Secara etimologi, generasi muda berasal dari dua kata, yaitu generasi artinya angkatan atau turunan dan
muda yang berarti belum lama ada. Berdasarkan penjelasan di atas, maka generasi muda berarti angkatan
atau turunan yang belum lama hidup.
. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa generasi muda adalah kelompok, golongan, angkatan,
kaum muda yang hidup dalam jangka waktu tertentu dan mempunyai tugas untuk melanjutkan pembangunan
bangsanya.
Umumnya, percobaan bunuh diri disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi situasi atau masalah
tertentu. Mereka menganggap bunuh diri merupakan jalan keluar terbaik.
Pikiran tersebut muncul karena seseorang merasa bahwa dirinya sudah tidak memiliki harapan di masa depan.
Tindakan dinilai akan menyelesaikan semua masalah yang ada.
Berbagai macam faktor berkontribusi menjadi penyebab orang ingin bunuh diri. Berikut beberapa di antaranya.
Depresi adalah salah satu gangguan mental yang menjadi penyebab bunuh diri paling tinggi. Gejala depresi yang tidak
tertangani dengan baik membuat Anda merasa lelah dan putus asa.
Selain itu, stres dan depresi sering membuat seseorang menyesali hidupnya dan berpikir bahwa tidak ada orang yang
sayang padanya. Akibatnya, bunuh diri menjadi tindakan yang tidak terhindarkan.
b. Perilaku impulsif
Impulsif artinya melakukan sesuatu berdasarkan dorongan hati (impulse). Perilaku ini membuat Anda melakukan
segala sesuatunya secara spontan.
Perilaku impulsif berbahaya ketika dibarengi dengan munculnya pikiran negatif. Situasi tersebut berisiko membuat
Anda berpikir cepat untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri
Sebuah studi dalam jurnal Psychological Autopsy menjelaskan bahwa terdapat satu atau lebih diagnosis gangguan
mental pada 90% orang yang bunuh diri.
Selain itu, didapati juga 1 dari 20 orang yang mengidap skizofrenia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Kasus bunuh
diri juga ditemukan pada orang-orang dengan gangguan kepribadian seperti:
antisosial dan asosial,
gangguan bipolar,
gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder),
post traumatic disorder (PTSD), dan
narcissistic personality disorder.
Beberapa penyakit dapat memicu keinginan bunuh diri pada diri seseorang. Kondisi ini terjadi karena orang tersebut
yakin bahwa penyakit tersebut menjadi akhir dari hidup mereka.
Sebagai contoh, orang yang didiagnosis dengan HIV mungkin merasa bahwa hidup sudah tidak ada gunanya lagi
karena penyakit ini belum bisa disembuhkan. Pikiran ini lantas meningkatkan risiko bunuh diri.
Kasus lain juga terjadi pada kehamilan yang tidak diinginkan. Banyak orang yang memilih untuk bunuh diri saat hamil
di luar nikah karena takut membuat malu keluarga.
a. Tidak memaksa orang lain untuk melakukan hal yang tak disukainya
Hal pertama yang perlu dipahami oleh anak adalah tentang batasan untuk tidak memaksa orang lain. Contoh ini kerap
kali terjadi pada anak-anak sebab ketidak pahaman mereka. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu, dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman.
Kebiasaan untuk memaksa juga dapat membuat anak remaja mama terlihat sebagai seorang perundung atau
pelaku bully, yang akhirnya bisa menimbulkan masalah lebih besar jika tidak ditangani sejak awal.
Kedekatan dengan teman-teman sebaya seringkali membuat seorang remaja lupa untuk bersikap sopan. Karena merasa
dekat, seringkali membuat mereka cenderung ikut campur, bahkan termasuk hal-hal privasi orang lain.
Hal semacam ini patut diwaspadai oleh orangtua agar anak tidak membawa kebiasaan tersebut hingga dewasa kelak.
Memang baik untuk menunjukkan empati pada sahabat, namun jangan sampai bersikap berlebihan. Membantu sahabat
bukan berarti anak harus ikut campur dalam urusan pribadinya lho. Ajari remaja untuk menunjukkan bentuk dukungan
dan sebisa mungkin hadir jika temannya membutuhkannya.
c. Sebisa mungkin untuk tidak membahas tentang keuangan diri sendiri dan orang lain
Freepik/Jcomp
Tak seperti anak-anak yang masih belum banyak memahami penggunaan uang sebagai alat transaksi, remaja mungkin
sudah mengetahui bahwa uang adalah hal penting bagi beberapa orang. Sehingga hindari untuk menjadikan uang
sebagai bahan pembicaraan saat bersama teman.
Membicarakan keuangan terkadang menjadi topik yang sangat sensitif, remaja perlu sangat berhati-hati saat
membahasnya. Jika memang harus, anak perlu menunjukkan rasa hormat, dengan meminta izin untuk
membicarakannya.
Penting juga untuk diingat oleh anak, bahwa uang sebagai urusan personal yang tak perlu dikulik dari orang lain.
Termasuk uang yang anak miliki juga tak perlu diketahui oleh orang lain.
d. Tidak menjadikan bentuk fisik, ekonomi, dan status orangtua saat bercanda
Bukan hal yang mengherankan lagi jika anak remaja gemar bercanda dengan teman-temannya. Bahkan hal sederhana
saja bisa menjadi bahan bercanda bagi mereka. Meski demikian, ia harus memahami apa saja hal-hal yang sebaiknya
tidak disebutkan pada saat bercanda.
Dalam hal ini, sebagai orangtua, Mama perlu mengajarkan anak untuk tidak membawa-bawa bentuk fisik, ekonomi,
dan status orangtua pada saat bercanda. Hal ini menjadi topik sensitif yang bisa menyakiti perasaan satu sama lain.
e. Menghormati aturan dan norma yang ditetapkan
Manusia hidup tentu memiliki aturannya tersendiri dan hal ini bisa berbeda-beda pada setiap orangnya. Tidak hanya
aturan, norma pun juga akan menjadi hal penting yang menentukan pergerakan seseorang agar tidak sampai melampaui
batas.
Saling menghormati aturan dan norma yang ada tentu menjadi cara terbaik dalam mengajarkan anak remaja mama cara
bersikap. Dengan demikian, maka setiap perilakunya tidak akan sampai melampaui batasan-batasan yang ada.
a) Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat yang
menimbulkan resiko dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat kepada korban;
b) Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang
bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya
dengan kaedah akhlak mengenai hubungan antara laki-laki dengan perempuan;
c) Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah
masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang
cenderung makin meniadakan peran agama yang mendorong seseorang untuk berbuat jahat dan merugikan
orang lain;
d) Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai
penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari
unsur-unsur masyarakat;
e) Putusan hakim yang dirasa tidak adil seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal
ini dimungkinkan mendorong anggota-anggota msyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka
yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya;
f) Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan
mengembara dan menuntunnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya; dan
g) Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan, (keputusan) dan
perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
10. Bonus demografi yang dimaksud adalah masa di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih
besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah
penduduk Indonesia.
Keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat
ini dan ke depan. Saat ini sebagian mereka telah memasuki jenjang perguruan tinggi. Ini
tentunya tantangan bagi pendidikan tinggi dan perguruan tinggi yang merupakan terminal akhir pendidikan
dalam membangun SDM yang berdaya saing dengan kompetensi sesuai kebutuhan. Bagaimana perguruan
tinggi memahami dan merespon tumbuh kembangnya Gen Z ini.
Bonus demografi memberikan peluang bagi pembangunan ekonomi suatu negara dengan adanya peningkatan
jumlah populasi usia produktif. Hal ini dapat menghasilkan peningkatan potensi tenaga kerja yang tersedia di
pasar. "Bonus demografi dapat menyediakan tenaga kerja yang lebih banyak dan berpotensi mendukung
pertumbuhan ekonomi melalui kontribusi mereka dalam produksi dan konsumsi" (Sulistio, 2019, hlm. 55).
Namun disisi lain, Generasi Z menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam mencapai pendidikan tinggi
dan memasuki dunia kerja. Jumlah lulusan perguruan tinggi yang meningkat setiap tahunnya menyebabkan
persaingan yang sengit untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. "Tingginya persaingan dalam dunia
pendidikan dan lapangan kerja saat ini menuntut Generasi Z untuk memiliki kualifikasi yang lebih tinggi dan
memperkuat kompetensi mereka"