitiannya dengan alas an objek-objek tersebut
mempunyai status ontologis yang jelas, ilmu juga telah menjadikan matematika
sebagai ilmu karena objek-objek matematika memiliki status ontologis yang jelas
sekalipun bukan objek-objek fisik empiris. Pada awalnya ilmu dan sains mempunyai
pengertian yang sama, bahkan juga lingkup yang sama. Namun, kemudian sains
membatasi dirinya pada dunia fisik, sedangkan ilmu masih tetap meliputi tidak hanya
bidang fisik, tetapi juga bidang matematika dan metafisika dan opini adalah
pengetahuan umum atau sembarang pengetahuan yang kebenarannya belum teruji
melalui penelitian-penelitian saksama.

Sains, Ilmu dan Opini

Bab ini menjadi begitu penting, karena akan menjadi pondasi awal
pemahaman para pembaca sebelum melanjutkannya ke tema-tema berikutnya.
Menurut Pak Mulyadhi, Istilah ilmu dalam kajian epistmologi Islam mempunyai

151
kemiripan dengan istilah sains dalam kajian epistemologi Barat. Ilmu diartikan
sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya, ia bukan sembarang
pengetahuan, dan telah teruji kebenarannya. Sedangkan sains diartikan sebagai segala
pengetahuan yang terorganisasi, tersistematisasi, dan telah teruji kebenarannya.
Perbedaan keduanya terletak pada persoalan batasan-batasan objek. Jika dalam ilmu
objek refleksinya meliputi hal-hal yang fisik dan non-fisik, tetapi bagi sains, objek
refleksinya terbatas pada hal-hal yang fisik saja. Maka, pembahasan-pembahasan
mengenai Tuhan, ruh, malaikat, serta apapun yang mengandung unsur-unsur spritiual
akan ditolak dan tidak akan menjadi konsentrasi sains. Hal ini yang kemudian
membuat sains terlihat sangat sekuler.

Pembatasan lingkup sains pada bidang fisik-empiris membuat pandangan


dunianya bersifat sekuler-materialistis. Jika sains mengandalkan pengamatan indrawi,
maka filsafat mengandalkan penalaran rasional. Hal ini terutama terjadi pada masa-
masa klasik dan Abad Pertengahan atau sebaliknya, pandangan-pandangan filosofis
sering merupakan refleksi atau terpengaruh secara signifikan oleh teori-teori ilmiah,
dan ini pada umumnya berlaku pada beberapa sistem pemikiran filosofis modern atau
kontemporer. Filsafat mempunyai fleksibilitas dalam mengembangkan pandangan
dunianya dibandingkan sains. Sedangkan pandangan saintifik mempunyai
kecenderungan yang kuat terhadap sekularisme.

Sains, Filsafat dan Agma

Pada bab berikutnya, tepatnya pada bab kedua, Mulyadhi Kartanegara


menjelaskan mengenai Sains, Filsafat, dan Agama. Ia berpendapat bahwa sains tidak
memberikan sedikitpun ruang terhadap objek non-fisik, tetapi filsafat dan agama
sama-sama memberikan tempat bagi objek-objek fisik dan non-fisik dalam kajian
epistemologi. Misalnya, filsafat memberikan kedudukan atau posisi sentral terhadap
manusia sebagai mikrokosmos. Dan agama memberikan posisi kepada manusia
sebagai wakil Tuhan di bumi. Baik filsafat dan agama telah memberikan kedudukan
sentral bagi manusia. Tidak hanya itu, filsafat dan agama juga memandang betapa
pentingnya unsur-unsur spiritual seperti Tuhan, ruh manusia, dan malaikat. Beberapa
filsuf terkemuka pernah menyajikan pemikiran mereka tentang integrasi antara yang
fisik dan non fisik. Salah satu dari mereka adalah Al-Farabi dan Ibnu Sina.

152
Dengan teori emanasi, kedua filsuf ini bermaksud menunjukkan bahwa ada
kesatuan atau setidak-tidaknya ada hubungan sebab akibat antara hal fisik (materiil)
dengan yang metafisik (immaterial). Dalam puncak rentetan emanasinya, Tuhan
dijadikan satu-satunya penyebab dari kelahiran alam semesta dan seluruh isinya.
Sebagaimana sains dan filsafat, agama juga bisa membentuk pandangan duniannya
sendiri yang pasti berbeda dengan pandangan saintifik. Dalam kacamata agama,
Tuhan begitu dekat dengan alam. Agama dapat member penjelasan yang terperinci
tentang pelbagai hal yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains dan tidak bisa
diolah semata-mata oleh akal manusia. Dengan demikian, dapat kita lihat betapa
agama tetap bisa member makna yang lebih tinggi dan saling melengkapi pandangan-
pandangan saintifik dan filosofis karena agama berbicara dengan bahasa symbol dan
mistis yang sangat memperkaya pandangan dunia kita.

Tiga Pilar Utama Epistemologi

Berkenaan dengan tiga pilar utama epistemology, yaitu basis ontologis


epistemologi, klasifikasi ilmu, dan metode ilmiah yang digunakan oleh kedua sistem
epistemologi tersebut. Epistemologi Islam yang mengakui status ontologis objek-
objek fisik maupun objek-objek nonfisik memasukkan ke dalam klasifikasi ilmunya,
tidak hanya bidang-bidang ilmu empiris seperti fisika, biologi, dan kimia tetapi juga
bidang-bidang ilmu nonempiris seperti teologi, mistisisme, dan filsafat. Status
ontologis objek-objek ilmu juga berpadanan dengan hieraki wujud. Semakin tinggi
posisi wujud dalam hieraki wujud, semakin riil dan fundamental status ontologisnya.
Karena objek-objek imateriil menduduki posisi yang tertinggi, status ontologis
mereka juga adalah yang paling riil dan fundamental daripada yang lainnya. Status
ontologis objek-objek ilmu menjadi penting sebagai basis ontologism klasifikasi ilmu
yang pada gilirannya juga akan mencerminkan tidak hanya posisi objek-objek itu
dalam hieraki wujud, tetapi juga sifat dasar mereka. Para filosof Muslim mempercayai
status ontologism objek-objek metafisika, seperti wujud sebagai wujud, Tuhan,
malaikat, akal, dan jiwa.

Metode-metode ilmiah dalam epistemologi islam meliputi metode eksperimen


(tajribi), demonstratif (burhani) dan intuitif (‘irfani), sedangkan dalam epistemologi
barat hanya meliputi metode observasi saja. Metode observasi berkaitan dengan
pengalaman indriawi, metode demonstratif dengan akal, maka metode intuitif
153
berkaitan dengan intuisi atau hati (qalb). Persamaan metode intuitif dengan metode
observasi adalah bahwa kedua metode itu menangkap objeknya secara langsung,
hanya sifat objeknya berbeda. Observasi berhubungan dengan objek-objek fisik,
sedangkan objek-objek intuisi bersifat lebih abstrak. Kekhasan metode intuitif terletak
pada sifatnya yang langsung. Sifat langsung metode intuitif dalam menangkap
objeknya ini dapat dianalisis ke dalam beberapa hal seperti pengetahuan intuitif bisa
dicapai melalui pengalaman.

Objektivitas

Masalah objektivitas adalah menyadari betapa pengkajian-pengkajian ilmiah


di bidang non empiris-filsafat dan sejenisnya dilakukan. Objektivitas dalam
pengertiannya yang mutlak tidak akan tercapai bahwa unsur subjektivitas tidak
mungkin dihindarkan dalam penelitian ilmiah. Pada bab delapan dibahas upaya para
ilmuwan dan filosofis Muslim melalui metode ilmiah yang mereka gunakan untuk
mencapai kebenaran dan menuju kepastian, baik dalam bidang ilmu empiris maupun
ilmu-ilmu rasional dan mistik serta tingkat keberhasilan mereka. Jalan metode lain
menuju kebenaran, pada tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat objek-objek
nonempiris yang disebut jalan logika. Para filosof memperoleh pengetahuan dari akal
aktif ini melalui “akal” yakni “akal perolehan, setelah berhasil melalui usaha yang
keras mengadakan kontak dengannya, sedangkan para nabi memperoleh pengetahuan
darinya melalui daya imajinasi atau intuisi suci.

Selain tentang objektivitas alam mistik, pengalaman mistik juga penting tidak
hanya bagi para sufi, tetapi juga para filosof dan ilmuwan muslim. Peristiwa kenabian
adalah kontak nabi dengan akal aktif. Dalam kenabian pada level yang lebih tinggi,
dan inilah yang kita sebut kenabian sejati atau wahyu, emanasi dari akal aktif
bergerak melalui akal manusia yang telah dikembangkan secara penuh, dank arena itu
ia telah mengadakan kontak dengan akal aktif.

Istilah naturalisasi ilmu dipakai Prof. Sabra untuk merujuk pada proses
akulturasi dari sebuah ilmu yang datang dari luar terhadap budaya yang berlaku di
ranah baru. Bahwa ilmu tidak bisa berdiri netral di atas segala nilai-nilai yang
dimiliki, bahkan dihargai oleh para pendukung ilmu di suatu wilayah tertentu.
Sekularisasi ilmu sebagai salah satu wujud naturalisasi ilmu. Pada buku ini dibahas

154
mengenai Islamisasi Sains yang bekerja pada level epistemologis yakni pada system
klasifikasi ilmu dan metodologi ilmiahnya. Klasifikasi ilmu, islam pada prinsipnya
membolehkan pengkajian pada bidang-bidang yang sangat luas, dari mulai bidang
fisik melalui bidang matematika hingga bidang metafisik yang hanya dimungkinkan
ketika telah menentukan status ontologism objek-objek ilmu pada masing-masing
bidangnya. Pada islamisasi sains pada bidang epitemologis lainnya yaitu bidang
metodologis. Metode-metode yang dipakai tidak hanya untuk melihat benda-benda
fisik, yaitu metode observasi atau eksperimen tetapi juga menggunakan metodde
untuk meneliti objek-objek nonfisik, baik yang bersifat rasional, seperti metode
demonstratif atau yang bersifat intuitif.

Refleksi Wahdatul Ulum Sebagai Ikhtiar Mewujudkan Humanisme Ilmu


Pengetahuan

Book Riview 20

155
Dr. Muhyar Fanani, M.Ag. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, Anggaran
IsDB UIN Walisongo Semarang Tahun 2015

Oleh : Kholid Irfani

Nim: 1800018031

Dalam rangka alih status menjadi UIN, tentunya IAIN Walisongo Semarang harus
mempunyai pijakan Paradigma keilmuan yang mampu membangun pola pikir bagi
mahasiswa maupun civitas akademiknya. Hingga akhirnya disepakati Unity Of
Science sebagai Paradigma keilmuan UIN Walisongo Semarang dan selanjutnya di
sosialisasikan melalui bentuk kurikulum di setiap mata kuliah di lingkungan UIN
Walisongo.

Buku ini merupakan hasil penelitian dari Dr. Muhyar Fanani, M.Ag sebagai bahan
ajar dan menjadi fondasi pembangunan pola pikir semua mahasiswa UIN Walisongo
agar memiliki perspektif yang khas tentang ilmu pengetahuan. Perspektif yang khas
itu akan membimbing mereka dalam setiap pikiran dan tindakan mereka baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan ilmiah.(hlm 1)

Prinsip Dasar Wahdatul Ulum


Paradigma Kesatuan Ilmu sesungguhnya bukanlah paradigma baru.
Paradigma ini telah dipraktikkan oleh para ilmuwan muslim klasik seperti Ibn
Sina, al-Kindi, dan al-Farabi. Mereka mempelajari ilmu-ilmu Yunani yang
lebih menekankan logos-kontemplatif-non-eksperimental namun disesuaikan
dan dimodifikasi dengan anjuran ilmiah wahyu yang menekankan observasi
empiris atas fakta-fakta alam.20Kedua corak ilmu pengetahuan itu diikat dalam
satu kesatuan oleh wahyu. Mereka mempelajari semua ilmu dan kemudian
mendialogkannya hingga saling memperkaya. Mendialogkan semua ilmu
membuat seorang ilmuwan semakin kaya wawasan. Itulah makanya, para
ilmuwan muslim klasik itu sesungguhnya seorang ulama yang dokter, ulama
yang filosof, dan ulama yang ahli matimatika. Dengan kata lain, paradigma

20
Shahid Rahman (Eds.), The Unity of Science in the Arabic Tradition: Science, Logic, Epistemology,
and Their
Interactions (New York: Springer, 2004), 15.

156
unity of sciences akan melahirkan seorang ilmuwan yang ensiklopedis, yang
menguasai banyak ilmu, memandang semua cabang ilmu sebagai satu
kesatuan holistik, dan mendialogkan semua ilmu itu menjadi senyawa yang
kaya.
Prinsip-prinsip paradigma Wahdat al-Ulum (Unity of Sciences) adalah
sbb:21
1. Integrasi. Prinsip ini meyakini bahwa bangunan semua ilmu pengetahuan
sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan yang kesemuanya bersumber
dari ayat-ayat Allah baik yang diperoleh melalui para nabi, eksplorasi akal,
maupun ekplorasi alam.
2. Kolaborasi. Prinsip ini memadukan nilai universal Islam dengan ilmu
pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia.
3. Dialektika. Prinsip ini meniscayakan dialog yang intens antara ilmu-ilmu yang
berakar pada wahyu (revealed sciences), ilmu pengetahuan modern (modern
sciences) dan kearifan lokal (local wisdom).
4. Prospektif. Prinsip ini meyakini bahwa wahdatul ulum akan menghasilkan
ilmu-ilmu baru yang lebih humanis dan etis yang bermanfaat bagi
pembangunan martabat dan kualitas bangsa serta kelestarian alam.
5. Pluralistik. Prinsip ini meyakini adanya pluralitas realitasdan metode dalam
semua aktivitas keilmuan. (hlm3-5)

Sejarah Munculnya Paradigma Kesatuan Ilmu


Keruntuhan peradaban Islam pada abad ke-13 M yang ditandai dengan
jatuhnya Baghdad tahun 1258M berdampak penting bagi perjalanan
paradigma kesatuan ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena paradigma ini
berhenti berkembang di dunia muslim sebagai akibat dari mundurnya aktivitas
keilmuan mereka. Sebaliknya dunia Barat semakin sibuk mengembangkan
aktivitas keilmuannya dengan mengkaji buku-buku karya ilmuwan muslim
yang diboyong ke Barat saat perang salib dan persentuhan budaya Barat
dengan budaya muslim pasca perang salib. Aktivitas ilmiah di Barat yang
berpijak pada hasil riset sarjana muslim itu berlangsung sekitar 3 abad hingga
melahirkan masa kebangkitan Eropa yang populer dengan renaisans Eropa

Laporan Kegiatan Workshop Penyusunan Kurikulum Berbasis Unity of Sciences IAIN Walisongo di
21

Hotel Quest 22-24 Oktober 2013, 9-10.

157
(abad ke-15-16). Renaisans Eropa inilah tonggak bergesernya paradigma
kesatuan ilmu pengetahuan menuju paradigma sekuler. Ilmu pengetahuan
dipisahkan dari nilai ketuhanan. Dampaknya sungguh dahsyat, yakni jauhnya
ilmu pengetahuan dari nilai-nilai tauhid. Mengapa bisa demikian? Karena para
peletak dasar renaisans Eropa itu tengah dihantui oleh alam pikiran non-Islam
yang kebetulan tidak sinkron dengan alam pikiran keilmuan yang digagas oleh
Islam. Alam pikiran ilmiah yang mereka yakini lebih benar bentrok dengan
alam pikiran ketuhanan-Kristen yang berkembang saat itu. Akhirnya mereka
memilih formula sekuler dalam arti menjauhkan semua nilai-nilai ketuhanan,
termasuk nilai ketuhanan Islam yang justru menjiwai sistem ilmiah yang
tengah mereka kembangkan itu. Akibat selanjutnya adalah munculnya dua
kubu yang berseteru yakni kubu gereja dan kubu ilmuwan. Pada masa
renaisans Eropa itu (abad ke-15-16), ilmuwan semakin mendapatkan tempat di
hati masyarakat dan agamawan (Kristen) semakin mengalami kebangkrutan
karisma.Mengapa? Karena ilmuwan memenuhi kodrat rasa ingin tahu manusia
sementara kalangan gereja mengekangnya sepanjang abad pertengahan (abad
ke-4 sampai ke-14M) dengan dalih ketundukan yang total pada otoritas gereja.
Itulah awal mula sekularisasi antara ilmu dan agama. Sekularisasi
sesungguhnya sangat dilatari perseteruan yang berabad-abad selama abad
pertengahan itu antara para ilmuwan di satu sisi dengan para agamawan
Kristen di sisi yang lain. Sekularisasi yang demikian itu tidak dikenal dalam
Islam karena Islam sejak awal tidak pernah membasmi naluri berilmu
manusia. Islam memupuk semangat berilmu. Dengan kata lain, Islam
menyatukan antara ilmu dan iman.

Integrasi Agama dan Sains

Kajian tentang hubungan sains dan agama sesungguhnya telah


dilakukan oleh para ahli sejak lama. Diantara ahli yang melakukan kajian
tentang hubungan sains dan agama, yang dianggap paling populer adalah Ian
G. Barbour.22 Barbour dalam kajiannya, When Science Meets Relegion:
Enemies, Strangers, or Partuers?, memetakan hubungan antara Sains dan

Lihat Zainal Abidin Bagir. “Bagaimana ‘Mengintegrasikan’ Ilmu dan Agama” dalam Zainal Abidin
22

Bagir,

158
Agama ke dalam empat tipologi, yaitu conflict (konflik), independence
(independensi), dialogue (dialog), dan integration (integrasi).
Menurut Barbour, hubungan antara sains dan agama disebut konflik adalah
ketika sains dan agama bertentangan (conflicting) dan dalam kasus tertentu
bahkan bermusuhan [hostile]. Hubungan sains dan agama disebut
independensi, ketika sains dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang
garap, cara, dan tujuan masing-masing, tanpa saling mengganggu atau
memperdulikan.Hubungan antara sains dan agama disebut dialog ketika
hubungan antara sains dan agama bersifat saling terbuka dan saling
menghormati. Sedangkan hubungan sains dan agama disebut integrasi, ketika
hubungan antara sains dan agama bertumpu pada keyakinan bahwa pada
dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan keduanya
adalah sama dan satu.
Pemikir lain, John F. Haught9, memetakan hubungan antara sains dan
agama ke dalam empat bentuk hubungan yaitu: konflik, kontras, kontak, dan
konfirmasi. Pemetaan hubungan antara sains dan agama yang dibuat Haught
ini sepintas mirip dengan Ian G. Barbour, namun sesungguhnya berbeda.
Kalau peta Barbour tentang hubungan antara sains dan agama bersifat
tipologis, peta hubungan yang dibuat Haught lebih bersifat sebagai approach
(pendekatan). Menurut Haught, Pendekatan Konflik merupakan suatu
pandangan yang menyatakan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak
dapat dirujukkan atau dipadukan. Pendekatan Kontras adalah suatu pandangan
yang menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh antara
sains dan agama, karena keduanya memberi tanggapan terhadap masalah yang
sangat berbeda. Pendekatan Kontras adalah suatu pandangan yang
menyatakan perlunya upaya dialog dan interaksi antara sains dan agama,
terutama upaya untuk menemukan cara-cara bagaimana sains ikut
mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Sedangkan pendekatan
Konfirmasi merupakan suatu pandangan yang menyarankan agama dan sains
agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam
pengembangan sains yang lebih bermakna, dan sebaliknya, temuan-temuan
sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis.
Yang menarik, dari dua kajian yang dilakukan oleh Barbour dan Haught
terlihat, bahwa perkembangan hubungan antara sains dan agama menuju pada

159
pola hubungan yang bersifat integratif, dalam istilah yang digunakan Barbour,
atau bersifat konfirmatif, dalam istilah yang digunakan Haught. Perkembangan
demikian nampaknya sejalan dengan semangat postmodernisme. Sejalan
dengan watak epistemologis postmodernisme yang ingin merangkul berbagai
macam narasi, dalam perspektif postmodern agama dicoba diangkat, baik
sebagai kecenderungan sejarah kontemporer, maupun sebagai bagian dari
legitimasi epistemologis dalam mencari kebenaran, setelah sekian lama agama
menjadi kebenaran yang terlupakan dalam paradigma pemikiran modern.23
Itulah sebabnya, banyak ahli, seperti Soejatmoko, 24 Andre Malraux,25 serta
John Naisbitt dan Patricia Aburdune meramalkan bahwa abad XXI, yang
merupakan awal millenium ketiga dari sejarah peradaban manusia, adalah
kebangkitan abad agama.
Perkembangan pemikiran tentang hubungan antara sains dan agama
yang mengarah pada hubungan yang harmonis dalam bentuk integrasi di awal
millenium ketiga ini memang semakin marak, termasuk di Indonesia yang
ditandai dengan konversi beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Dengan konversi menjadi UIN ini
ada perubahan pemikiran yang mendasar dalam hubungan sains dan agama,
yakni integrasi. (hlm76-81)
Quo Vadis Paradigma Keilmuan UIN Walisongo

Sekarang ini di tengah arus dunia yang semakin krisis ternyata


perguruan tinggi memiliki peran dan ikut terlibat dalam menciptakan krisis itu.
Ilmu Barat sejak masa renainsans yang menjadi bintang ternyata menghasilkan
manusia yang tidak bersahabat dengan alam. Alam mengalami krisis dan
kemudian manusia mulai terancam Maka para ilmuwan Muslim mengambil
kesimpulan bahwa cara hidup, cara berpengetahuan dan berilmu mestinya
berbasis kembali pada Islam bukan lagi sekuler. Ilmu pengetahuan harus bisa
menopang kebutuhan hidup manusia dan tidak boleh membahayakan
kehidupan manusia. Ini merupakan kesempatan bagi sains Islam untuk
23
Lihat Syamsul Arifin, et.al.. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress,
1996), 34.
24
Lihat dalam Amin Abdullah. Studi Agama:Normativitas atau Historis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1996),47.
25
Lihat dalam Herdi SRS dan Ulil Abshor-Abdalla.“Meruntuhkan Hegemoni Tafsir, Menghidupkan
Kembali Teks” dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. V, Tahun 1994, 84-7.

160
menunjukkan jati dirinya bahwa sains Islam itu tidak seperti sains Barat. Sains
Barat menghasilkan kerusakan alam. Sains Islam bersahabat dengan alam.
Para ahli mengatakan bahwa kerusakan bumi 200 tahun terakhir lebih dahsyat
daripada tahun sebelumnya, sebelum abad ke-18. Inilah momentum yang tepat
bagi sains Islam untuk mengambil peran. Untuk memberi peran sains Islam di
PT kita, tidak mungkin kalau IAIN tidak berubah menjadi UIN. IAIN tidak
diberi kewenangan untuk mengembangkan sains. Maka UIN itu harga mati
kalau ingin mengembangkan sains Islam. Untuk itu, IAIN Walisongo sudah
berkomitmen menjadi UIN. Sains yang akan dikembangkan dan diajarkan di
kampus ini harus bisa menopang kehidupan manusia.
Dengan kata lain, sains yang dikembangkan disini dilandasi paradigma bahwa
semua ilmu pengetahuan itu harus mengantarkan manusia dekat dengan
Tuhannya. Paradigma ini tidak terlihat di Barat. Di sana seorang ilmuwan
yang semakin pintar justru semakin jauh dari Tuhannya. Maka kita di sini
akan mengembangkan paradigma keilmuan teoantroposentris.Teo-
antroposentris ini pernah digagas oleh Hassan Hanafi pada saat Hassan Hanafi
gelisah menghadapi ilmu-ilmu keislaman yang tidak merespons permasalahan
sosial seperti yang terjadi di Palestina. Tanah di sana menjadi perebutan,
namun ilmu pengetahuan keislaman diam. Kemudian kemiskinan di negara-
negara Islam bermunculan. Dalam masalah kemiskinan, ilmu-ilmu keislaman
juga kurang mengambil peran untuk mengatasinya. Dari sini muncullah
gagasan teoantroposentris, yaitu ilmu Tuhan yang sudah dirangkul oleh
pikiran manusia untuk mengatasi permasalahan manusia. Bila dulu Islam
mengawang-awang, oleh Hassan Hanafi, digagas kembali untuk turun ke
bumi. Permasalahannya adalah kalau teo-antroposentris yang diinginkan
Hassan Hanafi demikian, padahal UIN Walisongo akan menggagas proyek
Islamisasi ilmu pengetahuan, apa teo-antroposentris nama yang tepat bagi
pendekatan kita? Teo-antroposentris,dalam sejarahnya, sudah menjadi
treadmark Hassan Hanafi untuk menarik ilmu keislaman yang selalu bicara
dunia langit agar realistis membicarakan dunia bumi. Bila teoantroposentris
digunakan untuk istilah penyuntikan sains Barat dengan nilai-nilai, ini kurang
tepat. Mungkin Hassan Hanafi belum membayangkan apa yang kita pikirkan
sekarang ini.

161
Oleh karena itu, ketika kita kembali kepada kekhasan IAIN Walisongo
yaitu untuk ilmu-ilmu keislaman berlaku humanisasi dan untuk sains modern
berlaku spiritualisasi guna menginstal ruh ilahiyah ke dalamnya, maka perlu
nama yang khas pula. Teo-antroposentris yang dimaksudkan Hassan Hanafi
itu hanya humanisasi ilmu-ilmu keislaman itu. Berangkat dari hal itu, saya kira
spritualisasi dan humanisasi merupakan proses. Sedangkan nama paradigma
kita sesungguhnya belum ditemukan. Kita membutuhkan nama paradigma
yang mudah dipaham dan mudah diingat. Apabila menggunakan paradigma
teoantroposentris kendalanya seperti di atas. Bila nama teoantroposentris
digunakan untuk menyuntik ruh ilahiyah pada sains Barat, secara istilah, ini
bukan yang dikehendaki oleh Hassan hanafi sebagai penggagas istilah ini.
Sedangkan di IAIN Walisongo ini kita mengharapkan ilmu-ilmu keislamannya
bisa bermanfaat untuk manusia. Inilah humanisasi. Sebaliknya sains modern
yang sudah terlanjur berkembang yang telah terkontaminasi keserakahan dan
bahkan merusak alam, haruslah dihindari. (hlm 198-191)

Menuju Universitas Islam Ideal

Setiap kali berbicara konsep universitas Islam, Konferensi Dunia


Pertama Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah itu
selalu menjadi rujukan. Pada konferensi itu, bertemu semua pakar kelas dunia
untuk memikirkan konsep pembangunan dunia Islam agar bangkit dari
keterpurukan. Sebagai keynote speaker waktu itu, adalah Syed M. Naquib al-
Attas. Ia menyampaikan makalah “Preliminary Thoughts on the Nature of
Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Ia mengusulkan bila
ingin membangun dunia muslim perlu dimulai dengan memperbaiki konsep
pendidikan di dunia muslim.Universitas yang menjalankan konsep pendidikan
Islam harus dibangun agar umat semakin tercerahkan. Menurut Syed M.
Naquib al-Attas universitas Islam haruslah berorientasi untuk mencetak
alumni yang tidak hanya memiliki otoritas di bidang tertentu tapi juga
memiliki perspektif yang komprehensif tentang sebuah permasalahan ilmiah.
Perspektif yang komprehensif itulah yang dimaksud oleh al-Attas sebagai
insan kamil yang salah satu cirinya mampu merasakan kehadiran Sang Maha
Pencipta pada semua yang dipelajarinya. Insan kamil merupakan seorang yang
sanggup menampakkan sifat Tuhan dalam perilakunya dan menghayati

162
kesatuan esensial dengan wujud ilahiyah tanpa kehilangan jati dirinya sebagai
hamba.26

Sembilan Syarat

Guna mewujudkan universitas ideal, Bilgrami mengusulkan 9 syarat


bagi sebuah universitas untuk menjadi universitas Islam. Ringkasan dari 9
syarat tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Berpijak pada konsep pendidikan yang bertauhid dan komprehensif.

Universitas Islam haruslah selalu sadar akan tujuan dasarnya yakni


mencetak alumni yang berkepribadian seimbang. Universitas Islam bukan
sekedar tempat untu memintarkan anak, namun merupakan tempat untuk
memanusiakan anak manusia. Dengan kata lain, universitas Islam adalah
tempat untuk mencetak manusia paripurna yang bertauhid, pintar, dan
berhati mulia

2. Berpijak pada riset untuk membangun ilmu pengetahuan yang Islami

Bilgrami mengibaratkan langkah ini seperti yang dilakukan Universitas


Princeton di Amerika yang melakukan riset serius tentang road map untuk
mencapai tujuan
pendidikan liberal. Universitas Islam harus melakukan hal serupa.

3. Memiliki staf yang saleh, ihlas, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Staf haruslah memiliki jiwa guru yang menjadi pencerah nurani


mahasiswa. Pengasuhan pada murid haruslah dilakukan sepenuh hati

26
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy,
dkk., (Bandung: Mizan, 2003),

163
bukan didasari sekedar hubungan transaksional namun lebih pada
panggilan moral seorang guru pada muridnya. Ini tentu tidak mudah untuk
dijalankan. Namun para guru pada masa lalu mampu menjalankannya.
Mereka mampu menanamkan keluhuran pada setiap anak didiknya.

4. Memiliki sistem seleksi mahasiswa yang berkualitas.

Sistem seleksi harus diciptakan dengan mengacu pada upaya memilih


calon mahasiswa yang terbaik, tanpa kompromi dan tanpa basa-basi.
Keberhasilan universitas amat bergantung pada seberapa kualitas
mahasiswa yang dimilikinya. Universitas yang hebat, namun memilih
mahasiswa yang di bawah standar, universitas itu akan kesulitan mengajak
mahasiswa tersebut berlari.

5. Menciptakan organisasi yang efektif

Universitas harus memilih orang-orang yang memahami proses Islamisasi


pendidikan dan cakap menjalankan organisasi. Dia perlu diberi kebebasan
sepenuhnya untuk membentuk infrastruktur universitas guna memastikan
tercapainya tujuan yang diinginkan, yakni kemajuan universitas yang
dipimpinnya.

6. Menjalankan program Islamisasi ilmu pengetahuan namun tetap menerima


keterbukaan dan kebebasan.

Universitas harus menjalankan program Islamisasi semua cabang ilmu


pengetahuan melalui riset pengembangan ilmu, penyusunan ulang buku-
buku ajar, mengislamisasi metode pengajaran, namun pada saat yang sama
tetap bersikap terbuka dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Proyek
islamisasi tidak boleh memasung sebuah universitas. Keseimbangan antara
islamisasi, keterbukaan, dan kebebasan harus dijaga.

7. Menciptakan Kurikulum Inti

164
Universitas Islam harus menjadikan al-Quran dan sunnah sebagai
kurikulum inti. Keduanya merupakan sumber untuk memahami hakikat
manusia, membentuk kepribadian manusia, merumuskan prinsip dasar
ilmu pengetahuan, dan menjadi sumber rujukan semua kurikulum inti.
Kurikulum merupakan semua usaha yang dilakukan oleh pihak universitas
guna mencapai hasil yang diinginkan baik dalam
kelas ataupun di luar situasi kelas. Kurikulum inti adalah upaya yang
paling esensial. Kurikulum inti tidak boleh diserahkan begitu saja kepada
panitia kecil beberapa orang. Ia harus dimusyawarahkan oleh panitia besar
dan banyak orang sebelum sebuah universitas Islam didirikan. Panitia itu
haruslah terdiri dari orang atau bahkan ulama yang menguasai ilmu-ilmu
keislaman terutama al-Qur’an dan
Sunnah serta orang-orang yang ahli dalam ilmu-ilmu modern.

8. Membentuk Lembaga Penunjang

Dalam sebuah institusi, lembaga merupakan sarana mewujudkan tujuan


institusi. Universitas Islam harus membentuk lembaga-lembaga yang
bertugas mengurus
aspek-aspek tertentu yang menjadi cita-cita lembaga. Lembaga itu juga
bisa menjadi eksperimen untuk menemukan sebuah komposisi
kelembagaan atau
mengemban tugas tertentu.

9. Mengembangkan Metodologi Pengajaran yang Islami

Maksud metologi pengajaran yang Islami adalah metodologi pengajaran


yang mampu menanamkan kepribadian Islami dan menanamkan
pengetahuan yang berkesatuan dengan nilai-nilai keislaman. Dengan kata
lain, metodologi pengajaran yang Islami adalah metodologi pengajaran
yang mendidik mahasiswa dengan ilmu pengetahuan integratif (bukan
ilmu pengetahuan sekuler). Ilmu pengetahuan integratif adalah ilmu

165
pengetahuan yang memiliki pintu-pintu kehadiran Allah dalam setiap
paradigma, teori, asumsi, dan postulatnya.27

Catatan Kecil Sebagai Penutup

Sebagai Sebuah Landasan dalam membangun pola pikir bagi


mahasiswa maupun civitas akademiknya, Paradigma Kesatuan Ilmu mau
tidak mau harus di implemntasikan dalam setiap aktivitas pembelajaran
kampus dan teori penerapannya pun juga harus mengikuti. Buku Karya Dr.
Muhyar Fanani, M.Ag ini adalah salah satu ikhtiar membangun paradigma
dalam pembelajaran kampus yang nantinya diharapkan para mahasiswa
UIN Walisongo mampu dalam mengintegrasikan setiap karya ilmiah
maupun kontribusi yang lain sesuai dengan karakterisitik konsep Kesatuan
Ilmu Pengetahuan dengan corak Humanisme llmu keislaman.

Hal Ini penting untuk memisahkan dikotomi ilmu pengetahuan dan


agama yang telah terjadi lama sekali sejak zaman Renessaince Eropa, dan
berakibat buruk bagi menurunnya tingkat spiritualitas manusia yang
mempelajari ilmu pengetahuan karena adanya sekat diantara keduanya.

Integrasi Ilmu pengetahuan dan agama dalam kesatuan ilmu yang


menjadi Paradigma di UIN Walisongo Semarang semoga mampu
menghasilkan lulusan yang Solih Sosial dan Solih Spiritual tentunya yang
dibangun atas dasar Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan sebagai solusi
atas problem dan dinamika modernitas zaman.

Wallahu a’lam bi ass-shawab.

TAUHID DAN SAINS


Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam

Book Review 21

Di Susun Oleh:
27
Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, KonsepUniversitas Islam, terj. Machnun Husein
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)

166
Fitriyani Hayatul Alfat (1800018028)

I. IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Tauhid dan Sains; Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam

Judul Asli : Tawhid And Science; Essays On The History and Philosopy of
Islamic Science.

Nama Penulis : Osman Bakar

Penerjemah : Yuliani Liputo

Penerbit : Bandung : Pustaka Hidayah, 1994

Edisi : Cet.2

Fisik : 279 hlm

A. Tentang Penulis
Pengarang buku ini adalah Osman Bakar lahir di sebuah desa kecil dekat kota
Temerloh, di pantai timur negara Pahang, Semenanjung Malaysia pada 1946. Ia
lahir dari pasangan Haji Bakar bin Yusof dan Hajah Besah bint Taib. Ia
melanjutkan pendidikan tingkat SMA di sekolah asrama bergengsi, Melayu
College Kuala Kangsar, yang sejak masa pemerintahan Inggris dijuluki sebagai
“Eaton dari Timur”. Setelah menyelesaikan SMA, ia bekerja sebagai guru
sementara di Kuantan. Osman memang sangat menyukui khusus dalam sains dan
matematika, Pada bulan September 1967, ia meninggalkan Malaysia karena
mendapatkan beasiswa untuk belajar matematika di Woolwich Polytechnic,
London University.
Ia lulus dengan gelar Bachelor pada bulan Juni 1970. Ia kemudian kembali ke
Malaysia untuk menjadi guru di Departemen Matematika, National University of
Malaysia, Kuala Lumpur. Beberapa bulan kemudian, Osman kembali ke London
pada bulan September untuk melanjutkan studi pascasarjana mengenai Aljabar di
Bedford College, Universitas London. Tahun berikutnya, ia memperoleh gelar
Master of Science.

167
Pada tahun 1970, Osman memulai studi doktornya di perguruan tinggi yang
sama. Dia mengkhususkan diri pada teori grup aljabar. Namun, ia menjadi sangat
tertarik pada agama dan filsafat. Dia mulai membaca lebih banyak buku tentang
pemikiran Islam, filsafat Barat dan Islam. Dia sangat mengagumi dengan tulisan-
tulisan dua pemikir besar Muslim, sarjana Iran kontemporer Seyyed Hossein
Nasr, dan cendekiawan abad pertengahan al-Ghazali. Karya Al-Ghazali yang
berjudul al-Munqidz min al-Dhalal memiliki kontribusi besar terhadap perspektif
Islam tentang agama dan ilmu pengetahuan. Tiga karya Nasr, Introduction to
Islamic Cosmological Doctrines, The Encounter of Man and Nature, dan Science
and Civilization in Islam, menurut Osman, memiliki dampak terbesar pada
pemikiran filosofis. Sebagai hasil dari pencariannya terhadap kecenderungan
intelektual baru dan beberapa keadaan yang menekan, Osman mengakhiri studi
doktor dalam matematika, lalu pulang ke National University of Malaysia pada
bulan Oktober 1973 dan menjadi dosen di Departemen Matematika.
B. Tentang Buku
Buku Tauhid dan Sains karya Osman Bakar dalam bukunya Tauhid &
Sains  Buku ini berisi Esai-esai yang berkenaan dengan Sejarah dan filsafat
sains Islam. Buku ini berisi gambaran tentang sains Islam yang mencakup
matematika dan ilmu pengetahuan  alam, termasuk psikologi dan sains-sains
kognitif yang tumbuh dalam kebudayaan dan peradaban Islam selama lebih
dari satu millennium, yang dimulai sejak abad ketiga Islam .
Dalam buku ini dijelaskan kontribusi yang tidak sedikit kaum muslim
terhadap sains yang sekarang berkembang dan juga terdapat kontribusi orang-
orang non muslim. Dikatakan sains Islam karena sains tersebut secara
konseptual, terkait secara orisinil dengan ajaran Islam yang fundamental, yang
paling penting diantaranya adalah ajaran Tauhid. Judul buku ini adalah Tauhid
dan Sains, karena buku ini berupaya mengungkapkan dimensi hubungan
organic yang ada antara tauhid dan sains
sebagaimana yang terlihat melalui pendangan ilmiah seorang muslim.
Buku ini mencakup empat tema utama, yaitu fondasi epistemologis
sains Islam, Manusia, alam, dan Tuhan dalam sains Islam, sains Islam dan
Barat, Islam dan sains modern.
II. REVIEW BUKU
1. Religious dan Semangat Ilmiyah dalam Tradisi Islam

168
Kesadaran religius dan semangat tradisi ilmiah dimana bab ini
menjelaskan tentang sumber semangat ilmiah kaum muslimin yaitu
berlandaskan pada kesadaran akan Esa-Nya Allah. Semangat ilmiah tidak
bertentangan dengan kesadaran religious. Kesadaran ilmiah kaum
muslimin dan para sarjana muslim mengalir dari kesadaran mereka akan
tauhid.
Dalam Islam Logika pemikiran tidak pernah dianggap berlawanan
dengan keyakinan agama. Luasnya penggunaan logika dalam Islam tidak
membawa pada semacam rasionalisme dan logisisime seperti yang kita
temukan di Barat modern, karena penggunaan rasio tidak pernah
dilepaskan dari keimanan pada wahyu Ilahi. Pemikiran logis, analisis
matematis, observasi, eksperimentasi, dan bahkan interpretasi rasional
terhadap kitab suci semuanya memiliki peran yang sah dalam upaya 
ilmiah para ilmuan muslim awal. Selama orang muslim berpegang teguh
dengan semangat tauhid yang sejati, menerapkan keimanan tersebut pada
gagasan tentang hirarki dan kesatuan pengetahuan.
Oleh karena itu, tradisi intelektual islam tidak menerima gagasan
bahwa bahwa hanya ilmu alam yang ilmiah atau lebih ilmiah dari ilmu-
ilmu yang lainnya. Demikian pula, gagasan objektivitas yang begitu
esensial dalam kegiatan ilmiah tidak dapat dipisahkan dari kesadaran
religious dan spiritual.
2. Metodolagi dalam Sains Islam
Dalam masalah metodologi sains Islam terdapat perbedaan-perbedaan
yang fundamental antara konsepsi metodologi sains dalam Islam atau
dalam peradaban tradsional lainnya. Penerapan metode ilmiah,barat
modern memberikan pengaruh besar terhadap peradaban Barat diwilayah
pemikiran ilmiah.Metode ilmiah dipraktikan secara luas dalam sains islam
kini merupakan fakta yang telah diakui di halaman-halaman sejarah sains.
Tetapi kita juga tahu metode tersebut adalah metode satu-satunya yang
digunakan para ilmuan muslim dalam menciptakan elemen sains islam itu,
yang sangat sesuai dengan makna term "sains" saat ini.
Metodolagi dalam islam didasarkan pada sebuah epistimologi yang
secara fundamental berbeda dari epistimologi yang dominan dalam sains

169
modern, yang sejauh ini tetap tidak terpengaruh oleh perkembangan
intelektual yang baru ini.
Dalam hal ini sains Islam dipandang sebagai sebuah tradisi ilmiah dan
intelektual yang independen, adalah tidak ada satu metode pun yang
digunakan dalam sains itu yang mengenyampingkan metode-metode
lainnya. Sebaliknya, sains Islam senantiasa berupaya untuk menerapkan
metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subyek yang
dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut.
Tujuan akhir sains Islam yakni kesatuan alam, yang mana tujuan itu
sendiri bersal dari dua sumber wahyu dan intuisi intelektual. Oleh karena
itu sains-sains yang berbedayang didasarkan pada metode-metode
pengetahuan yang berbeda ini juga terlihat benar-benar saling selaras satu
sama lain, dan bukan sebagai disiplin-disiplin berselisihan dan saling
besaing dan mengklaim kebenaran. Metodologi sains Islam berakar pada
kitab wahyu Islam dan pada tradsi Islam yang lahir dari wahyu tersebut.
sebenarnya, metodologi tersebut telah dirumuskan dan diterapkan dalam
sejarah dengan sangat berhasil.
3. Keraguan dalam Epistimologi Islam: Pengalaman Filosofis Al-
Ghazzali
Keraguan Al Ghozali dapat dipahami dengan sangat baik jika
dipandang dari konteks tujuan penulisan Al Munqidz karya autobiografis
Al Ghozali. Dalam Al Munqidz Al Ghozali menceritakan bagaimana pada
puncak kehidupannya beliau dilanda penyakit jiwa yang misterius, yang
berlangsung sekitar dua bulan dan selama masa itu dia skeptik terhadap
kenyataan, tetapi tidak terhadap ucapan dan doktrin. Pada usia 20 an
beliau adalah seorang murid pada perguruan Nidzamiyyah di Naishapur
ketika penyakit skeptisisme tersebut.
Pencarian kepastian Al Ghozali sebagaimana yang didefinisikannya
tidak berbeda dari kaum sufi. Ada daya internal dan eksternal yang
bekerja mendorong pencarian itu ketitik yang melahirkan periode
keraguan yang amat kental dimasa muda Al Ghozali. Al Ghozali
menapaki keraguan ketika ia heran melihat keberagaman agama dan
keimanan, dan kenyataan bahwa penganut setiap agama mengikut secara
buta kepercayaan yang mereka warisi.

170
Karakteristik khas cara mengetahui kaum sufi, kata Al-Ghazzali
adalah bahwa cara tersebut menghendaki dihilangkannya penyakit-
penyakit hati seperti kesombongan, keterikatan pada dunia dan
sekumpulan kebiasaan-kebiasaan tercela dan sifat-sifat jelek lainya, semua
yang menjadi penghalang realisasi pengetahuan tersebut, untuk dapat
memperoleh sebuah hati yang kosong dari segala sesuatu kecuali Allah
dan dihiasi dengan pengingatan Tuhan secara terus menerus. Ini
menggiring Al-Ghazzali untuk merefleksi keadaan dirinya sendiri. Ia
menyadari keadaan jiwanya yang menyedihkan dan menjadi yakin bahwa
ia berada "dipinggir jurang dan nyaris terjatuh ke dalam api" jika ia tidak
segera memperbaiki keadaan dirinya.
Al Ghozali membuatnya sadar betul akan kenyataan bahwa yang
menghalangi manusia dari realitas tertinggi ini adalah kegelapan jiwanya
sendiri Kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual ada perbedaan
yang mendasar antara sains pra modern dengan sains modern  adalah
mengenai posisi sains dalam hubungannya dengan jenis pengetahuan yang
lain. Dalam peradaban-peradaban pra modern,sains tidak pernah
dipisahkan dari pengetahuan spiritual. Sebaliknya, kita temukan sebuah
kesatuan yang organik antara sains dan pengetahuan spiritual.

4. Hubungan antara Sains dan Pengetahuan Spiritual Pengalaman


Islam
Dalam Islam, sumber terpenting bagi pengetahuan semacam ini adalah
Al Quran dan Hadis Nabi, untuk memahami konsepsi dan pengalaman
Islam mengenai kesatuan sains dan pengetahuan spiritual  penting untuk
merujuk pada beberapa konsep dan gagasan kunci yang terkandung
dalam pengetahuan ini.
Ada sebuah kebutuhan untuk menghidupkan kembali kosmologi
tradisional di dunia moderen. Kosmologi ini memiliki pengaruh penting
dalam setiap usulan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran
akan kesatuan sains dan pengetahuan spiritual.
Sains modern harus melihat fakta historis bahwa telah ada masyarakat
dan peradaban yang mengembangkan berbagai cara untuk mempelajari
dan mengetahui alam semesta. Beragam cara untuk mengetahui ini

171
jangan ditafsirkan sebagai sejenis “anarki epistimologi” seperti yang
dibayangkan oleh beberapa filosof sains kontemporer. Masyarakat dan
peradapan itu telah melihat kesatuan dalam keberagaman ini, berkat
doktrin tradisional tentang hirarki dan kesatuan dalam cara-cara
mengetahui.
5. Konsep Atomistik tentang Alam dalam Teologi Asy’ariyyah
Gagasan atomisme memiliki sejarah yang baik dalam pemikiran Timur
maupun Barat. Ilmu kalam berakar pada perdebatan teologis dan politis awal
dikalangan umat islam mengenai masalah-masalah seperti kebebasan
berkehendak dan predestinasi, persoalan apakah Al-Qur’an itu makhluk atau
bukan, hubungan iman dengan tindakan, definisi orang beriman, dan banyak
lagi.
Dalam satu hal, Asy’ariyyah memiliki semangat spekulasi intelektual
yang independen. Tidak seperti para filosof, mereka tidak terikat, pada
mazhab filsafat Yunani tertentu. Semangat ini merupakan hasil dari beberapa
kritisme tajam terhadap fisika Aristotelian. Akibatnya, Asy’ariyyah mampu
untuk mengembangkan banyak gagasan orisinal berkenaan dengan ilmu-ilmu
alam, khusunya dalam teori atomisme.
Atomisme Asy’ariyyah juga memiliki signifikan besar bagi para
sejarahwan dan filosof sains kontemporer. Hal ini karena banyak
kesamaanya dengan teori atom fisika modern. Satu konsekuensi penting dari
hal ini adalah bahwa kita didorong untuk menguji kembali beberapa asumsi
yang mendasari pandangan yang diterima saat ini mengenai pondasi dari
epistimologi dari metode ilmiah dan teori-teori ilmiah.
Karena atomisme Asy’ariyyah menyarankan pada kita adanya
kemungkinan cara lain untuk memandang dan memahami alam, yang berbeda
dari metode yang digunakan dalam sains modern, tetapi berhasil dalam
merumuskan sebuah teori atom yang terpadu yang mempunyai beberapa aspek
yang sama dengan fisika kuantum kontemporer.
6. Pengantar kepada Filsafat Kedokteran Islam
Kedokteran Islam adalah system kedokteran yang dikonseptualisasi
dan dikembangkan oleh orang Islam dari berbagai ras, etnis dan iklim selama
lebih dari satu millennium sejak kelahiran komunitas Islam yang pertama
sampai sekarang. Kedokteran Islam didasarkan terutama pada prinsip-prinsip

172
yang diturunkan dari ajaran-ajaran dasar agama Islam. Merupakan buah
kesadaran yang diupayakan oleh sebagian pemikir muslim terbaik untuk
menemukan solusi terhadap persoalan medis dan perawatan kesehatan
komunitas muslim yang selaras dengan pandangan dunia Islam yang di
dalamnya Tuhan, manusia, alam dan masyarakat saling terkait erat dan saling
berhubungan secara harmonis.
Menghidupkan kedokteran islam di dunia kontemporer tidak berarti
penolakan total kedokteran modern. Kedokteran islam, sebagaimana juga
aspek-aspek lain dari sistem kehidupan islam, semangatnya tak pernah bersifat
penolakan secara habis-habisan. Semangatnya adalah semangat sintetis. Jelas
bahwa banyak unsur esensial tradisional yang baru saja kami kemukakan
merupakan filsafat yang paling sesuai dengan kepercayaan dan nilai-nilai
islam.
Kedokteran Islam betul-betul merupakan salah satu manifestasi
cultural nilai nilai spiritual, moral dan etika Islam yang paling penting. Islam
dan Bio Etika Islam memandang isu tentang tubuh manusia dari sudut
pandang ajaran Islam. Menurut Islam manusia adalah makhluk tuhan yang
paling mulia, manusia adalah makhluk Tuhan yang Dengan berbagai sisi dan
tingkatan. Ia adalah tubuh, jiwa, ruh.
7. Pengaruh Sains Islam terhadap Konsepsi Kristen Abad Pertengahan
tentang Alam
Reaksi teologis terhadap rasionalisme dan filosofisme Avorroisme,
khususnya pandangan-pandangan filosofis yang secara langsung bertentangan
dengan kitab suci, iman, dan kebijakan kristiani, lebih keras dan tajam. Nama
ibn Rusyid segera menjadi sinonim dengan pemikiran anti agama. Yang lebih
menarik disini adalah reaksi itu memperlihatkan kecenderungan meningkat
untuk menggunakan instrumen yang sama dengan yang digunakan oleh
Averrois terhadap para teolog itu sendiri, yakni rasio. Alam dan masyarakat
saling terkait erat dan saling berhubungan secara harmonis.
8. Islam dan Bioetika
Tidak semua pandangan muslim tentang tubuh manusia telah
disebutkan disini. Pandangan-pandangan yang telah disebutkan hanya
disinggung dengan ringkas saja. Namun, kini berharap akan memberikan
kontribusi bagi apresiasi yang lebih baik terhadap pandangan islam tentang

173
manusia secara umum dan tentang tubuh manusia secara khusus. Hal ini pada
giliranya akan membawa pada apresiasi yang lebih baik terhadap fitrah dan
karakteristik tanggapan islam terhadap bioetika kontemporer karena tanggapan
tersebut telah ditentukan oleh pandangan islam tentang manusia dan tubuh
manusia.
moral dan etika Islam yang paling penting.Islam dan Bio Etika Islam
memandang isu tentang tubuh manusia dari sudut pandang ajaran Islam.
Menurut Islam manusia adalah makhluk tuhan yang paling mulia, manusia
adalah makhluk
Tuhan yang Dengan berbagai sisi dan tingkatan. Ia adalah tubuh, jiwa,
ruh. Tetapi  Islam selaras dengan ajaran tauhid yang fundamental.Memandang
Manusia sebagai satu kesatuan yang utuh dimana semua bagiannya saling
tergantung satu sama lain. Islam memiliki pandangan yang sama dengan
Yahudi dan Kristen bahwa manusia diciptakan sebagai bayangan dari Tuhan.
9. Tanggapan Intelektual Muslim terhadap Sains Modern
Kaum muslimin yang pertama tidak memeiliki sains, tetapi, berkat
agama islam, tumbuhlah semangat filosofis di antara mereka dan karena
semangat fiosofis ini mereka mulai membahas masalah-masalah dunia dan
kebutuhan manusia. Karena inilah dalam waktu singkat mereka memperoleh
semua sains dengan subyek-subyek tertentu yang mereka terjemahkan dari
orang Syaria, Persia, dan Yunani kedalam bahasa arab pada masa mashur
Davaniqi.
Terkait islamisasi sains ini, sekelompok muslim kontemporer
mempertanyakan legitimasi istilah “ Sains Islam”  dengan berargumen bahwa
kaum muslim masa lalu tidak pernah menggunakan istilah “sains islam” ketika
mengacu pada sains dalam peradaban islam. Untuk menjawab persoalan ini
Osman mengatakan bahwa, muslim masa lalu tidak menggunakan istilah ini
disebabkan kebutuhan akan hal ini belum muncul, sehingga penggunakan
istilah “sains islam” akan muncul manakala harus melakukan pembedaan yang
tegas antara segala sesuatu yang bersifat “islami” dengan yang “non islam”.
Kaum muslimin dapat mencapai kemajuan ilmiyah dan teknologi dan pada
saat yang sama mempertahan dan bahkan membentengi pandangan intelektual
islam tetapi juga bagi perkembangan masa depan sains modern itu sendiri.
III. KOMENTAR

174
Melalui esai-esai dalam buku ini Osman bakar mencoba untuk
menyampaikan pesan penting bahwa sains Islam adalah pendahulu sains
modern, memiliki aspek yang sama dengan yang terakhir, seperti dalam hal
sifat rasional dan logis bahasanya, penggunaan metode ilmiah dan
eksperimental.
Buku ini merupakan buku yang membahas korelasi sains dan tauhid dimana
didalamnya mengambil gabungan pendekatan historis dn filosofis. Dalam
buku ini juga dijelaskan ada perbedaan penting antara sains Islam dan sains
modern. Sains Islam bersifat ilmiah sekaligus religious dalam pengertian
bahwa secara sadar didasarkan pada prisnsip-prinsip metafisik, kosmologi,
epistemologis, etis dan prinsip moral Islam dari sudut pandang konsepsi
sprirtual dan moral tentang alam. Sains Islam mengambil tujuan dan prisnsip-
prisnsip metodologis yang berbeda dalam beberapa aspek dari pada sains
modern.
saya setuju akan pentingnya pengetahuan tentang Tauhid untuk melandasi
segala sesuatu aktifits kegiatan kita, dimana kaum muslimin dalam pencarian
pengetahuan ilmu pengetahuan mereka tidak terlepas dari semangat pengetahuan
tauhid mereka, sehingga sekalipun mereka menguasai ilmu pengetahuan tidak
menjadikan mereka sebagai hamba-hamba yang angkuh dan menyombongkan
diri mereka, sebaliknya keimanan mereka semakin bertambah.
a. Kelebihan Buku
Buku ini sangat berpengaruh bagi kita karena kesadaran religius
terhadap tauhid merupakan semangat ilmiah dalam mendapat ilmu
pengetahuan serta membahas tauhid dan sains dengan lebih mendalam
sehingga kita dapat mengetahui bagaimana cara Islam memandang sains dari
sudut ketauhidan.
b.    Kekekurangan Buku
Kekurangan dalam buku ini bahasa yang sulit dipahami, banyak
terdapat tulisan yang salah serta penjabaran materi terlalu singkat.

175
ISLAMISASI PENGETAHUAN

Book Review 22
Ismail Raji’ al Faruqi. Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge:
General Principles and Workplan) Penerjemah Anas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka, 1404H-1984M)

Oleh: Maria Qibthiya

Buku karangan Ismail Raji al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, yang judul aslinya
adalah Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, merupakan
kajian tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, kepada cendekiawan-cendekiawan
Muslim di seluruh dunia. Tulisan ini menjadi penting sehubungan dengan keadaan
yang kita alami kini. Sebagaimana yang dikatakan Ismail Raji’ Islamisasi
Pengetahuan menjadi pembahasan yang sangat penting karena di masa modern ini
Ummah kini berada dalam ancaman malaise yang gawat dan berada dalam krisis
pengetahuan terutama pengetahuan tentang agama Islam. Dunia Ummah Islam pada
saat ini berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Mereka dibantai, dirampas
negeri dan kekayaannya, di ramapas kehidupan dan harapannya oleh bangsa Barat.
(hal.1)
Topik ini juga memiliki relevansi yang universal untuk pemahaman kita
mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Berbicara tentang islamisasi ilmu
pengetahuan adalah berbicara tentang Ilmu Pengetahuan Keislaman. 28 Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa Ilmu Pengetahuan Keislaman merupakan Ilmu
pengetahuan pokok bagi umat Islam. Apabila ilmu pengetahuan islam tidak di benahi
melalui pembenahan system pendidikan, maka pandangan ummat Islam menjadi
kabur karena akibat pengaruh penakluk-penakluk colonial, sehingga ummat menjadi
terpecah-pecah akibat kekuatan-kekuatan colonial telah berhasil memecah-mecah
ummah. Dan untuk membuat keadaan lebih buruk lagi, musuh telah memasukkan
orang-orang asing kedalam dunia Islam agar petentangan diantara mereka terus
terajdi. Efek-efek yang terjadi akibat malaise atau serangan-serangan barat adalah

Ilmu pengetahuan keislaman adalah model pengkajian keislamana yang dikembangkan oleh
28

cendekiawan Muslim dan Presiden Dewan dan Direktur Lembaga, dengan masukan-masukan lebih dari
50 cendekiawan Islam di dalam Seminar di Islamabad pada bulan Rabi’ul Awal 1402H atau bulan
Januari 1982M.

176
pada front politik, ekonomi dan religio-kultural. Oleh karena itu, kini sudah kita bagi
cendekiawan-sendekiawan Muslim meningalkan metode-metode asal tiru yang
berbahaya dalam reformasi pendidikan,. Bagi mereka reformasi pendidikan hendaklah
islamisasi pengetahuan itu sendiri. Setiap disiplin harus di tempa ulang sehingga
mengungkapkan relevansi Islam sepanjang ketiga sumbu tauhid, yaitu kesatuan
pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah. (hal. 2-xii)

Metodologi

Kandungan utama karya ini adalah uraian sejarah mengenai islamisasi pengetahuan.
Ismail Raji’ menjelaskan bahwa Pada milieu terakhr dari abad ke-14 Hijriyah ini, kita
telah neyaksikan kebagkitan kesadaran Islam diseluruh dunia, seta perjuangan-
perjuangan penting dari sebagian ummah untuk memperoleh kemerdekaan. Akan
tetapi di dalam abad ini juga kita menyaksikan kemunduran besar yang rata-rata
menimpa ummta, yakni kecerobohan mereka untuk begitu saja meniru kebuyaan-
kebuyaan asing. Peniruan ini tidakakan bisa membawa kita mencapai tujuan kita di
segala bidang. Malah ia telah menimbulkan de-islamisasi terhadap lapisan atas
masyarakat Muslim dan Demoralisasai terhadap lapisan lainnya. (xiii-ix) Kaum
Muslim modern terlibat dalam proses islamisasi pengetahuan. Tentu saja ada
beberapa factor dan masalah yang mempengaruhi proses islamisasi pengetahuan.
Salah satu factornya adalah kurang ditanamkannya pengetahuan keislaman di
sekolah-sekolah, universitas-universitas, adanya sikap sinis dan lesu, ketidak
percayaan terhadap pemimpin dan kekecewaan yang disebabkan oleh janji-janji palsu
yang berulang kali.
Dalam memilih sumber data yang digunakan dalam penelitiannya yaitu Ismail
mengutip dari dua buah makalah dan dikembangkan dengan pendapat sendiri dan juga
dari pendapat-pendapat dan masukan-masukan lebih dari 50 orang cendekiawan Islam
yang turut mengambil bagian di dalam seminar di Islamabad. Seminar ini disponsori
oleh Universitas Islam Islamabad dan Lembaga Pemikiran Islam Internasional, yang
diselenggarakan di Islamabad pada bulan Rabiul Awal 1402 Hijriyah atau bulan
Januari 1982 M. Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data itu adalah
analisis historis serta menggali dari karya-karya dengan tema-tema yang paling
penting.yakni yang menjadi persoalan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

177
Malaise dan efek-efek yang Utama dari Malaise

Pada saat ini ummah menjadi korban segala macam peganiayaan, kaum Muslimin di
fitnah dan dijelek-jelekkan dihadapan seluruh bangsa-bangsa. Mereka adalah sasaran
kebencian bagi orang-orang yang non-Muslim baik bagi orang yang telah maju
maupun berkembang, baik bagi orang kapitalis maupun Marxis, baik orang Barat
maupun Timur, yang beradab maupun biadab. Dan malaise ini menimbulkan efek-
efek bagi ummah. Efek-efek dari Malaise yaitu:
1. Di Front Politik
Tidak ada negara yang diberi kesempatan dan perdamaian, atau diberi
sarana-sarana untuk mengintegrasikan warga-warganya sehingga mereka
menjadi sebuah entitas tunggal, dan tidak pernah dua negara diizinkan bersatu
untuk menjadi sebuah kesatuan yang lebih besar.
2. Di Front Ekonomi
Mayoritas masyarakat ummah mengalami buta huruf. Produksi barang
dan jasa harus mengimpor dari negara-negara colonial, dan ummah hanya
menunggu belas kasih dari mereka. Oleh karena itu kekayaan ini disakukan
bangsa asing di negara-negara non-Muslim sehingga dapat memperkuat
musuh-musuh Islam.
3. Di Front Religio-Kultural
Abad-abad kemerosotan kaum Muslimin menyebabkan buta huruf,
kebodohan dan tahayul diantara mereka. Mereka mengusahakan reformasi
yang setengah-setengah, namun tanpa disadarinya ia mengambil westernisasi
karena tergoda dengan contoh keberhasilan yang diperoleh Barat dan negeri-
negeri dibawah pemerintahan colonial. Suatu sitem pendidikandi yang secular
dibangun dan disini diajarkan nilai-nilai dan metode-metode Barat. Dengan
demikian mengalirlah genetasi-generasi lulusan system pendidikan tersebut
yang tidak mengetahui khazanah Islam. (hal. 3-8)
Tidak diragukan lagi bahwa tempat inti malaise adalah system pendidikan.
System pendidikan adalah laboratorium dimana pemuda-pemuda Muslim kesadaran
mereka dicetak di dalam karikatur Barat dan disinilah hubugan Muslim dengan
sejarahnya dirusak dan keinginan untuk mempelajari warisan leluhurnya dihalangi.
Disinilah keinginannya untuk meloncat ke arah representasi yang kreatif atau

178
Vergegenwartigung29 Islam terhalangi. Kekuatan-kekuatan westernisasi dan
sekularisasi berakibat de-islamisasi para guru dan murid berlanjut terus dan sampai ke
universitas-universitas. Sebagaimana model pendidikanIslam, model pendidikan Barat
juga sangat bergantung kepada sebuah wawasan dan keinginan untuk merealisasikan
pandangan tersebut. Wawasan tidak bisa dijiplak, kecuali dengan incidental-
insidentalnya. (hal. 11-14)
Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh keunggulan didalam
disiplin-disiplin Barat tidak didapatkan oleh siswa-siswa Muslim, karena untuk
memperoleh keunggulan tersebut, maka harus mempunyai persepsi terhadap totalitas
pengetahuan dibidang tersebut dan harus mempunyai motivasi yang kuat. (hal. 17-
18)

Pemaduan dan Penanaman Wawasan Islam dalam System Pendidikan

Tugas terberat yang dihadapi ummah dalam abad ke-15 Hijriyah ini adalah
memecahkan masalah pendidikan. System pendidikan Islam yang terdiri dari
madrasah-madrasah hingga ke jenjang jami’ah-jami’ah ini harus di padukan dengan
system sekolah dan universitas umum sehingga dapat memperoleh dua macam
keuntungan dari system baru tersebut. Dan benar-benar merupakan tanda kehancuran
apabila tokoh-tokoh pendidikan harus didikte oleh penguasa-penguasa politik apa
yang harus diajarkan kepada murid dan bagaimana caranya menyelenggarakan
urusan-urusan akademik. (hal. 22) Dengan perpaduan kedua system pendidikan
diatas, pengetahuan Islam akan bisa dijelaskan dalam gaya secular, maksudnya
pengetahuan Islam akan menjadi pengetahuan yang berhubungan langsung dengan
kehidupan sehari-hari, sedangkan pengetahuan modern bisa kita bawa dan masukkan
ke dalam system Islam. Inilah sebabnya mengapa dengan tiadanya penyajian
pernyataan Islam sebagai balasan, sebuah penyajian yang dibuat dengan kekuatan
obyektivitas dan ilmiah yang sama, dengan daya tarik modernitas yang sama, siswa-
siswa Muslim dikalahkan oleh pernyataan sekuler dan ditarik ke dalam paham
sekuler. Demikianlah bermula proses de-islamisasi di dalam universitas-universitas
Muslim. (hal. 25-27)
Satu-satunya obat penangkal melawan proses de-islamisasi ini ditingkat
universitas adalah kewajiban mempelajari kebudayaan Islam selama 4tahun. Setiap
29
Memperbaharui dan menghidupkan kembali

179
mahasiswa harus mengambil pelajaran ini apapun pekajaran pokoknya, sekalipun
mahasiswa dari kalangan non-Muslim, ia tidak dapat terbebas dari persyaratan dasar
ini, karena ia telah memilih kewarganegaraan dari suatu negara Islam, maka ia harus
memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan yang dimiliki negara tersebut. (hal.
27) Studi kebudayaa adalah satu-satunya cara bagi seseorang untuk berkembang
sehubungan dengan identitasnya. Tidak dikatakan menyadari dirinya jika ia tidak
mengenal leluhurnya, dan dengan studi demikianlah ia akan mempelajari esensi
kebudayaan Islam, logika Islam, arah yang dituju. Dan hanya melalui studi
demikianlah ia akan dapat membedakan dianata dirinya dan ummahnya, bergairah
untuk mempertahankannya dan menarik orang lain untuk mengidentifikasi diri
mereka dengan ummahnya, karena mengetahui diri sendiri berarti mengetahui
perbedaan diri sendiri dengan orang lain, tidak hanya dalam materi tetapi pandangan
dunia, penilaian moral, didalam harapan spiritual. Semua ini adalah domain dari
Islam, kultur, dan kebudayaan yang dibangundan didukung Islam dari generasi ke
generasi. Dan semua ini hanya dapat tercapai melalui studi mengenai Islam dan
kebudayaannya, dan studi perbandingan terhadap agama-agama dan kebudayaan-
kebudayaan lain. (hal. 28-29) Dengan demikian yang kita perlukan adalah agar
sebuah studi 4tahun menjadi bagian dari progam “dasar” atau “inti” bagi semua siswa,
tanpa memandang pelajaran-pelajaran pokok dan profesi mereka. (hal. 32)

Merupakan langkah yang besar kedepan jika universitas dan sekolah tinggi di
Dunia Islam mengadakan pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian
dari progam studi pokok mereka bagi semua siswa, karena hal ini akan membuat
mereka yakin pada agama dan warisan mereka dan membuat mereka menaruh
kepercayaan kepada diri sendiri. Mereka telah memberikan sumbangan yang berharga
disetiap bidang, dan mereka menggunakan pengetahuan itu dengan efesien untuk
memajukan ideal-ideal mereka tentang Islam, namun didalam keterlenaan mereka,
orang-orang non-Muslim telah mengambil warisan-warisan dari ilmuwan-ilmuwan
Muslim, mengintegrasikannya ke dalam pandangan mereka (world view),
memperkembangkan, menambahkan, dan memanfaatkan pengetahuan baru itu untuk
kepentingan mereka. Pada masa sekarang, non-Muslim adalah ahli-ahli yang tidak
dapat diragukan dalam semua disiplin karena pada masa sekarang ini, di Universitas
di dunia Islam, buku-buku, prestasi, world view, masalah, dan ideal-ideal non-Muslim
diajarkan kepada pemuda-pemuda Muslim. (hal. 33-34) Islam bukanlah sebuah

180
“isme” seperti gerakan-gerakan, dan Islam tidak mengajukan klaimnya sebagai
klaimnya sendiri. Klaim Islam adalah sebuah klaim yang rasional, perlu dan kritis,
klaim ini juga mempunyai validitas yang universal, sebuah klaim yang berhak di akui
dan disetujui ummat manusia. Sebagai sebuah klaim yang rasional, ia hanya dapat
dihadapi dengan kontar argumentasi. Tidak ada sebagian pun dari klaim Islam ini,
karena adanya relevansi Islam dengan setiap disiplin. Apabila wawasan Islam
membuat dan menetapkan klaimnya bagi ilmu pengetahuan eksak, maka ia hanya
dapat ditolak atau dilawan oleh pemikiran yang irrasional atau kedengkian. Wawasan
Islam bukanlah sebuah wawasan jika ia tidak merupakan wawasan dari beberapa hal
yaitu kehidupan, realitas, dan dunia. Kandungannya adalah obyek studi bagi berbagai
disiplin. Hingga sejauh ini, kategori-kategori metodologis Islam yaitu ketunggalan
kebenaran, ketunggalan pengetahuan, ketunggalan kehidupan, dan penciptaan alam
semesta, ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti ketegori Barat dan
menentukan persepsi dan susunan realitas. Demikian pula, nilai-nilai Islam yaitu
manfaat pengetahuan untuk kebahagiaan manusia, berkembangnya kemampuan,
menegakkan kultur kebudayaan, dan kesucian manusia harus menggantikan nilai-nilai
Barat dan mengarahkan aktifitas belajar semua bidang. (hal. 37-39)

Kekurangan Metodologi Tradisional

Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim


kepada Ummah dalam abad ke 6 dan ke 7 Hijriyah, pemimpin-pemimpin Muslim
kehilangan akal, dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri karena mereka
berpikir bahwa dunia mereka mengalami bencana. Disaat itulah mereka meninggalkan
sumber utama kreatifitas yang telah mempunyai tempat dalam yang disebut ijtihad.
(hal. 40)
1. Fiqh dan para Faqih: Ijtihad dan para Mujatahid
Istilah Fiqh berarti memiliki pengetahuan syariah menurut sumber
madzhab tertentu. Faqih adalah manusia yang memiliki pengetahuan Syariah
didalam semua madzhab. Muslim-Muslim yang sadar dimana pun juga
menyetujui untuk membuka kembali pintu Ijtihad namun usaha ini menemui
kegagalan karena dua alasan. Alasan pertama, kualifikasi-kualifikasi
tradisional yang harus di penuhi oleh Mujtahid tidak berubah dengan demikian
akan mempersempit praktek ijtihad para lulusan madrasah tradisional. Alasan

181
kedua, memahaman Mujtahid sebagai Faqih yaitu seseorang yang
pendidikannya telah membuatnya sanggup untuk menerjemahkan semua
masalah ke dalam terma hukum, telah membuat keputusan mengenai masalah
tersebut dibawa kedalam ketegori hokum, memasukkan problem zaman
modern ini kedalam kategori hokum semata. (hal. 43 dan 45)
2. Pertentangan Whayu dengan Akal
Mungkin sekali perkembangan yang paling tragis dalam sejarah
intelektual ummah adalah saling terpisahnya wahyu dan ‘aql. Pemisahan
wahyu dari akal sama sekali tidak dapat kita terima karena pemisahan ini
sangat bertentangan dengan keseluruhan spririt Islam, seruan pokok Al-Qur’an
agar manusia manusia mempergunakan akal, menimbang segala masalah
secara rasional, lebih menyukai hal yang lebih rasional, bahkan kepada hal-hal
absurd karena seruan Islam adalah rasional dan kritikal. (hal. 46-47)
3. Pemisahan Pemikiran dari Aksi
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah
pemimpin. Karena pada hakikatnya, pemikiran Islam berorientasi kepada
realitas, keterpaduan antara pemikiran dengan tindakan dan kehiduapan nyata
ini memberikan kepada pemikiran Islam sebuah laboratorium untuk
mencobakan gagasan kreatifnya. (hal. 48-49)
4. Dualisme Kultural dan Religius
Al-Shirat al- Mustaqim adalah sebuah jalan kesatuan dari wawasan
Islam, yang mengintegrasikan semua tedensi dan aktifitas manusia menjadi
sebuah gelombang integral menuju realisasi diri Islamiah di dalam sejarah.
Dimasa keruntuhan Islam dank arena terpisahnya pemikiran dari aksi atau
tindakan, jalan itu terpecah menjadi dua, yaitu jalan keduniawian dan jalan
Allah atau kesalehan. Suatu spiritualitas yang tidak merasa berkepentingan
dengan kesejahteraan yang terasakan rakyat, tentulah bersifat subyektif karena
tergantung pada kepentingan religious pengamatannya saja, karena
kepentingan yang pokok adalah tingkat kesadaran orang-orang yang
mempraktekkannya. (hal. 53-54)

Prinsip-prinsip Pokok Metodologi Islam

182
Sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme system pendidikan, selanjutnya
merupakan prasyarat untuk menghilangkan daulisme kehidupan, untuk mencari jalan
keluar dari malaise yang dihadapi Ummah, pengetahuan harus diislamisasikan. Untuk
menuang kembali disipli-disiplin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori,
metode, prinsip dan tujuan yang tunduk kepada:
1. Keesaan Allah
Keesaan Allah adalah prinsip pertama dari agama Islam dan setiap
sesuatu yang islamiah, tidak ada sesuatu satupun selain Allah. Kehendak-Nya
adalah hokum alam, maupun hokum moralitas. Berpikir dan hidup dengan
kesadaran akan Keesaan Allah adalah berpikir dan hidup didalam sebuah
dunia yang hidup serta menawan hati, karena segala sesuatu di Dunia menjadi
ada karena aksi Allah, dan dipelihara oleh Allah. Pengetahuan Islam
memandang obyek pengetahuan itu secara material disebabkan oleh
antesenden yang merupaka unsur situasi yang menghasilkan obyek tersebut,
tetapi pemenuhan actual dari kausalitas yang menimbulkan obyek tersebut
keluar dari ketidakterhinggaan obyek-obyek lain. (hal. 55-58)
2. Kesatuan Alam Semesta
a. Tata Kosmis
Sebagai akibat logis dari keesaan Allah itu kita kemudian harus
mempercayai kesatuan ciptaan-Nya. Alam semesta adalah sebuah keutuhan
yang integral karena merupakan karya Pencipta Tungal yang aturan dan
desaign-Nya telah memasuk setiap bagian alam semesta tersebut. Tata kosmis
terdiri dari hokum-hukum alam. Hokum-hukum ini berlaku di alam semesta
dan meresapi setiap bagian atau aspek alam semesta. Didalam tahap
eksistensi-Nya, setiap wujud dilengkapi dengan kekuatan dinamis bersumber
dan dipelihara oleh Allah, selanjutnya kekuatan ini tidak perlu harus
membuahkan hasil dengan mana ia diasosiasikan. (hal. 58-60)
b. Penciptaan
Setiap sesuatu mempunyai tujuan-tujuan, sebuah rasion d’etre untuk
mana sesuatu itu berbakti. Tujuan ini tdak akan final, tetapi selalu tunduk
kepada tujuan-tujuan lain yang merupakan sebuah nexus yang hanya
betujuan akhir (ends) didalam Tuhan. Oleh karena itu, setiap yang ada,
mempunyai hubungan sebab-akibat dengan sesuatu yang lain. (hal. 61-62)
c. Taskhir (ketundukan) Alam Semesta kepada Manusia

183
Keseluruhan alam semesta dapat menerima kemujaraban manusia,
menanggung perubahan karena inisiatif manusia dan mengalami
transformasi kedalam pola-pola yang dikehendaki manusia, manusia dapat
mengeringkan laut, atau mengeringkan matahari. Kepatuhan alam kepada
manusia tidak mengenal batas. Kesaling-hubungan kausal dan final
diantara obyek-obyek alam semesta adalah substansi dari kepatuhan ini,
substansi yang akan menjadi sia-sia dan tak berarti tanpa
kesalinghubungan. (hal. 65-66)
3. Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan
Dalam hubungan dengan teori pengetahuan, posisi Islam dapat di
terangkan dengan sebaik-baiknya sebagai kesatuan kebenaran, karena
kesatuan ini bersumber dari dan dapat digantikan dengan keesaan mutlak
Allah. (hal.68) Ekuivalensi ini berdasarkan 3 prinsip yang mendasari semua
pengetahuan Islam. Yang pertama, kesatuan kebenaran merumuskan bahwa
berdasarkan wahyu kita tidak boleh membuat klaim yang bertentangan dengan
realitas. Yang kedua, kesatuan kebenaran merumuskan bahwa tidak ada
kontradiksi, perbedaan, atau variasi diantara nalar adan wahyu, merupakan
prinsip yang mutlak. Yang ketiga, kesatuan kebenaran atau identitas hokum-
hukum alam dengan pola-pola dari Sang Pencipta merumuskan bahwa tak ada
pengamatan/penyelidikan kedalam hakikat alam semesta atau setiap bagiannya
dapat berakhir/dipecahkan. (hal. 69-71)
4. Kesatuan Hidup
a. Amanah Tuhan
Kehendak Tuhan ada 2 macam yaitu yang pertama, perealisasiannya
merupakan keharusan dan yang kedua, hanya dapat direalisasikan didalam
kemerdekaan. Kehendak-kehendak ini adalah hokum-hukum moral,
hokum moral ini bersamaan dengan hokum alam, dengan katablain hokum
moral selalu direalisasikan didalam sebuah konteks segala sesuatu yang
empiris. (hal 74)
b. Khilafah
Penanggungan amanah Tuhan oleh manusia membuat ia menjadi
khilafah atau wakil Tuhan. Khilafah manusia ini terdiri atas
penyempurnaan hokum-hukum moral. Hokum-hukum moral mempunyai

184
aspek-aspek yang tidak hanya bersifat religious tetapi juga berkenaan
dengan dunia dlam karakter dan efeknya. (hal. 76)
c. Kelengkapan
Kehendak Islam terhadap kultur dan kebudayaan adalah
komprehensif.. kelngkapan ini ada pada dasar kelengkapan syari’ah.
Setiap aspek kehidupan manusia terpengaruh dan pengaruh ini adalah
relevansi Islam terhadap aspek kehidupan. (hal. 82)
5. Kesatuan Ummat Manusia
Allah mencipkan manusia berpasang-pasangan (laki dan perempuan)
dan Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku namun
yang termulia dihadapan Allah. Yang kedua, adalah bahasa, phisiognomi
(ilmu firasat), intelegensi, ketrampilan, dan kekuatan tubuh. Yang ketiga, ciri-
ciri kepribadian yang gampang berubah, yaitu ciri-ciri yang membentuk
keluhuran budi dan kejahatan, kebijaksanaan dan pengetahuan, kesalehan dan
kesabaran. Semua ciri ini membentuk kepribadian atau gaya hidup manusia.
Oleh karena itu semua manusia itu sma yang membendakannya adalah
perbuatan-perbuatan kebajiakn dan ketaqwaan. (hal.84-87)

Penutup

Pada zaman sekarang ini pengetahuan dan pendidikan di sekolah-


sekolah sangat terpengaruh oleh Barat. Sehingga karakter dan hasil lulusan
yang ada akan meniru gaya orang Barat. Dan kurangnya menerapkan dan
mempelajari budaya dan sejarah keislaman di sekolah-sekolah zaman sekarang
ini membuat generasi muda saat ini tidak mengetahui akan sejarah awal dan
perjuangan Islam, dan mereka enggan mempelajari dan menerapkan budaya
Islam karena mereka bangga dan percaya diri dengan mengikuti budaya Barat.
Dalam buku karya Ismail Raji’ ini beliau memabahas tentang
islamisasi pengetahuan, dengan adanya buku ini diharapkan menjadi pemicu
dan penyemangat para generasi-genarsi muda untuk memepelajari sejarah dan
budaya Islam sehingga sejarah dan budaya Islam akan terus hidup dan
berkembang. Semoga buku ini dapat membawa manfaat dan barokah bagi
masyarakat.

185
SAINS DAN PERADABAN DI DALAM ISLAM

Book Riview 23

Seyyed Hossein Nasr. Sains dan Peradaban di dalam Islam. (Science and
Civilization in Islam) Penerjemah J. Mahyudin. (Bandung: Penerbit Pustaka,
1986).

Oleh: Mujahidatul Aliah (1800018038)

Buku karangan Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam,
yang judul aslinya adalah Science and Civilization in Islam merupakan karya yang
membahas beberapa aspek sains Islam, ditinjau dari pandangan Islam bukan dari
pandangan sains modern dan konsepsi sejarah yang evolusionis. Mengapa ditinjau
dari pandangan Islam? Karena sejarah sains sering ditinjau pada masa kini sebagai
akumulasi progresif dari teknik dan penghalusan metoda kuantitatif dalam
mempelajari alam. Pandangan seperti ini menganggap konsepsi sains sekarang
sebagai satu-satunya yang berlaku, karena itu orang mengukur sains dari pradaban
lain dengan sains modern dan mengevaluasinya terutama, menurut
“perkembangannya” dengan berlalunya waktu (hal 1).

Dalam buku ini Nasr berbicara tentang sistem pengajaran dan lembaga-
lembaga Islam tradisional. Ia memberikan penjelasan historis sains dalam budaya
Islam, yaitu Kosmologi, Kosmografi, Geografi, Sejarah Alam, Fisika, Matematika,
Astronomi, Kedokteran dan Kimia. (Berkat studinya tentang sains di M.I.T, Nasr
mengembangkan kritik yang konsisten terhadap sains modern. Ia menegaskan bahwa
dalam peradaban tradisional, sains merupakan bagian dan bidang alam suci yang ada.
Pencerahan secara salah telah memisahkan sains dari agama atau prinsip-prinsip suci,
yang menyebabkan munculnya sekularisasi. Karena itu, sains yang di-desakralisasi,
dengan memproklamirkan ketakterikatannya dari agama, telah menjadi kekuatan tak
terkendali, yang menimbulkan masalah-masalah yang mengancam keberadaan
manusia. Nasr juga menentang pengulangan dan peniruan buta terhadap sains modern

186
oleh orang-orang Muslim yang tidak memperhatikan konsekuensi-konsekuensi
tindakan tersebut bagi Islam dan kehidupan Muslim.

Metodologi

Kandungan utama karya ini adalah uraian sejarah mengenai perkembangan


Sains dan peradaban di dalam Islam. Hossein Nasr dengan sedikit cibiran beberapa
kali menyinggung ciri kuantitatif “unilateral” dari sains modern. Dengan semangatnya
mempertahankan keutuhan dan integritas esensial kebudayaannya hingga ke zaman
modern, Hossein Nasr bersedia membuat orang ragu-ragu terhadapnya. Selain itu,
dalam sambutan pengantar buku yang dikarang Seyyed Hossein Nasr ini, Giorgio De
Santillana mengungkapkan bahwa Nasr ialah yang pertama kalinya menguraikan
secara terinci lengkap dan ilmiah dari mana kosmologi mistik datang dan bagaimana
ia masuk ke pemikian Sufi. Dan penjelasan yang hampir mengejutkan bahwa
fondasinya diletakkan oleh aliran-aliran filsafat dari “Zaman Keemasan” dan tidak lain
dari Ibn Sina sendiri, “guru kedua” filsafat Aristoteles, yang melengkapinya dengan
simbolisme kosmologis, bahwa para ahli waris kebudayaan Hellenitis yang
membangkitkan pemekaran akhir Sufisme Iluminasionis sama sekali merupakan
paradoks terbesar (hal xiii).

Melalui analisis historis dan morfologi, serta melalui kutipan dari teks yang
sebenarnya, Nasr menyampaikan kepada pembaca Barat isi dan semangat ilmu
pengetahuan Islam. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk memeriksa ilmu
pengetahuan Islam dalam konteks peradaban Islam, Dr. Nasr juga menekankan makna
sejarah jauh melampaui penemuan-penemuan dan tulisan yang terkena pengaruh Barat
langsung.

Tokoh-tokoh Universal Sains Islam

Sepanjang sejarah islam, tokoh sentral pengajaran sains ialah orang yang bijaksana,
atau hakim. Biasanya ia seorang dokter, penulis, penyair, seorang astronom,
matematikawan. Pada tokoh hakim ini orang dapat melihat kesatuan sains bagaikan
cabang yang banyak dari satu pohon yang batangnya ialah kebijaksanan yang
menjelma dalam diri orang bijak itu.
a. Jabir Ibn Hayyan ( 103H/721 M- 200 H/815 M)

187
Jabir Ibn Hayyan al-Azdi al- Thusi al- shufi, pemula alkhemi dalam Islam.
Termasuk karya utama Jabir ialah seratus dua belas buku, Jabir tidak hanya
menulis tentang Alkhemi tetapi juga tentang logika, filsafat, ilmu medis, guna-
guna ( occult), fisika, dan mekanika dan hampir semua bidang ilmu yang lainnya.
Ia mengemukakan satu “Filsafat alam” yang khusus dan satu metoda pengkajian
berbagai sains yang mempengaruhi semua pengarang alkhemi dan Hermetik
setelah masa itu, dan berpengaruh juga pada kaum Ismailiah dan aliran tertentu
Imami atau “Golongan Duableas”, syiah dan kaum sufi (hal. 24).
b. Abu Ya’qub ibn Ishaq al Kindi ( 185 H/801 M- 260 H/873M)
Merupakan filosof saintis muslim pertama. Ia menulis sekitar dua ratus tujuh puluh
makalah yang sebagian besar kini hilang. Mengenai logika, filsafat, fisika, semua
bidang matematika, musik, obat – obatan dan kehidupan binatang. Beliau pendiri
aliran filsafat peripatetik30 Islam yang sangat dihormati di Barat di abad
pertengahan dan di masa renesans sehingga ia dipandang sebagai seorang tokoh
Astrologi dan Cardano menyebutnya seorang dari dua belas tokoh besar intelektual
umat manusia (hal. 25)
c. Hunain ibn Ishaq (194 H/810 M-263 H/877 M)
Merupakan seorang dari cendekiawan Kristen yang memberi andil berarti bagi
kebangkitan sains Islam sebagai penerjemah dan penyalur sains Grika. Ia
merupakan dokter ternama yang karyanya dikutip karena berbobot oleh berbagai
pengarang Muslim. Karya-karyanya tentang Aforisma Filosof (hal. 26).
d. Tsabit ibn Qurrah (211 H/826 M atau 221 H/836 M-288 H/901 M)
Merupakan seorang penerjemah terbesar, hampir sama pentingnya seperti Hunain
dan menulis karya abadi dalam ilmu medis dan filsafat seperti Hunain juga. Selain
itu masih banyak naskah tentang astronomi, teori bilangan, fisika dan cabang
matematika lainnya, yang amat besar pengaruhnya pada para saintis Muslim.
Gema dari pandangan ilmiahnya, terlebih lagi tentang teori “getaran” terdengar
sepanjang abad pertengahan di dunia Barat (hal. 26).
e. Muhammad Ibn Zakariya al-Razi (±251H/865 M-313H/925 M)

30
Peripatetik diilhami oleh Aristoteles yang mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat
bertumpunya segala persoalan. Berbeda dengan iluminasi yang mempercayai bahwa dalam mengkaji
filsafat tinggi (ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup dengan mengandalkan argumentasi (istidlal)
dan penalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu diperlakukannya penyucian jiwa serta
perjuangan melawan hawa nafsu untuk menyingkap berbagai hakikat.

188
Rhazes, adalah dokter klinis terbesar Islam ternama di Barat dan di Timur. Karya
medisnya yang terpenting adalah Pengendalian Diri (al-Hawi) yang terkenal di
dunia Barat Latin (hal. 28).
Adapun karya al-Razi yang paling terkenal di dunia Barat ialah naskahnya tentang
campak dan cacar yang diterbitkan berkali-kali di Eropa abad ke 18, selain naskah
tersebut banyak karangan singkat lainnya tentang beragam penyakit. Al – Razi
juga menulis beberapa karya medis besar, termasuk Compendium, Kecukupan,
Pengantar yang Panjang dan yang singkat, Penuntun buku-buku medis Kerajaan
dan Yang Indah, juga kitab al-Manshur (hal. 184).
Sebelum beralih ke kedokteran, al-Razi adalah seorang ahli alkhemi. Ia
mengagumi Plato melebihi Aristoteles, tapi menerima atomisme yang menyerupai
pandangan Democritus. Ia mengemukakan lima prinsip abadi-pencipta, jiwa, zat,
waktu dan ruang. Al-Razi menganggap dirinya pengikut Jabir bahkan judul
kebanyakan karya al-kheminya sama ataupun menyerupai judul-judul dalam
kumpulan naskah Jabir. Al-Razi menulis tentang proses kimia, seperti peleburan
logam, sublimasi, sublimasi air raksa yang putih, larutan dalam kotoran, preparat
hewani, natrium karbonat atau kalium lunak, dsb (hal. 248).
f. Abu Nasr al-Farabi (±258H/870M-339 H/950 M)
Merupakan orang pertama dalam Islam yang mengklasifikasikan sains itu
seluruhnya, melukiskan batas masing-masing dan mengukuhkan dasar tiap cabang
ilmu. Al-Farabi menulis karya bebas tentang fisika, matematika, etika dan filsafat
politik. Ia adalah seorang Sufi praktis dan semangat Sufi menjiwai karyanya. Ia
juga seorang ahli teori music terkemuka abad pertengahan dan beberapa karya
musiknya tetap hidup dalam ritus persaudaraan Sufi (hal. 29).
g. Abu’l Hasan al-Mas’udi (meninggal 354 H/956 M)
Merupakan seorang sejarawan dan saintis ternama Islam. Ia juga seorang ahli
geografi, ahli geologi dan ziologis. Tulisannya Padang Rumput Emas dan
Tambang Batu Permata adalah karya khas yang patut dicatat (hal. 30).
h. Abu ‘Ali Husain Ibn Sina (370 H/980 M-428 H/1037 M)
Avicenna (bahasa latin), yang oleh bangsanya diberi gelar kehormatan Syaikh al
Rais (Pemimpin para Cendekiawan) adalah filosof-saintis terbesar Islam dan tokoh
paling berpengaruh dalam bidang umum seni dan sains. Karyanya yang termasyhur
adalah Qanun (Aturan Pengobatan) yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam

189
dan diajarkan hingga kini di Timur. Karya keduanya adalah ensiklopedianya yang
monumental “Buku Penyembuhan (Kitab al-Syifa’)” (hal. 30).
i. Abu ‘Ali al-Hasan ibn al Haitsam (±354H/965M-430H/1039M)
Alhazaen (sebutan di Barat), adalah seorang ahli fisika muslim terbesar. Ia juga
pengamat yang eksak, seorang peneliti, juga ahli teori. Karya besarnya adalah
Optics yang mempengaruhi tulisan tentang optika dari Roger Bacon, Witelo dan
Kepler di Barat dan berpengaruh pada naskah banyak saintis Muslim sesudahnya
(hal. 32).
Ia juga ahli matematika dan astronomi terkemuka dan malah seorang filosof. Ia
memberikan saham yang penting kepada studi gerak, dimana ia menemukan
prinsip inersia/kekekalan dan kepada fisika langit dan ilmu statistika, tapi ia
mengubah studi optika dan membuatnya menjadi sains yang baru (hal.110).
j. Abu Raihan al-Biruni (362 H/973M-±442H/1051M)
Merupakan Seorang saintis muslim ahli fisika dan tokoh intelektual terkemuka
Islam. Karyanya, Qanun (Aturan al-Mas’udi) yang dipersembahkan untuk
Mas’udi, putra Mahmud dari Ghazna, sama tinggi kedudukannya dalam astronomi
Islam seperti Qanun-nya Ibn Sina. Sedangkan tulisannya, Elemen Astrologi
menjadi teks standar dalam pengajaran Quadrivium berabad lamanya (hal. 33).
Ia merupakan seorang penyusun dan sarjana terbesar dalam periode keemasan
sejarah Islam, dan ia memiliki pengetahuan tentang geografi, kronologi dan
perbandingan agama. Ia juga seorang ahli astronomi dan matematika (hal. 115).
k. Abu’l-Qasim Maslamah al-Majrithi (meninggal ±398H/1007M)
Seorang saintis Andalusia, yang mula-mula memperkenalkan pengkajian sains,
terutama matematika dan alkhemi kepada dunia Islam bagian Barat. Ia menulis
tentang astronomi dan matematika dan ternyata membuat komentar mengenai
tabel-tabel al-Khawarazmi, karya utamanya adalah dalam bidang alkhemi. Dua
karya terkenal dalam alkhemi Islam darinya adalah “Langkah Orang Bijak dan
Tujuan Orang Arif” (hal. 33).
l. Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M)
Algazel (Latin), ahli theologi dan Sains Agama. Karya religiusnya yang terpenting
adalah Penggalakan Kembali Sains Religius (Ihya’ ‘Ulumuddin). Al Ghazali juga
menulis tentang logika dan filsafat. Namun kehebatannya dalam bidang ini bukan
dalam mengulas tapi memberikan kritik. Ia dikenal di Barat sebagai tokoh Filsafat
Paripatetik (hal. 34).

190
m. Abu’l-Fath ‘Umar ibn Ibrahim al-Khayyami (Umar Khayyam) (lahir 492 H/1038
M-440 H/1048 M, wafat 517 H/1123 M-526 H/1132 M)
Seorang penyair Persia yang termasyhur di Dunia Barat, juga seorang Saintis
terkemuka dari abad pertengahan. Khayyam menyebut dirinya sebagai pengiktu
Ibn Sina. Naskahnya aljabar merupakan karya terbaik mengenai matematika pada
abad pertengahan. Ia menulis juga tentang geometri dan fisika juga metafisika (hal.
35).
n. Abu’L-Walid Muhammad ibn Rusyd ( 520 H /1126- 595 H/1198 M)
Averroes, pengikut termurni Aristoteles diantara filosof Muslim. Ia adalah
komentator terbesar abad pertengahan tentang Aristoteles. Terdapat 38 komentar
Ibn Rusyd mengenai beragam karya Aristoteles. Selain itu Ibn Rusyd menulis
perihal astronomi, fisika dan kedokteran. Ia mencoba menjawab serangan Al-
Ghazali terhadap para filosof dalam bukunya Tak Koheren Yang Tidak Koheren
(Tahafut al-Tahafut). Di Barat, Ibn Rusyd dipandang sebagai pemikir muslim yang
paling besar pengaruhnya (hal. 36).
o. Nasiruddin al-Thusi (597 H/1201 M-672 H/1724 M)
Merupakan tokoh yang paling dominan diseluruh bidang seni, sains dan filsafat
setelah Ibn Sina. Ia menulis komentar perihal seluruh siklus teks matematik Grika
dari Euclides hingga Ptolomeus. Ia juga menulis karya bebas dalam matematia dan
astronomi, dimana ia mengkritik Ptolomeus dan menyarankan model planet baru.
Sebagai seorang syi’ah, ia juga mengarang beberapa karya tentang teologi syi’ah,
termasuk pensucian (Tajrid). Selain itu ia mengarang naskah bagus tentang
Sufisme, malah menulis beberapa syair sastra. Pengaruhnya pada dunia Islam,
khususnya bagian timurnya, besar sekali (hal. 37).
p. Quthbuddin al Syirazi (634 H/1236 M-710 H/1311 M)
Merupakan seorang dari komentator utama mengenai karya medis Ibn Sina. Ia
menulis komentar tentang Qanun. Ia juga mengarang banyak karya mengenai
optika, geometri, astronomi, geografi, filsafat dan ilmu agama. Ia komentator
ternama mengenai doktrin iluminatis dari Suhrawardi dan ia sendiri mengarang
berbagai karya ensiklopedik yang membahas banyak s0al-soal fisika dan astronomi
yang penting (hal. 39).
q. ‘Abdul Rahman Abu Zaid Ibn Khaldun (732 H/1322 M – 808 H/1406 M)
Ibn Khaldun adalah seorang filosof sejarah, dan cendekiawan sains. Ia amat tertarik
pada ajaran Nashiruddin al-Thusi. Ia mempunyai bakat pengamatan dan latihan

191
filsafat dan metafisika sehingga membuatnya menjadi murid yang terkenal dalam
ilmu humaniora. Ia menulis tentang matematika, theologi dan metafisika, tapi karya
terbaiknya adalah tentang sejarah. Karyanya, Al- I’bar, menjadi dasar kemasyhuran
khas Ibnu Khaldun (hal. 39).
r. Bahauddin al’Amili (953 H/1546 M-1030 H/1621 M)
Bukan saja seorang ahli theologi dan sufi, ia juga seorang yang ahli matematika,
arsitek, ahli kimia dan ahli guna-guna (occultisme) yang terkenal. Ia menghidupkan
kembali studi matematika dan menulis naskah tentang matematika dan astronomi
untuk menyimpulkan karya ahli-ahli terdahulu. Bahauddin barangkali tokoh
pengetahuan universal terakhir dalam Islam, yang geniusnya menyinggung semua
bidang ilmu dari gnosis dan theosofi hingga arsitektur dan rencana pertamanan dan
dengan begini, seperti para pendahulunya, mewujudkan ideal untuk menyatukan
ilmu, yang selalu diusahakan Islam untuk dikembangkan dan dilaksanakan (hal. 40).
s. Abu’l-Fath Abdurrahman Al-Khazini
Adalah ahli fisika muslim angkatan akhir yang menyambung pengakajian mekanika
dan hidrostatika dalam tradisi Al-Biruni dan saintis terdahulu. Ia juga menulis
berbagai karya dalam astronomi dan fisika, diantaranya Buku Neraca
Kebijaksanaan yang merupakan karya muslim paling esensial tentang mekanika dan
hidrostatika dan terutama studi tentang pusat grafitasi (hal. 120)
t. Syihabuddin al-Suhrawardi
Suhrawardi, dikenal teman sebangsanya sebagai Syaikh al-Isyraq atau “guru
penerang”, menulis serangkaian karya filsafat dan gnostic dalam bahasa arab dan
puisi, diantaranya Hikmat al-Isyraq (Theosofi Pencerahan Timur). Suhrawardi juga
menulis sejumlah hikayat simbolis singkat terutama dalam bahasa Parsi, yang
merupakan karya besar prosa Persia dan juga dengan cara yang sangat artistic
melukiskan alam symbol yang harus dijelajahi oleh sang ahli untuk mencapai
kebenaran, suatu alam yang mengingatkan orang akan kosmos 31nya Ibn Sina.
Suhrawardi menulis Nyanyian Griffin yang berisi Tentang Permulaan (bagian
kesatu) dan Tentang Sesudahan (bagian kedua) (hal. 305).
Dasar Sistem Pengajaran dan Lembaga Pendidikan

31
Dalam bahasa Yunani. Kosmos artinya susunan atau keteraturan. Adapun kosmologi
merupakan kajian tentang alam semesta sebagai suatu system rasional yang teratur, termasuk di
dalamnya dikaji aspek metafisika dari ruang gerak, waktu, perubahan, kausalitas, dan kebadian.

192
Masjid mulai berfungsi sebagai sekolah sejak pemerintahan khalifah kedua,
‘Umar, yang mengangkat “penutur”, Qashsh, untuk masjid di kota-kota seperti Kufa,
Basrah dan Damsyik guna membacakan Qur’an dan Hadis (Sunnah Nabi). Lambat laun
pelajaran gramatika Arab dan Sastra digabungkan ke dalam bentuk Pendidikan
sederhana dan rudimeter ini, yang menjadi inti lembaga pengajaran yang kelak
berkembang sepenuhnya. Dari pengajaran awal dalam bahasa dan agama ini lahirlah
sekolah dasar rakyat (maktab) dan juga pusat pengajaran lanjutan, yang berkembang
menjadi universitas-universitas pertama abad pertengahan, dan yang akan menjadi
model bagi universitas-universitas permulaan di Eropa pada abad ke 11 dan 12 (Hal
48).
Hingga abad ke 4 H/ke 10 M, Lembaga utama pengajaran, selain maktab ialah
lingkungan atau kumpulan (majlis) yang diketuai seorang professor (syaikh, hakim atau
ustadz), dimana dibicarakan sains, yang religius maupun filosofis. Kemudian tahun 395
H/1005 M, khalifah Fatimiyyah, al Hakim membangun Dar al-‘Ilm (wisma ilmu) di
Kairo, dimana diajarkan matematika dan fisika, yang punya perpustkaan, menurut
beberapa riwayat memiliki lebih dari satu juta buku. Lembaga pengajaran tinggi
mencapai klimaks pembangunannya pada pertengahan akhir abad ke 5 H/11 M, ketika
wazir Dinasti Seljuq, Nizam al-Mulk mendirikan suatu rantai perguruan tinggi (college)
atau madaaris di Baghdad, Naisyapur dan kota-kota lain (hal 53).
Meskipun kurikulum madrasah tidak selalu sama sepanjang periode sejarah
Islam, dan juga tidak di seluruh bagian dunia Islam, ada aturan umum ideal yang tetap
merupakan latar belakang dan yang sering dituruti, terutama di sekolah-sekolah, tempat
mengajarkan sains filosofis atau sains awa’il. Pada awal sejarah Islam, filosof masyhur
al-Farabi, memperhatikan urutan bagaimana seharusnya studi sains dilakukan dan
disiplin ilmu mana yang harus dipelajari. Dalam bukunya, Pencapaian Kebahagiaan, ia
menulis:
“Jadi kita mulai dulu dengan bilangan (yaitu aritmetika), selanjutnya besaran (yaitu
geometri) dan lantas semua hal dimana bilangan dan besaran pada hakikatnya inheren
(seperti optika, besaran dalam gerak, yaitu benda langit), musik, studi tentang berat,
dan mekanik” (hal. 56).
Observatorium sebagai Lembaga ilmiah tersendiri, dimana dilakukan
pengamatan dan juga sebagai pusat pengajaran astronomi dan ilmu yang bertalian
dengannya, berasal dari Islam. Observatorium Islam pertama ialah Syammasiyah yang
didirikan Al-Ma’mun di Baghdad (213 H/828 M) yang dipimpin oleh dua ahli

193
astronomi termasyhur, Fadhl Ibn al-Naubakht dan Muhammad Ibn Musa Al-
Khawarizmi. Titik puncak observatorium sebagai Lembaga ilmiah dicapai pada abad ke
9 H/15 M, ketika Ulugh Beg, cucu Timurlenk mendirikan observatoriumnya di
Samarkand, yang bersama dengan observatorium Istanbul harus dianggap sebagai
penghubung penyampai Lembaga ini ke dunia Barat (hal. 63)
Selain observatorium, rumah sakit juga penting sebagai satu Lembaga ilmu,
karena sebagian besar pengajaran imu medis klinik dilakukan di rumah sakit.
Walaupun aspek teoritis ilmu medis dibahas di masjid dan madrasah. Rumah sakit
permulaan Islam didirikan pada 88 H/707 M oleh Khalifah Walid ibn Abd al-Malik dari
Dinasti Umayyah di Damaskus (hal. 70)
Adapun Zawiyah atau khanaqah (pusat sufi) dalam abad-abad permulaan Islam
berfungsi sebagai pusat pertemuan kaum sufi, tempat mereka melakukan berbagai
latihan spiritual (terutama zikir). Khanaqah dianggap sebagai satu dari Lembaga ilmu
yang esensial dalam Islam, bukan hanya karena dari awal ia tempat mengajarkan
bentuk tertinggi sains dan gnosis tetapi juga sebab selama periode akhir sejarah Islam,
ia pun mulai memenuhi fungsi sekolah masjid dibanyak bagian dunia Islam (hal. 71).

Catatan kecil sebagai penutup


Sebagai sebuah sejarah gagasan, buku Seyyed Hossein Nasr ini telah berhasil
dengan baik membuka pengetahuan kita bahwa pada masanya Islam memegang
pengetahuan di dunia. Buku ini dapat dinikmati guna mengetahui sains dan
perkembangannya dulu di dunia Islam.
Secara detail, Hossein Nasr menyebutkan tokoh-tokoh besar Islam yang mempunyai
keilmuan yang general sekaligus spesifik serta saling berintegrasi, lengkap dengan
karya-karyanya. Di buku ini, bertebaran kutipan-kutipan dari karya-karya tokoh dulu,
sehingga dengan satu buku ini saja, isinya lebih dari banyak buku.
Selain itu, karya Nasr ini juga menunjukkan secara meyakinkan bahwa pemikiran dan
kebudayaan Islam mencakup bidang yang lebih luas dan bahwa pembinaan warisan
Grika hanyalah satu fasa dalam pembangunan suatu pemikiran yang benar-benar bebas
(hal v).
Karya Seyyed Hossein Nasr ini jelas memberikan sumbangan yang besar bagi
khazanah ilmu Sains dan Filsafat, utamanya keberhasilannya dalam mempengaruhi
fikiran pembaca agar mereka melihat Sains dari sudut pandang Islam, bukan dari sudut
sains modern.

194
Namun, karena buku ini merupakan buku terjemah sehingga banyak kosa kata
dan rangkaian kalimat yang tidak baku sehingga kita harus teliti dalam membacanya.
hal tersebut dimungkinkan juga karena dicetak pada tahun 1997 sehingga dalam
menerjemahkan buku ini masih sedikit sulit.

195

Anda mungkin juga menyukai