Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH GERAKAN MAHASISWA

1. Pengantar

Pelangi itu sangat indah dipandang mata. Mengapa? Keindahan pelangi yang tertangkap
mata, tidak lain disebabkan oleh adanya keragaman warna yang tampil dalam pandangan mata.
Demikian itulah yang seharusnya tampil di tengah-tengah keseharian pelajar dan mahasiswa.
Keberagaman karakter dan pengalaman individu maupun kelompok menjadi dasar munculnya
warna-warna yang menyatu dalam sebuah organisasi. Penyatuan dari keberagaman ini kemudian
dikenal dengan konsepsi nasionalisme. Dalam konsepsi ini terdapat konsep nation Indonesia,
demokrasi, unitarianisme, otonomi dan kemerdekaan. Nasionalisme Indonesia mencakup unity
(persatuan), liberty (kemerdekaan), equality (persamaan). Pelajar dan mahasiswa saja, sangat
berkompeten dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.
Usia muda adalah usia kreatif. Mereka sebagai bagian terpenting dari perubahan yang ada
dan terjadi di negara ini. Teringatlah kita pada ucapan Bung Karno, jika saya diberi seribu orang
tua, nicaya akan kuruntuhkan Gunung Mahameru (Semeru). Tetapi bila aku diberi seorang
pemuda, dunia ini akan ku gegerkan. Atap langit sekalipun akan ku runtuhkan. Betapa luar
biasanya potensi pemuda di mata Bung Karno. Apalagi jika pemuda itu adalah pelajar dan
mahasiswamaka dialah sumbu utama sebuah gerak sejarah. Kelompok kelas menengah ini
dikenal sebagai generasi muda yan g penuh vitalitas. Dalam diri mereka (pelajar dan mahasiswa)
terdapat semangat juang, daya pikir kritis, rasional, bijaksana, obyektif, dan kreatif.
Sejarah juga telah mencatat, kiprah mahasiswa Sulawesi Tengah dalam kehidupan
masyarakat di daerah ini. Mulai dari keterlibatan mereka dalam berbagai gerakan kemahasiswaan
hingga pada keterlibatan mereka di pentas nasional. Satu hal yang membanggakan, yakni
kehadiran Mahasiswa di Makassar, Jakarta, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan beberapa Kota
Besar lainnya telah menegakkan berdirinya Provinsi Sulawesi Tengah 1964. Selanjutnya dalam
perkembangannya, mahasiswa di Sulawesi Tengah mulai terlibat dalam berbagai demonstrasi,
baik di kampusnya sendiri maupun di jalanan ibukota provinsi. Sudah seyogyanya, manusia
saling mengetahui apa yang sedang diikirkan dan dialami orang lain. Sebagai mahasiswa
harusnya memiliki semangat kepedulian sosial dan Tipologi Mahasiswa .Dewasa Ini Sebuah
catatan hariannya yang dibuat pada hari Senin 14 Januari 1963, Soe Hok-gie menyatakan
pikirannya bahwa:
“ Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa
bebas dari segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir
tenang karena predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi
mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab
sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam
keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya”.

Kalau tidak bias menjdi garam yg menggenkkn sayut,,,setidakx jgn jd lalat yg merusak
sayur,,bgt sbg mhsswa.
2. Sejarah Singkat Gerakan Mahasiswa Indonesia
Patah tumbuh, hilang berganti. Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia memperlihatkan
periode pasang dan surut, sesuai dengan perkembangan ekonomi-politik yang
melingkupinya. Tidak sedikit perubahan penting dalam sejarah nasional Indonesia tidak
terlepas dari kepeloporan dari mahasiswa dan kaum muda. Sehingga meskipun populasi
mahasiswa tidak melebihi 2% dari total populasi penduduk Indonesia, gerakan mahasiswa
telah memainkan peranan cukup besar. Sebagai contoh dapat kami sebutkan disini seperti
Sumpah Pemuda, Perlawanan anti-fasis, proklamasi kemerdekaan, revolusi fisik, dan
perjuangan menentang imperialisme paska Indonesia merdeka. Mahasiswa telah memberikan
sumbangsihnya kepada ibu pertiwi, ibu yang telah melahirkannya.
 Kelahiran Gerakan Mahasiswa
Keberadaan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dengan kehadiran lembaga pendidikan
pertama kali. Setelah berakhirnya tanam paksa, kaum liberal belanda mulai memikirkan cara
untuk mempebesar keterlibatan kelompok swasta (borjuis) belanda untuk mengembangkan
modalnya di Hindia-Belanda (Indonesia kala itu). Lahirlah politik etis, yang oleh
penemunya Van Deventer adalah politik balas-budi, akan tetapi tujuan sebenarnya adalah
untuk memuluskan berkembang-biaknya kapital di bumi hindia-belanda. Inti politik etis
adalah edukasi (pendidikan), migrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi (pengairan). Disini
kita akan berfokus kepada edukasi sebagai jalan lahirnya kaum intelek di kalangan
bumiputera. Pada tahun 1983 di bentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste
Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang
“berada”, serta Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputera angka dua) untuk
anak-anak rakyat kebanyakan. Selain itu berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan seperti
Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Burgerscholen (HBS), School Voor
Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), dll.
Pendidikan telah melahirkan pengetahuan, bahasa, dan tulisan. Hal itu telah
melahirkan kesadaran baru bagi bumiputera yakni “kemodernan” dan “kebebasan”.
Organisasi dan pers segera berdiri dimana-mana. Terbitan-terbitan berbahasa belanda atau
bumiputera mulai masuk kekantong-kantong kesadaran bumiputera. Perkembangan ini
berbarengan dengan situasi penindasan kolonial yang kian menjadi kesadaran dari segenap
kaum muda. Medan Priayi adalah organ pertama yang didirikan mahasiswa (1909-1912).
Disamping itu, Tirto Adhisuryo mendirikan Serikat Priayi, yang bertujuan memajukan
pendidikan anak-anak bumiputera dan bangsawan bumiputera lainnya.
Di belahan dunia lain, gerakan pembebasan nasional dan gerakan kaum muda
bangkit. Gerakan nasionalis bergolak di Tiongkok menumbangkan dinasti Ch’ing pada
oktober 1911. di Turki juga muncul gerakan nasionalis oleh kaum muda. Dan pengaruh dari
revolusi Rusia 1905. Berita-berita tersebut telah memberikan pengaruh kepada kebangkitan
gerakan nasionalis di dalam negeri. Muncullah Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian
berubah menjadi Serikat Islam (SI). Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua
mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta
seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).
Tidak ketinggalan, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-
Pebruari 1925 mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI)—organisasi ini merupakan
kelanjutan dari Indsche Vereeniging. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang
sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh
komunis Indonesia seperti Semaun.
Mahasiswa semakin bergerak maju. Mereka sudah menciptakan organisasinya, sudah
menemukan kesadarannya (anti-kolonialisme) dan sudah menemukan metode-metode
pergerakannya; aksi massa, pemogokan, boikot, propoganda, selebaran, rapat akbar
(vergandering). Pada tahun 1914, iklim pergerakan Indonesia semakin meningkat. Beberapa
pemuda dan mahasiswa menerjemahkan perjuangannya dalam bentuk politik radikal dengan
membangun Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), yang merupakan cikal
bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahap ini, perjuanga-perjuangan yang terkotak-
kota dalam batas lokalisme (kedaerahan), kesukuan, keagamaan telah dicairkan. Pada
tanggal 28 Oktober 1928, pemuda-pemuda dari berbagai kelompok mendeklarasikan
“sumpah Pemuda Indonesia”. Sumpah Pemuda dapat dikatakan sebagai kristalisasi dari
sentimen nasionalisme Indonesia pertama kali yang diikrarkan oleh kaum muda.

 Peran- Peran Historis Mahasiswa dalam mewujudkan suatu perubahan


1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Peran Historis Mahasiswa
Dibawah pendidikan fasisme Jepang yang keji, gerakan mahasiswa tidak
mengendorkan perjuangannya. Mereka malah menempuh jalan berbahaya dengan
mengorganisasikan perjuangan bawah tanah (illegal) dan perjuangan bersenjata (Blitar,
singaparna, dan lain-lain). Ketika fasisme mengalami kemunduran dan jepang sendiri
menyerah kepada sekutu, beberapa kelompok pemuda bergerak cepat untuk
mengorganisir proklamasi kemerdekaan. Terjadilah peristiwa “rengasdeklot”, dimana
pemuda dan mahasiswa menculik Bung Karno dan Hatta untuk memaksa keduanya
membacakan proklamasi kemerdekaan. Peristiwa “rengasdeklot” menjelaskan pula soal
pertentangan kaum muda dan kaum tua dalam hal kemerdekaan Indonesia. Kaum Muda
menuntut proklamasi dikumandangkan secepatnya dengan memanfaatkan masa
kevakuman kekuasaan sedangkan kaum tua bersifat menunggu itikad baik dari
pemerintah Jepang.
Paska proklamasi kemerdekaan, tugas berat bagi mahasiswa dan kaum muda
menunggu. Kemerdekaan adalah harapan, impian yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh
seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, situasi pada saat itu menunjukkan kita memiliki
kekurangan yang cukup besar, disisi lain ada ancaman dari masuknya kembali
neokolonialisme. Mahasiswa dan pemuda bergerak cepat. Instalasi-instalasi penting,
seperti jawatan kereta api, Radio, Kantor Pos, Gudang Persenjataan, dan gudang-gudang
milik Jepang diambil-alih oleh pemuda dan rakyat. Kemerdekaan harus diisi dan
dipertahankan dengan mobilisasi rakyat dan propoganda. Lagu “ darah rakyat” menjadi
symbol semangat baru dari rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Leaflet-leaflet dibagikan, mural-mural “merdeka atau mati” menjejali tembok-tembok dan
dinding-dinding gedung/rumah, serta slogan-slogan yang membakar semangat. Puncak
dari mobilisasi-mobilisasi rakyat mempertahankan kemerdekaan adalah rapat akbar di
lapangan Ikada---dimana ratusan ribu rakyat dan pemuda menghadirinya.
Pada masa itu berdiri organisasi mahasiswa dan pemuda seperti Angkatan Pemuda
Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia
(GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi.
Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi,
diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Kedua kongres
tersebut sangat penting artinya, karena: Melahirkan organisasi Gabungan Pemuda Sosialis
Indonesia (PESINDO), yang merupakan peleburan dari API, PRI, GERPRI, dan AMRI.
Terbentuknya Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Kongres I sangat
diwarnai semangat perjuangan bersenjata. Kongres II menghasilkan keputusan:
Berpegang teguh pada Undang-Undang, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi
jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pemimpin yang mengajak
revolusi nasional dan revolusi sosial.
Disamping organisasi itu, berdiri pula organisasi mahasiswa yang berbasiskan
keyakinan agama dan kedaerahan seperti pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan
terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya
Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan
kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI). Kehadiran mereka tidak lepas dari kelahiran partai-partai politik yang
berideologi sejenis seperti Masyumi, Parkindo, dan Partai Katolik.
Ketika revolusi fisik bergolak, pemuda dan mahasiswa turut membentuk organisasi
perlawanan dan laskar-laskar bersenjata seperti Tentara Pelajar dan PESINDO (Pemuda
Sosialis Indonesia)---merupakan gabungan tujuh organisasi yakni API,AMRI, Angkatan
Muda Gas dan Listrik, Pemuda Republik Indonesia, Angkatan Muda Pos dan Telegraf,dll.
Di pihak lain, Belanda mencoba menarik sismpati Mahasiswa Indonesia. Pada Januari
1946, perguruan tinggi di masa kolonial dibangun kembali menjadi Universitas Indonesia
yang fakultas-fakultasnya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Kegiatan
ekstrakurukuler mahasiswa dipolakan persis seperti di Belanda. Publikasi mahasiswa
dijauhkan dari berita-berita politik. Organisasi-organisasi seperti Perhimpunan
Mahasiswa de Jakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogja, Sarekat Mahasiswa
Indonesia (SMI), Perhimpuan mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan
(PMKH), Perhimpunan Mahasiwa Kristen Indonesia (PMKI) dan Persatuan Pelajar
Peguruan Tinggi Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpunan-
Perhimpunan mahasiwa Indonesia dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI)
khusus didaerah kedudukan Belanda. Yang pada perjalanannya dianggap kolaborator dan
perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda, karena mahasiswa yang tergabung
dalam BKMI hanya sibuk menyelesaikan studinya.
Untuk membatasi pengaruh BKMI, mahasiswa pro-republik membentuk PPMI
(perserikatan perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) di Malang pada Maret
1947. Elemen mahasiswa pro-republik berhasil melakukan infiltrasi ke dalam tubuh
BKMI. Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 8-14 Juni 1950 berhasil membentuk Front
Pemuda Indonesia (FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi mahasiswa
universitas. Pada massa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba
memperkuat penolakan terhadap usaha kolonialisme Belanda untuk kedua kalinya-1950
merupakan, dan secara umum belum sampai kepada tahap anti-imperialisme
(perusahaan-perusahaan milik Belanda tetap bercokol.
Menjelang pemilu 1955, beberapa partai politik memanfaatkan organisasi mahasiswa
sebagai alat mendapatkan dukungan dikalangan mahasiswa. Masuknya mahasiswa dalam
pertarungan politik berdampak positif. Pertentangan dan polarisasi dikalangan kelompok
kiri dan kanan dalam pemilu juga menyebar dikalangan organisasi kampus.

2. Perjuangan anti Imperialis


Paska pengakuan kedaulatan, beberapa unsur revolusioner dalam grup mahasiswa
menyadari kelemahan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang cukup menguntungkan pihak
Belanda. Kelompok mahasiswa dan gerakan buruh mengorganisir aksi-aksi menentang
perjanjian KMB dan kembalinya kekuasaan kolonialisme Belanda. Mereka sibuk
mengorganisir aksi-aksi massa dan pengambil-alihan terhadap perusahaan-perusahaan
asing, bukan saja milik Belanda, tetapi juga milik AS dan Inggris. Gerakan ini disebut
sebagai gerakan nasionalisasi, mencapai puncaknya pada tahun 1957. Gerakan mahasiswa
terlibat aktif dalam mengkampanyekan “ ganyang imperialis inggris- amerika ”, “Inggris
kita linggis, Amerika kita Setrika”. Pertentangan politik antara kekuatan anti-imperialis
dengan kekuatan antek imperialis didalam negeri tidak saja terjadi dalam lapangan
ekonomi, tetapi berkembang sengit menjelang pemilu 1955.
Pertentangan lama antara Front "Kiri" dan "Kanan" mendapat momentum dalam
persiapan menghadapi Pemilu, dan implementasinya disektor mahasiswa adalah
peperangan antara CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak dengan HMI, PMKRI dan GMS di
lain pihak. Dalam peperangan itu isu utama dari pihak kiri adalah Kapitalisme, Neo-
Kolonialisme, Feodalisme dan Fasisme. Sedangkan isu dari pihak Kanan adalah
Komunisme, Diktator, Satelit Komunis, Menghalalkan Segala Cara dsb. Sementara itu,
PPMI makin condong ke kiri. Sejak tahun 1956 perpecahan dalam gerakan mahasiswa
menjadi lebih terbuka, ditambah penentangan yang dilakukan oleh beberapa partai
didaerah terhadap presiden Soekarno.

Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI


berprakarsa menggalang senat2 mahasiswa dari berbagai universitas dan
berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Indonesia
(MMI). Mahasiswa kembali lari dari persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, seperti
misalnya: Mahasiswa tidak memandang perjuangan pembebasan Irian Barat
(TRIKORA) sebagai kelanjutan dari perjuangan melawan kolonialisme, imperialisme dan
kapitalisme (bumi Irian sangat kaya dengan bahan-bahan tambang, hutan, dan mineral).
Mereka tidak turut berpartisiapasi dalam Hari Solidaritas Internasional Menentang
Kolonialisme pada tanggal 24 April 1957 (yang berpartisiapasi adalah PPMI, FPI dan
Perserikatan Pemuda Indonesia/PORPISI, yang tujuannya memperkuat kerja sama negara
Asia-Afrika menuntut klaim Irian Barat sebagai wilayah RI).

3. Dibawah Kediktatoran Orde Baru, masa Kontra-Revolusioner


Gerakan mahasiswa “66” telah mengambil peran menentukan sebagai sekutu sipil
tentara dalam menjatuhkan pemerintahan progressif Soekarno. Peran ini dibalas jasa oleh
orba dengan menempatkan beberapa aktifis dalam jabatan pemerintahan, DPR,
pengusaha, atau sekedar diberi modal untuk jalan-jalan keluar negeri. Beberapa diantara
mereka yang memiliki tujuan idealis mencoba menghindarkan diri dari tawaran
kekuasaan dan mengambil jalan kritis. Hanya sedikit dari Angkatan 66 yang tidak diserap
ke dalam lembaga-lembaga Orde Baru, seperti Soe Hok Gie, Ahmad Wahid, Arif Budiman,
Syahrir, dll.
Pada tahun 1970-an, beberapa kebijakan Soeharto yang dianggap tidak merakyat
(populis) ditentang oleh mahasiswa. Mahasiswa di kampus UI menentang keputusan
pemerintah menaikkan harga BBM 100%, termasuk mengeritik persoalan korupsi yang
kian merajalela dikalangan pemerintah. Menjelang pemilu 1971, mahasiswa kembali
bergerak memprotes campur tangan pemerintah dalam internal partai politik, serta
menentang pengunaan kekerasan dan intimidasi di wilayah pedesaan terhadap pemilih
agar berpihak pada pemerintah. Mereka menganjurkan pencoblosan diluar pemilu resmi,
inilah cikal bakal gerakan Golput. Pada waktu soeharto berencana menggelontorkan duit
sebesar 10,5-20 Milyar untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII),
mahasiswa kembali melakukan penentangan. Proyek tersebut disponsori oleh organisasi
yang bernama Yayasan Harapan Kita; istri Presiden Soharto, Tien Soeharto, adalah ketua
Yayasan tersebut.
Modal asing mulai membanjiri Indonesia. Persaingan antara kapital asing untuk
mendapatkan lahan berkembang biak di Indonesia turut membelah kepentingan elit
politik di Indonesia dimasa itu. Mahasiswa mulai resah dengan derasnya aliran modal
berkontribusi pada melebarnya gap antara si kaya dan miskin. Disisi lain, beberapa politisi
merasa irih dengan keunggulan modal Jepang. Kedatangan perdana Menteri Tanaka ke
Jakarta tanggal 15 Januari 1974 disambut oleh gelombang demonstrasi mahasiswa. Akan
tetapi, perlawanan ini dengan mudah dilindas oleh penguasa Orba. Beberapa pimpinan
mahasiswa seperti Hariman Siregar ditangkap.
Orde baru semakin bergerak mempersempit ruang bagi oposisi. Setelah mengutak-
atik partai politik dan membersihkan unsur-unsur kiri dan nasionalis, Orde baru
selangjutnya mencoba menyederhanakan partai politik. Partai politik yang diakui hanya
tiga, itupun dasar politik dan pengabdiannya harus kepada kesinambungan kekuasaan
Orde baru. mahasiswa kembali bergerak. Kali ini, mereka benar-benar sudah marah
dengan Soeharto sehingga isunya berporos pada penolakan kepada pencalonan Harto
sebagai presiden. Di kampus Institut Tekhnologi Bandung (ITB) yang menjadi pusat
perlawanan mereka diserbu tentara dengan menggunakan panser. Di Jogjakarta,
mahasiswa malah dikejar-kejar hingga kedalam kampus oleh aparat militer. Beberapa
tokoh pimpinan mereka ditangkap, seperti Risal Ramli.
Organisasi mahasiswa yang diakui hanya organisasi mahasiswa yang patuh kepada
rejim. Organisasi yang tetap diperbolehkan berdiri antara lain; HMI, PMII, IMM, GMKI,
PMKRI, dan GMNI (tetap di-ijinkan hidup namun sudah dihilangkan nasionalisme
progressifnya). Organisasi-organisasi inipun diharuskan menerapkan azas tunggal dalam
organisasinya. Hal itu memicu keretakan ditubuh HMI. HMI terbelah menjadi dua, yakni
HMI yang tetap mempertahankan azas islam, disebut HMI Majelis Penyelamat
Organisi(MPO) dan HMI yang merubah azas menjadi pancasila, disebut HMI Dipo.
Didalam kehidupan kampus, DEMA yang sudah dibubarkan digantikan dengan sistem
Senat Mahasiswa (SMPT), dan secara hierarki berada dibawah Rektor. Pada dasarnya
aktivitas berpolitik dilarang, akan tetapi pimpinan-pimpinan dari organisasi mahasiswa
memiliki afiliasi dengan organisasi pemerintah. Setelah mereka menyelesaikan study,
mereka akan direkrut masuk dalam pemerintahan. bagi mereka yang tidak berminat
dengan politik, diberikan kesempatan untuk menyalurkan hobbynya lewat Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM).
Hal –hal diatas menyebabkan kehidupan politik dikampus menjadi kering dan aktifis
mahasiswa mengalami demoralisasi. Sebagaian diantara mereka beralih studi keluar
negeri, sedangkan yang bertahan akhirnya mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).

4. Lahirnya Gerakan Mahasiswa Kerakyatan


Seperti sebuah hukum perlawanan menjelaskan, “dimana ada rejim otoriter yang
meninas, maka disitu akan lahir perlawanan”. Politik “massa mengambang” yang
dijalankan oleh orde baru praktis membuat kehidupan politik dikampus membeku dalam
waktu yang lama. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian muncul kecenderungan di
gerakan mahasiswa, memungkinkan ini sebagai respon atas situasi yang ada; pertama
kemunculan kelompok-kelompok study. Mereka mahasiswa-mahasiswa yang mencoba
membuka literature-literatur lama (buku-buku pramoedya, dll), dan membedahnya
dengan tekun. Aktifitas ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, serta dalam lingkaran-
lingkaran kecil yang tertutup. Hal tersebut dilakukan guna menghindari intelijen orde
baru mengetahui dan membubarkannya. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar
Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara
hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, mereka yang
baru saja belajar diluar negeri kembali dengan membawa teori-teori kiri-baru (new-left).
Kendati teori ini berbau marxisme tetapi merupakan antitesa terhadap marxisme itu
sendiri. Inti gagasannya adalah pemberdayaan rakyat. Beberapa waktu kemudian, LSM-
LSM menjamur ibarat “jamur di musim hujan”.

5. Gerakan Mahasiswa 1998


Sentiment anti kediktatoran Orde Baru terus berkembang. Kendati diusahakan
untuk dihentikan orba dengan menjalankan represi dan propokasi berbau SARA, akan
tetapi militansi dan radikalisme rakyat sudah tak tertahankan. Beberapa organisasi rakyat,
seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan
Kerja Kebudayaan Rakyat(JAKER), Serikat Rakyat Indonesia(SRI), SMID dan beberapa
aktifis lainnya membentuk Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) tahun 1994. Namun, dua
tahun kemudian PRD berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik lewat deklarasinya di
kantor YLBHI, Juli 1996. akan tetapi, dua hari setelah dideklarasikan PRD dan para
kadernya dikejar-kejar karena dituduh terlibat dalam peristiwa “kudatuli” (27 Juli 1996).
Tahun 1996-1997, krisis moneter mulai membayang-bayangi Asia Tenggara.
Bermula di Thailand, Akhirnya juga menyerbu Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia.
struktur ekonomi Orde Baru yang sangat rapuh ditambah KKN (kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme) kian merajalela dalam birokrasi, menyebabkan krisis Indonesia jauh lebih
parah ketimbang negara lain. Krisis moneter menyebabkan nilai rupiah jatuh, disertai
dengan naiknya harga sembako, PHK massal, dan lain-lain. Mahasiswa cukup merasakan
imbas dari krisis, berupa lonjakan harga buku, kontrakan, dan kebutuhan-kebutuhan
ekonomis lainnya.
Dalam waktu dua bulan, antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei, Edwad Aspinal dalam
tulisannya, The Indonesia Student Uprising of 1998 mencatat terjadi 14 bentrokan antara
mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok. Bentrokan ini
menunjukkan sikap tegas mereka terhadap militer. Itulah mereka, GM '98 yang sangat
antimiliterisme dan kediktatoran. Eskalasi perlawanan mahasiswa meningkat menjelang mei,
dan puncaknya menjelang peringatan kebangkitan nasional. Ketika hari-hari terakhir Soeharto
akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar
mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun,
sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun
Utara, menuntut Soeharto mundur.
Soeharto, sang diktator akhirnya lengser. Kepemimpinan politik diserahkan kepada
Habibie, salah satu orang kepercayaan Orde Baru. perjuangan mahasiswa menentang Orde
Baru terus berlangjut. Mahasiswa menganggap pemerintahan Habibie masih kelanjutan
rejim Orde baru, beberapa kekuatan politik pendukung Orba (militer dan Orba) masih
aman bertengger dalam kekuasaan. Mahasiswa kemudian melanjutkan perlawanan dengan
menekankan kepada pembersihan terhadap sisa-sisa orde baru. akan tetapi, cakupan
mahasiswa yang menyadari ini masihlah kecil sedangkan mayoritas lainnya menganggap
bahwa setelah soeharto jatuh artinya mereka sudah menang. Habibie mencoba
meneruskan kesinambungan politik Orba dengan menyelenggarakan SI MPR tahun 1999.
Hanya kelompok radikal seperti KOMRAD, KBUI,FAMRED, FORKOT, dll yang
merespon SI MPR yang berujung pada “tragedy semanggi I”.

Kelemahan gerakan Mahasiswa 1998


Kita patut memberikan acungan jempol kepada GM 98. militansi dan keberanian
mereka telah berhasil menyinkirkan Soeharto dari kekuasaan. Akan tetapi, kejatuhan
soeharto hanyalah salah satu bagian dari proses perjuangan strategis menuju Indonesia
baru; Indonesia demokratis yang sejahtera seadil-adilnya. Kenyataan bahwa soeharto jatuh
akan tetapi mesin politiknya masih tetap terjaga. Sehingga ditengah jalan, kekuatan sisa
orde baru kembali mengkonsolidasikan diri dan berhasil terus mendominasi pemerintahan
paska reformasi. Berikut beberapa analisa terhadap GM 1998;
Pertama, kelemahan dalam lapangan konsep strategis (ideology), lemah dalam
persoalan teoritik. Kelemahan ini menyebabkan GM tidak dapat menangkap dan
menyimpulkan situasi objektif yang berkembang, serta mendialektikannya guna
menghasilkan perubahan. Seolah ada dikotomi antara pemahaman teoritik dan praktek
lapangan. Sehingga pada saat krisis revolusioner berlansung, mahasiswa tumpah ruah
kejalanan dengan menonjolkan keberanian dan militansi bertempur, tetapi meninggalkan
persoalan konsepsi dan teoritik.
Kedua, Kuatnya sektarianisme dikalangan gerakan mahasiswa. Sektarianisme selain
dilahirkan oleh metode pendidikan kapitalisme yang atomistik, juga dibesar-besarkan oleh
karena ketidak-adaan konsepsi ideologis yang kuat. Ketidak-adaan konsepsi politik
perjuangan menyebabkan gerakan mahasiswa dengan mudah dipolarisasi berdasarkan
kepentingan elit tertentu.
Ketiga, Kelemahan dalam hal Konsepsi (ideology) dan teoritik berujung pada
kesalahan analisa, cara pandang, dan kesimpulan. GM tidak dapat merumuskan taktik-
taktik baru dalam menghadapi perubahan (dinamika) politik yang terjadi. Momentum
pemilu 1999, yang merupakan titik balik kembalinya kekuatan Orde baru, tidak
dimanfaatkan oleh GM guna menjadi lapangan pertempuran menghadapi sisa-sisa
kekuatan orde baru.
Keempat, kesadaran umum mahasiswa adalah kesadaran ekonomisme dan bersifat
spontan, sedangkan dalam lapangan praktek sangat “heroistis”. Banyak mahasiswa yang
termobilisasi karena faktor-faktor “ikut-ikutan” atau “trend”, bukan karena kesadaran
politik yang benar-benar muncul.
Kelima, tidak ada penyatuan dalam skala luas (nasional) dan permanent terhadap
komite-komite aksi ataupun organisasi-organisasi tingkatan lokal. Ada usaha dalam
bentuk Rembug Mahasiswa Nasional Indonesi (RMNI) I dan II, akan tetapi ajang itu justru
menjadi perdebatan pada hal-hal yang sifatnya teknis, bukan hal yang ideologis,
menyebabkan upaya penyatuan sulit menyatukan spectrum gerakan mahasiswa

3. Peran Dan Pungsi Mahasiswa


A. Mahsiswa Sebagai “Iron Stock”
Mahasiswa sebagai “Iron Stock”, Kita sebagai mahasiswa diharapkan bisa menjadi
manusia-manusia yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia, disini kita berperan sebagai
pengganti generasi-genarasi sebelumnya. Sesuai yang saya tulis tadi diatas yaitu kita sebagai
cikal bakal atau cadangan untuk masa yang akan memajukan bangsa kita ini. Karena kalau
bukan kita generasi-genarsi muda yang akan menjadi penurus bangsa, maka siapa lagi yang
akan memajukan bangsa kita yang tercinta ini Tanah Air Indonesia. Kemudian dalam dunia
kampus dan kemahasiswaannya merupakan momentum yang sangat bagus untuk
mengkaderisasi penerus-penerus bangsa nantinya. Oleh karena itu peran kita sebagai
mahasiswa sangat penting disini.
Sesuai dengan perkembangan jaman, telah terbukti bahwa generasi-generasi muda yang
telah menggantikan generasi sebelumnya/generasi yang rusak, dapat memperbaiki bahkan
meningkan dan mengembangakan bangsa menjadi maju, dengan segala perubahan-
perubahan besar terjadi di bangsa kita ini contohnya saja, perkembangan teknologi dibangsa
kita ini sudah bisa dikata lebih maju dibandingkan dengan jaman dahulu. Tidak perlu
heranlah dengan semua itu karena memang pendidikan generasi-generasi muda saat ini lebih
tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya, karena generasi muda sekarang sudah ada
yang melanjutkan pendidikannya di negara lain, negara-negara yang sudah maju dan
berkembang.
B. Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”
Mahasiswa sebagai “Agent of Change”, ingat tidak dengan kata-kata ini ? “Agent of
change”, kata ini sudah saya bahas sedikit didalam artikel saya sebelumnya, Sesuai dengan
artinya yaitu “Agen Perubahan”. Selain sebagai “Iron Stock” kita sebagai mahasiswa juga
berperan sebagai agen perubahan untuk masyarakat, dengan kata-kata itu saya merasa
sedikit terjanggal dengan predikat itu, karena yang bisa menjadi agen perubahan itu bukan
hanya mahasiswa saja, tetapi seluruh manusia yang mencintai tanah air kita ini, tetapi gelar
mahasiswa sebagai agen perubahan itu juga ada benarnya sih, sebab mahasiswa itu sebagai
langkah terakhir kita untuk para pelajar untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dari
yang dulu kita hanya berstatus sebagai siswa sekarang sudah berstatus mahasiswa, dari
namanya saja maha-siswa, mahasiswa itu seperti ditingginkan. Dengan gelar kita para
mahasiswa sebagai agen perubahan, kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu
setinggi-tingginya agar kita bisa mengaplikasikan gelar yang telah diberikan atau dipercaya
oleh masyarakat kepada kita sebagai agen perubahan bangsa yang lebih maju. Bukan Malah
membuat gelar itu hanya menempel di nama kita sebagai mahasiswa, sebab gelar yang telah
diberikan kepada mahasiswa sebagai agen perubahan itu bukan diberikan begitu saja tetapi
didalam gelar itu terdapat sebuah harapan untuk perubahan bangsa kita ini, dari bangsa yang
tidak terarah menuju bangsa yang lebih terarah. Kebanyakan mahasiswa mungkin tidak
menyadari bahwa kita sebagai mahasiswa telah menjadi tumpuan “kebangkitan” untuk
bangsa kita yang lebih maju lagi.
Pertanyaan yang perlu di jawab sekarang ini oleh mahasiswa yaitu Apakah bangsa kita
kelak bisa lebih maju ? apakah kita sebagai mahasiswa yang disebut agen perubahan sudah
mampu mengantarkan bangsa kita kegerbang kemerdekaan ? kemerdekaan itu bukan hanya
lepas dari penjajahan, tetapi juga lepas dari kamiskinan dan kehancuran yang ada pada
bangsa kita ini. Ataukah kita termasuk mahasiswa yang hanya membiarkan gelar itu
menempel di nama kita sebagai mahasiswa, lantas kita tidak menjalankannya, apakah kita
termasuk mahasiswa yang sombong, yang tidak memperdulikan bangsa kita untuk
kedepannya ?
Kita telah dipercaya sebagai agen perubahan bangsa, maka dari itu marilah kita berjanji
untuk menjadi agen perubahan untuk bangsa kita yang lebih maju dan berkembang. Marilah
kita mengantar bangsa ini dari gerbang kehancuran menujur gerbang kemerdekaan yang
lebih terarah kedepannya. Jadi Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih tinggi di dunia kampus, sebab jika kita hanya bermain-main dalam menuntut ilmu, kita
tidak akan diberikan karunia oleh Tuhan YME, karena Tuhan YME lebih meninggikan
derajat orang-orang yang berilmu.
C. Mahasiswa sebagai “Guardian of Value”
Mahasiswa sebagai “Guardian of Value”, “Guardian of Value” artinya Penjaga Nilai-
Nilai. Sesuai dengan artinya disini kita sebagai mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-
nilai, nilai-nilai tersebut bukanlah nilai-nilai yang negatif melainkan nilai yang positif. Nilai
positif yang bisa membawa bangsa ini lebih maju yaitu nilai “kebaikan” yang ada dalam
masyarakat indonesia, nilai itulah yang harus kita jaga sepenuhnya. Kita sebagai mahasiswa
jangan membiarkan nilai kebaikan yang dari dulu telah ada itu hilang, terus berubah menjadi
nilai keburukan kepada masyakarat indonesia. Kita Sebagai mahasiswa telah dipercaya
sebagai kalangan muda/generasi muda yang mampu menjada dan mencari nilai-nilai
kebaikan yang lebih baik lagi. Sekarang ini sudah banyak nilai-nilai keburukan yang ada
dalam negara kita seperti maraknya terjadi korupsi oleh pejabat-pejabat besar, hukum-
hukum yang berlaku dinegara ini bagaikan pisau yang tajam kebawah tumpul
keatas, maksudnya yaitu kalangan-kalangan bawah yang ekonominya lemah yang hanya
mencuri sandal jepit, hukumannya lebih berat di bandingkan dengan perjabat-pejabat tinggi
negara yang telah melakukan korupsi, yang telah mengambil uang negara. Maka dari itu kita
sebagai mahasiswa penjaga nilai-nilai kebaikan, kita harus menghilangkan nilai-nilai
keburukan yang sudah ada dinegara kita ini. Kemudian kita kembangkan negara ini dengan
nilai-nilai kebaikan yang bisa mengarahkan negara ini ke negara yang lebih maju.
D. Mahasiswa sebagai “Moral Force”
Mahasiswa sebagai “Moral Force”, Kita sebagai mahasiswa berperan sebagai
kekuatan moral. Gelar Moral Force ini diberikan kepada kita sebagai mahasiswa oleh
masyarakat, sebab kitalah yang akan menjadi kekuatan moral untuk negeri. Kita sebagai
mahasiswa harus memiliki acuan dasar dalam berperilaku. Acuan dasar itu adalah tingkah
laku, perkataan, cara berpakaiaan, cara bersikap dan sebagainya yang berhubungan dengan
moral yang baik. Semua acuan itu harus kita perbaiki agar kita memiliki moral yang baik,
bukannya moral yang buruk. Disinilah kita dituntut untuk keintelektualan kita dalam
kekuatan moral kita di kalangan masyarakat. Maka dari itu kita tunjukkan kepada
masyarakat bahwa kita adalah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki moral yang baik.
E. Mahasiswa sebagai “Social Control”
Mahasiswa sebagai “Social Control”, Sebagai mahasiswa kita harus berperan sebagai
pengontrol kehidupan social. Dalam hal ini kita bisa mengontrol kehidupan masyarakat,
dengan cara kita sebagai mahasiswa generasi muda menjadi jembatan antara masyarakat
dengan pemerintah. Menyempaikan aspirasi yang telah dikeluarkan oleh masyarakat kepada
pemerintah. Mahasiswa juga sebagai gerakan yang mengkritisi kebutuhan politik ketika ada
kebijakan diberikan oleh pemerintah yang tidak baik, yang tidak akan membawa perubahan.
Kontrol dari kondisi-kondisi social yang merupakan implenetasi nyata untuk mahasiswa
bersinggungan dengan masyarakat. Dengan memanfaatkan adanya media sangat baik jika
diterapkan. Maka tidak sewajarnyalah kita sebagai mahasiswa diharapkan untuk menjadi
pengontrol social untuk masyarakat, khususnya masyarakat kalangan menengah bawah.
Itulah beberapa peran dan fungsi mahasiswa, sebegai kesimpulan marilah kita sebagai
mahasiswa menjadi mahasiswa yang diharapkan oleh masyarakat dan bangsa kita, dengan
menerapkan peran-peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa untuk generasi penerus bangsa.
KIta dapat merubah bangsa ini menjadi bangsa yag lebih maju apabila kita menggabungkan
seluruh peran kita dan kita harus bersatu sebagai mahasiswa yang akan menjadi penerus
bangsa kelak.
4. Penutup

Gerakan mahasiswa dalam kaca mata sejarah memperlihatkan bahwa kekuatan utama
kelompok kelas menengah ini adalah jiwa idealis dan independensinya. Tidak mau
terkooptasi dengan kepentingan politik para pejabat negara. Karenanya perlu diingat bahwa
kegagalan gerakan mahasiswa selama ini adalah birokrasi, partai politik, dan militer.
Keterlibatan mereka dalam penentuan kebijakan organisasi dapat meruntuhkan nilai-nilai
moral, dan kemanusiaan seorang mahasiswa. Jika anda telah menjadi senior, maka tampilah
sebagai senior yang benar-benar senior.
Era NKK/BKK

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa
selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.

Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf


dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur
kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat
membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini
Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai
gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan
SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga
Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan
penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok
pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan
Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat
Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal
yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan
pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud
tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra
kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh.
Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik
praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat
pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang
apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal
tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh
kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser
oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula
sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis
mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu
dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI
(himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia),
GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok
Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah
waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui
Porkas/TSSB/SDSB.

1990

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut
dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui
PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas
(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK
tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun
dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa
yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk
menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan
di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena
kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari
pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila
akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai
perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan
alternatif yang independen.

Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis
serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa
untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa
ditahun 1990-an.

Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi
bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar
kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.

Anda mungkin juga menyukai