Anda di halaman 1dari 7

BPJS ( budget pas-pasan jiwa sosialita)

1 Timotus 4:12 : Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah
teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu,
dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.
Mazmur 119:9 : Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya yang bersih ?
Dengan menjaganya sesuai Firman Tuhan .
Sobat Muda,

Istilah BPJS tentu tidak asing lagi di telinga sobat muda. BPJS yang dimaksud disini adalah
Budget pas pasan jiwa sosialita. “Budget Pas pasan Jiwa Sosialita” atau lebih dikenal dengan
sebutan “BPJS”. Nah istilah ini berkembang di kalangan anak muda akhir akhir ini. Istilah
“BPJS” ini digunakan u ntuk menyindir orang yang sebenarnya tidak memiliki uang yang
cukup, namun nekad melakukan segala cara agar dapat membeli baranag barang yang
mencerminkan status social seseorang hanya agar dapat dilihat sebagai orang kelas atas. Dimana
kondisi seseorang yang tidak mampu untuk bergaya dan lebih cenderung untuk “Memaksakan
Keadaan”. Mereka misalnya menggunakan gadget terbaru, tas termahal, makan dan ngopi di
tempat yang viewnya cocok dipasang di IG atau hanya sekedar untuk mendapatkan perhatian dan
penilaian sederhana di media sosial, “Duh, jalan-jalan mulu nih” atau “Waah, keren banget sih
tempatnya”. Atau bahkan hanya sekedar untuk mengisi pandangan pribadi, “Saya eksis lho!”.
Namun kenyataannya adalah anak muda dapat menahan lapar hanya untuk dapat menikmati
sebuah kue kecil atau segelas minuman yang harganya selangit di tempat yang juga selangit
hanya untuk mendapatkan perhatian tersebut. Sebenarnya bukan permasalahan mewah atau
tidaknya. Karena pada dasarnya tingkat kemewahan atau kesederhanaan seseorang berbeda beda,
sesuai dengan tingkatan ekonomi yang mereka punya. Kalaupun anak seorang pejabat ya wajar
saja dia bisa membeli dan melakukan segala kemewahan yang dia inginkan. Tapi ? bagaimana
dengan pola hidup seseorang yang selalu menuntut pada kemewahan sedangkan ekonomi tidak
mendukung? Itu jelas sangat berpengaruh sekali. Seseorang akan lebih cenderung memaksakan
kehendak secara terus menerus. Setiap kemauan harus selalu ada. Bahkan terkadang orang
sampai bersikap konyol hanya untuk memperlihatkan gengsi. Seseorang yang terlalu
memaksakan kehendak seperti ini justru akan membuat tekanan pada diri sendiri. Hasrat akan
untuk selalu mengikuti gaya hidup orang lain terus menerus akan menjadi boomerang untuk diri
sendiri. Semakin mengejar apa yang orang lain punya maka hidup mau tidak mau akan selalu
dihantui rasa keinginan yang berlebihan. Hingga seringkali harus melakukan hal-hal yang
berlebihan. Dan pada akhirnya ini akan memberikan dampak yang negative bukan hanya untuk
dirinya sendiri tetapi juga orang disekitarnya. Saya pernah membaca berita dialah satu media di
bali, jika seorang pemuda usia 15 tahun mengakhiri hidupnya oleh karena malu, orangtuanya
nggak belikan gadget. Ini kan realita kita sekarang.

Sobat Muda,
Sebagai generasi muda kejadian atau hal seperti ini kan sangatlah tidak kita harapkan untuk
kedepannya. Tapi buPen, kami ini angkatan milenial, angkatan generasi Z. hal hal seperti ini
biasa donk, gaya hidup kami di gemerasi milenial memang begini. .
Apakah memang benar demikian? Tiap generasi dalam keluarga ada tantangannya. Sedikit saya
sampaikan tentang generasi ini,
Bicara tentang generasi, tentu mereka memiliki karakter yang berbeda karena dipengaruhi oleh
berbagai faktor termasuk lingkungan di sekitar mereka sehingga membentuk kepribadian
tersendiri. Seperti apa masing-masing karakteristik kelima generasi tersebut?
Baby Boomers (1946-1960)
Lahir dan tumbuh di zaman yang belum modern dan minim lapangan pekerjaan saat itu,
membuat masa muda generasi Baby Boomers memiliki sifat kompetitif. Dikutip dari
thebalancecareers.com, generasi ini berorientasi pada pencapaian, berdedikasi, dan berfokus
pada karir. Mereka pun sampai disebut generasi gila kerja, tidak suka dikritik, tetapi suka
mengritik generasi muda karena kurangnya etika kerja dan komitmen terhadap tempat kerja.
Meski begitu, di balik sifat mereka yang suka bekerja keras, mereka punya tujuan penting yakni
membahagiakan keluarganya (terutama anak-anak). Para baby boomers punya karakter setia
kepada keluarga dan rela bekerja keras asalkan keturunannya bisa mendapatkan pendidikan
setinggi-tingginya. Tak heran mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mandiri, dan optimis
dengan pencapaian yang mereka telah lakukan.
Generasi X (1961-1980)
The latchkey kids - anak yang sering merasa sendirian akibat ditinggal orang tuanya bekerja -
merupakan istilah yang kerap diberikan untuk para generasi X. Maklum, generasi yang lahir
pada pertengahan tahun enam puluhan hingga awal delapan puluhan ini dibesarkan oleh orangtua
(Baby Boomers) yang gila kerja.
Kondisi tersebut membuat generasi X menjadi lebih mandiri dan mulai mencari alternatif selain
pekerjaan formal yang menghabiskan banyak waktu. Melihat kedua orang tuanya banyak
menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah, membuat para generasi X mulai berpikir
untuk berwirausaha atau bekerja di rumah.
Generasi Y (1981-1994)
Umumnya, generasi Y (milenial) menyukai hidup seimbang. Mereka pekerja keras tapi tetap
mementingkan 'me time'. Generasi Y dikenal dapat diandalkan dalam hal kedisiplinan dan soal
pemanfaatan teknologi (tech-savvy). Dengan kelebihan yang dimilikinya tersebut, generasi Y
punya kepercayaan diri yang baik dan tetap menjunjung tinggi kritik dan saran dari orang lain.
Keseimbangan gaya hidup dan pekerjaan generasi Y membuat mereka cenderung mencari
pekerjaan yang dapat menunjang gaya hidupnya dan tetap bisa melakukan hobi yang mereka
suka. Dikutip dari Forbes, generasi yang lebih dikenal sebagai milenial ini punya passion yang
besar dan sangat kreatif untuk membuat passion mereka menjadi sumber penghidupan. Mereka
suka bekerja, suka berpetualang dan penuh gairah untuk melakukan hobi yang menjadi bagian
penting dan pertumbuhan dan perkembangan pribadi generasi ini.
Generasi Z (1995-2010)
Generasi ini merupakan peralihan dari generasi Y. Dengan perkembangan teknologi yang
semakin berkembang di generasi ini, membuat mereka sangat bergantung pada teknologi, gadget,
dan aktivitas di media sosial. Bahkan mereka lebih memprioritaskan popularitas, jumlah
followers dan like.
Dilansir dari socialmediaweek.org, dalam hal konsumsi media sosial, generasi milenial
menghabiskan rata-rata enam sampai tujuh jam per minggu di media sosial, sedangkan 44 persen
dari Gen Z memeriksa media sosial mereka setidaknya setiap jam
Ketergantungan teknologi khususnya sosial media membuat mereka suka dengan hasil instan dan
cepat, cenderung keras kepala, dan selalu terburu-buru. Meski begitu, generasi ini suka dengan
tantangan baru namun haus akan pujian. Aktivitas sosial dan bergaul menjadi favorit mereka
sehingga tak mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk bersenang-senang.
Generasi Alpha : lahir di zaman dengan teknologi yang berkembang pesat. Sejak dini mereka
sudah familiar dengan gadget seperti smartphone atau laptop. Anak-anak Alpha akan tumbuh
dengan gadget di tangan sampai-sampai tidak pernah bisa hidup tanpa smartphone. Dilansir
Business Insider, situasi ketergantungan teknologi pada generasi Alpha membuat generasi ini
menjadi paling transformatif dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Nah kita ada dimana sekarang ? dan bagaimana Firman Tuhan berbicara bagi kita hari ini?

“Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi
orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam
kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” —1 Timotius 4:12
Rasul Paulus menuliskan sepucuk surat yang ditujukan kepada Timotius karena ialah yang
Paulus percayakan untuk melanjutkan pekerjaan pelayanannya. Surat ini memuat nasihat atas
kegiatan pemberitaan Injil dan sejumlah wejangan pribadi. Di dalam pasal 4:12, Paulus
menasihatkan Timotius agar melalui perkataan, tingkah laku dan kesetiaannya, ia dapat menjadi
teladan bagi banyak orang. Timotius bisa menjadi seorang pribadi yang berintegritas baik, setia
dan sanggup mengaplikasikan firman Allah dalam hidupnya sehari-hari, sehingga tidak ada
alasan bagi orang lain untuk memandangnya rendah karena dirinya masih muda.

Meskipun ia muda, belum banyak pengalaman, belum terlalu dewasa, dan kalau kata orang
jaman sekarang menyebutnya “anak masih bau kencur” tetapi ia dapat menjadi teladan di dalam
perkataan, tingkah laku, kesetiaan, dan kesuciannya sehingga orang lain atau orang yang lebih
tua darinya tidak memandang rendah akan dirinya.

Teman-teman, perasaan yang sama juga bisa terdapat dalam diri kita. Sebagai seorang muda,
mungkin kita  merasa takut dan minder. Dan karena usia kita, orang lain menganggap kita
sebagai orang yang masih “bau kencur”. Bahkan ketika kita hendak mengabarkan Injil kepada
mereka, seringkali itu terasa begitu sulit karena kita dianggap terlalu muda dan belum dewasa,
sehingga kita tidak sepenuhnya bisa dipercaya.
Satu hal yang dapat kita pelajari dari nasihat Rasul Paulus kepada Timotius adalah bahwa
sekalipun kita masih muda, kita dapat hidup begitu rupa sehingga layak menjadi teladan bagi
orang lain. Hal ini bisa terlihat dalam sikap kita membawa diri, melalui cara kita berbicara dan
bertingkah laku.

Marilah kita belajar menjadi seorang muda yang dapat menjadi teladan di dalam perkataan,
tingkah laku dan kesucian hidup. Kita bisa mulai dari menjaga prilaku kita. Milikilah perkataan-
perkataan yang penuh kejujuran, dapat membangun dan dapat dipercaya.
Bacaan yang kedua terambil dari : Mazmur "Dengan apakah seorang muda mempertahankan
kelakuannya bersih?  Dengan menjaganya sesuai dengan firman-mu."  Mazmur 119:9

Pemazmur menyatakan bahwa hanya dengan firman Tuhanlah anak muda dapat
mempertahankan kelakuannya tetap bersih dan sesuai dengan kehendak Tuhan.  Oleh sebab itu
para pemuda Kristiani harus banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan rohani supaya waktu-waktu
luang yang ada mereka gunakan untuk hal-hal yang positif dan membangun iman.  Mereka harus
melatih diri dalam hal ibadah, artinya:  tidak  "...menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan
ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang,... dan semakin giat melakukannya
menjelang hari Tuhan yang mendekat."  (Ibrani 10:25).  Semakin banyak mereka mendengar
Firman Tuhan semakin kuat pula iman mereka, karena  "...iman timbul dari pendengaran, dan
pendengaran oleh firman Kristus."  (Roma 10:17).  Bagi anak-anak Tuhan, tidak mengikuti tren
teman-teman bukanlah akhir dari segalanya.  Sebaliknya, hal ini juga bukan berarti kita menjadi
pemuda yang 'kuper' dan out of date.

     Tuhan menghendaki kita menjadi orang-orang muda Kristen yang berkualias dan memiliki
kehidupan yang berbeda dari anak-anak muda di luar Tuhan, yang meski masih muda tetapi
memiliki integritas dan tidak berkompromi dengan dosa;  berani berkata tidak dan menolak
setiap ajakan maupun kebiasaan hidup yang tidak berkenan kepada Tuhan meski hal itu
mengandung resiko:  ditinggalkan dan dikucilkan teman.  Yang Tuhan mau adalah kita menjauhi
nafsu orang muda, karena segala keinginan untuk memenuhi hawa nafsu hanyalah akan
membawa kita kepada kebinasaan. Karena itu kita harus memiliki kekariban dengan Tuhan
supaya kita beroleh kekuatan untuk dapat menolak setiap hawa nafsu yang ada.  Rasul Paulus
berpesan,  "Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda.  Jadilah
teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu,
dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu."  (1 Timotius 4:12).

     Masa muda adalah masa emas bagi kita untuk memaksimalkan potensi yang ada dan memacu
kita untuk do our best dalam segala hal, baik dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan,
ketekunan dan juga kesucian.

Nama Tuhan dipermuliakan ketika kemudian kita menjadi teladan bagi teman-teman dan
lingkungan kita.
Saya kira kebanyakan sekarang Sobat Muda adalah ada pada generasi Y dan Z bahkan mungkin
generasi alpha. Tantangan keluarga Kristen di zaman sekarang yang disebut generasi millennial
dan Generasi Alpha merupakan tantangan yang tidak mudah dan memiliki permasalahannya
sendiri. Generasi millennial dinilai cenderung cuek pada keadaan sosial, mengejar kebanggaan
akan merk/ brand tertentu padahal orangtuanya makan dua kali sehari saja sudah bersyukur.
Pulang kuliah/ kerja nongkrong di Starbucks, padahal di kost-an hanya makan mie cepat saji.
Cuek aja, yang penting gaya. Yang penting eksis di media sosial. Yang penting follower-nya
banyak. Sekolah atau kuliah cuma jadi ajang pamer harta orang tua (untuk yang berpunya), dan
jadi perjuangan untuk yang tipe BPJS. Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita!. Cuek juga terhadap
perkembangan politik dan ekonomi, setiap pemilu cenderung golput. Cenderung meninggalkan
nilai-nilai budaya dan agama, mengejar nilai-nilai kebebasan, hedonisme, party dan pergaulan
bebas.
Generasi millennial tidak lepas dari teknologi, kecanggihan teknologi membuat anak – anak
lebih mudah mengakses semua hal dan hal ini akan membawa pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan kejiwaan, gaya hidup, dan spiritual mereka.

Teknologi menjadikan hidup manusia makin mudah, cepat dan tanpa batas. Manusia bisa
menjadi pribadi mandiri dalam belajar. Sebab dengan mesin pencari (misalnya Google) orang
bisa belajar banyak hal. Itulah sisi positifnya. Namun tak bisa dipungkiri pula, perkembangan
sangat cepat ini telah menimbulkan suatu kejutan budaya bagi orang Indonesia. Dari perspektif
spiritualitas, berikut hal-hal yang perlu kita waspadai:

1. Individualisme Iman.
Di Jepang muncul fenomena Hikikomori, merujuk pada orang-orang yang menjauhkan diri dari
lingkungan sosial dengan mengurung diri di dalam kamar selama berbulan-bulan, bertahun-tahun
bahkan sampai ada yang puluhan tahun. Hikikomori terjadi karena orang merasa tidak perlu lagi
berhubungan langsung dengan orang lain untuk bisa hidup. Manusia bukan lagi makhluk sosial,
melainkan makhluk individual yang bisa hidup secara otonom. Celakanya, ini bisa berpengaruh
pada penghayatan iman seseorang. Hubungan dengan Tuhan berubah menjadi ranah pribadi.
Keselamatan menjadi ranah pribadi. Pola hidup beragama menjadi eksklusif. Dan, pada akhirnya
iman tak punya sumbangsih apapun dalam mentransformasikan hidup bersama dalam
masyarakat.

Memang, sekarang Alkitab dan interpretasinya bisa diakses dari mana saja. Renungan, artikel,
sampai karya tulis teologi tidak hanya terbatas diakses  di  gereja. Khotbah yang menarik dan
berbobot ada di radio, internet dan sebagainya. Tetapi keluarga-keluarga Kristen punya masalah
serius terkait dengan tiga tugas utama dari Allah, yakni bersekutu, bersaksi dan melayani.

2. Information Overload.
Merupakan istilah yang dipopulerkan Alvin Toffler (1970, “Future Shock”), terminologi ini
pertama kali diungkap Bertram Gross (1964) untuk menggambarkan bahwa seseorang setiap hari
dibombardir informasi berlebih yang belum tentu kebenarannya sehingga bisa mengalami
kejenuhan, kebingungan, bahkan kesesatan.
Sadar atau tidak, melalui berbagai media informasi dari buku, radio, televisi, website, blog dan
forum-forum diskusi lain, sekarang ini beredar banyak ajaran iman dan etika yang tak dapat
dipertanggungjawabkan. Fundamentalisme, rasialisme, primordialisme, bertebaran di era
kebebasan tanpa batas. Website-website yang ber-platform Kristen sekalipun, terkadang memuat
ajaran yang saling bertolak belakang satu dengan lainnya. Yang lebih berbahaya lagi jika
informasi-informasi rendah validitas tersebut menyerbu melalui broadcast message di media
sosial, email, spam, advertisement website, status orang di facebook ataupun twitter dan
sebagainya. Bayangkan betapa besar ancaman spritualitas yang dialami oleh generasi penerus
kita.

3. Peran Tuhan Tak Lagi Dirasa Bagi Kehidupan.


Manusia bisa mendapatkan apa yang diinginkan dengan teknologi. Mereka yang menguasai
teknologi berarti menguasai dunia. Asal ada uang orang bisa membeli teknologi. Jika sudah
begitu semuanya seolah bisa dilakukan oleh manusia. Bahkan, seringkali hidup mati
seseorangpun seolah hanya ditentukan oleh uang, bukan oleh Tuhan. Dampaknya peran Tuhan
tak lagi dirasa. Tuhan kurang dibutuhkan dan itu berarti setiap kehendak Tuhan siap diabaikan
oleh manusia.

4. Dalam Psikologi sosial ada hal gejala yang dinamakan Bystander Effect, atau dinamakan juga
Genovese Syndrome. Suatu malam, Kitty Genovese seorang karyawati di New York berteriak-
teriak minta tolong karena dua kali ditusuk orang dengan pisau tetapi tidak seorang pun tetangga
yang datang menolongnya. Penjahat itu lari tetapi beberapa menit kemudian kembali lagi,
memperkosa dan menusuknya berkali-kali sampai mati. Kasus yang menimpa Kitty Genovese itu
tidak hanya mendapat publikasi yang luas tapi kemudian menjadi bahan penelitian para psikolog
yang kemudian menyebut fenomena sosial seperti itu sebagai The Genovese Syndrome atau
Bystander Effect. Efek penonton atau Sindrom Genovese adalah kejadian dimana banyak orang
tidak melakukan apa-apa sementara mereka menyaksikan kejahatan itu berlangsung di depan
mata mereka.

Dua psikolog Amerika John Darley dan Bibb Latane (1968) mengemukakan bahwa
makin banyak kehadiran orang lain, seseorang menjadi merasa lebih kecil keinginannya untuk
membantu seseorang, jika ia bukan satu-satunya orang yang melihat orang yang membutuhkan
pertolongan tersebut. Boleh jadi mereka merasa dirinya tidak mampu untuk menolong dan bukan
ahlinya. Bukankah masih banyak orang lain yang bisa menolong dia? Mengapa harus saya?
Bukankah orang lain lebih mampu menolong daripada saya? Tampaknya kita semua tidak
terbebas dari "Genovese Syndrome" atau "Bystander Effect" (Diffusion of Responsibility).
Ambil saja contohnya ketika kita melihat sebuah peristiwa yang membutuhkan pertolongan kita,
tetapi kita mengabaikannya karena tahu masih banyak orang lain yang bisa menolong dia.
Sebagian dari kita berpikir, jangan-jangan malah timbul masalah dengan pihak hukum atau polisi
bila kita menolongnya. Sebab itu kita lebih senang mengambil sikap "cuci tangan, lepas tangan
dan angkat tangan" bilamana terjadi sesuatu di sekitar kita. Dalam perspektif iman Kristiani,
gejala "Genovese Syndrome" atau Bystander Effect (kecenderungan untuk tidak menolong) tidak
dapat dibenarkan. Berapa banyak tragedi kemanusiaan (ketidakadilan, penindasan, KDRT,
kekejaman dan kejahatan) yang terjadi di depan mata kita, dan kita memilih sikap, berdiam diri
dan tidak peduli karena kita pikir, masih ada orang lain yang dapat membantunya???
Mengambil sikap tidak peduli, tidak mau menolong dan berdiam diri, berarti kita
membenarkan dan menyetujui kekejaman dan kejahatan yang terjadi, dan membiarkannya
bertumbuh kembang dalam kehidupan kita. Mudah-mudahan Syndrome ini tidak menjangkiti
komunitas gereja, keluarga dan masyarakat kita. Tanpa kita sadari, gaya hidup modern membuat
kita lebih peduli kepada diri sendiri daripada peduli kepada orang lain. Kita lebih senang banyak
berpikir dan berbicara mengenai diri kita sendiri dan apa yang menjadi tujuan serta kepentingan
pribadi kita.

LALU, APA YANG HARUS DILAKUKAN KELUARGA?.

1. Memahami dan menerapkan “Teknologi dan Iman” sebagai persekutuan yang saling
melengkapi. Albert Einstein menyatakan, “Faith without science is blind, and science without
faith is cripple.” Itu berarti bahwa baik teknologi maupun iman keduanya amat penting dan
berguna dalam hidup ini. Keduanya tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Alkitab sendiri menyatakan bahwa kepada manusia Tuhan Allah memberikan mandat budaya
dan mandat natural untuk menguasai alam ciptaan Tuhan dan menaklukkannya (Kejadian
1:27-28).
2. Teknologi dan Iman diperkenalkan kepada anak-anak sedini mungkin, baik dalam
keluarga, sekolah, lingkup pelayanan gereja atau di masyarakat luas, agar mereka melihat
keduanya sebagai dua hal yang saling melengkapi. Orang tua sebisa mungkin mengikuti
perkembangan yang ada agar bisa mendeteksi peta perubahan zaman dan mengenali
kecenderungan-kecenderungan di dalamnya.
3. Perlu diciptakan kondisi penyeimbang yang mempersiapkan generasi muda kita menjadi
generasi bermental positif, dengan cara : Menumbuhkan kesadaran sosial dan semangat hidup
bersama (dengan membangun komunitas-komunitas positif di lingkungan keluarga, gereja,
sekolah, dan masyarakat).
Dalam situasi pandemic covid 19 gereja dan khususnya pemuda harus mampu mengatasi trend
buruk yang terjadi dikalangan pemuda dan pemudi. Melalui renungan hari ini kiranya sobat
muda mampu memilih dan memilah bahwa hidup bukan hanya semata mata hanya untuk
bergaya tetapi bisa menjadi teladan yang baik, mengucap syukur dan ingat bahwa Tuhan tetap
memelihara hidup kita dengan sangat baik bagaimanapun kondisi dan keadaan kita.
Jadilah sobat muda yang bijak dan dengan hikmat Allah menghadapi tantangan di zaman
millenial ini.

Anda mungkin juga menyukai