Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Filsafat Dalam Kehidupan Modern

Fatya Nailah Sondakh1, Kurniawan Dwi Cahyo2, Riskanti Handayani3

Dosen pengampu: Dr. Lukman El Hakim, S.Pd., M.Pd

Drs. Swida Purwanto, M.Pd

Email: lukmanunj5@unj.ac.id

Abstrak filsafat dan ilmu pengetahuan adalah cara manusia untuk mendalami persepsi dan
sistem. Perubahan perkembangan zaman telah mendampingi filsafat dengan memperlihatkan
secara sistematis tumbuh dan kembangnya. Di dalam kehidupan Tujuan dari penulisan ini
adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Filsafat Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam dan menjelaskan apa saja pengaruh dari filsafat dalam kehidupan modern. Artikel ini
berisi pengertian dari filsafat dan zaman modern, serta menyebutkan dan menjelaskan
pengaruh filsafat dalam kehidupan modern. Di zaman modern ini segala sesuatu akan terus
tumbuh dan berkembang, serta ditambah filsafat yang akan mempengaruhi kehidupan kita
sehari – hari, maka artikel ini akan menjelaskan pengaruh filsafat yang berkembang di
kehidupan modern seperti ini.

Kata kunci: pengaruh, modern.

Abstract philosophy and science are man's way of delving into perception and systems. The
changing developments of The Times have ensnared philosophy by systematically showing
its growth and development. In life the purpose of this writing was to fulfill the duties of a
course of mathematics and natural science philosophy and to explain what the implications of
philosophy have been in modern life. These articles contain insights from philosophy and
modern times, as well as mention and explain the effects of philosophy in modern life. In
modern times everything will continue to grow and flourish, along with a philosophy that will
affect our daily life-day life, so this article will explain the influence that philosophy has had
in modern life.

Keyword: influence, modern.

PENDAHULUAN

Para ahli sejarah menyepakati bahwa Subjektivitas, yaitu sadar bahwa dirinya
zaman modern eropa pada tahun 1500an menjadi pusat realitas sebagai ukuran
Masehi. Zaman modern menjadi zaman suatu apapun. kritik, bahwa rasio tidak
yang banyak menciptakan ilmu menjadu sumber pengetahuan saja tetapi
pengetahuan yang berasal dari pemikiran juga sebagai pembebasan dari prasangka
dari para ilmuwan. Ciri dari zaman modern sesat. Dan, kemajuan dalam segala bidang
adalah dengan cara berpikirnya manusia khususunya ilmu pengetahuan.
yang rasional atas kesadarannya yaitu;

1
PEMBAHASAN

Zaman modern tercipta atas pemikiran filsafat modern dengan munculnya gagasan filsuf
besar modern. Mereka menggangas filsafat baru dengan mendobrak tradisi mitos yang
teosentris menjadi tradisi logos yang antroposentris. Pemikiran filsafat yang mereka gagas
menjadi pemantik lahirnya pemikiran baru untuk dunia. Berikut adalah juru kunci filsafat
modern yang dianggap berkontribusi besar dalam ilmu pengetahuan dan mentalitas:

• Rene Descartes (1590-1650)

Descartes adalah filsuf yang meletakkan dasar bagi aliran rasionalisme. Selama
hidupnya, ia mempersoalkan segala yang ada pada kenyataan termasuk pada ranah
filsafat dan ilmu pengetahuan. Ia menyangsikan segala-galanya, hingga ia
memperoleh bangunan filsafatnya yang berdasar pada metode kesangsian yang
kemudian ia rumuskan dalam Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada). Metode
kesangsian yang digagas Descartes tidak lain adalah buah pikir filsafat Descartes
dalam bidang epistemologi. Aku berpikir maka aku ada menandai adanya aktifitas
manusia yang berpikir dan menyadari keberadaannya. Dengan demikian, Descartes
telah meletakkan satu poin penting, yaitu kesadaran. Manusia yang sadar akan
keberadaanya merupakan kebenaran pertama yang nantinya akan digunakan untuk
melahirkan kebenaran-kebenaran lain. Filsafat modern pada dasarnya telah
meletakkan dimensi kesadaran manusia sebagai tolak ukur untuk mencapai kebenaran
dan pencapaian-pencapaian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

• David Hume (1711-1776)

David Hume menantang tradisi filsafat rasionalisme yang digagas Descartes dengan
mengajukan aliran filsafat baru bernama empirisme. Istilah empirisme berasal dari
kata Yunani empiria yang berarti pengalaman inderawi. Empirisme memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan. Pegalaman yang dimaksud adalah
pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang
menyangkut pribadi manusia. Karena pengenalan berasal dari pengalaman, maka
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Berbeda dengan filsuf empiris sebelumnya Hobbes, John Locke, dan Berkeley, Hume
lebih menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal. Ia
mengkritik pengertian mengenai substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima
substansi, menurutnya sebab yang dialami manusia hanya kesan-kesan saja tentang
beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama. Menurut Hume, kebanyakan
menusia mempunyai kecenderungan untuk menyangka bahwa dibawah keadaan-
keadaan kesadaran terdapat substratum atau alas yang tetap sebagai substansi, namun
itu hanya suatu belief (kepercayaan) saja. Baginya, jika bertitik tolak dari pengalaman,
maka tidak dapat disimpulkan adanya suatu substansi dibawah ciri-ciri yang diamati
itu.

2
Pada problem kausalitas, Hume berpendapat bahwa adanya kausalitas tidak dapat
dipastikan. Sesuatu yang oleh kebanyakan orang disebut kausalitas, Hume
menyebutnya sebagai serialitas atau urutan kejadian-kejadian, dan urutan kejadian-
kejadian tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat.

Pendirian Hume tersebut mempunyai konsekuensi yang besar bagi ilmu pengetahuan
dan filsafat yang seluruhnya berdasarkan prinsip kausalitas. Hume harus
menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat tidak mampu menciptakan
kepastian dan tidak pernah melebihi taraf probabilitas. Pendirian Hume ini dinamakan
skeptisisme.

• Immanuel Kant (1724-1804)

Pemikiran Filsafat Immanuel Kant muncul sebagai reaksi atas bentrokan radikal
antara pemikiran kaum rasionalisme melawan kaum empirisme. Kant muncul dengan
membawa konsep filsafat baru dengan nama kritisisme yang menggabungkan antara
rasionalisme dan empirisme. Bagi Kant, kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio.

Menurut Kant, rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan


(idea-idea bawaan Descartes). Sementara empirisme menekankan unsur-unsur
aposteriori (konsep a white paper Locke). Bagi Kant, baik rasionalisme maupun
empirisme dua-duanya berat sebelah. Kant berusaha menjelaskan bahwa pengenalan
manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.

Kant sangat megagumi empirisme Hume yang radikal dan konsekuen. Namun yang
tidak disetujui Kant adalah skeptisisme Hume yang mencapai kesimpulan bahwa
dalam ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai suatu kepastian. Kant mengadakan
refolusi filsafat yang dikenal dengan istilah refolusi kopernikan, yaitu refolusi yang
dapat dibandingkan dengan perubahan refolusioner yang diadakan oleh Copernicus
dalam bidang astronomi. Dengan demikian, Kant memperlihatkan bahwa pengenalan
berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Kant membedakan tiga taraf pengenalan:

a. Pengenalan pada taraf indera. Unsur aposteriori pada taraf indera adalah
kesan-kesan inderawi yang kita terima dari objek yang tampak (sebagai
sasaran). Kesan-kesan inderawi termasuk materi pengetahuan. Hubungan
langsung antara pengetahuan kita dengan sasaran itu disebut pengamatan.
Menurut Kant, sesuatu tidak mungkin bisa menjelaskan dirinya sendiri sebagai
das dingan sich (benda dalam dirinya sendiri). Kita bisa memperoleh
pengetahuan melalui fenomen (penampakan gejala-gejala). Fenomen tersebut
kita tangkap melalui unsur apriori pada taraf indera, yakni dalam konteks
ruang dan waktu. Manusia diciptakan dengan sedemikian rupa sehingga
dilengkapi dengan kedua bentuk apriori ‘ruang’ dan ‘waktu’. Akibatnya
walaupun benda-benda sendiri tidak berada dalam ruang dan waktu, namun

3
pengamatan kita menangkapnya seolah-olah berada dalam diri kita yang
disebut ‘ruang’, itulah yang mengatur kesan-kesan pengamatan kita dalam dua
atau tiga dimensi, kesan-kesan inderawi yang lahiriah. Dan bentuk
pengamatan yang disebut ‘waktu’ itu mengatur atau membentuk cerapan-
cerapan inderawi yang batiniah. Sintesis antara hal-hal yang datang dari luar
(benda dalam dirinya sendiri) dengan bentuk ‘ruang’ dan ‘waktu’ itulah yang
disebut ‘gejala’ penampakan.
b. Pengenalan pada taraf akal. Kant membedakan antara akal (verstand) dengan
rasio (vernunft). Tugas akal adalah mengatur data-data inderawi, yaitu dengan
mengemukakan putusan-putusan. Menurut Kant, materi adalah data-data
inderawi, dan bentuk adalah pengertian-pengertian apriori yang terdapat pada
akal yang dikenal dengan istilah kategori. Kant berpendapat ada 12 kategori,
yang dapat dirangkum dalam 4 kategori asasi, yaitu Kuantitas: Kesatuan,
Kejamakan, Keutuhan,- Kualitas: Realitas, Negasi, Pembatasan,- Hubungan:
Substansi, Kausalitas, Resiprositas,- dan Modalitas: Kemungkinan,
Peneguhan, Keniscayaan. Melalui 12 kategori tersebut Kant mencoba
menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan dan pemahaman pengenalan manusia
terhadap fenomen. Dengan demikian, Kant sekaligus telah mengatasi problem
bentrok radikal antara rasionalisme dengan empirisme.
c. Pengenalan pada taraf rasio. Rasio bertugas untuk menarik kesimpulan dari
putusan-putusan yang telah dibuat oleh akal. Akal menggabungkan data-data
inderawi dengan mengadakan putusan-putusan. Rasio juga menggabungkan
putusan-putusan. Kant menunjukkan bahwa rasio membentuk argumentasi-
argumantasi dengan dipimpin oleh tiga idea, yaitu jiwa, dunia, dan Allah yang
ketiganya juga bersifat apriori. Idea jiwa menyatakan dan mendasari segala
gejala batiniah. Idea dunia menyatakan segala gejala jasmani atau lahiriah.
Sedangkan idea Allah mendasari segala gejala, segala-galanya yang ada, baik
yang batiniah maupun yang lahiriah.[11]

Selain pemikiran tentang kategori-kategori dan pengenalan pada taraf akal dan rasio,
Kant juga mengemukakan kritik atas rasio praktis dan kritik atas daya pertimbangan.
Dalam kritik atas rasio praktis, Kant menunjukkan bahwa rasio praktis memberikan
perintah mutlak yang disebut imperatif kategoris. Sementara dalam kritik atas daya
pertimbangan, Kant menyelidiki adanya finalitas dalam alam yang lebih mengarah
pada ranah estetika.

Peran Penting Filsafat Kant

Melalui filsafatnya, Kant melakukan kritik atas seluruh filsafat yang mendahuluinya.
Perpecahan antara rasionalisme dan empirisme diatasi dengan kritisisme Kant yang memberi
tempat baik kepada unsur aposteriori maupun kepada unsur apriori dalam proses pengenalan.
Namun bagi Kant unsur apriori memberikan peranan yang lebih besar daripada unsur
aposteriori. Semakin tinggi tingkat pengenalan, semakin berkuranglah peranan unsur

4
aposteriori. Maka filsafat pasca-Kant, sintesis antara rasionalisme dan empirisme diganti lagi
oleh pertentangan, tetapi dalam bentuk idealisme (ahli waris rasionalisme) dengan
positivisme/materialisme (ahli waris empirisme). Dan kemudian muncul Husserl yang
menggagas fenomenologi yang juga berhasil menemukan sintesis baru proses pengenalan
manusia.

Pemikiran filsafat Descartes dan Hume, yang memuncak pada filsafat Kant sangat
berpengaruh terhadap pembentukan pemikiran filosofis masa selanjutnya, terutama pada
pemikiran Jerman. Kant telah berhasil menyingkirkan metafisika Wolff. Namun pada masa
selanjutnya muncul Hegel dengan gagasan filsafat dialektika sejarahnya yang kembali pada
problem metafisika. Selain Hegel, nama lain yang juga berkutat dengan problem filsafat
metafisika adalah Schelling.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN kecenderungan untuk menyangka


bahwa dibawah keadaan-keadaan
Ada beberapa juru kunci filsafat modern kesadaran terdapat substratum atau
yang dianggap berkontribusi besar dalam alas yang tetap sebagai substansi,
ilmu pengetahuan dan mentalitas, antara namun itu hanya suatu belief
lain : (kepercayaan) saja. Baginya, jika
• Rene Descartes, ia merupakan bertitik tolak dari pengalaman,
filsuf yang meletakkan dasar bagi maka tidak dapat disimpulkan
aliran rasionalisme. Metode adanya suatu substansi dibawah
kesangsian yang digagas Descartes ciri-ciri yang diamati itu. Hume
tidak lain adalah buah pikir filsafat harus menyimpulkan bahwa ilmu
Descartes dalam bidang pengetahuan dan filsafat tidak
epistemologi. Dengan demikian, mampu menciptakan kepastian dan
Descartes telah meletakkan satu tidak pernah melebihi taraf
poin penting, yaitu kesadaran. probabilitas. Pendirian Hume ini
dinamakan skeptisisme.
• David Hume, ia menantang tradisi
filsafat rasionalisme yang digagas • Immanuel Kant, menurutnya baik
Descartes dengan mengajukan rasionalisme maupun empirisme
aliran filsafat baru bernama dua-duanya berat sebelah. Ia sangat
empirisme. Empirisme memilih megagumi empirisme Hume yang
pengalaman sebagai sumber utama radikal dan konsekuen. Namun
pengenalan. Pegalaman yang yang tidak disetujui Kant adalah
dimaksud adalah pengalaman skeptisisme yang dikemukakan
lahiriah yang menyangkut dunia oleh Hume. Dengan demikian,
maupun pengalaman batiniah yang Kant memperlihatkan bahwa
menyangkut pribadi manusia. pengenalan berpusat pada subjek
Menurut Hume, kebanyakan dan bukan pada objek. Kant
menusia mempunyai membedakan tiga taraf pengenalan,

5
antara lain : pengenalan pada taraf khususnya kami sebagai penulis. Kami
indra, taraf akal, dan taraf rasio. menyadari bahwa artikel ini masih jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan
SARAN para pembaca dapat memberikan kritik dan
Kami harap artikel yang telah kami saran agar penulis dapat menciptakan
tulis dapat bermanfaat bagi pembaca dan artikel yang lebih baik lagi di kesempatan
selanjutnya.

UCAPAN TERIMA KASIH Filsafat Matematika dan Ilmu Pengetahuan


Alam Semester 116 Program Studi
Kami mengucapkan terima kasih kepada Pendidikan Matematika 2021.
Bapak Dr. Lukman El Hakim, S.Pd.,
M.Pd. dan Bapak Drs. Swida Purwanto,
M.Pd. yang telah membimbing kami
dalam penyusunan artikel. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak- DAFTAR PUSTAKA
pihak yang telah membantu proses
penyusunan artikel ini. Artikel berjudul Fadli, Muhammad Rijal. 2021. Hubungan
"Pengaruh Filsafat Dalam Kehidupan Filsafat Dengan Ilmu
Modern” ini disusun dengan tujuan untuk Pengetahuan dan Relevansinya Di
memenuhi penugasan pada mata kuliah Era Revolusi Industri 4.0 (Society 5.0)
Jurnal Filsafat, 31(1),130-131.

Anda mungkin juga menyukai