Anda di halaman 1dari 10

MENGENAL

FILSAFAT MATERIALISME DIALEKTIKA


HISTORIS

THARIQ RASYID (20210510047)


MUHAMMAD FADEL NARENDRA (20210510043)
“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis,
sedang dialektika adalah metode-nya”
sedangkan “materialisme historis adalah
penerapan atau pengenaan materialisme
dialektik ke alam sejarah manusia”—demikian
tutur Njoto dalam kuliahnya di tahun 1961.
Dari pernyataan tersebut dapat kita uraikan
dalam tiga pokok pengertian: materialisme,
dialektika dan historisitas.

Sejarah perkembangan pikiran filsafat adalah


suatu bagian dan juga refleksi daripada proses
sejarah perkembangan masyarakat manusia.
Sebagaimana yang dikatakan Karl Marx,
sejarah masyarakat manusia merupakan
sejarah perjuangan klas, maka sebagai
pencerminannya sejarah filsafat adalah sejarah
perjuangan antara dua kubu besar: Idealisme
dan Materialisme.
IDEALISME
Sebelum kita membahas Materialisme, kita perlu
mengenal Filsafat Idealisme terlebih dahulu. Filsafat
Idealisme pada dasarnya yang berpendapat bahwa ide
atau jiwa ada terlebih dahulu. Sedangkan materi, alam
atau kenyataan obyektif diciptakan atau diwujudkan oleh
ide itu. Di sini ide bisa diartikan sebagai pikiran manusia,
baik umat manusia atau manusia perseorangan. Dapat
juga diartikan sebagai ide diluar manusia, seperti ide
Logos-nya Plato berupa ide-ide ketuhanan dan dewa-
dewa, atau absolut idea-nya Hegel.

Menurut sistim Filsafat Plato atau Platonisme, dunia luar


yang dapat ditanggap oleh panca indra atau citra rasa kita
itu bukanlah dunia yang riil. Melainkan bayangan dari
pada dunia idea-idea yang abadi dan riil. Pengetahuan
manusia adalah penemuan kembali atau pengingatan
kembali, Anamnesis, pada ide-ide itu dan tujuan dari
pengetahuan manusia adalah untuk menemukan kembali
seluruh dunia ide-ide itu.
Pada zaman pertengahan, filsafat Idealisme mengambil
bentuk baru dengan sebutan : skolastisisme. Sistem
filsafat ini memadukan pandangan dunia dan unsur-
unsur idealisme aristoteles dengan teologi. Pokok
pandangan filsafat ini adalah dunia ini merupakan satu
tingkatan hirarki dari seluruh sistim hirarki dunia
semesta yang diciptakan Tuhan, begitu pula hirarki
yang ada dalam masyarakat feodal merupakan
kelanjutan dari hirarki dunia ketuhanan. Filsafat ini
pada masanya membela kepentingan kaum bangsawan
feodal dan kekuasaan gereja.

Kemudian pada zaman modern, pada akhir abad ke-18


dan awal abad ke-19, filsafat idealisme mengambil
bentuk barunya yang terkenal dengan sistim filsafat
Hegel. Menurut Hegel hakikat dari dunia ini ialah
absolut idea yang berada secara absout dan obyektif
didalam segala sesuatu dan tak terbatas dalam ruang
dan waktu. Ide absolut ini dalam proses
perekmbangannya menampakan wujudnya dalam
gejala alam, gejala masyarakat dan gejala pikiran.
Dengan demikian Ide absolut ini tak lain dari pencipta
segala sesuatu di dunia ini.
MATERIALISME
Filsafat Materialisme adalah sistim filsafat yang
berpandangan bahwa keadaan atau materi ialah primer.
Dan ide ialah sekunder, dilahirkan dan ditentukan oleh
materi. Ide merupakan pencerminan dari materi yang ada
di dunia. Segala macam gejala yang ada didunia ini
mempunyai satu dasar yang sama, yakni materi.

Pada awalnya filsafat materialisme memahami materi


sebagai obyek indrawi belaka. Pengertian ini tak mampu
menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga
hasil dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada
obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan
peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi
materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang dapat
disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx
lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material,
yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain
adalah laku, kerja, praxis.
Pengertian Marx tentang materialisme ini merupakan
sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran. Pengertian
ini pulalah yang pertama kalinya mampu melepaskan
materialisme dari idealisme. Selama materialisme hanya
berhenti pada primasi pada materi sebagai esensi
realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari
“idealisme terselubung” (disguised idealism).

Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini


materialisme menjadi subyektif dan terekspresikan
dalam praxis konkret. Materialisme Marx adalah
pengertian bahwa keseluruhan obyek yang menyusun
realitas ini tak lain adalah efek dari aktivitas subyek.
Dipahami dalam kerangka ini, tak ada yang sepenuhnya
natural dalam realitas keseharian, tak ada nostalgia akan
kemurnian azali. Kenaikan harga sembako tidaklah
alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di
Donec sollicitudin molestie malesuada.
Kalimantan,Donecpemanasan
rutrum congue global
leo. dan matinya seorang
buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari konfigurasi
Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et
aktivitas manusia yang tertentu. Sikap kritis yang
ultrices posuere cubilia Curae; Donec velit neque, auctor
menolak untuk
sit amet memandang
aliquam realitassitsecara
vel, ullamcorper natural dan
amet ligula.
mengakui adanya intervensi subyektif yang justru
mengkonstitusi kenyataan sehari-hari inilah yang
disebut Njoto sebagai konsepsi materialis.
DIALEKTIKA
Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis.
Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan
dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang artinya
“dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai
dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal,
yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai
manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin yang
tak putus.

Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga term non-A yang
darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh
ia koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada
internal dalam definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal
inilah yang memungkinkan terwujudnya determinasi resiprokal antar elemen
dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa “omnis
determinatio est negatio” (semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel,
relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi
(A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “negasi
atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang
biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika
inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan
pikiran.
HISTORISITAS
Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita
sering mendengar tentang ramalan Marx mengenai tatanan
komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-
olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah
merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar
sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu
konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar
dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga dunia komunis.
Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau
pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal.

Ada komentator yang menyatakan bahwa historisisme Marx ini


merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel.
Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai
konsepsi sejarah yang dipimpin oleh suatu teleologi internal
sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri
Roh menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah salah satu
alasan mengapa Althusser bersusah payah membersihkan
pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser adalah alah
seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi
anti-historisis dari pemikiran Marx.
Baginya tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman humanis tentang
proletar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence). Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-
sungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem yang asing terhadap
filsafat Marx.

Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis, dapat mengarah pada
pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi
skema Marx yang terkenal tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme: karena
infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan
pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap.

Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis” bahwa kapitalisme akan tumbang
dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial
dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi resiprokal yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah
dunia yang melingkupinya.
Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci
yang tidak berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni
“determinasi pada pokok terakhir”. Artinya, determinasi pada
pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap
tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan.
Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi
(surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal di
mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh
apa yang ia determinasikan sendiri.

Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti


Marx dalam konteks relasi antara infrastruktur dan
suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari
momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak
pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’ never
comes].” Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial
dalam pemikiran Marx.

Anda mungkin juga menyukai