Anda di halaman 1dari 3

PRESS RELEASE KAJIAN PERDANA I

DEPARTEMEN KASTRAT DAN PONDOK LITERASI AIRLANGGA

MARWAH MAHASISWA HILANG KEMANA?


Berbicara mengenai marwah, maka kita akan mengaitkan dengan makna kehormatan,
gengsi, integritas dan lain sebagainya. Kemudian, dari preseden yang ditangkap dan
dirasakan, dari mulai jaman orla, orba, reformasi hingga sekarang, menjadi sebuah hal yang
berbeda dan mengundang keinginan kita untuk mencari tahu, jika ada yang mempertanyakan,
atau meragukan marwah mahasiswa hilang kemana? Benarkah marwah mahasiswa itu telah
hilang? Jika iya mengapa dan bagaimana? Jika tidak apa alasannya?
Menurut konsiderannya, mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar pada suatu
perguruan tinggi tertentu. Kemudian kita membahas marwah. Dimanakah marwah
mahasiswa? Mahasiswa tentunya adalah orang terdidik. Mahasiswa adalah insan akademis.
Mahasiswa adalah seorang akademisi. Kali ini, kita coba memantik dari dimensi historisnya.
Dari dimensi historisnya, bagaimana kata akademisi itu ada?
Akademisi itu, adalah istilah yang dipakai pertama kali untuk menyebut para filsuf
Yunani. Lalu atas dasar apa? Para filsuf tersebut berkumpul, lalu naik ke atas gunung
kadebus, kemudian berdiskusi membicarakan permasalahan negara, permasalahan-
permasalahan sosial yang ada di bawah. Kemudian, karena mereka membicarakan hal yang
bukan menjadi kewenangan dari forum tersebut, dan tentu saja forum itu diluar forum
kerajaan, maka mereka ditangkap. Sejak saat itu mereka dikenang dengan sebutan
“Akademisi”.
Dipandang pada historis Bangsa Indonesia, mahasiswa adalah tonggak/inisiator
lahirnya nasionalisme. Dalam kata lain nasionalisme di inisiasi oleh mahasiswa, yang mana
dahulu perjuangan masih bersifat kedaerahan. Sebagai dampak dari adanyta politik etis, maka
banyak kaum terdidik di negeri ini yaitu mahasiswa. Bagaimana tidak, jika mahasiswa
kedokteran berkumpul di ruang kelasnya untuk menyuarakan narasi kesatuan? Bukan narasi
kesehatan yang disuarakan kali itu. Dengan itu mereka membentuk Budi Utomo. Bayangkan
saja jika saat itu mahasiswa masih terkungkung dengan egoisme mereka, serta tidak merasa
memiliki tanggung jawab untuk berfikir lebih, memikirkan nasib bangsanya untuk lepas dari
keterpurukan dan penjajahan? Akankah nasionalisme, persatuan dan kemerdekaan bisa kita
miliki saat ini? Kenyataannya persatuan selalu dimotori oleh pergerakan pemuda dan
mahasiswa. Sumpah pemuda pun juga diikrarkan sebagai tonggaknya. Mahasiswa juga
menjadi motor bagi tumbangnya rezim yang dirasa sudah tidak representatif lagi untuk
memerintah. Maka tak aneh tak muluk-muluk bila mahasiswa memiliki fungsi sebagai agent
of changes, agent of control dan agent of iron stock.
Dari sudut pandang historis itu, kita bisa mengambil benang merah, menelaah,
mengeja, dan menjabarkan kembali. Dimanakah letak marwah mahasiswa? Dari pemaparan
historis diatas, maka marwah mahasiswa benar-benar hidup, jika ada pemikiran-pemikiran
yang terus ditorehkan dan dihasilkan secara kontinyu. Mahasiswa adalah kaum intelektual.
Fungsi mahasiswa salah satunya adalah sebagai agent of control. Implementasi praktis dari
fungsi tersebut adalah menjadi mitra kritik pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh bapaknya
para akademisi. Karena dengan itulah mereka dikenang. Dengan itulah mereka disebut
sebagai akademisi. Maka berfikir dan menjadi mitra kritik adalah ruh dan nafas dari marwah
mahasiswa. Seperti kata Rocky Gerung, bahwa ijazah adalah bukti bahwa kita bersekolah,
bukan berfikir. Maka orang yang sekolah dituntut untuk lebih yakni berfikir.
Ibarat suatu tubuh, jika nafas itu tiada, maka organisme itu bisa disebut mati. Sama
halnya dengan itu. Jika mahasiswa berhenti berfikir, maka marwah mahasiswa mati. Karena
nafasnya dan ruhnya telah tercabut dari suatu organ bernama mahasiswa. Mahasiswa haruslah
memikirkan maslah-masalah sosial. Karena mahasiswa adalah kaum terdidik, sehingga
memiliki tanggung jawab yang lebih. Memiliki tupoksi yang lebih. Selain fungsi akademik
untuk berkuliah, mahasiswa juga memegang peran dan fungsi moral.
Fungsi moral yang dimaksud adalah, mahasiswa sebagai kaum intelektual harus bisa
menjadi role model di lingkungannya. Mahasiswa dengan segudang ilmu yang dimiliki harus
dapat bertransformasi menjadi trendsenter. Karena itulah, output dari semua itu mahasiswa
mampu menjadi seorang agent of change. Selain itu mahasiswa juga memegang fungsi sosial,
mahasiswa harus peka sosial. Mahasiswa harus peduli dengan permasalahan sosial. Ketika
masyarakat di suatu daerah menghadapi masalah tertentu, maka mahasiswa dengan
intelektualitasnya harus perduli, mengkaji sesuai kaidah keilmuan, kemudian berdiri didepan
membela kepentingan-kepentingan masyarakat.
Nafas dari marwah mahasiswa, salah satu komponen lain juga pada idealisme.
Sebagaimana menurut Tan Malaka, bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang
dimiliki oleh seorang pemuda. Idealisme sendiri berasal dari kata ideal kemudian ditambah
akhiran isme. Akhiran itu ditambah jika memang sudah menjadi sebuah pemikiran,
pandangan dan pemahaman/faham. Faham untuk menuju sesuatu yang ideal. Selalu mencari
sesuatu kemudian memandang kemana arah yang ideal? Lalu berfikiran untuk menuju
kesana. Menjadikan hal ideal sebagai tujuan.
Sebagai contoh kita ambil salah satu permasalahan sosial. Masalah pertambangan
semisal. Maka mahasiswa sebagai kaum intelektual juga harus mengkaji serta mencari jalan
bagaimana idealnya? Bagaimana untuk menuju kesana. Maka mahasiswa peduli. Kemudian
mengkaji bagaimana untung ruginya? Adakah yang dirugikan dari pendiriannya? Bagaimana
AMDAL? Semuanya dikaji sesuai kaidah keilmuan. Jika pendirian itu tak berdampak buruk,
dan sah maka kita dukung. Jika ada yang tercederai, maka mahasiswa harus berdiri di garda
terdepan untuk mengatakan kebenaran didepan penguasa. Membela kepentingan masyarakat.
Itulah yang disebut idealisme.
Lalu bagaimanakah keadaan mahasiswa sekarang?
Dari diskusi dan dialektika yang dibangun, maka semua bersepakat. Mahasiswa
sekarang telah terlena, dengan menempatkan idealisme-idealisme di tempat yang salah.
Idealisme mahasiswa memiliki orientasi yang berbeda sekarang. Idealisme sosial hampir
tiada untuk saat ini. Saat ini idealisme mahasiswa bukan lagi di akal fikiran, tetapi ada di
program kerja. Dan praktis akal fikiran mahasiswa dikerahkan sepenuhnya untuk memikirkan
bagaimana program kerja mereka berjalan dengan lancar. Dan terbatas sampai disitu.
Ketika program kerja digunakan sebagai alat untuk berburu eksistensi organisasi
mahasiswa. Jika program kerja berjalan lancar, jika organisasi memiliki banyak program
kerja, maka mindset yang ada di benak mayoritas, akan terlihat mentereng dan berkilaulah
organisasi itu. Organisasi akan semakin eksis, citranya naik. Dan itulah fungsi praktis yang
kebanyakan masih diterapkan. Per hari ini, citra itu memang bagaikan emas.
Pun demikian ketika terjadi miss presepsi bahkan dikalangan mahasiswa sendiri.
Ketika aksi demonstrasi turun ke jalan dianggap sebagai sebuah hal anarkhi. Ketika
mengatakan kebenaran dan bersura lantang itu dianggap tindakan tak wajar dan tercitra
negatif. Dimanakah ruh perjuangan? Tiada kah? Itulah yang saat ini terjadi. Idealisme
mahasiswa mengarah kepada kegiatan-kegiatan eventual. Bagaimana membangun sebuah
acara yang bagus. Bagaimana cara menjadi seorang event organizer? Idealisme itu bukan lagi
ada di pemikiran, bukan lagi ada pada dialektika-dialektika konstruktif, yang membicarakan
bagaimana permasalahan sosial bisa terselesaikan? Bagaimana penderitaan bisa diakhiri?
Kemiskinan bisa lekas? Kemudian memikirkan solusi. Dialektika-dialektika konstruktif itu
hampir jarang terdengar lagi. Istilah jawanya “pelit-pelit tur pamer-pamer”. Pelit untuk
memikirkan permasalahan-permasalahan sosial dan penderitaan orang. Dan pamer akan
legitimasi. Menjadi seorang organisator, lambang-lambang, simbol-simbol dan lain
sebagainya.
Lalu bagaimanakah solusi yang ditawarkan? Forum menawarkan beberapa solusi :
1. Limitasi Program Kerja Organisasi
2. Penanaman Hal Tersebut di Perkaderan
3. Gunakan Posisi dan Legitimasimu Untuk Merubah Keadaan
4. Berorganisasi Lebih

Harapan kedepan, marwah mahasiswa hidup kembali, menyala-nyala dan berkobar


yang mana itu akan menjadi sebuah keniscayaan. Semoga mahasiswa kembali kepada
orientasi yang benar dalam hal idealisme. Mahasiswa haruslah kembali untuk menjalankan
fungsi-fungsinya yang per saat ini nyaris kurang dijalankan. Besar harapan, fialektika-
dialektika konstruktif akan terbangun.
Terimalah Salam Persatuan,
Hidup Mahasiswa!!
Hidup Rakyat Indonesia!!

Anda mungkin juga menyukai