Berbicara mengenai marwah, maka kita akan mengaitkan dengan makna kehormatan, gengsi, integritas dan lain sebagainya. Kemudian, dari preseden yang ditangkap dan dirasakan, dari mulai jaman orla, orba, reformasi hingga sekarang, menjadi sebuah hal yang berbeda dan mengundang keinginan kita untuk mencari tahu, jika ada yang mempertanyakan, atau meragukan marwah mahasiswa hilang kemana? Benarkah marwah mahasiswa itu telah hilang? Jika iya mengapa dan bagaimana? Jika tidak apa alasannya? Menurut konsiderannya, mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar pada suatu perguruan tinggi tertentu. Kemudian kita membahas marwah. Dimanakah marwah mahasiswa? Mahasiswa tentunya adalah orang terdidik. Mahasiswa adalah insan akademis. Mahasiswa adalah seorang akademisi. Kali ini, kita coba memantik dari dimensi historisnya. Dari dimensi historisnya, bagaimana kata akademisi itu ada? Akademisi itu, adalah istilah yang dipakai pertama kali untuk menyebut para filsuf Yunani. Lalu atas dasar apa? Para filsuf tersebut berkumpul, lalu naik ke atas gunung kadebus, kemudian berdiskusi membicarakan permasalahan negara, permasalahan- permasalahan sosial yang ada di bawah. Kemudian, karena mereka membicarakan hal yang bukan menjadi kewenangan dari forum tersebut, dan tentu saja forum itu diluar forum kerajaan, maka mereka ditangkap. Sejak saat itu mereka dikenang dengan sebutan “Akademisi”. Dipandang pada historis Bangsa Indonesia, mahasiswa adalah tonggak/inisiator lahirnya nasionalisme. Dalam kata lain nasionalisme di inisiasi oleh mahasiswa, yang mana dahulu perjuangan masih bersifat kedaerahan. Sebagai dampak dari adanyta politik etis, maka banyak kaum terdidik di negeri ini yaitu mahasiswa. Bagaimana tidak, jika mahasiswa kedokteran berkumpul di ruang kelasnya untuk menyuarakan narasi kesatuan? Bukan narasi kesehatan yang disuarakan kali itu. Dengan itu mereka membentuk Budi Utomo. Bayangkan saja jika saat itu mahasiswa masih terkungkung dengan egoisme mereka, serta tidak merasa memiliki tanggung jawab untuk berfikir lebih, memikirkan nasib bangsanya untuk lepas dari keterpurukan dan penjajahan? Akankah nasionalisme, persatuan dan kemerdekaan bisa kita miliki saat ini? Kenyataannya persatuan selalu dimotori oleh pergerakan pemuda dan mahasiswa. Sumpah pemuda pun juga diikrarkan sebagai tonggaknya. Mahasiswa juga menjadi motor bagi tumbangnya rezim yang dirasa sudah tidak representatif lagi untuk memerintah. Maka tak aneh tak muluk-muluk bila mahasiswa memiliki fungsi sebagai agent of changes, agent of control dan agent of iron stock. Dari sudut pandang historis itu, kita bisa mengambil benang merah, menelaah, mengeja, dan menjabarkan kembali. Dimanakah letak marwah mahasiswa? Dari pemaparan historis diatas, maka marwah mahasiswa benar-benar hidup, jika ada pemikiran-pemikiran yang terus ditorehkan dan dihasilkan secara kontinyu. Mahasiswa adalah kaum intelektual. Fungsi mahasiswa salah satunya adalah sebagai agent of control. Implementasi praktis dari fungsi tersebut adalah menjadi mitra kritik pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh bapaknya para akademisi. Karena dengan itulah mereka dikenang. Dengan itulah mereka disebut sebagai akademisi. Maka berfikir dan menjadi mitra kritik adalah ruh dan nafas dari marwah mahasiswa. Seperti kata Rocky Gerung, bahwa ijazah adalah bukti bahwa kita bersekolah, bukan berfikir. Maka orang yang sekolah dituntut untuk lebih yakni berfikir. Ibarat suatu tubuh, jika nafas itu tiada, maka organisme itu bisa disebut mati. Sama halnya dengan itu. Jika mahasiswa berhenti berfikir, maka marwah mahasiswa mati. Karena nafasnya dan ruhnya telah tercabut dari suatu organ bernama mahasiswa. Mahasiswa haruslah memikirkan maslah-masalah sosial. Karena mahasiswa adalah kaum terdidik, sehingga memiliki tanggung jawab yang lebih. Memiliki tupoksi yang lebih. Selain fungsi akademik untuk berkuliah, mahasiswa juga memegang peran dan fungsi moral. Fungsi moral yang dimaksud adalah, mahasiswa sebagai kaum intelektual harus bisa menjadi role model di lingkungannya. Mahasiswa dengan segudang ilmu yang dimiliki harus dapat bertransformasi menjadi trendsenter. Karena itulah, output dari semua itu mahasiswa mampu menjadi seorang agent of change. Selain itu mahasiswa juga memegang fungsi sosial, mahasiswa harus peka sosial. Mahasiswa harus peduli dengan permasalahan sosial. Ketika masyarakat di suatu daerah menghadapi masalah tertentu, maka mahasiswa dengan intelektualitasnya harus perduli, mengkaji sesuai kaidah keilmuan, kemudian berdiri didepan membela kepentingan-kepentingan masyarakat. Nafas dari marwah mahasiswa, salah satu komponen lain juga pada idealisme. Sebagaimana menurut Tan Malaka, bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seorang pemuda. Idealisme sendiri berasal dari kata ideal kemudian ditambah akhiran isme. Akhiran itu ditambah jika memang sudah menjadi sebuah pemikiran, pandangan dan pemahaman/faham. Faham untuk menuju sesuatu yang ideal. Selalu mencari sesuatu kemudian memandang kemana arah yang ideal? Lalu berfikiran untuk menuju kesana. Menjadikan hal ideal sebagai tujuan. Sebagai contoh kita ambil salah satu permasalahan sosial. Masalah pertambangan semisal. Maka mahasiswa sebagai kaum intelektual juga harus mengkaji serta mencari jalan bagaimana idealnya? Bagaimana untuk menuju kesana. Maka mahasiswa peduli. Kemudian mengkaji bagaimana untung ruginya? Adakah yang dirugikan dari pendiriannya? Bagaimana AMDAL? Semuanya dikaji sesuai kaidah keilmuan. Jika pendirian itu tak berdampak buruk, dan sah maka kita dukung. Jika ada yang tercederai, maka mahasiswa harus berdiri di garda terdepan untuk mengatakan kebenaran didepan penguasa. Membela kepentingan masyarakat. Itulah yang disebut idealisme. Lalu bagaimanakah keadaan mahasiswa sekarang? Dari diskusi dan dialektika yang dibangun, maka semua bersepakat. Mahasiswa sekarang telah terlena, dengan menempatkan idealisme-idealisme di tempat yang salah. Idealisme mahasiswa memiliki orientasi yang berbeda sekarang. Idealisme sosial hampir tiada untuk saat ini. Saat ini idealisme mahasiswa bukan lagi di akal fikiran, tetapi ada di program kerja. Dan praktis akal fikiran mahasiswa dikerahkan sepenuhnya untuk memikirkan bagaimana program kerja mereka berjalan dengan lancar. Dan terbatas sampai disitu. Ketika program kerja digunakan sebagai alat untuk berburu eksistensi organisasi mahasiswa. Jika program kerja berjalan lancar, jika organisasi memiliki banyak program kerja, maka mindset yang ada di benak mayoritas, akan terlihat mentereng dan berkilaulah organisasi itu. Organisasi akan semakin eksis, citranya naik. Dan itulah fungsi praktis yang kebanyakan masih diterapkan. Per hari ini, citra itu memang bagaikan emas. Pun demikian ketika terjadi miss presepsi bahkan dikalangan mahasiswa sendiri. Ketika aksi demonstrasi turun ke jalan dianggap sebagai sebuah hal anarkhi. Ketika mengatakan kebenaran dan bersura lantang itu dianggap tindakan tak wajar dan tercitra negatif. Dimanakah ruh perjuangan? Tiada kah? Itulah yang saat ini terjadi. Idealisme mahasiswa mengarah kepada kegiatan-kegiatan eventual. Bagaimana membangun sebuah acara yang bagus. Bagaimana cara menjadi seorang event organizer? Idealisme itu bukan lagi ada di pemikiran, bukan lagi ada pada dialektika-dialektika konstruktif, yang membicarakan bagaimana permasalahan sosial bisa terselesaikan? Bagaimana penderitaan bisa diakhiri? Kemiskinan bisa lekas? Kemudian memikirkan solusi. Dialektika-dialektika konstruktif itu hampir jarang terdengar lagi. Istilah jawanya “pelit-pelit tur pamer-pamer”. Pelit untuk memikirkan permasalahan-permasalahan sosial dan penderitaan orang. Dan pamer akan legitimasi. Menjadi seorang organisator, lambang-lambang, simbol-simbol dan lain sebagainya. Lalu bagaimanakah solusi yang ditawarkan? Forum menawarkan beberapa solusi : 1. Limitasi Program Kerja Organisasi 2. Penanaman Hal Tersebut di Perkaderan 3. Gunakan Posisi dan Legitimasimu Untuk Merubah Keadaan 4. Berorganisasi Lebih
Harapan kedepan, marwah mahasiswa hidup kembali, menyala-nyala dan berkobar
yang mana itu akan menjadi sebuah keniscayaan. Semoga mahasiswa kembali kepada orientasi yang benar dalam hal idealisme. Mahasiswa haruslah kembali untuk menjalankan fungsi-fungsinya yang per saat ini nyaris kurang dijalankan. Besar harapan, fialektika- dialektika konstruktif akan terbangun. Terimalah Salam Persatuan, Hidup Mahasiswa!! Hidup Rakyat Indonesia!!
Albert Bandura dan faktor efikasi diri: Sebuah perjalanan ke dalam psikologi potensi manusia melalui pemahaman dan pengembangan efikasi diri dan harga diri
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita