Anda di halaman 1dari 7

Strawberry Generation

Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh

By Prof. Rhenald Kasali


Strawberry Generation (2017) mengupas perubahan yang terjadi di generasi muda kita. Buku ini
mengingatkan anak muda agar tidak menjadi “generasi strawberry”. Mereka adalah generasi
yang memiliki banyak ide dan gagasan kreatif tapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Baca pimtarnya untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang mereka.

Siapa penulis buku ini?

Prof. Rhenald Kasali, Ph.D merupakan Guru Besar FEUI, praktisi sekaligus penulis serangkaian
buku tentang manajemen perubahan. Saat ini beliau merupakan pemimpin organisasi Rumah
Perubahan serta menjadi komisaris beberapa perusahaan.

Beliau juga sibuk mengurus Training Center seluas 5 hektare di Desa Jati Murni Bekasi. Dari
sana, semangat perubahan digaungkan. Tokoh-tokoh perubahan serta para eksekutif tak terhitung
jumlahnya yang telah berkunjung ke sana.

Untuk siapa buku ini?

 Para kaum muda yang ingin melakukan perubahan


 Para orang tua dan calon orang tua yang ingin memiliki anak berjiwa tangguh
 Para pemerhati pendidikan dan sosial
 Siapa pun yang peduli terhadap nasib generasi muda di Indonesia
Apa yang dibahas buku ini?

Cara mengubah generasi yang rapuh menjadi generasi tangguh

Strawberry Generation, sebutan generasi manja zaman sekarang, perlu dilatih agar tidak berpikir
melalui jalan pintas. Namun untuk melakukannya dibutuhkan kerelaan mereka, tidak bisa
melalui paksaan.

Buku ini memberikan beberapa nasehat bagi orang tua, pendidik dan generasi muda kita;
belajarlah dari mereka yang berhasil,siaplah menerima kritik sertamilikilah mindset penerobos
dan penantang kesulitan.
Menurut Rhenald Kasali, itu merupakan karakter orang yang punya daya juang. Mereka harus
dididik untuk terbiasa menghadapi tantangan, bukan menghindarinya.

Hal menarik yang dibahas buku ini antara lain:

 apa perbedaan antara fixed mindset dan growth mindset;


 kenapa “godaan viral” ke generasi muda menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai oleh para
pendidik dan orang tua;
 ketrampilan otak apa yang perlu dikuasai oleh generasi muda kita; dan
 bagaimana menjadi pendidik yang kreatif bagi generasi muda masa kini.

Growth Mindset dan ‘ketrampilan otak’ adalah modal penting bagi generasi muda kita

Mindset merupakan asumsi-asumsi yang dianut seseorang, yang seringkali tidak lagi cocok
dengan kebutuhan yang baru. Menurut Rhenald Kasali, ada dua jenis mindset yang perlu Anda
kenali dan pahami, yaitu growth mindset dan fixed mindset.

Orang-orang dengan pola pikir growth  mindset digambarkan memiliki daya juang tinggi serta
dididik untuk terbiasa menghadapi kesulitan dalam upaya meraih kemenangan.  Mereka
merupakan penerobos, penantang hambatan dan kesulitan. Kemampuan beradaptasi mereka juga
tinggi. Mereka selalu menganggap dirinya adalah orang bodoh sehingga perlu terus belajar dan
berkembang.

Sementara fixed mindset merupakan asumsi yang dimiliki para generasi manja yang mengarah


pada generasi strawberry. Mereka akan terlihat bagus dari luar namun rapuh tak berdaya
didalam. Mereka cenderung mementingkan ijazah serta gelar dibandingkan kapabilitas yang
sebenarnya.

Mereka yang berada dalam golongan fixed mindset sangat perlu untuk diubah menjadi orang-
orang dengan growth  mindset. Hal itu karena orang-orang yang menghambat perubahan
bukanlah orang yang kurang pandai, namun orang-orang yang terkurung oleh cara berpikir lama
yang belum tentu benar.

Perlu diingat juga bahwa anak yang memiliki kecerdasan biasa saja bisa meraih banyak
kesuksesan karena cognitive flexibility-nya bagus. Cognitive flexibility adalah keterampilan
memadukan pengalaman-pengalaman baru dengan pengalaman yang sudah pernah ada  hingga
dapat dipergunakan dalam situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan.

Terakhir, jadikanlah anak-anak muda sebagai driver bukan penumpang. Dengan driver


mentality (kesadaran yang dibentuk dari pengalaman serta pendidikan) dorong mereka sebagai
pelaku perubahan, bukan sekedar pengikut perubahan.

“Hadiah terpenting dan terindah dari orang tua untuk anak-anaknya adalah tantangan”

Carol Dweck
Dunia pendidikan dan keluarga perlu memperhatikan beberapa hal untuk melahirkan
generasi muda yang tangguh

Pihak yang terlibat di dunia pendidikan kita sebenarnya terbelah menjadi dua bagian; digital
natives—yaitu anak-anak yang lahir setelah era internet—dan digital immigrants, mereka yang
lahir sebelum telepon pintar dan komputer berkembang.

Seiring perkembangan teknologi, para digital immigrants  di dunia pendidikan, yaitu para


pengajar, dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan gaya belajar murid-muridnya yang lahir
di era digital.

Di era baru ini, anak-anak sangat menyukai dunia game. Di sana mereka mendapatkan apresiasi
ketika menang, namun ketika gagal tidak ada ejekan, justru diajak untuk mencoba lagi.

Sementara di dunia nyata, saat mereka sudah mengakui kesalahan atau kekurangan pun
terkadang masih juga dicaci. Alhasil, ketika dewasa mereka akan menjadi sosok yang mudah
mengritik namun sulit memuji.

Untuk membuat anak-anak menjadi sosok yang tangguh, sejak kecil mereka harus dibiasakan
dan dibesarkan dalam suasana menantang, jangan selalu diberikan kemudahan. Jangan terlalu
cepat merebutkesulitan yang dihadapi anak-anak, berikan kesempatan bagi mereka untuk
menghadapi tantangan dan kesulitannya sendiri

Ingat juga bahwa bakat tidak bisa dikenali secara sempurna melalui alat-alat tes
seperti metode finger print, tes IQ dan sejenisnya. Bakat bukan lahir begitu saja dalam diri
seseorang, namun harus ditemukan melalui latihan dan kerja keras. Jadi, Anda sendiri yang harus
menemukan dan mencarinya.

Hal yang sama berlaku pula bagi anak-anak Anda. Tugas Anda adalah membantu mereka
menemukan bakatnya, bukan memaksakan suatu bakat berdasarkan keinginan pribadi Anda.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak adalah life skill. WHO menyebutkan
bahwa life skill  merupakan modal untuk hidup sehat. Life skills yang perlu setiap orang kuasai
adalah kemampuan mengelola rasa frustasi, pengendalian diri, berpikir kreatif, berempati serta
kemampuan melihat dari perspektif yang berbeda.

Terakhir, yang paling penting bukan seberapa banyak pelajaran yang diambil anak-anak Anda,
tapi seberapa besar kemampuan seorang anak untuk memahami sebuah topik secara mendalam.
Lebih baik sedikit namun paham secara detail dari pada belajar banyak hal namun tidak pernah
paham.

Itulah kenapa Selandia Baru hanya memberikan enam pelajaran, namun mereka menduduki
peringkat terbaik ke-6 di dunia dalam hal pendidikan.

“Godaan viral” menjadi salah satu tantangan yang perlu dicermati para pendidik dan
orang tua
Dunia digital menjadikan informasi mudah tampil di publik, bahkan menjadi viral. Berbagai
keluh kesah pribadi dengan mudah kita temukan di dunia maya. Ada yang mengeluh harus jalan
dan mengambil koper jauh tanpa bantuan porter saat di bandara. Ada pula artis yang
mengeluhkan toilet yang dianggap jorok dan bau.

Orang mengeluh bukan hal yang luar biasa,namun menjadi ramai karena mereka
mengekspresikannya melalui media sosial. Khalayak ramai jadi tergoda untuk ikut berkomentar.
Tentunya ada yang pro dan kontra.

Sesuatu yang viral kadang muncul karena kesengajaan dari pihak tertentu. Motif bisnis bisa
menjadi salah satu faktor yang melatarbelakanginya. Contohnya adalah kemunculan Pokemon
Go yang sempat menghebohkan beberapa waktu lalu. Fenomena ini bisa dimanfaatkan oleh
mereka yang bisa melihat peluang. 

Salah satu restoran di New York menghabiskan dana yang lumayan besar untuk alat yang bisa
memanggil Pokemon. Ketika disebarkan pada saat yang tepat, mendekati jam makan siang
misalnya, banyak pemain yang mampir dan membeli makan. Penjualan pun meningkat 30
persen.

Di Melbourne, Australia, ada sebuah kafe yang memberikan diskon khusus bagi pengunjung
yang mampu menunjukkan Pokemon yang berhasil mereka tangkap. Tak butuh lama, kafe itu
menjadi makin ramai pengunjung. Dan tentu saja, sebagian besar di antara mereka adalah
generasi muda.

Kekuatan pesan yang viral memang sering dimanfaatkan para pelaku bisnis. Dan ini kadang
sejalan dengan kebiasaan anak-anak muda sekarang yang senang mempublikasikan segala hal.

Barangkali sering Anda temui anak muda yang datang ke sebuah restoran, memesan hidangan,
lalu sibuk memotret pesanan dan membagikannya ke media sosial. Inilah kebiasaan yang dulu
belum ada. Namun bagi pihak restoran, ini merupakan sarana promosi gratis yang berdampak
banyak bagi penjualan.

Sebagai pendidik dan orang tua, Anda perlu mencermati dan mengarahkan perilaku anak-anak
muda ini. Jangan sampai untuk mengejar popularitas di dunia maya lewat informasi yang viral,
mereka berani melakukan hal-hal yang kontroversial dan bahkan melanggar moral.

Tanamkan semangat entrepreneurship, berani beda dan berani gagal pada diri anak-anak

Sekolah memang bisa membuat seseorang ahli dalam bidang yang ia tekuni, namun banyak juga
orang-orang yang dapat menjadi besar dengan belajar pada alam. Karena itu, jangan isolasi anak
dari alam. Biarkan mereka belajar dari sana. Hal ini menjadi penting untuk
menumbuhkan entrepreneurship mereka.

Meskipun nanti mereka akan masuk ke dunia kerja sebagai karyawan,


semangat entrepreneurship tersebut tetap akan diperlukan. Saat bekerja mereka akan bersikap
profesional, cekatan dan disiplin. Mereka juga akan bisa menunjukkan nilai lebih dari pekerja
lainnya.

Jadi, berikan kesempatan bagi anak Anda untuk belajar dari mana saja, jangan kungkung mereka
di bangku sekolah. Suatu keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tidak pernah mau keluar dari
zona nyamannya. Keajaiban memang ada di zona berbahaya, sering juga disebut zona kepanikan.

Tapi sebagai pendidik dan orang tua, Anda tidak perlu khawatir, ada zona antara untuk belajar
bagi anak-anak Anda. Perubahan dengan meninggalkan zona nyaman bisa dilakukan oleh siapa
saja, termasuk oleh mereka yang sudah “dewasa”.

Jangan lupa, biasakan anak-anak untuk berani mencoba dan memikirkan hal-hal baru. Terkait hal
ini, sastrawan Bernard Shaw memperkenalkan prinsip 2-3-95. Menurutnya, hanya 2% orang
berpikir, 3% merasa sudah berpikir, sementara 95% sisanya merasa bisa mati jika harus berpikir.

Padahal seiring dengan perubahan zaman, banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan
cara-cara lama. Dibutuhkan kemauan untuk berpikir dengan cara yang berbeda.

Sebagai pendidik dan orang tua, jangan takut saat Anak ingin tampil beda, selama masih dalam
batas-batas norma. Biarkan mereka mencoba menantang pakem-pakem lama yang sudah
terlanjur diterima sebagai acuan.

Contoh menarik bisa dilihat saat Perang Dunia II. Budaya untuk berpikir beda terbukti membawa
Inggris menang pada Perang Dunia II. Inggris menang karena menggunakan pesawat Spitfire.
Semula pesawat tersebut tidak masuk hitungan kalangan militer yang lebih menyukai pesawat
bomber berukuran besar.

Namun dengan dukungan dana jutawan eksentrik Dame Fanny Houstan, para teknisi mampu
mengembangkan Spitfire menjadi pesawat kecil namun gesit yang bisa menghadapi serbuan
Jerman.

Terakhir, tidak perlu takut saat anak-anak gagal, karena kegagalan adalah bagian dari
kesuksesan. Semakin banyak kegagalan merupakan bukti ditemukannya berbagai hal dengan
cara yang berbeda. Untuk bisa maju, terkadang anak-anak kita harus jatuh bangun dulu.

“If you want to, you’ll find a way. If you don’t want to, you find excuses”

Rhenald Kasali.

Generasi muda di era digital membutuhkan pendidik yang kreatif

Secara naluri, orang tua ingin melindungi dan memanjakan anaknya. Terapkan dengan wajar,
jangan menjadikan rasa sayang sebagai perusak anak sehingga ia tak bisa mandiri. Tentu Anda
tidak mau jika di masa depan mereka merasa serba takut saat ingin melakukan sesuatu hal yang
berbeda.
Latih mereka menjadi pemimpin hebat dengan memberikan bekal yang cukup. Beri kebebasan
bertanggung jawab serta kepercayaan sehingga mereka mampu menciptakan personal
story  dirinya.

Personal story merupakan dasar seorang pemimpin. Ia akan merasa hidupnya berarti dan sadar
bahwa selain sekolah formal ada pelajaran empati, kepemimpinan dan pengambilan keputusan
yang harus dipelajari.

Sekolah memang merupakan tempat untuk belajar. Tapi bukan berarti anak-anak hanya perlu
belajar dari guru-guru di sekolahnya saja. Sekolah juga perlu mendorong anak didiknya untuk
terjun ke dunia luar. Ingatlah bahwa banyak ilmu yang bisa diperoleh di luar ruang kelas.

Manusia hebat bukanlah mereka yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolah. Tapi
mereka yang memiliki karakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki pemikiran
terbuka, berjiwa besar dan piawai mengungkapkan isi pikiran dengan baik.

Untuk itu, dibutuhkan banyak guru kreatif. Mereka adalah guru yang toleran terhadap perbedaan
dan cara berpikir siswa. Alih-alih sibuk mengisi ingatan murid dengan aneka rumus sulit, mereka
justru mendorong anak-anak didik untuk berani mengeluarkan ide orisinalnya sendiri.

Di kelas, para guru kreatif ini akan banyak mempergunakan alat peraga. Bagi mereka memori
tidak hanya ada di kepala, melainkan di seluruh tubuh anak didiknya. Itulah yang oleh Rhenald
Kasali disebut myelin. Myelin merupakan faktor pembentuk kesuksesan yang tidak terlihat,
contohnya adalah rasa percaya diri, empati, keterampilan, rasa disiplin diri dan sebagainya. 

Kesimpulan buku

 Strawrberry generation merupakan generasi yang penuh dengan ide kreatif namun cepat
menyerah. Mereka adalah produk dari orang tua yang terlalu ingin memanjakan dan
melindungi anaknya.
 Biarkan anak berkembang seperti seharusnya. Dukung ia menjadi apa yang ia mau bukan
yang orang tua mau.
 Jadikan anak-anak sebagai driver bukan passenger, agar mereka bisa menjadi pelaku
perubahan, bukan korban perubahan.
 Memanjakan anak bukan sesuatu yang dilarang, tapi berikan dengan porsi yang tepat.
Biarkan anak memilih jalannya sendiri dengan tetap dalam pengawasan Anda, dan hindari
mengatur seluruh perjalanan mereka.
 Sekolah memang tempat belajar, tapi anak juga bisa belajar dari alam. Biarkan mereka
terluka di alam yang keras karena luka tersebut memberinya pelajaran untuk menjadi
pemimpin.

Anda mungkin juga menyukai