Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang berada pada zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18. Kant lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April 1724.2 Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Orang tua Kant adalah seorang pembuat pelana kuda dan penganut setia gerakan Pietisme. Pada usia delapan tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme. Di sekolah ini, Kant dididik dengan disiplin sekolah yang keras. Sebagai seorang anak, Kant diajarkan untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, suatu sikap yang kelak amat dijunjung tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini pula, Kant mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikirannya. Di awal kehidupannya, Kant tidak banyak memiliki keistimewaan yang menonjol di tengah- tengah masyarakat Prusia Timur. Karakter pribadinya cenderung menyukai kehidupan yang tenang, Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila seluruh hidup Kant lebih banyak dihabiskan di Prussia Timur dan lebih menyukai duduk-duduk, membaca bukubuku serta melakukan hal-hal yang berkaitan dengan refleksi. Kant mulai menjalani pendidikan formalnya di Kolose Fredericianum antara tahun 1732- 1740. Setelah lulus dari Kolose ini, Kant melanjutkan pendidikannya ke universitas di kota kelahirannya ini juga. Di universitas ini, Kant sangat mengagumi Professor Martin Knutzen, dosen yang kelak sangat mempengaruhinya, yang mengajar logika dan metafisika, sehingga Kant mendapat pengaruh rasionalisme Leibniz dan Wolff serta mendapat wawasan yang luas tentang fisika Newton dan sistem metafisika yang berkembang masa itu. Di akhir karir intelektualnya, Kant menamakan filsafatnya sebagai “kritisisme”, sebab ia memperbaharui filsafat-filsafat sebelumnya yang bersifat dogmatis. Oleh karena itu, perjalanan intelektual Kant sebagai filsuf dapat dibagi ke dalam dua periode. Pertama adalah periode pra- kritis, suatu masa dimana ia masih menganut dogmatisme Leibniz dan Wolff. Kedua adalah periode kritis, suatu masa dimana ia membangun sintesis yang menghasilkan sebuah cara berfilsafat baru yang menjadi pijakan dalam sejarah filsafat modern. Namun demikian, secara pasti sulit diketahui saat mana Kant mengakhiri periode pertama dan mulai menjalani periode kedua. Secara umum diduga peralihan tersebut terjadi sejak Kant dikukuhkan sebagai Professor di tahun 1770, dimana ia pernah mengatakan bahwa Hume telah membangunkannya dari “tidur dogmatis”-nya. Di masa tersebut, tepatnya pada tahun 1781, Kant menerbitkan bukunya yang pertama Kritik der Reinen Vernunft (Kritik atas Rasio Murni), dan selanjutnya pada tahun 1788 menerbitkan buku Kritik der Praktischen Vernunft (Kritik atas Rasio Praktis), serta tahun 1790 menerbitkan buku Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Daya Pertimbangan). Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun dan dimakamkan di Konigsberg (sekarang bernama Kaliningrad), Prusia Timur.
II. Teori Kritisme
Teori yang di kemukakan oleh yaitu kritisme yang dimana Filsafat kritisisme merupakan penggabungan antara rasionalisme dan empirisme. Aliran kritisisme ini dikenal pula sebagai kritisisme Kant, karena Kant sebagai penggagas pertama kali yang mengkritik dan menganalisis kedua macam sumber pengetahuan itu dan menggabungkan keduanya (Soelaiman dan Putra 2019). Intinya, kritisisme di sini adalah jembatan penghubung antara kaum rasionalisme dan empirisme. Pada abad ke-18 Kant mencoba menyelesaikan persoalan antara rasionalisme dan empirisme, pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi terpengaruh oleh empirisme (Muliadi dan Busro 2020). Epistomologi : kritisme Emmanuel kant 1. sintesa rasionalisme dan empirisme Aliran rasionalisme menegaskan bahwa pengetahuan hanya akan ditemukan dengan menggunakan akal. Artinya, pada kaum rasionalisme, kebenaran terletak di akal. Rasionalisme memiliki asumsi bahwa pengetahuan yang pasti secara mutlak tidak akan pernah dicapai melalui pengalaman indrawi melainkan harus dicari dalam alam pikiran. Sedangkan filsuf empiris mencoba menemukan basis pengetahuan pada pengalaman indrawi. Kesan-kesan indrawilah yang melukiskan isi pikiran. Dari lukisan itu kemudian budi bekerja membangun pemahaman. Kemudian, David Hume yang secara konsisten menempatkan sumber pengetahuan pada pengamatan. Melalui pengamatan maka akan diperoleh kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas) (Muthmainnah 2018). kedua aliran ini sangat bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian, datanglah kritisisme yang diusung oleh Immanuel Kant yang menggabungkan kedua aliran itu dan menggariskan satu filsafat yang menengahi akal dan pengalaman indrawi. Filsafat ini tidak murni rasional dan tidak murni pula empiri, namun menggabungkan antara unsur-unsur dari kedua aliran. Dari usaha Immanuel Kant untuk memadukan pendapat antara rasionalisme dan empirisme, sehingga pikirannya merupakan suatu sintesa yang sekaligus sebagai titik akhir dari pada rasionalisme dan empirisme (Nurnaningsih 2017). Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum rasionalisme dengan kaum empirisme. Menurut Immanuel Kant, baikrasionalisme atau empirisme belum berhasil membimbing manusia untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku umum dan terbukti jelas. Immanuel Kant mengatakan bahwa pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifatanalitik-apriori (mendahului pengalaman), yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subjek. Ciri putusan ini adalah mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan dimensi universalitas atau keniscayaan. Hanya saja, jenis pengetahuan ini bersifat tautologis, hanya pengulangan dan kurang andal, karena tidak menyajikan sesuatu yang baru (Muthmainnah 2018). Pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum empirisme itu tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik-aposteriori (setelah pengalaman), yaitu suatu bentuk putusan di mana predikat belum termasuk ke dalam subjek. Kebenaran sintetik adalah kebenaran bersyarat, tergantung pada bagaimana dunia sebagaimana adanya. Keunggulan dari putusan ini adalah mampu memberikan pengetahuan baru. Namun kelemahannya, predikat tidak lebih dari fakta pengalaman, sehingga model putusan yang semacam ini akan kehilangan aspek universalitasnya. 2. kritis atas Rasio Murni Immanuel Kant mengatakan bahwa manusia memiliki tiga tingkatan pengetahuan, yaitu: (Praja 2003) a.Taraf Indra Pendirian tentang pengenalan indrawi ini mempunyai implikasi yang penting. Memang ada suatu realitas, terlepas dari subjek, Immanuel Kant berkata bahwa memang ada benda dalam dirinya, tetapi selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala- gejala, yang selalu merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu. b.Taraf Akal Budi Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data indrawi. Dengan kata lain, akal budi menciptakan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawidan bentuk adalah apriori, yang terdapat pada akal budi. Akal budi memiliki struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa mesti memikirkan data-data indrawisebagai substansiatau menurut ikatan sebab akibat. Dengan demikian, Immanuel Kant sudah menjelaskan shahihnya ilmu pengetahuan alam. c.Taraf Rasio Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data indrawi dengan mengadakan putusan. Immanuel Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi tersebut. Karena kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada ide-ide. Tetapi justru itulah yang diusahakan oleh metafisika. 3. kritik atas nalar praktik Rasio praktis adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Immanuel Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberi perintah yang mutlak, sehingga disebut dengan Imperatifkategori, yang berarti suatu perintah mutlak dan tanpa syarat (Dahlan 2009). Immanuel Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Immanuel Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis, yaitu: (a) kebebasan kehendak, (b) inmoralitas jiwa, dan (c) adanya Tuhan. Hal yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis harusdiandaikan atas dasar rasio praktis. Akan tetapi, tentang kebebasan kehendak, inmoralitas jiwa, dan adanya Tuhan, kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut dinamakan sebagai Glaube alias kepercayaan. Kemudian, Immanuel Kant menjelaskan tentang fungsi dari praktis rasio yang berkenaan dengan dasar-dasar yang menentukan kehendak, yakni sebuah kemampuan yang melahirkan objek-objek yang berhubungan dengan konsepsi-konsepsi atau menentukan dirinya sendiri, yaitu kausalitasnya untuk memengaruhi objek-objek tersebut. Rasio memiliki kuasa sejauh untuk menentukan kehendak dan sejauh menyangkut masalah kemauan saja, rasio selalu memiliki realitas objektif. Oleh karena itu, menurut Immanuel Kant, kritik terhadap rasio praktis harus mencegah rasio yang dikondisikan secara empiris agar tidak menganggap dirinya sebagai satu-satunya dasar bagi determinasi kehendak. penggunaan rasio murni yang menganggap dirinya berdaulat adalah bersifat transendenyang mengekspresikan dirinya dalam tuntutan-tuntutan dan perintah- perintah yang melampaui bidangnya sendiri (Izzah 2013). Immanuel Kant mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini termasuk manusia berperilaku menurut hukum-hukum tertentu. Tetapi, menurut Immanuel Kant hanya makhluk rasional saja yang mampu berperilaku sesuai dengan konsepsi hukum. Manusia dengan kesadaran dan akal budinya dapat mengatur perilakunya berdasarkan konsepsinya tentang hukum tersebut (Izzah 2013).
4. Moral dan Legalitas
. Legalitas (legalität) dipahami Kant sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah. Kesesuaian atau ketidaksesuaian model ini, bagi Kant belum bernilai moral, sebab dorongan batin sama sekali tidak diperhatikan. Sedangkan moralitas (moralität) yang dimaksud Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah; yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai bila ketaatan atas hukum lahiriah bukan lantara hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau sebab takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban. Nilai moral, baru diperoleh di dalam moralitas ini. Itulah Kant kemudian membedakan moralitas menjadi dua: (1) moralitas heteronom, yakni sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri; dan (2) moralitas otonom, yakni kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakininya sebagai baik. Dalam moralitas otonom ini, orang mengikuti dan menerima hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau sebab takut terhadap penguasa pemberi hukum itu, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkait nilainya yang baik. Dari sini bisa ditarik simpulan, bahwa untuk mengukur moralitas seseorang, bagi Kant, tidak boleh melihat pada hasil perbuatan. Bahwa hasil perbuatanadalah baik tidak membuktikan adanya kehendak yang baik. Karena itu, Kant menolak “etika sukses”. Yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam arti moral bukanlah hasilnya, bukan juga hasil yang dimaksud atau yang mau dicapai oleh si pelaku, melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu merupakan kewajibannya.
III. Manfaat untuk pendidikan Indonesia
Etika dalam pembelajaran memiliki peran penting dalam mewujudkan ketercapaian hasil belajar. Hasil belajar bukan hanya melulu pada ketercapaian indeks prestasi saja namun juga pada aspek pembentukan karakter. Dalam proses pembelajaran aspek pembentukan karakter ini terkadang sering dilalaikan. Krisis multidemensi yang dialami bangsa Indonesia saat ini salah satu sebabnya adalah lemahnya sistem pendidikan dalam membentuk kepribadian atau karakter mulia peserta didik. Mencermati kebijakan kurikulum berbasis kompetensi yang disosialisasikan mulai tahun 2004 jelas terlihat bahwa kebijakan saat itu ada pada perubahan strategi pembelajaran yang semula berfokus pada teacher center learning berubah menjadi student center learning. Kemandirian peserta didik menjadi urgent karena akan menghadapi kemajuan dunia global yang serba cepat dan canggih. Disini pembentukan sikap tidak tercermin dalam kurikulum dan hanya disebut sebagai hiden curriculum atau kurikulum tersamar / tersembunyi. Oleh karena itu pemerintah melalui Kemendiknas Dirjendikti mulai bulan Juni tahun 2011 mencanangkan pendidikan berbasis pembentukan karakter. Bahkan pendidikan karakter menjadi persoalan utama bangsa Indonesia. Dalam Panduan Penyelenggaraan Sosialisasi dan Implementasi Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi dipaparkan bahwa: Pembangunan watak (character building) adalah amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society). Dan, masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia adalah manusia yang berakhlak dan berwatak baik, manusia yang bermoral dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula. (Kemendiknas Dirjendikti, 2011:1)