Anda di halaman 1dari 5

Pengantar Sejarah pergerakan mahasiswa

Pelangi itu sangat indah dipandang mata. Mengapa? Keindahan pelangi yang tertangkap mata,
tidak lain disebabkan oleh adanya keragaman warna yang tampil dalam pandangan mata.
Demikian itulah yang seharusnya tampil di tengah-tengah keseharian pelajar dan mahasiswa.
Keberagaman karakter dan pengalaman individu maupun kelompok menjadi dasar munculnya
warna-warna yang menyatu dalam sebuah organisasi. Penyatuan dari keberagaman ini kemudian
dikenal dengan konsepsi nasionalisme. Dalam konsepsi ini terdapat konsep nation Indonesia,
demokrasi, unitarianisme, otonomi dan kemerdekaan. Nasionalisme Indonesia mencakup unity
(persatuan), liberty (kemerdekaan), equality (persamaan).[3] Pelajar dan mahasiswa saja, sangat
berkompeten dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.
Usia muda adalah usia kreatif. Mereka sebagai bagian terpenting dari perubahan yang ada dan
terjadi di negara ini. Teringatlah kita pada ucapan Bung Karno, jika saya diberi seribu orang tua,
nicaya akan kuruntuhkan Gunung Mahameru (Semeru). Tetapi bila aku diberi seorang pemuda,
dunia ini akan ku gegerkan. Atap langit sekalipun akan ku runtuhkan. Betapa luar biasanya
potensi pemuda di mata Bung Karno. Apalagi jika pemuda itu adalah pelajar dan mahasiswa[4],
maka dialah sumbu utama sebuah gerak sejarah. Kelompok kelas menengah ini dikenal sebagai
generasi muda yang penuh vitalitas. Dalam diri mereka (pelajar dan mahasiswa) terdapat
semangat juang, daya pikir kritis, rasional, bijaksana, obyektif, dan kreatif.[5]
Sejarah juga telah mencatat, kiprah mahasiswa Sulawesi Tengah dalam kehidupan masyarakat di
daerah ini. Mulai dari keterlibatan mereka dalam berbagai gerakan kemahasiswaan hingga pada
keterlibatan mereka di pentas nasional. Satu hal yang membanggakan, yakni kehadiran
Mahasiswa di Makassar, Jakarta, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan beberapa Kota Besar
lainnya telah menegakkan berdirinya Provinsi Sulawesi Tengah 1964. Selanjutnya dalam
perkembangannya, mahasiswa di Sulawesi Tengah mulai terlibat dalam berbagai demonstrasi,
baik di kampusnya sendiri maupun di jalanan ibukota provinsi. Sudah seyogyanya, manusia
saling mengetahui apa yang sedang diikirkan dan dialami orang lain. Sebagai mahasiswa
harusnya memiliki semangat kepedulian sosial dan
Tipologi Mahasiswa Dewasa Ini
Sebuah entri catatan hariannya yang dibuat pada hari Senin 14 Januari 1963, Soe Hok-gie
menyatakan pikirannya bahwa:
Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas dari
segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat
kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari
fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak.
Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan
semua kemanusiaannya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata
tidak. Mereka berani (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata ‘tidak’.
Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang…, rezim Nazi yang semua identik.
Bahwa mereka mati bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada
indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara
tentang kebenaran.[6]
Kutipan panjang di atas, dimaksudkan untuk menegaskan tugas seorang mahasiswa. Tugas
seorang mahasiswa, yaitu berpikir dan mencipta yang baru, berfungsi secara sosial karena
adanya tanggung jawab sosial, intelektual yang memiliki jiwa kemanusiaan, berani menyatakan
tidak kalau memang itu diperlukan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Ketika tugas ini dapat
diterapkan dengan baik, muncullah sosok mahasiswa yang benar-benar mahasiswa.
Dinamika sejarah mahasiswa kini, menjelaskan adanya tipologi kelompok kelas menengah di
Indonesia ini. Jika tipologi ini diselidiki mendalam, ditemukan 4 jenis mahasiswa (khususnya di
Palu), yakni: (1) Mahasiswa mitologis. Mahasiswa yang alam pikirannya masih berselimutkan
takut, segan, enggan, dan acuh, bahkan yang lebih parah lagi jika mereka hedonistik, pragmatis,
dan individualis. Mahasiswa seperti ini banyak dihantui oleh kata-kata sakral, seperti “senior
tidak pernah salah; mereka tahu banyak tentang dunia kampus dan kemahasiswaan”. Berhati-
hatilah agar jangan sampai anda menjadi KRS (Korban Retorika Senior). Mahasiswa mitologis
terlihat pada diri mereka yang penakut, lugu, tidak bisa berkata tidak, dan masih banyak yang
lainnya. Tipologi pertama ini juga memasukkan kelompok pelajar. (2) Mahasiswa ideologis,
yaitu selalu menggunakan hasil pemikiran seorang atau dirinya sendiri dalam berbuat dan
bertindak. Mahasiswa ideologis berusaha mencari legitimasi atas tindakannya, sehingga ia tidak
akan berdiri seorang diri di atas panggung yang diciptakannya sendiri. Mereka ini sulit untuk
dipengaruhi oleh apapun. Mereka betul-betul berbuat dan bertindak hanya untuk orang lain,
bukan untuk dirinya. (3) Mahasiswa sistematis. Mereka selalu terlihat ekselen. Keunikannya
adalah bertindak sesuai prosedur dan mekanisme yang ada. Dalam setiap geraknya selalu
dibarengi dengan konsep yang jelas, sehingga tampak teoritis, bertindak sesuai tahap-tahapan
yang telah dirumuskan sebelumnya. Perumusan itu menjadi sangat penting baginya. Mahasiswa
sistematis, biasanya memiliki cara kerja yang lamban. (4) Mahasiswa berilmu pengetahuan
(ilmiah). Mereka yang selalu mengilmiahkan setiap tindakannya. Kunci mahasiswa berilmu
pengetahuan, yakni idealis dan independen. Mereka juga dikenal kritis, tegas, dan bijaksana.
Menjunjung tinggi kebenaran, walaupun kebenaran itu nisbih (relatif).
Keempat tipologi ini jika dapat dilalui dengan baik, maka akan lahir sebuah generasi baru yang
sangat dibanggakan orang tua, bangsa dan negara. Olehnya itu, untuk menjadi seorang generasi
baru, seorang mahasiswa harus mengetahui budaya mahasiswa. Budaya mahasiswa yang
dimaksud ini yaitu membaca, berdiskusi, berdialog (cerita), menulis, berorganisasi (berlembaga),
demonstrasi, dan pacaran. Ketujuh hal ini harus dijalani seluruhnya; dimulai dari yang awal
sampai yang terakhir. Ini akan menjadi penting artinya dalam kehidupan sehari-hari.
Belajarlah Dari Sejarah: Catatan untuk Pelajar Dan Mahasiswa Pantai Barat
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia juga mencatat keterlibatan mahasiswa sejak lama. Akibat
dari adanya politik etis, perjuangan bangsa Indonesia mengalami perubahan. Jika sebelumnya
masih menggunakan senjata yang dilambari oleh semangat nasionalisme kedaerahan, berubah
menjadi semangat ke-Indonesia-an. Hal ini mengakibatkan lahirnya beberapa organisasi sosial
yang kemudian merambah ke dunia politik. Banyak sekali contohnya, salah satunyaSyarikat
Dagang Islam (1905) menjadi Sarikat Islam (1912), dan akhirnya berubah menjadi Partai
Syarikat Islam (1921). Tahun 1929 berubah nama menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia.
Organisasi ini memiliki 3 (tiga) keutamaan, yaitu tegas (teguh pada pendidirian), jujur (selalu
menyatakan kebenaran), dan non-kooperatif (tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Hindia
Belanda). Keutamaan ini tidak pernah keluar dari triloginya; sebersih-bersihnya tauhid, setinggi-
tingginya ilmu pengetahuan, dan sepandai-pandainya siasat.[7]
Tahun 1925, lewat manifesto politiknya, Indische Partij merumuskan ke- Indonesia-an ini di
negeri Belanda. Manifesto politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 antara lain berisi: (1)
Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; (2) Dalam
memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun; (3)
Tanpa persatuan kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai.[8] Adapun
tujuan pokok perjuangan PI adalah Persatuan Nasional, Solidaritas, Non-Koperasi, dan Swadaya.
[9] Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan konsep nasionalisme pada tahun 1926-1927,
dalam gerakan Partai Komunis Indonesia. Begitu juga dengan konsep Nasionalime milik Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan tahun 1927 oleh Soekarno. Apalagi dengan Peristiwa
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Apakah kita sudah seperti itu? Sebuah tanya yang harus
segera dijawab.
Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari kaum kolonial dan fasis, melainkan hasil dari
perjuangan bangsa. Secara umum masyarakat Sulawesi Tengah menerima kemerdekaan pada
bulan September 1945. Dan dengan sukarela, masyarakat daerah ini ikut menggabungkan diri ke
dalam negara baru yang bernama Republik Indonesia. Pertanyaannya kini; sudahkah kita semua
bersedia untuk menjadi bagian dari masyarakat Pantai Barat dengan sukarela? Kesukarelaan kita
itu terlihat dalam keikutsertaan mendukung, membantu, dan bersedia menjadi bagian penting
dari organisasi ini, IPM-PB. Kemerdekaan Pantai Barat (keinginan untuk menjadi daerah
otonom), tidak datang dari orang luar, tetapi dari pengurus dan anggota IPM-PB. Tetapi jangan
lupa, libatkan masyarakat lokal di wilayah tersebut.
Tahun 1959-1964, mahasiswa Sulawesi Tengah ikut membidani lahirnya Provinsi Sulawesi
Tengah, lepas dari Provinsi Sulawesi Utara Tengah. Perjalanan ini merupakan moment penting
bagi daerah ini. Kini mereka yang ikut saat itu, sebagian telah meninggal dunia, sedangkan yang
lainnya masih hidup dalam kondisi tua. Tubuh mereka telah termakan usia, tetapi semangatnya
tidak pernah padam. Tujuan mereka hanyalah satu; melihat masyarakat Sulawesi Tengah
sejahtera, adil dan makmur karena telah diurusi oleh keluarga mereka sendiri. Bagaimana
hasilnya sekarang? Masih perlu perjuangan untuk mencapainya.
Mahasiswa terus terlibat dalam berbagai perubahan di negeri ini. Tahun 1966, beberapa orang
mahasiswa dari Sulawesi Tengah pun ikut memberi andil dalam upaya menumbangkan rezim
Orde Lama. Saat itu, mereka berada di Manado, Makassar, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
Orde lama tumbang, muncul Orde Baru. Perjuangan belum selesai juga, karena rezim ini juga
tidak kalah refresifnya terhadap mahasiswa.
Semua orang pasti masih ingat dengan bacaan tentang Malari 1974. Malari 1974 adalah gerakan
mahasiswa menentang masuknya modal asing yang diyakini akan menyengsarakan rakyat. Kaum
konglomerat bermunculan. Mereka semakin kaya, dan rakyat semakin miskin. Gerakan ini pun
dihalau oleh militer tanpa ampun. Korban pun berjatuhan. Mahasiswa jadi korban lagi.
Setelah itu, muncul lagi gerakan penolakan terhadap pencalonan Soeharto sebagai Presiden RI
pada tahun 1978. Gerakan ini memang tidak menghasilkan apa-apa, tetapi gerakan di beberapa
kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makassar, Medan, Palembang, dan
Yogyakarta ini memberi pengaruh besar terhadap gerakan mahasiswa pada tahun-tahun
berikutnya.
Menghadapi gerakan mahasiswa, maka Pemerintah Orde Baru menerapkan sebuah kebijakan
untuk mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam
politik praktis.[10] NKK/BKK menjadi momok bagi aktivis gerakan mahasiswa. Inilah kebijakan
keras rezim Soeharto yang diterapkan sejak tahun 1978 melalui Menteri Daoed Joesoef,
dimaksudkan untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan
kebijakan pemerintah. Situasi ini juga berbuntut hingga ke Sulawesi Tengah. Gerakan
Mahasiswa mengalami posisi yang sulit, aktivis mahasiswa terkonsentrasi di kampus-kampus.
Peristiwa tahun 1998 di Indonesia, juga terjadi di Palu. Banyak sekali mahasiswa Pantai Barat
yang terlibat dalam gerakan ini. Momentum ini mendapat tempat dalam Sejarah Mahasiswa
Sulawesi Tengah, karena ia telah menghadirkan puluhan tokoh sejarah dari peristiwa itu.
Gerakan ini berada di tingkat lokal, tetapi ia dikategorikan sebagai sebuah revolusi nasional di
tingkat lokal. Inti gerakan itu adalah mereformasi tatanan hidup bernegara yang carut-marut
selama masa Orde Baru. Pada Tahun 1998, ada 2 (dua) fenomena menarik, yaitu: (1) Model
gerakan telah berubah, dari sebelumnya dikomandoi oleh pemimpin tunggal menjadi tanpa
pemimpin, kecuali seorang coordinator lapangan. (2) Munculnya arogansi antar Perguruan
Tinggi di Indonesia. PT satu merasa lebih besar gaungnya dan lebih tinggi statusnya dari yang
lain. Begitu juga dengan organisasi kemahasiswaan, baik ekstra maupun intra kampus.
Peristiwa Tanah Runtuh, kemudian diikuti oleh Peristiwa Sam Ratulangi Berdarah (Samsidar)
tahun 2000. Peristiwa ini dipicu oleh adanya rasa nasionalisme mahasiswa yang terdiri dari
berbagai suku bangsa memberikan perlawanan kepada Polisi atas tindakan mereka terhadap
seorang mahasiswa Fakultas Pertanian UNTAD. Demonstrasi hari pertama (serangan balasan ke
Kantor Polsek Palu Timur) dan hari kedua (demonstrasi di Kantor Polda), berhasil menimbulkan
rasa empaty dan solidaritas dari mahasiswa –mahasiswa di Kota Palu. Belasan ribu Mahasiswa
turun ke jalan pada hari ketiga. Lima orang mahasiswa tertembak (terluka; kalau tidak salah
ingat), dan puluhan lainnya ditahan Polisi. Demontrasi bagi mahasiswa (aktivis) dianggap
sebagai dunia teater dari perlawanan mereka terhadap kekuasaan refresif negara kepada
rakyatnya.
Sejak tahun 2005- sekarang, gerakan mahasiswa seperti sedang mengalami kejenuhan. Mimbar
bebas di kampus-kampus tidak banyak terlihat lagi. Para aktivis mahasiswa tidak mampu keluar
dari lingkaran kepentingan politik praktis. Padahal Soe Hok Gie telah mengingatkan kita semua
dalam catatan hariannya yang buat pada hari Sabtu 16 Maret 1964 yang berbunyi “dalam politik
tak ada moral. Bagiku sendiri, politik itu adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang
kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindarkan diri lagi maka terjunlah.
Kadang-kadang saat ini tiba. Seperti dalam revolusi dahulu. Dan jika sekarang saatnya sudah
sampai aku akan ke lumpur ini.[11] Namun saya kembali menekankan bahwa jangan benci
politik, melainkan terlibatlah di dalamnya. Jadilah politisi yang benar, yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, kemanusiaan, ketuhanan, nilai budaya (gotong-royong, koperasi, musyawarah
mufakat, setia kawan, dan egaliter).
Beberapa Catatan Penting
Sebagai seorang mahasiswa, ada delapan hal penting yang harus dipikirkan lagi, yaitu (1)
menghargai usaha mahasiswa terdahulu dalam upaya melahirkan perubahan di negeri (daerah)
ini. (2) Sudah berapa banyak ibu-ibu yang menangisi anaknya yang menjadi tumbal dari gerakan
refresif sebuah rezim demi sebuah revolusi. Apakah air mata itu berharga sekali untuk kehidupan
kita sebagai mahasiswa? Jawablah sendiri! (3) Rajinlah membaca, karena dengan bacaan itu kita
memiliki dasar dalam membela hak-hak kaum miskin, tertindas, terpinggirkan, dan tidak
berakses pada maupun oleh kekuasaan (negara). (4) Berpikirlah untuk menjadi pahalawan,
bukan pahlawan. Ketika ia mati, namanya tetap harum selamanya. (5) Berpikirlah, sudah berapa
banyak yang kita berikan kepada orang tua yang telah melepas kepergian kita untuk menuntut
ilmu ke Kota Palu ini. Hanya ingin kita dapat berguna di masa depan. (6) Janganlah mahasiswa
yang tidak memiliki kepribadian, maka pahamilah dirimu dengan sebaik-baiknya. (7) Hingga
hari ini, sekat-sekat ideologi masih menjadi catatan buruk dalam gerakan mahasiswa di mana
saja, termasuk Palu. (8) Mahasiswa harus tampil sebagai agen of change.
Untuk menjadi Agen Of Change, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) menjadi
kutu buku atau memiliki buku yang banyak; minimal 2000 buku yang dibaca. (2) Pandai menulis
di berbagai media massa. (3) Tidak pernah onani intelektual (kecerdasannya hanya menjadi milik
dirinya sendiri,tetapi berikanlah kepada orang lain). (4) Ketika menjadi mahasiswa maka kita
harus berani menjadi diri sendiri, tidak pernah takut dan malu, dan komitmen pada pilihan yang
ditetapkan. (5) Berusahalah menjadi seorang idealis dan independen (berkata jujur, tegas, cerdas,
dan konsisten terhadap ide sendiri). (6) Berpolitiklah dengan benar, ingatlah satu ungkapan
sufistik tentang politik “Satu orang lawan itu jumlahnya banyak sekali tetapi seribu orang kawan
terlalu sedikit”. Dalam kehidupan mahasiswa sebagai agen perubahan, ia harus mampu
mempertajam lidah (berkata benar dan apa adanya), pena (kritis dan analitis), dan matanya (peka,
peduli, dan tanggung jawab).
Persoalan senioritas dalam sebuah organisasi menjadi penyebab runtuhnya bangunan dasar
ideologi lembaga itu. Senioritas itu penting, tetapi haruslah dipahami bahwa ada enam tugas
penting seorang senior. Keenamnya adalah (1) aku harus ikhlas menerima penghargaan dan
pelayanan dari orang lain, sesuai dengan jasa kualitasku. (2) Aku harus selalu menciptakan
kondisi mendidik, bukan memanjakan. (3) Senior yang benar-benar Senior tak akan ketularan
penyakit post power syndrome. (4) Aku harus bangga bila adik-adikku mampu melepaskan
Ketergantungan terhadapku. (5) Aku harus menghindari kesalahan agar dapat jadi teladan bagi
adik-adikku. (6) Sebagai senior, jauh-jauh hari aku harus telah mempersiapkan kader pengganti
yag lebih berkualitas dibanding aku.[12] Hormati, hargai, teladani, dan junjung tinggi seniormu,
jika ada yang seperti itu.
Dalam berorganisasi, maka sebaiknya organisasi itu merubah AD/ART menjadi militant.
Kemudian, jangan hanya melakukan sosialisasi tetapi yang terpenting adalah mengeluarkan opini
menentang pemerintah, jika diperlukan. Organisasi yang baik, harus memilih pemimpin yang
jujur (memiliki loyalitas kepada lembaga yang baik dan kredibel), pemimpin yang berani; tidak
tunduk kepada siapapun, kecuali pada kedaulatan anggota, dan pemimpin yang rasional. Jika ini
dapat dilaksanakan, saya yakin sang pemimpin akan memperhatikan dua persoalan organisasi
yang urgen, yaitu (1) menyiapkan dua model anggotany; ilmiah yang terlihat dari IP-nya dan
bacaannya, dan mampu berdebat di depan publik. (2) Menjaga ideologi dan tujuan organisasi,
tidak mau diobok-obok oleh kepentingan apapun, politik, ekonomi, dan lain-lain. Ketika
organisasi itu independen, maka dia mampu mandiri dan profesional. Untuk melaksanakan
keduanya, maka pengurus dan angota harus independen dan idealis.

Penutup
Gerakan mahasiswa dalam kaca mata sejarah memperlihatkan bahwa kekuatan utama kelompok
kelas menengah ini adalah jiwa idealis dan independensinya. Tidak mau terkooptasi dengan
kepentingan politik para pejabat negara. Karenanya perlu diingat bahwa kegagalan gerakan
mahasiswa selama ini adalah birokrasi, partai politik, dan militer. Keterlibatan mereka dalam
penentuan kebijakan organisasi dapat meruntuhkan nilai-nilai moral, dan kemanusiaan seorang
mahasiswa. Jika anda telah menjadi senior, maka tampilah sebagai senior yang benar-benar
senior.
Selamat Berkarya wahai pelajar dan mahasiswa Pantai Barat. Di pundak kalian terpatri sebuah
tanggung jawab besar untuk mensejahterakan masyarakat di sana. Berusahalah mengeluarkan
mereka dari ketertinggalan, kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketiadaan akses kepada negara.
Jadilah pembela kebenaran yang hakikih, karena semuanya akan berada pada sebuah situasi
dimana dirimu membuat pilihan.

Anda mungkin juga menyukai