Anda di halaman 1dari 3

Menjadi Mahasiswa : Sudah Layak?

Oleh Rizqo Abdillah


Pada sekitar 500 tahun sebelum Masehi, di sebelah barat laut kota Athena, para filsuf Yunani
sering mengadakan perkumpulan di sebuah taman yang bernama “Academos”. Konon nama tempat
tersebut diambil dari nama seorang pahlawan perang Troya yang begitu legendaris. Di sana mereka
mendiskusikan banyak hal, jika kalian kenal dengan Socrates dan Plato, tempat inilah yang menjadi awal
mula mimbar penyalur gagasan-gagasan besar mereka hingga merebak ke seluruh penjuru dunia. Seiring
perkembangan waktu, Academos menjadi lebih sering disebut dengan Academic. Tempat ini
bertransformasi menjadi semacam “Perguruan” dan memiliki topik pembahasan yang luas, salah satunya
tentang isu-isu kenegaraan. Namun, tidak lama berselang, penguasa membubarkan perkumpulan ini.
Academic dinilai sebagai ancaman karena mendiskusikan negara tanpa adanya keikutsertaan institusi
terkatit. Dari sinilah mereka (para Filsuf) pertama kali dipanggil dengan sebutan “Akademisi”.

Kemudian sekitar 1,5 Abad setelahnya, di belahan Bumi yang berbeda. Seorang pemuda yang
berasal dari sekitaran hulu Sungai Brantas Majapahit bersumpah atas nama Palapa untuk bertekad
menyatukan daerah semenanjung kepulauan Melayu, yang dikenal dengan Nusantara. Jiwa Sumpah
Palapa tersebut tidak mati walau sang Gajah Mada (pencetusnya) mati, ia terus diturunkan secara turun-
temurun menjadi suatu ruh yang terus menggelora, menularkan rasa keinginan untuk menyatukan
Nusantara.

Baru pada awal Abad 20, pewaris pemikiran dari Taman Academos dan pewaris Jiwa Sumpah
Palapa Nusantara menyatu menjadi suatu generasi. Tidak terlalu berlebihan jika kita menyebut mereka
dengan akademisi berjiwa Sumpah Palapa. Golongan ini ditengarai dengan peristiwa Sumpah Pemuda
pada 1928 yang sebenarnya hanya mengulang tekad penyatuan Nusantara (Sumpah Palapa) sang Gajah
Mada 500 tahun sebelumnya. Tekad yang kembali diingat dan digelorakan itu, berbuah hasil dengan
kemerdekaan Indonesia pada 1945. Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Soebarjo, Tan Malaka, Wahid Hasyim,
Mahbub Djunaidi, dan semua tokoh kemerdekaan waktu itu adalah pewaris buah pikir taman Academos
dan gelora jiwa Sumpah Palapa.

Lambat laun setelah Nusantara disatukan menjadi Negara Indonesia, jiwa tersebut masih terus
membara. Terbukti pada Tahun 1960, mereka melengserkan Soekarno yang dinilai gagal menjalankan
roda pemerintahan. Tidak berhenti sampai di situ, Tahun 1998 mereka muncul kembali ke permukaan
untuk menumbangkan rezim yang begitu otoriter dan menindas rakyat, mengakhiri kekuasaan 32 tahun
Soeharto serta mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang Reformasi. Dan sekarang, di era kontemporer
ini, di zaman yang begitu semu, di mana orang tidak bisa mengetahui mana tangan kanan dan mana
tangan kiri di foto selfie, jiwa yang menggelora tersebut menjelma menjadi sebuah golongan masyarakat
yang kita kenal dengan istilah “Mahasiswa”.

Dari sejarah singkat di atas, benang merah yang bisa kita lihat secara jelas mengenai apa yang
diperjuangan golongan ini adalah : pengawalan rakyat menuju keadilan dan kemakmuran.

Academos dibentuk oleh para Fisuf Yunani sebagai forum diskusi bebas untuk melahirkan gagasan
perubahan yang kemudian diterapkan di masyarakat. Sumpah Palapa terucap karena keinginan luhur
Gajah Mada untuk menyatukan Negri besar yang memiliki kekuatan besar sehingga dapat memberikan
rasa aman untuk rakyatnya. Sumpah Pemuda lahir dari persamaan derita kolonialisme yang dirasakan
seluruh rakyat Nusantara. Reformasi digagas untuk mengentaskan penderitaan rakyat dari kekuasaan
yang menindas. Semua mengarah pada satu objek muara : rakyat.

Dari aksi heroik tersebut, mahasiswa acapkali dilabeli dengan title agent of change, agent of social
control, juga tidak terlalu melebih-lebihkan jika mahasiswa dalam kacamata tertentu dijuluki sebagai juru
selamat rakyat. Sebagai seorang cendikia, mahasiswa harusnya adalah seseorang yang tidak hanya
berpikir, namun juga resah dan senantiasa mempertanyakan kembali keadaan-keadaan (masyarakat) di
sekitarnya. Namun apakah benar sekarang demikian adaanya? apakah title-title tersebut hanya sebatas
penguat eksistensi dari keberadaan mahasiswa sendiri? hanya sebatas daftar kampus memiliki almet
sehingga bisa untuk menulis deskripsi di bio Instagram? lalu jika tugas yang sudah luhur itu tidak
dijalankan, kemudian harus bersikap apa mahasiswa sekarang?

Sakit memang melihat mahasiswa jaman sekarang, sama sakitnya ketika ditolak mantan pas kita
ngajak balikan. Sebenarnya ini naif sekali, wong saya juga masih bertitle mahasiswa. Namun apalah daya
keadaan, sebagai seorang akademisi saya diwajibakan menjalankan tugas sucinya pula : menyampaikan
kebenaran sepahit apapun itu. Dengan kemajuan zaman yang begitu pesat, kita diarahkan kepada
segalanya yang berbau semu. Kesenangan-kesenangan semu, reputasi semu, kekuasaan semu, informasi
semu, semua serba semu. Hal tersebut membuat kita menjadi manusia yang tidak bisa menghargai proses.
Bayangkan saja, kita sudah bisa menikmati kebahagiaan hanya dengan jempol tangan, scroll Instagram,
buat cuitan di Twitter, update status di Facebook, nonton video komedi di Youtube, bahkan yang lebih
parah lagi nonton video porno. Hal-hal semu itu yang membuat gelora jiwa yang sudah diwariskan para
pendahulu kita mulai padam. buyar. ambyar.

Kampus yang menjadi rahim perubahan tak ayal malah menjadi kaki tangan oligarki. Mahasiswa
sebagai pembawa angin perubahan ikut-ikutan praktik-praktik para politisi yang sama-sama kita pahami
bahwa itu keliru. Mulai dari jual beli suara ketika pencalonan Presiden Mahasiswa, nepotisme petinggi-
petinggi ORMAWA, baku hantam dalam forum untuk memperjuangkan jabatan mati-matian, yang semua
pada akhirnya hanya sebatas “menjadi”, saya jadi Presiden Mahasiswa, saya jadi DPM, saya jadi Ketua
Hima, saya jadi, jadi, jadi, jadi dan jadi. Bukan “saya sudah dan akan”. Stagnanisasi sangat kontras dan
bisa kita lihat dengan mata telanjang. Progresifitas mati, kembang pikiran dan cara pandang hanya
bermuara pada pragmatisme. Belum lagi budaya keratonisme yang dipupuk subur di kampus. Saya
sependapat jika saat fase Pendidikan SD, SMP, SMA, mau apapun yang disampaikan Guru, tidak boleh
dibantah. Namun di Kampus? Profesorpun boleh kita ragukan pendapatnya, dibantah opininya, karena
memang itulah esensi dari akademisi : kebebasan berfikir dan berpendapat. Keratonisasi membuat dosen
sekarang sudah menjelma menjadi dewa-dewa yang disembah oleh mahasiswanya. Mereka mengemis
nilai apapun itu caranya, meski tidak paham pembahasan mata kuliah sekalipun. Tidak ada dialektika
keilmuan yang dua arah antara mahasiswa dan dosen. Perkataan dosen ibarat sabda seorang Nabi,
mutlak!

Lalu jika sudah begini, bagaimana bisa kita memikirkan fenomena ketimpangan di sekitar kita?
kalau kita hanya sibuk dengan keperluan pribadi atau golongan untuk mencapai sesuatu yang semu? kalau
kita sudah merasa menjadi mahasiswa jika sudah dapat almet dan pasang bio di Instagram? Ah. Bro, kita
masih sangat jauh dari title yang diberikan masyarakat itu.

Perlu kita mengingat kembali, apa isi Tri Dharma Perguruan Tinggi :

1. Pendidikan dan Pengajaran


2. Penelitian dan Pengembangan
3. Pengabdian kepada Masyarakat.

Kenapa pengabdian masyarakat diletakkan di akhir poin? sebab kita harus selesai terlebih dahulu di
dua poin sebelumnya. Kalau kata orang bijak “orang besar adalah orang yang sudah selesai dengan
dirinya sendiri”. Tidak bisa menjadi ukuran, namun paling tidak relate dengan apa yang sedang kita
bicarakan. bahwa kita harus selesai terlebih dahulu dengan pikiran. Seperti yang pernah dikatakan Jean
Marais dalam buku Bumi Manusianya Pramoedya “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak
dalam pikiran, apalagi perbuatan”. Paling tidak, kita menjadi manusia merdeka yang tidak dibelenggu
oleh tendesi-tendesi reputasi, kedudukan, pragmatisasi, dan semua yang menggiurkan. Warisan luhur dari
jiwa pendahulu kita harus dilaksanakan sesulit apapun itu.

Terakhir, mengutip kata-kata Soe Hok Gie “Hanya ada dua pilihan, apatis atau mengikuti arus.
Namun saya memilih menjadi manusia merdeka”. Jiwa mahasiswa seakan dijelaskan oleh kalimat
tersebut. Walau hanya ada dua pilihan yang harus diambil, seorang mahasiswa bukanlah manusia yang
menerima keadaan tanpa alasan. Ia menelisik, menangkap pola dari ketidakteraturan, mengkaji, dan
menganalisis dengan cermat. Maka Soe Hok Gie, seorang mahasiswa, tidak mengambil satu dari dua
pilihan tersebut. Namun ia memahami ada kesempatan dan pilihan lain, yaitu dengan menjadi manusia
merdeka.

Kenilihilan keadaan saat ini bukan menjadi alasan gelora jiwa yang pendahulu wariskan dari Taman
Academos dan Sumpah Palapa harus mati dan padam. Kebuntuan ini adalah kesempatan kita sebagai
mahasiswa mempertanyakan kembali perangkat dan fungsinya, menyalakan kembali api kebenaran yang
hampir padam, dan mencari jalan lain untuk mengahiri tembok buntu moral bangsa. Selamat berpikir
kembali apakah saya sudah pantas dipanggil mahasiswa. Tak usah muluk-muluk bicara soal negara, simple
saja. Apakah kita semua sudah bisa terlepas dari belenggu bayang-bayang Mantan?

Anda mungkin juga menyukai