Nim : A06218012
EPISTIMOOGI BARAT
Dalam wacana pemikiran, kebudayaan dan peradaban, istilah Barat (western) mengacu
pada peradaban dan kebudayaan yang dibentuk melalui unsur-unsur kebudayaan Yunani-
Romawi dan Yahudi-Kristen yang bercampur dengan budaya-budaya lain seperti Jerman, Celtik
dan Slavia. Belakangan, kebudayaan dan peradaban Barat juga terdiri dari unsur-unsur
gerakan pemikiran seperti humanisme, renaissance, gerakan pembaharuan protestan dan
gerakan-gerakan pemikiran abad pencerahan (age of enlightenment) yang kemudian dibentuk
melalui gerakan kolonialisme pada abad ke15 sampai 20 Masehi. Namun pada tataran kajian
epistemologi, fondasi tempat berdirinya epistemologi Barat adalah pemikiran filosofis Cartesian
atau Rene Descartes (1596-1650 M) dengan aliran rasionalismenya.
Metode yang dikembangkan oleh Descartes dalam membangun epistemologi yang
kemudian mejadi tonggak bagi epistemologi modern ini adalah metode skeptic (atau disebut
juga sebagai keraguan metodis). Di atas bangunan metodologis ini kemudian berdiri
epistemologi Barat dengan dominasi rasionalisme dan foundasionalisme. Disebut rasionalisme
karena menggunakan rasio atau akal sebagai satu-satunya alat (tool) untuk sampai pada
pengetahuan yang pasti dan meyakinkan (certain). Disebut foundasionalisme karena menurut
epistemologi Barat, fondasi bagi kebenaran sebuah pengetahuan adalah adanya proposisi-
proposisi yang bersifat a priori yang secara rasional meyakinkan dan tidak bisa diragukan lagi
kebenarannya (undubitable).
b. Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu ―empiria” yang berarti pengalaman. Aliran ini
muncul di Inggris yang awalnya dipelopori oleh Fransis Bacon (1561–1626 M). Empirisme
adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi atau
penginderaan. Berbeda dengan rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber
dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan manusia, empirisme memandang hanya
pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan
manusia. Aliran empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat di antaranya
Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley dan David Hume.
Hobbes mengaggap pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan,
yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara berlainan. Di sini Hobbes ingin
menegaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat
dalam pengalaman. Berdasarkan asumsi itu, Hobbes berpendapat bahwa pengetahuan harus
didasarkan pada pengalaman dan observasi. John Locke memperkenalkan teori tabula rasa
sebagai pijakan aksiomatik dalam teori filsafatnya. Menurut teori tersebut, pada mulanya
manusia lahir dalam keadaan kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamanlah yang
mengisi jiwa manusia sehingga memiliki pengetahuan.Tokoh empirisme lainnya adalah
Berkeley. Bedasarkan prinsip-prinsip empirisme, Berkeley merancang teori yang dinamakan
―immaterialisme‖. Berbeda dengan Locke yang masih menerima adanya substansi di luar kita,
bagi Berkeley yang ada hanyalah pengalaman dalam roh saja. Ungkapan Berkeley yang
terkenal “esse est perceipi” memliki arti bahwa dunia materi sama saja dengan ide-ide yang
saya alami.
c. Kritisisme
Kritisisme adalah aliran epistemologi yang dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724-1804 M).
Ia adalah seorang filosof Jerman yang mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan
tajam antara aliran rasionalisme dan empirisme. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat
mencapai kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian
kebenaran akal. Filsafat Kant berusaha mengatasi kontradiksi dua aliran tersebut dengan
menunjukkan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Ia menyebut perdebatan itu dengan
antinomy. Seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri sehingga tidak sempat memberi
peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang mungkin lebih menyejukkan dan konstruktif.
Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah
dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Ia mengatakan bahwa
pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori dan unsur-unsur a
posteriori. Dengan kritisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan
pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya a priori tetapi
juga a posteriori, bukan hanya pada rasio, melainkan juga pada hasil panca indera.
d. Intuisionisme
Dalam perkembangan selanjutnya epistemologi Barat kemudian dilengkapi dengan
munculnya aliran intuisionisme yang dipelopori oleh Henry Bergson (1859 1941M). Bagi
Bergson indera dan akal manusia sama-sama terbatas dalam memahami realitas secara
keseluruhan. Berdasarkan kelemahan akal dan indera tersebut Henry Bergson kemudian
mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu intuisi
Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan
langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh panca indera.
Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperolehnya
melalui pengamatan langsung, tidak mengenai “keberadaan lahiriah” suatu objek melainkan
“hakekat keberadaan” dari suatu objek tersebut. Bagi Bergson ada dua cara dalam proses
pencapaian pengetahuan, yaitu analisis dan intuisi. Analisis ialah aktifitas intelektual dalam
mengenali objek dengan observasi atau dengan melakukan pemisahan terhadap bagian-bagian
konstituen objek. Analisis bekerja menuju sebuah gerneralisasi abstrak yang kemudian
melenyapkan keunikan suatu objek. Sedangkan intuisi menurut Bergson adalah semacam rasio
yang mana peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik
dalam objek tersebut. Berpikir secara intuitif berarti berpikir dalam durasi. Durasi dalam hal ini
dipahami sebagi waktu dalam gerak yang berkelanjutan dan bukan waktu yang kemudian
terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis. Bagi Bergson
hanya intuisilah yang mampu menangkap fenomena dalam durasi. Dan realitas sesungguhnya
adalah durasi, yaitu realitas yang tidak statis melainkan senantiasa dalam proses evolusi yang
terus menjadi.