Anda di halaman 1dari 9

Nama : Salsabila

Nim : A06218012

EPISTIMOOGI BARAT

Dalam wacana pemikiran, kebudayaan dan peradaban, istilah Barat (western) mengacu
pada peradaban dan kebudayaan yang dibentuk melalui unsur-unsur kebudayaan Yunani-
Romawi dan Yahudi-Kristen yang bercampur dengan budaya-budaya lain seperti Jerman, Celtik
dan Slavia. Belakangan, kebudayaan dan peradaban Barat juga terdiri dari unsur-unsur
gerakan pemikiran seperti humanisme, renaissance, gerakan pembaharuan protestan dan
gerakan-gerakan pemikiran abad pencerahan (age of enlightenment) yang kemudian dibentuk
melalui gerakan kolonialisme pada abad ke15 sampai 20 Masehi. Namun pada tataran kajian
epistemologi, fondasi tempat berdirinya epistemologi Barat adalah pemikiran filosofis Cartesian
atau Rene Descartes (1596-1650 M) dengan aliran rasionalismenya.
Metode yang dikembangkan oleh Descartes dalam membangun epistemologi yang
kemudian mejadi tonggak bagi epistemologi modern ini adalah metode skeptic (atau disebut
juga sebagai keraguan metodis). Di atas bangunan metodologis ini kemudian berdiri
epistemologi Barat dengan dominasi rasionalisme dan foundasionalisme. Disebut rasionalisme
karena menggunakan rasio atau akal sebagai satu-satunya alat (tool) untuk sampai pada
pengetahuan yang pasti dan meyakinkan (certain). Disebut foundasionalisme karena menurut
epistemologi Barat, fondasi bagi kebenaran sebuah pengetahuan adalah adanya proposisi-
proposisi yang bersifat a priori yang secara rasional meyakinkan dan tidak bisa diragukan lagi
kebenarannya (undubitable).

Isu-isu yang Terdapat dalam Epistemologi Barat


Ada beberapa hal terkait dalam pembahasan epistemologi di antaranya adalah arti
pengetahuan, asal-usul pengetahuan, jenis-jenis pengetahuan dan struktur pengetahuan.
Pengetahuan adalah kesadaran yang diarahkan kepada segala sesuatu yang―ada. Ia tidak
bisa berdiri sendiri sebagai pengetahuan tanpa melibatkan yang ada. Maka oleh sebab itu,
pengetahuan manusia seperti dikatakan Heidegger adalah “aletheia.” Artinya pengetahuan
adalah pernyataan diri dari yang “ada”. Pengetahuan adalah keyakinan mengenai proposisi
yang benar dan keyakinan tersebut mendapatkan justifikasi (pembenaran).
Asal-usul pengetahuan telah melahirkan dua macam pendapat, pertama; pengetahuan
itu bersifat bawaan (innate), yaitu hadir dalam pikiran, dalam arti tertentu, sejak lahir, kedua;
pengetahuan itu diperoleh (acquired) melalui pengalaman. Para ahli linguistik Noam Chomsky
Amerika misalnya, berpendapat bahwa kemampuan berbahasa seorang anak yang masih
muda yang tumbuh normal dalam menguasai setiap bahasa manusia pada kondisi yang selalu
tidak lengkap dan bahkan tidak benar adalah bukti dari adanya struktur pengetahuan linguistik
yang bersifat bawaan. Sebaliknya, psikolog eksperimental BF Skinner (1904-1990), seorang
tokoh terkemuka dalam behaviorisme, berpendapat bahwa semua pengetahuan, termasuk
pengetahuan linguistik, adalah produk pembelajaran melalui pengkondisian lingkungan dengan
cara dan proses penguatan (reinforcement) dan penghargaan (reward). Di samping dua teori
mengenai pengetahuan di atas, ada juga teori "kompromi", yang menyatakan bahwa manusia
memiliki keduanya; pengetahuan bawaan dan pengetahuan perolehan.
Dalam “kegiatan mengetahui” terdapat tiga tahap struktural yang saling meningkat.
Ketiga tahap tersebut adalah:
a. Tahap kegiatan pencerapan atau persepsi inderawi (sense perception) yang
merupakan pengalaman keinderaan yakni tahap di mana objek tersaji kepada subjek
melalui pancaindera, persepsi, imajinasi dan ingatan
b. Tahap pemahaman (understanding), yakni tahap ketika pikiran berusaha memahami
atau mengerti dengan mengkonseptualisasikan pola dan struktur pemahaman (intelligable
structure) yang immanen pada objek yang tersaji pada tahap pertama
c. Tahap pertimbangan dan penegasan putusan (judgment). Tahap ini adalah tahap
puncak yang mengandaikan dua tahap sebelumnya.
Dalam tahap ketiga, pikiran manusia berusaha membuat penegasan putusan, entah itu
berupa peneguhan atau penyangkalan, tentang benar atau salahnya, tepat atau tidak tepatnya
struktur pemikiran dan pemahaman mengenai objek yang ditengkap pada tahap peginderaan
sebelumnya. Tahap ketiga ini merupakan tahap ketika penalaran atas pengalaman dan
pemahaman atas pengalaman tersebut terjadi. Dalam tahap ini, melalui refleksi (misalnya
dengan menanyakan di dalam benaknya ―apakah memang demikian?‖) subjek yang
mengetahui tersebut mendasarkan pikiran dalam bukti yang cukup untuk menjamin
penegasannya.

Periodisasi Epistemologi Barat


Sejarah epistemologi bisa dibagi menjadi beberapa periode yaitu: periode filsafat Kuno, filsafat
hellenis, abad pertengahan, abad modern dan kontemporer.
a. Periode Filsafat Kuno
Pada periode ini, pembahasan serius mengenai epistemologi (teori pengetahuan) baru dimulai
sejak jaman Plato (427-347 SM) yang termuat dalam bukunya Meno dan Republik. Menurutnya
apa yang kita anggap sebagai mengetahui sesuatu sebenarnya adalah proses mengingat
kembali oleh jiwa manusia. Dalam buku Meno tersebut, Plato membedakan antara keyakinan
yang benar (true belief) dengan pengetahuan (knowledge). Menurutnya pengetahuan tidaklah
sama dengan opini atau keyakinan. Pengetahuan memiliki keterikatan dengan sesuatu yang
tidak dimiliki oleh keyakinan atau opini. Pengetahuan adalah keyakinan dengan disertai
logos dan pembenaran (justified true belief). Jadi pengetahuan bukan semata-mata sebuah
keyakinan.
Objek pengetahuan adalah "apa yang ada" (what is or exists), objek dari ketidaktahuan
adalah "apa yang tidak ada" (what does not exist) dan objek dari keyakinan adalah "entitas
tengah" (intermediate entity) di antara keduanya, yang sering disebut sebagai "apa yang
sedang menjadi" (what is becoming) atau objek dunia fisik beserta sifat-sifatnya yang bisa
dicerap oleh panca indera. Aristoteles (384-322 SM) dalam karyanya De Anima, membahas
mengenai “objek persepsi” dan “pengetahuan perseptual.” Di antara objek-objek persepsi
tersebut dia membedakan antara objek persepsi yang bersifat khusus, individual (proper) dan
objek persepsi yang bersifat umum (common). Objek persepsi yang sifatnya khusus dan
individual adalah objek-objek yang hanya bisa dipersepsi oleh satu macam pancaindera saja
seperti warna. Warna hanya bisa dilihat oleh mata dan tidak dapat dipersepsi oleh pancandera
lainnya. Sedangkan objek persepsi yang bersifat umum (common) adalah objek yang bisa
dipersepsi oleh lebih dari satu pancaindera seperti seekor kucing, atau bentuk dari suatu benda.
Ia bisa dilihat sekaligus bisa diraba.

b. Periode Filsafat Hellenis


Periode ini meliputi tiga aliran besar filsafat yaitu epikurianisme, stoikisme dan
skeptisisme. Salah satu pandangan aliran epikurianisme yang sangat terkenal ini adalah
doktrinya mengenai “persepsi.” Doktrin tersebut menyatakan bahwa semua persepsi manusia
dianggap benar. Oleh karenanya maka hasil pemahaman dari persepsi yang dilakukannya akan
dapat mengantarkannya untuk mencapai pengetahuan. Pesepsi dalam pandangan
epikurianisme, dengan demikian, sama pentingnya sebagai sebuah media yang
menghubungkan antara subjek pelaku (knower) dengan objek benda-benda eksternal (known)
yang ada di sekitarnya. Hal ini selaras dengan pandangan seperti yang diungkapkan oleh
Aristoteles di atas.
c. Periode Filsafat Abad Pertengahan
Pembahasan mengenai epistemologi pada abad pertengahan ini berpusat pada
pemikiran dua orang filosof yaitu Thomas Aquinas (1225-1274 M) dan William of Ockham
(1288-1348 M). Pengetahuan sejati (genuine) yang menurut Thomas Aquinas disebut sebagai
“scientia,” terikat dan dibatasi oleh proposisi-proposisi yang dibuktikan dengan silogisme
demonstratif di mana premis-premis dari silogisme tersebut telah diketahui dengan sendirinya.
Premis-premis ini merupakan prinsipprinsip pertama (first principles) yang kebenarannya telah
diketahui dengan sendirinya (known per se), secara spontan dan tanpa melalui inferensi atau
penyimpulan. Prinsip-prinsip pertama dari silogisme demonstratif menurut Aquinas adalah
kebenaran yang pasti (necessary truth).
Di lain pihak, Ockham memiliki pendirian yang berbeda dari Aquinas. Konsepsi Aquinas
tentang pengetahuan mengandaikan adanya sebuah kebenaran pasti sebagai syarat dari
silogisme untuk menarik kesimpulan yang benar, sehingga pengetahuannya terbatas pada
adanya kebenaran pasti (restricting knowledge to necessary truths). Sedangkan Ockham
sebaliknya menyatakan adanya pengetahuan yang tidak bergantung pada adanya kebenaran
yang pasti tersebut tetapi pengetahuan mengenai kebenaran yang bersifat kontingen
(knowledge of contingent truths). Oleh karenanya menurutnya ada juga pengetahuan yang
kebenarannya tidak harus mengacu pada kebenaran pasti tetapi pada kebenaran yang
kontingen.
d. Periode Filsafat Modern
Pada periode ini, pembahasan mengenai epistemologi dimulai dengan munculnya
filsafat rasionalisme Descartes (1596-1650 M). Ia menggunakan metode keraguan yang
menganggap bahwa proposisi apapun adalah salah (false) atau layak dipertanyakan
kebenarannya. Untuk menghilangkan keraguan tersebut, pertama, dia menentukan kriteria
kepastian (criteria of certainity) berupa pikiran-pikiran atau ide-ide yang jelas dan berbeda
secara gamblang (distinct). Bahkan, ia mengatakan bahwa kejelasan dan keunikan dari
pemikiran ini cukup untuk meyakinkannya tentang kebenaran pikiran tersebut. Kedua, dengan
menggunakan kriteria ini bersama-sama dengan pengetahuan tertentu bahwa "ia ada" karena
berpikir (cogito ergo sum), Descartes membangun argumen kausal yang kompleks tentang
keberadaan Tuhan. Dalam hal ini terutama adalah proposisi mengenai keberadaan benda-
benda fisik eksternal. Inilah fondasi epistemologinya Descartes. Fondasi ini dibatasi oleh
proposisi bahwa “dia sendiri ada” karena dia berpikir, “ia memiliki ide-ide tertentu”, dan bahwa
“Tuhan itu ada”. Dari sini, dengan memanfaatkan kriteria kejelasan dan keunikan, dapatlah
dimasukkan proposisi mengenai sensasi penginderaan yang dialami yang pada gilirannya dapat
menghasilkan pengetahuan.
Berbeda dari Descartes, menurut Spinoza (1632-1677 M) kebenaran suatu ide haruslah
diukur dengan kesesuaiannya terhadap objek-objek. Dia tidak mengharuskan adanya
kegamblangan dan pembedaan (clear and distinct) dalam ide yang benar seperti menurut
Descartes. Spinoza kemudian membagi tiga tingkatan pengetahuan. Tingkatan pertama adalah
pengetahuan hasil dari persepsi pancaindera yang dia sebut sebagai “sign”. Baginya level
pertama ini bukanlah pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya karena ia hanya berupa
imajinasi atau opini belaka. Tingkatan kedua adalah pengetahuan tentang ciri-ciri atau
karakteristik (property) dari objek-objek dan hubungan di antara properti-properti tersebut.
Tingkatan ketiga adalah pengetahuan intuitif. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang
memadai (adequate) karena ia berasal dari ide mengenai keberadaan Tuhan.
Sementara itu, Leibniz (1646-1716 M) beranggapan bahwa dalam setiap pengetahuan
yang benar, predikat kebenarannya terdapat dalam subyek (knower). Ia merupakan orang
pertama yang membedakan antara pengetahuan yang pasti dengan pengetahuan eksternal.
Leibniz berpendapat bahwa pengetahuan yang pasti berpijak pada kaidah non-kontradiksi.
Penolakan atas kaidah ini akan berujung pada kontradiksi itu sendiri. Sebagaimana Descartes,
ia percaya pada konsep-konsep fitrah.
John Locke (1632-1704 M) mendefinisikan pengetahuan sebagai persepsi dari
persetujuan atau ketidaksetujuan dari dua ide (Knowledge is the Perception of the Agreement
or Disagreement of two Ideas). Namun yang dimaksud ide di sini bukanlah ide seperti yang
dipahami kalangan rasionalis sebagai ide universal yang tidak berubah dan sebagai sebuah
substansi sendiri yang tidak ada kaitannya dengan dunia fisik eksternal. Ide di sini adalah ide
sebagai hasil persepsi melalui proses pengalaman indrawi. Artinya, ide yang lahir setelah
melalui pengalaman.
Tokoh lain dalam sejarah epistemologi Barat periode modern adalah Geroge Berkeley
(1685-1753 M). Dalam konteks teori pengetahuan, dia menyatakan bahwa tidak ada apapun
kecuali ide-ide dan spirit (jiwa atau pikiran). Dia membedakan ide menjadi tiga macam: ide yang
berasal dari pengalaman pencerapan pancaindera, ide-ide yang berasal dari refleksi pemikiran
dan ide-ide yang berasal dari penggabungan (compounding) dan pembagian (deviding).
David Hume (1711-1776 M) beranggapan pentingnya pembahasan mengenai proses
persepsi manusia dalam kaitannya dengan pengetahuan. Ia membagipersepsi menjadi dua:
impresi (kesan) dan konsepsi atau ide (pemahaman, pengertian). Impresi ialah efek, kesan,
atau pengaruh yang sangat dalam terhadap pikiran yang hadir secara visual (melalui mata).
Sementara, konsepsi adalah persepsi yang sangat lemah yang hadir di alam pikiran ketika
berpikir tentang suatu perkara. Dia menegaskan bahwa apabila setiap konsep atau ide berpijak
dan bersesuaian dengan impresi, maka konsep atau ide itu dikatakan bermakna, dan jika
tidak demikian, maka ia tidaklah menjadi bermakna.
e. Periode Filsafat Kontemporer
Periode filsafat kontemporer dimulai sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
Masehi. Fokus dari epistemologi pada periode ini lebih banyak berupa kritikkritik terhadap
tradisi epistemologi pada periode sebelumnya terutama epistemologi tradisional Cartesian.
Menurut Edmund Husserl (1859-1938 M) kelemahan dari tradisi epistemologi Cartesian
terutama adanya gap yang disebabkan oleh prasangkaprasangka atau dugaan awal
(presuppositions) dalam mengobservasi dunia luar. Prasangka-prasangka ini akan
menimbulkan bias epistemologis sehingga pengalaman manusia tidak akan menampakkan diri
apa adanya di hadapan subjek (knower). Untuk menjembatani kesenjangan ini Husserl
mengajukan tahapantahapan dalam filsafatnya (fenomenologi) yang disebut tahapan reduksi
fenomenolgis dan reduksi eiditis. Dalam tahapan reduksi yang pertama, subjek (knower) harus
memperhatikan beberapa hal agar sampai pada kebenaran yang murni (known). Hal-hal yang
harus diperhatikan tersebut mencakup: 1) membebaskan diri dari unsur-unsur subjektif; 2)
membebaskan diri dari kungkungan teori, hipotesis dan dugaan-dugaan filosofis lainnya serta 3)
membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional. Setelah melalui reduksi pertama ini maka
fenomena yang dihadapi menjadi fenomena murni tetapi belum sampai pada fenomena
mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan adanya reduksi kedua (eiditis).
Reduksi kedua ini menurut Husserl akan membawa subjek kepada inti sebuah fenomena yang
disebut sebagai eidos. Kedua reduksi tersebut menjadi mutlak adanya jika manusia ingin
sampai pada objek fenomena dan pengalaman yang sebenarnya sehingga secara
epistemologi, objek yang dikenalinya menjadi benar dan bermakna. Demikian kira-kira
pandangan filsafat dari Husserl.
Berbeda dengan Husserl, Heidegger (1889-1976 M), yang dikenal sebagai salah satu
tokoh dalam filsfat eksistensialisme melangkah lebih jauh dalam hal hubungan antara knower
dan known. Baginya tidak ada yang namanya macam-macam reduksi seperti menurut Husserl
di atas. Bahkan tidak ada yang namanya ego-ego transendental yang berisi presuposisi, teori
atau hipotesis ketika mempersepsi dunia luar sebagai known.
Periode ini juga ditandai dengan munculnya madzhab filsafat analitik yang berkembang
di belahan dunia yang disebut Amerika Anglo Saxon berakar pada logika simbolik dan
empirisme. Ciri utama dari madzhab filsafat ini adalah upaya mereka untuk menghindar dari
bangunan sistem filsafat dan analisis yang mendetail dari sebuah isu mengenai pengetahuan
seperti yang terjadi pada periode-periode sebelumnya. Yang paling khas dari filsafat analitik ini
adalah penekanannya pada peranan bahasa. Menurutnya, bahasa memainkan peranan penting
dalam menciptakan dan meresolusi masalah-masalah filosofis.
Common philosophy adalah pandangan filosofis Moore (1873-1958 M) yang berusaha
mempertahankan pandangan umum mengenai dunia sekitar sebagai kebalikan dari pandangan
filsafat idealisme dan skeptisisme yang berkembang pada periode-periode sebelumnya.
Menurut Moore, proposisi seperti “bumi itu ada” dan “manusia hidup di dalamnya”, yang
merupakan proposisi yang sudah lama ada dan kebenarannya dipercayai oleh banyak orang,
adalah pernyataan atau proposisi yangsudah diketahui kebenarannya dan kepastiannya. Maka
apapun itu teori-teori filsafat yang meragukan atau menolak kebenaran umum tersebut harus
dianggap salah. Teori-teori itulah yang selama ini berkembang dalam aliran filsafat skeptisime
dan idealisme. Dengan demikian idealisme dan skeptisisme dalam pandangan Moore harus
ditolak.

2. Aliran-aliran dalam Epistemologi Barat


Kristalisasi dari perjalanan sejarah epistemologi Barat, kemudian menghasilkan empat aliran
epistemologi yang cukup dominan di dunia Barat Modern. Keempat aliran tersebut adalah
rasionalisme, empirisme, kritisisme dan intuisionisme.
a. Rasionalisme
Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai
sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan
kebenaran pengetahuan manusia. Aliran ini biasa dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir
Barat, di antaranya Rene Descartes, Spinoza, Leibniz dan Christian Wolf. Meski sebenarnya
akar-akar pemikirannya sudah ditemukan dalam pemikiran para filosof klasik, yaitu Plato dan
Aristoteles.
Paham ini beranggapan bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui
benar oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dari akal pikiran manusia dan
tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip ini.
Prinsip-prinsip ini kemudian dikenalkan oleh Descartes dengan istilah “substansi” yang tak lain
adalah “ide bawaan” yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear dan distinct,
tidak diragukan lagi. Ide bawaan tersebut adalah cogitan (pikiran), Deus (Tuhan) dan ekstensia
(keluasan, materi). Sedangkan menurut Spinoza, ide bawaan tersebut adalah “substansi yang
memiliki sifat ketuhanan”. Sedangkan menurut Leibniz, ide bawaan adalah monade.
Bedasarkan pada prinsipprinsip dasar yang disebut dengan premis, kemudian Wolf membagi
lapangan pengetahuan menjadi tiga bidang, yaitu apa yang disebut dengan kosmologi rasional,
psikologi rasional, dan teologi rasional.

b. Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu ―empiria” yang berarti pengalaman. Aliran ini
muncul di Inggris yang awalnya dipelopori oleh Fransis Bacon (1561–1626 M). Empirisme
adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi atau
penginderaan. Berbeda dengan rasionalisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber
dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan manusia, empirisme memandang hanya
pengalaman inderawilah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian pengetahuan
manusia. Aliran empirisme dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir Barat di antaranya
Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley dan David Hume.
Hobbes mengaggap pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan,
yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara berlainan. Di sini Hobbes ingin
menegaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak relevan bagi filsafat, sebab tidak terdapat
dalam pengalaman. Berdasarkan asumsi itu, Hobbes berpendapat bahwa pengetahuan harus
didasarkan pada pengalaman dan observasi. John Locke memperkenalkan teori tabula rasa
sebagai pijakan aksiomatik dalam teori filsafatnya. Menurut teori tersebut, pada mulanya
manusia lahir dalam keadaan kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamanlah yang
mengisi jiwa manusia sehingga memiliki pengetahuan.Tokoh empirisme lainnya adalah
Berkeley. Bedasarkan prinsip-prinsip empirisme, Berkeley merancang teori yang dinamakan
―immaterialisme‖. Berbeda dengan Locke yang masih menerima adanya substansi di luar kita,
bagi Berkeley yang ada hanyalah pengalaman dalam roh saja. Ungkapan Berkeley yang
terkenal “esse est perceipi” memliki arti bahwa dunia materi sama saja dengan ide-ide yang
saya alami.
c. Kritisisme
Kritisisme adalah aliran epistemologi yang dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724-1804 M).
Ia adalah seorang filosof Jerman yang mencoba melakukan upaya menyelesaikan perbedaan
tajam antara aliran rasionalisme dan empirisme. Kant tetap mengakui bahwa akal dapat
mencapai kebenaran, untuk itu ia kemudian menetapkan syarat-syarat dalam pencapaian
kebenaran akal. Filsafat Kant berusaha mengatasi kontradiksi dua aliran tersebut dengan
menunjukkan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Ia menyebut perdebatan itu dengan
antinomy. Seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri sehingga tidak sempat memberi
peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang mungkin lebih menyejukkan dan konstruktif.
Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah
dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Ia mengatakan bahwa
pengenalan manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori dan unsur-unsur a
posteriori. Dengan kritisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan
pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya a priori tetapi
juga a posteriori, bukan hanya pada rasio, melainkan juga pada hasil panca indera.

d. Intuisionisme
Dalam perkembangan selanjutnya epistemologi Barat kemudian dilengkapi dengan
munculnya aliran intuisionisme yang dipelopori oleh Henry Bergson (1859 1941M). Bagi
Bergson indera dan akal manusia sama-sama terbatas dalam memahami realitas secara
keseluruhan. Berdasarkan kelemahan akal dan indera tersebut Henry Bergson kemudian
mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu intuisi
Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan
langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh panca indera.
Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperolehnya
melalui pengamatan langsung, tidak mengenai “keberadaan lahiriah” suatu objek melainkan
“hakekat keberadaan” dari suatu objek tersebut. Bagi Bergson ada dua cara dalam proses
pencapaian pengetahuan, yaitu analisis dan intuisi. Analisis ialah aktifitas intelektual dalam
mengenali objek dengan observasi atau dengan melakukan pemisahan terhadap bagian-bagian
konstituen objek. Analisis bekerja menuju sebuah gerneralisasi abstrak yang kemudian
melenyapkan keunikan suatu objek. Sedangkan intuisi menurut Bergson adalah semacam rasio
yang mana peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik
dalam objek tersebut. Berpikir secara intuitif berarti berpikir dalam durasi. Durasi dalam hal ini
dipahami sebagi waktu dalam gerak yang berkelanjutan dan bukan waktu yang kemudian
terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis. Bagi Bergson
hanya intuisilah yang mampu menangkap fenomena dalam durasi. Dan realitas sesungguhnya
adalah durasi, yaitu realitas yang tidak statis melainkan senantiasa dalam proses evolusi yang
terus menjadi.

Anda mungkin juga menyukai