Nama Orwell pada hakikatnya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat kita yang
sebagian besar suka membaca novel. Mungkin nama orwell lebih banyak dikenal oleh
kalangan pembaca dengan tingkat intelektual lebih tinggi, atau bahkan memang
bergelut di bidang sastra lebih mendalam. 1984 merupakan salah satu karya Orwell
yang akhir2 diterbitkan kembali di tanah air kita. Kalangan intelektual sastra akan
menyebut karya Orwell ini sebagai sastra kanon. Karya sastra serius, sekaligus populer,
dan tak lekang waktu. Karya Orwell ini pertama kali terbit pada tahun 60-an dan begitu
diminati pada masanya. Banyak orang yang beranggapan bahwa karyanya ini mampu
menggambarkan masa depan. Anggapan tersebut tidak dapat disalahkan, bila kita
membaca karya ini, pada masa kini, tentu akan terlihat persamaan yang luar biasa
antara kehidupan sosial yang digambarkan orwell dalam novelnya dengan kehidupan
sosial pada masa kini. Ambil contoh alat canggih yang bernama teleskrin, bisa kita
bandingkan dengan cctv ataupun speaker mini yang ada dimana-mana. Alat-alat itu
juga mengawasi setiap pergerakan kita selayaknya teleskrin.
Plot twist atau akhir yang tak terduga merupakan poin penting yang membuat
suatu karya sastra terlihat menarik. Menebak kelanjutan cerita atau akhir cerita
merupakan kebiasaan pembaca yang dilakukan tanpa sadar. Tugas penulis yang baik
adalah merusak hasil angan-angan pembaca tersebut. Memberikan sensasi penuh
kejutan tentunya. Orwell mampu merusak angan-angan pembaca dengan baik dalam
novelnya ini. Secara garis besar, novel 1984 ini menampilkan inggris yang kaku,
tercengkram dalam kekuasaan politik yang tak terbantahkan. Kisahnya sendiri
berpusat pada karakter Winston, seorang pegawai partai yang memiliki pemikiran
untuk melawan partai. Tidak akan ada spoiler dalam tulisan saya ini, gambaran singkat
tadi tentu sudah memunculkan banyak persepsi mengenai alur cerita, bahkan akhir
ceritanya. Namun, saya tekankan sekali lagi bahwa orwell mampu merusak persepsi
tersebut. Saya sarankan untuk membaca novelnya sendiri. Tambahan penting, novel
ini mampu membawa kita pada pemikiran bahwa setiap cerita yang disampaikan
adalah nyata. Lampiran di akhir novel ini juga menambahkan sensasi besar bahwa
novel ini kisah nyata, bukan suatu yang fiksi, selayaknya novel pada umumnya. Saya
kira Orwell mungkin melakukan suatu penelitian mendalam sebelum menuangkan
pemikiran-pemikirannya yang brillian dalam novel ini.
Judul: 1984
Penulis: George Orwell
Bahasa: Indonesia
Format: paperback, 390 hal.
Penerbit: Bentang Pustaka (2014)
Genre: fiksi, dystopia, klasik
Cerita
Dikutip dari Goodreads:
Sepanjang hidupnya, Winston berusaha menjadi warga negara yang baik dengan
mematuhi setiap aturan Partai meski jauh di dalam hati dan pikirannya bersemayam
antipati terhadap kediktatoran yang ada di negaranya. Walaupun begitu, Winston tidak
berani melakukan perlawanan secara terbuka.
Tidak mengherankan, karena Polisi Pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi membuat
privasi hanya serupa fantasi. Bahkan, sejarah ditulis ulang sesuai kehendak Partai. Negara
berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang berbeda atau bertentangan akan segera diuapkan.
Review
Sejak membaca bab pertama 1984, saya tahu ini akan menjadi salah satu buku yang
paling sulit diulas. Karena saya ragu perbendaharaan kata yang terbatas dan keahlian
saya dalam menjelaskan sesuatu (yang kurang) cukup untuk mengupas setiap lapisan
dari dystopia yang tiada duanya ini.
Terlalu banyak hal yang bisa dibahas dari 1984. Tetapi karena kesan saya terhadap
buku ini sangat kuat, setidaknya saya harus mencoba untuk menuliskan review-nya.
Singkat kata, 1984 adalah dystopia klasik yang ditulis George Orwell sebagai bentuk
penolakan terhadap totalitarianisme. Buku tersebut rampung ditulisnya pada tahun
1948 dan menggunakan setting tahun 1984, namun di kemudian hari dianggap sebagai
ramalan atas kondisi politik dunia di masa depan.
1984 Adalah novel yang ‘menakutkan’, bahkan tanpa adegan berdarah dan kepala yang
meledak. Ini termasuk salah satu buku paling bikin depresi yang pernah saya baca,
meskipun setiap detail kecilnya membuat saya ‘terpesona’ untuk terus membaca. Jelas
1984 bukan jenis buku yang bisa diselesaikan dalam semalam. Tetapi percayalah,
dunia penuh kekacauan yang digambarkan Orwell di sini benar-benar menarik dengan
caranya sendiri.
Masalah saya dengan buku ini cuma satu. Terjemahannya kurang mulus dibaca.
Walaupun begitu nggak sampai mengganggu kenikmatan membaca juga. 1984 Masih
tetap salah satu buku paling tak terlupakan yang pernah saya baca.
Dalam jagat 1984, dunia dikuasai perang besar di antara tiga kekuatan adidaya, yaitu
Eastasia, Oceania, dan Eurasia. Ceritanya sendiri disampaikan dari sudut pandang
Winston Smith, seorang anggota Outer-Party yang patuh, namun diam-diam kerap
mempertanyakan kebijakan negaranya, yaitu Oceania.
Oceania adalah negara totaliter yang dikuasai partai tunggal bernama Ingsoc.
Wilayahnya mencakup Inggris, Amerika Serikat, dan Amerika Latin. Negara ini kerap
berganti poros antara Eastasia dan Eurasia. Tujuannya adalah menaklukkan wilayah-
wilayah kaya yang masih belum bertuan.
Ingsoc menggunakan sosok Big Brother sebagai simbol negara layaknya Korea Utara
memuja Kim Jong-un. Masalahnya, tidak ada yang tahu apakah Big Brother who’s
watching your every move itu benar-benar ada atau tidak. Apakah sang supreme
leader benar-benar mengontrol Oceania ataukah dia cuma boneka yang dikendalikan
para petinggi partai?
Soso
k Big Brother di film 1984 (1984). Photo: Virgin Films
Sistem hierarki di negara tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu anggota Inner Party,
Outer Party, dan kaum Proletariat yang dianggap sebagai kasta terendah. Lebih dari
separuh warga Oceania adalah kaum Proletariat yang termasuk kelas pekerja dengan
pendidikan rendah.
Partai mengatur setiap hal di Oceania lewat otoritas tiga kementrian, yaitu Ministry of
Peace yang berurusan dengan perang dan pertahanan negara, Ministry of Plenty yang
mengurusi perkenomian, dan Ministry of Truth berkutat dengan propaganda.
Tidak hanya mengatur kehidupan warga negara, pikiran setiap individu pun dimonitor
oleh partai. Setiap gerakan dan ekspresi wajah dipantau oleh Thought Police (polisi
pikiran) melalui telescreen yang bisa dikatakan mirip CCTV. Setelah itu ditelaah dan
dinilai oleh Ministry of Love.
Pikiran yang bertentangan dengan filosofi partai, bahkan meskipun tak disampaikan
secara terbuka, dianggap sebagai thoughtcrime (kejahatan pikiran) dan bisa membuat
seseorang masuk Room 101.
“Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.”
Saya rasa dari 1984 kita bisa melihat jelas kebencian George Orwell terhadap
totalitarianisme. Menurut saya novel ini adalah bentuk sindiran paling tajam sekaligus
propaganda dari Orwell. Ini adalah seruan terhadap dunia mengenai bahaya oligarki.
Meskipun tahun 1984 sudah lama berlalu, saya rasa novel ini akan tetap relevan untuk
dibaca kapan pun. Karena akan selalu ada kekuasaan yang mencoba menggagahi
masyarakat dan dunia, menyuntikkan ideologi totaliter dan menempatkan
kediktatoran di puncak sebagai momok untuk mengontrol setiap aksi warganya.
Advertisements
Informasi Buku
Dalam semesta novel “1984”, ada satu alat yang digunakan pemerintah untuk
mengawasi dan mengendalikan perilaku masyarakat. Alat itu
bernama telescreen (teleskrin). Teleskrin digunakan pemerintah untuk
mengawasi warganya dan mencegah terjadinya tindak yang tidak diinginkan,
seperti makar. Alat tersebut sebenarnya bukan hanya alat mata-mata,
melainkan juga propaganda. Cara kerja teleskrin sama seperti televisi. Bedanya,
tidak ada yang bisa mematikannya. Perbedaan lainnya adalah teleskrin bisa
digunakan sebagai alat pengawas. Jadi, selain orang menontonnya, orang
tersebut ditonton tingkah lakunya.
Novel “1984” bercerita tentang suatu masa di sekitar tahun 1984. Orwell
menggambarkan masa itu sebagai masa yang penuh penderitaan. Dalam
semesta “1984”, dunia dibagi menjadi tiga poros kuasa; Oceania, Eurasia, dan
Eastasia. Setiap negara dipimpin oleh satu partai. Mereka semua berhaluan
sosialis. Setiap negara juga menerapkan sistem totalitarian. Novel ini fokus
menceritakan Oceania, khususnya London dimana sang tokoh utama hidup.
Oceania dipimpin oleh Big Brother (Bung Besar) yang wajahnya tertera di
poster-poster di berbagai penjuru negara. Sistem kediktatoran yang diterapkan
membuat semua warganya harus tunduk dan patuh. Kedisiplinan ini sifatnya
menyeluruh. Mulai dari jadwal bangun tidur, hiburan, buku yang dibaca, bahkan
ekspresi muka dan pikiran.
Teleskrin adalah kunci Partai dan Bung Besar melanggengkan kekuasaannya.
Selain sebagai media doktrinasi, teleskrin adalah sebuah alat yang efektif untuk
mengendalikan tingkah laku seseorang. Teleskrin adalah sarana yang efektif
dan efisien dalam mempertahankan kekuasaan, menebar ketakutan, dan
memodifikasi tingkah laku. Dengan adanya teleskrin, pemerintah Oceania
dapat segera mencegah adanya indikasi penyelewengan atau pemberontakan
dari warganya. Teleskrin juga sekaligus membuat warga Oceania yang
mempunyai pandangan berbeda takut menyuarakan gagasannya dan
menyimpannya agar tak kena hukuman. Dengan begitu, tidak akan ada gerakan
kolektif menentang pemerintahan, sebab bibit perlawanan sudah dibabat pada
level individual.
Dengan membaca “1984” dan membenturkannya dengan keadaan saat ini kita
bisa menarik satu gagasan yang menarik. Kita mungkin tidak hidup dalam rezim
totaliter seperti di “1984”. Tidak ada teleskrin di sekitar kita. Tidak ada Bung
Besar yang mengintai kita. Namun, apakah keadaan sekarang lebih baik dari
apa yang di-”ramal”kan Orwell? Kita memang tidak hidup di bawah Bung Besar,
tapi kita hidup di bawah dua penguasa; kapitalis dan pemerintah. Dengan
kenyataan bahwa seluruh tindakan kita di dunia maya tidak lepas dari intaian
dua mata itu, apakah kita lebih bebas dari warga Oceania? [Unies Ananda Raja]