Anda di halaman 1dari 11

Judul: 1984

Penulis : George Orwell

Penerjemah : Landung simatupang

Penerbit : Bentang pustaka

        Nama Orwell pada hakikatnya tidak terlalu dikenal oleh masyarakat kita yang
sebagian besar suka membaca novel. Mungkin nama orwell lebih banyak dikenal oleh
kalangan pembaca dengan tingkat intelektual lebih tinggi, atau bahkan memang
bergelut di bidang sastra lebih mendalam. 1984 merupakan salah satu karya Orwell
yang akhir2 diterbitkan kembali di tanah air kita. Kalangan intelektual sastra akan
menyebut karya Orwell ini sebagai sastra kanon. Karya sastra serius, sekaligus populer,
dan tak lekang waktu. Karya Orwell ini pertama kali terbit pada tahun 60-an dan begitu
diminati pada masanya. Banyak orang yang beranggapan bahwa karyanya ini mampu
menggambarkan masa depan. Anggapan tersebut tidak dapat disalahkan, bila kita
membaca karya ini, pada masa kini, tentu akan terlihat persamaan yang luar biasa
antara kehidupan sosial yang digambarkan orwell dalam novelnya dengan kehidupan
sosial pada masa kini. Ambil contoh alat canggih yang bernama teleskrin, bisa kita
bandingkan dengan cctv ataupun speaker mini yang ada dimana-mana. Alat-alat itu
juga mengawasi setiap pergerakan kita selayaknya teleskrin.

         Plot twist atau akhir yang tak terduga merupakan poin penting yang membuat
suatu karya sastra terlihat menarik. Menebak kelanjutan cerita atau akhir cerita
merupakan kebiasaan pembaca yang dilakukan tanpa sadar. Tugas penulis yang baik
adalah merusak hasil angan-angan pembaca tersebut. Memberikan sensasi penuh
kejutan tentunya. Orwell mampu merusak angan-angan pembaca dengan baik dalam
novelnya ini. Secara garis besar, novel 1984 ini menampilkan inggris yang kaku,
tercengkram dalam kekuasaan politik yang tak terbantahkan. Kisahnya sendiri
berpusat pada karakter Winston, seorang pegawai partai yang memiliki pemikiran
untuk melawan partai. Tidak akan ada spoiler dalam tulisan saya ini, gambaran singkat
tadi tentu sudah memunculkan banyak persepsi mengenai alur cerita, bahkan akhir
ceritanya. Namun, saya tekankan sekali lagi bahwa orwell mampu merusak persepsi
tersebut. Saya sarankan untuk membaca novelnya sendiri. Tambahan penting, novel
ini mampu membawa kita pada pemikiran bahwa setiap cerita yang disampaikan
adalah nyata. Lampiran di akhir novel ini juga menambahkan sensasi besar bahwa
novel ini kisah nyata, bukan suatu yang fiksi, selayaknya novel pada umumnya. Saya
kira Orwell mungkin melakukan suatu penelitian mendalam sebelum menuangkan
pemikiran-pemikirannya yang brillian dalam novel ini.
Judul: 1984
Penulis: George Orwell
Bahasa: Indonesia
Format: paperback,  390 hal.
Penerbit: Bentang Pustaka (2014)
Genre: fiksi, dystopia,  klasik

Cerita
Dikutip dari Goodreads:

Sepanjang hidupnya, Winston berusaha menjadi warga negara yang baik dengan
mematuhi setiap aturan Partai meski jauh di dalam hati dan pikirannya bersemayam
antipati terhadap kediktatoran yang ada di negaranya. Walaupun begitu, Winston tidak
berani melakukan perlawanan secara terbuka.

Tidak mengherankan, karena Polisi Pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi membuat
privasi hanya serupa fantasi. Bahkan, sejarah ditulis ulang sesuai kehendak Partai. Negara
berkuasa mutlak atas rakyatnya. Yang berbeda atau bertentangan akan segera diuapkan.

1984 merupakan satir tajam, menyajikan gambaran tentang luluhnya kehidupan


masyarakat totalitarian yang di dalamnya setiap gerak warga dipelajari, setiap kata yang
terucap disadap, dan setiap pemikiran dikendalikan. Hingga kini, 1984 merupakan karya
penting Orwell yang mengantarkannya ke puncak kemasyhuran.

Review
Sejak membaca bab pertama 1984, saya tahu ini akan menjadi salah satu buku yang
paling sulit diulas. Karena saya ragu perbendaharaan kata yang terbatas dan keahlian
saya dalam menjelaskan sesuatu (yang kurang) cukup untuk mengupas setiap lapisan
dari dystopia yang tiada duanya ini.

Terlalu banyak hal yang bisa dibahas dari 1984. Tetapi karena kesan saya terhadap
buku ini sangat kuat, setidaknya saya harus mencoba untuk menuliskan review-nya.

Singkat kata, 1984 adalah dystopia klasik yang ditulis George Orwell sebagai bentuk
penolakan terhadap totalitarianisme. Buku tersebut rampung ditulisnya pada tahun
1948 dan menggunakan setting tahun 1984, namun di kemudian hari dianggap sebagai
ramalan atas kondisi politik dunia di masa depan.
1984 Adalah novel yang ‘menakutkan’, bahkan tanpa adegan berdarah dan kepala yang
meledak. Ini termasuk salah satu buku paling bikin depresi yang pernah saya baca,
meskipun setiap detail kecilnya membuat saya ‘terpesona’ untuk terus membaca. Jelas
1984 bukan jenis buku yang bisa diselesaikan dalam semalam. Tetapi percayalah,
dunia penuh kekacauan yang digambarkan Orwell di sini benar-benar menarik dengan
caranya sendiri.

Masalah saya dengan buku ini cuma satu. Terjemahannya kurang mulus dibaca.
Walaupun begitu nggak sampai mengganggu kenikmatan membaca juga. 1984 Masih
tetap salah satu buku paling tak terlupakan yang pernah saya baca.

Sekilas tentang Oceania

Dalam jagat 1984, dunia dikuasai perang besar di antara tiga kekuatan adidaya, yaitu
Eastasia, Oceania, dan Eurasia. Ceritanya sendiri disampaikan dari sudut pandang
Winston Smith, seorang anggota Outer-Party yang patuh, namun diam-diam kerap
mempertanyakan kebijakan negaranya, yaitu Oceania.

Oceania adalah negara totaliter yang dikuasai partai tunggal bernama Ingsoc.
Wilayahnya mencakup Inggris, Amerika Serikat, dan Amerika Latin. Negara ini kerap
berganti poros antara Eastasia dan Eurasia. Tujuannya adalah menaklukkan wilayah-
wilayah kaya yang masih belum bertuan.

Ingsoc menggunakan sosok Big Brother sebagai simbol negara layaknya Korea Utara
memuja Kim Jong-un. Masalahnya, tidak ada yang tahu apakah Big Brother who’s
watching your every move itu benar-benar ada atau tidak. Apakah sang supreme
leader benar-benar mengontrol Oceania ataukah dia cuma boneka yang dikendalikan
para petinggi partai?
Soso
k Big Brother di film 1984 (1984). Photo: Virgin Films

Sistem hierarki di negara tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu anggota Inner Party,
Outer Party, dan kaum Proletariat yang dianggap sebagai kasta terendah. Lebih dari
separuh warga Oceania adalah kaum Proletariat yang termasuk kelas pekerja dengan
pendidikan rendah.

Partai mengatur setiap hal di Oceania lewat otoritas tiga kementrian, yaitu Ministry of
Peace yang berurusan dengan perang dan pertahanan negara, Ministry of Plenty yang
mengurusi perkenomian, dan Ministry of Truth berkutat dengan propaganda.

Tidak hanya mengatur kehidupan warga negara, pikiran setiap individu pun dimonitor
oleh partai. Setiap gerakan dan ekspresi wajah dipantau oleh Thought Police (polisi
pikiran) melalui telescreen yang bisa dikatakan mirip CCTV. Setelah itu ditelaah dan
dinilai oleh Ministry of Love.

Pikiran yang bertentangan dengan filosofi partai, bahkan meskipun tak disampaikan
secara terbuka, dianggap sebagai thoughtcrime (kejahatan pikiran) dan bisa membuat
seseorang masuk Room 101.

Ingsoc menciptakan bahasa Newspeak yang kosakatanya sangat terbatas untuk


memenjarakan kebebesan berpikir warga Oceania. Novel ini juga memperkenalkan
konsep doublethink yang berarti menerima dua hal yang saling bertentangan sebagai
kebenaran ganda.
Pendeknya, jika partai menyebut 2+2+5, maka itulah jawaban mutlak yang harus
diyakini warga Oceania. Jika Ingsoc meminta salah satu kementriannya untuk
mengubah keterangan sejarah sesuai posisi politiknya saat ini, maka itulah yang harus
diingat dan didukung oleh warga Oceania tanpa syarat.

“Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.”

Orwell dan Antitotalitarianisme

Saya rasa dari 1984 kita bisa melihat jelas kebencian George Orwell terhadap
totalitarianisme. Menurut saya novel ini adalah bentuk sindiran paling tajam sekaligus
propaganda dari Orwell. Ini adalah seruan terhadap dunia mengenai bahaya oligarki.

Meskipun tahun 1984 sudah lama berlalu, saya rasa novel ini akan tetap relevan untuk
dibaca kapan pun. Karena akan selalu ada kekuasaan yang mencoba menggagahi
masyarakat dan dunia, menyuntikkan ideologi totaliter dan menempatkan
kediktatoran di puncak sebagai momok untuk mengontrol setiap aksi warganya.

Advertisements
Informasi Buku

Judul               : 1984

Penulis            : George Orwell

Penerjemah    : Landung Simatupang

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tebal Buku      : 408 halaman

Cetakan          : Agustus 2016

Dalam novel “1984”, Orwell menggambarkan pemerintahan yang menggunakan


alat pengawasan untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam konteks saat ini,
gagasan pengawasan tersebut dapat dilihat dalam internet.
Eric Arthur Blair atau lebih dikenal dengan nama pena George Orwell bisa
dibilang sebagai seorang penulis yang visioner. Novelnya yang berjudul “1984”,
yang diterbitkan pada 1949, adalah sebuah novel dystopia tentang kondisi
dunia di masa depan yang dipimpin oleh pemimpin diktator. Setelah novel
tersebut terbit, banyak orang yang membacanya sebagai ramalan. “1984” yang
berceritakan dunia dalam genggaman diktator memberi gambaran menakutkan
bagi pembaca masa itu tentang masa depan mereka. Saat tahun 1984
mendekat, penduduk dunia semakin tegang dengan kemungkinan masa
depannya.
Kini, tahun 1984 sudah terlewat. Kita telah berada 32 tahun dari 1984, dan 67
tahun dari peluncuran pertama novel “1984”. Namun, apakah novel ini masih
relevan untuk dibicarakan dan didiskusikan kembali? Mengapa kita butuh
membahas sebuah karya sastra yang membicarakan masa depan yang sudah
terlewat?
Melihat kondisi masyarakat saat ini, “1984” menjadi relevan untuk diangkat
kembali. Ada banyak isu kontemporer yang telah di-”ramal” oleh Orwell sejak
67 tahun lalu. Meski Orwell mungkin tak berniat menulis “1984” sebagai sastra
yang bertujuan meramal masa depan. Salah satu pembahasan yang relevan
untuk dibahas kembali adalah perihal teleskrin dan pengawasan masyarakat
sipil.

Dengan hadirnya internet, permasalahan pengawasan menjadi layak dibahas


karena banyaknya kasus yang muncul. Contoh, banyak situs daring yang bisa
melacak aktivitas penggunanya dan menggunakan informasi tersebut untuk
berbagai keperluan seperti melacak preferensi belanja, preferensi hobi, sampai
preferensi pacar. Contoh lain, situs sosial media yang mempunyai berbagai
informasi mengenai penggunanya bahkan hingga informasi yang privat, seperti
alamat rumah, alamat email, dan lain-lain. Lalu, menjadi penting untuk melihat
bagaimana pengawasan dalam skema “1984” bekerja dan relevansinya dengan
saat ini.

Dalam semesta novel “1984”, ada satu alat yang digunakan pemerintah untuk
mengawasi dan mengendalikan perilaku masyarakat. Alat itu
bernama telescreen (teleskrin). Teleskrin digunakan pemerintah untuk
mengawasi warganya dan mencegah terjadinya tindak yang tidak diinginkan,
seperti makar. Alat tersebut sebenarnya bukan hanya alat mata-mata,
melainkan juga propaganda. Cara kerja teleskrin sama seperti televisi. Bedanya,
tidak ada yang bisa mematikannya. Perbedaan lainnya adalah teleskrin bisa
digunakan sebagai alat pengawas. Jadi, selain orang menontonnya, orang
tersebut ditonton tingkah lakunya.
Novel “1984” bercerita tentang suatu masa di sekitar tahun 1984. Orwell
menggambarkan masa itu sebagai masa yang penuh penderitaan. Dalam
semesta “1984”, dunia dibagi menjadi tiga poros kuasa; Oceania, Eurasia, dan
Eastasia. Setiap negara dipimpin oleh satu partai. Mereka semua berhaluan
sosialis. Setiap negara juga menerapkan sistem totalitarian. Novel ini fokus
menceritakan Oceania, khususnya London dimana sang tokoh utama hidup.
Oceania dipimpin oleh Big Brother (Bung Besar) yang wajahnya tertera di
poster-poster di berbagai penjuru negara. Sistem kediktatoran yang diterapkan
membuat semua warganya harus tunduk dan patuh. Kedisiplinan ini sifatnya
menyeluruh. Mulai dari jadwal bangun tidur, hiburan, buku yang dibaca, bahkan
ekspresi muka dan pikiran.
Teleskrin adalah kunci Partai dan Bung Besar melanggengkan kekuasaannya.
Selain sebagai media doktrinasi, teleskrin adalah sebuah alat yang efektif untuk
mengendalikan tingkah laku seseorang. Teleskrin adalah sarana yang efektif
dan efisien dalam mempertahankan kekuasaan, menebar ketakutan, dan
memodifikasi tingkah laku. Dengan adanya teleskrin, pemerintah Oceania
dapat segera mencegah adanya indikasi penyelewengan atau pemberontakan
dari warganya. Teleskrin juga sekaligus membuat warga Oceania yang
mempunyai pandangan berbeda takut menyuarakan gagasannya dan
menyimpannya agar tak kena hukuman. Dengan begitu, tidak akan ada gerakan
kolektif menentang pemerintahan, sebab bibit perlawanan sudah dibabat pada
level individual.

Konsep teleskrin dapat dibilang menyerupai konsep Panopticon yang


dicetuskan oleh Jeremy Bentham lalu kemudian dikembangkan oleh Michel
Foucault. Dalam Discipline and Punish: The Birth of The Prison, Foucault
menjelaskan bahwa panopticon adalah sebuah rancangan arsitektur penjara
yang dibuat Jeremy Bentham untuk memaksimalkan fungsi penjara. Dalam
skema penjara panopticon, penjara dibuat berbentuk lingkaran dan di bagian
tengahnya terdapat menara pusat. Sel penjaranya berada di pinggir lingkaran.
Pada setiap sel, terdapat jendela yang memungkinkan menara pusat untuk
melihatnya. Namun, sang tahanan penjara tidak dapat mengetahui apakah dia
sedang diawasi atau tidak. Maka, ia akan selalu bertindak seakan-akan ia
diamati.
Ada dua aspek yang penting; visibile (terlihat) dan unverifiable (tak bisa
dipastikan). Visible berarti subjek yang diawasi atau tahanan penjara melihat
dan tahu bahwa ada yang mengamatinya. Unverifiable berarti subjek tidak tahu
apakah ia sedang diawasi atau tidak. Dengan perasaan selalu diawasi, Foucault
berkata bahwa power (kuasa) akan bekerja secara otomatis. Cara kerja teleskrin
dan panopticon sama; menggunakan pengawasan untuk memaksa subjek yang
diawasi berperilaku sesuai yang diharapkan. Dalam aspek visible, teleskrin dan
panopticon mempunyai kesamaan. Keduanya sama-sama dapat dilihat oleh
subjek yang diawasi.
Kesamaan teleskrin dan panopticon juga ada pada sisi unverifiable. Pada
halaman 4 novel 1984 tertulis, “Tentu saja mustahil diketahui apakah seseorang
sedang diawasi atau tidak. Seberapa sering atau dengan sistem apa Polisi Pikiran
menyadap kabel pikiran seseorang, itu teka-teki…Orang harus menjalani kehidupan
dengan anggapan bahwa tiap suara yang dibuatnya kedengaran, dan tiap gerak,
kecuali dalam gelap, diamati dan diperiksa cermat; dan memang itulah yang terjadi,
berkat kebiasaan yang lalu menjadi insting.” Jadi, subjek panopticon dan teleskrin
harus mengandaikan dirinya selalu diawasi. Sehingga, subjek akan bertingkah
laku sesuai dengan apa yang diperintah.
Gagasan pengawasan yang dihadirkan Orwell mempunyai kesamaan dengan
internet. Saat ini, internet juga dilakukan untuk pengawasan. Namun, pola kerja
pengawasan yang ada di internet berbeda dengan teleskrinnya Orwell
dan panopticon-nya Foucault. Hal yang membedakan panopticon dan teleskrin
dengan internet adalah unsur visible. Carlo Bordoni, seorang pakar
sosiologi cum jurnalis asal Italia, mengatakan bahwa, “The new Panopticon
already exists, it is the web: surveillance is being carried out but not visibly so, and
with the maximum discretion.”  Bordoni mengutip Zygmunt Bauman, pakar
[1]

sosiologi Polandia, menjelaskan bahwa jaringan global di era sekarang


membuat kita semua dapat terlihat dan dapat diobservasi oleh kekuatan yang
tak terlihat.
Internet juga tidak mempunyai unsur unverifiable. Orang bahkan tidak sadar
bahwa mereka diamati. Terlebih, orang secara sadar dan sukarela
menggunakan internet. Berbeda dengan penjara panopticon dan warga
Oceania yang diawasi dalam keadaan terpaksa. Dengan keadaan sukarela,
orang menjadi tidak merasa diawasi dan tidak sadar kalau diawasi. Internet,
berbeda dengan panopticon dan teleskrin, tidak menghasilkan suatu perasaan
terus menerus diawasi yang kemudian mengatur perilaku penggunanya.
Saat ini, kita tahu bahwa seluruh aktivitas manusia di internet terbuka. Kita
diawasi. Setiap jejak langkah kita di internet dapat dilihat. Ada dua agen yang
menjadi pengawas; kapitalis dan pemerintah. Kapitalis atau korporasi besar di
internet menggunakan situsnya sebagai alat pengawas dan pengeruk data.
Tercatat 50% dari situs populer di internet menggunakan cookies untuk
mengeruk informasi. Berbagai situs di internet yang sering kita gunakan seperti
Google, Facebook dan Twitter, mengeruk informasi pribadi kita untuk
kepentingan mereka. Data pribadi yang didapatkan digunakan sebagai
informasi untuk mengoptimalkan iklan. Informasi pribadi digunakan untuk
mencari preferensi pribadi sehingga iklan dapat bekerja dengan tepat sasaran.
Selain kapitalis, pemerintah juga melakukan hal yang sama. Pada 2013 lalu,
Edward Snowden mengungkapkan ke beberapa jurnalis tentang aktivitas
National Security Agency (NSA). Amerika Serikat yang mengawasi berbagai hal
di internet. Pemerintah dengan pengawasan melalui internet dapat
“menelanjangi” warganya dengan mengetahui segala informasi dan aktivitasnya
di internet.

Pengawasan di era internet seperti ini berbeda tujuannya dengan


pengawasan panopticon atau teleskrin. Pengawasan panopticon dan teleskrin
digunakan untuk membenahi perilaku seseorang. Sedangkan, pengawasan saat
ini (internet) digunakan untuk mengeruk informasi sebanyak-banyaknya untuk
kemudian dimanfaatkan. Yang dapat memanfaatkan informasi tersebut tentu
yang mempunyai akses kepada informasi itu; kapitalis dan pemerintah.
Keduanya memanfaatkan data pribadi untuk keperluannya masing-masing.
Kapitalis menggunakan informasi yang didapat untuk meningkatkan tingkat
keuntungan. Data-data pribadi digunakan untuk keperluan iklan. Informasi
seperti lokasi, nama, hobi, aktivitas pencarian, musik yang sering didengar,
video yang sering ditonton, semua dikeruk dan digunakan dalam rangka
meningkatkan penghasilan. Semua data itu digunakan untuk mengetahui apa
yang kita pikirkan. Lalu, mereka bisa mengiklankan produk yang sesuai dengan
keinginan kita. Kapitalis internet mendapatkan sarana meningkatkan
pendapatan secara cuma-cuma melalui informasi yang kita tinggalkan di
internet.

Pemerintah menggunakan informasi yang didapat dari pengawasan internet


untuk kepentingan politiknya. Misal, untuk memata-matai pihak yang diduga
bersalah. Bisa juga untuk mengawasi gerak-gerik seseorang yang mencurigakan
dan membahayakan stabilitas negara. Informasi itu dapat juga digunakan untuk
mencegah terjadinya terorisme. Namun, dengan hal tersebut, rakyat tidak ada
yang bisa bersembunyi dari pemerintah. Dengan kuasa pemerintah atas ranah
privat warganya, mungkinkah dalih keamanan ini akan berujung pada kendali
pengawasan seperti yang terjadi di “1984”?

Dengan membaca “1984” dan membenturkannya dengan keadaan saat ini kita
bisa menarik satu gagasan yang menarik. Kita mungkin tidak hidup dalam rezim
totaliter seperti di “1984”. Tidak ada teleskrin di sekitar kita. Tidak ada Bung
Besar yang mengintai kita. Namun, apakah keadaan sekarang lebih baik dari
apa yang di-”ramal”kan Orwell? Kita memang tidak hidup di bawah Bung Besar,
tapi kita hidup di bawah dua penguasa; kapitalis dan pemerintah. Dengan
kenyataan bahwa seluruh tindakan kita di dunia maya tidak lepas dari intaian
dua mata itu, apakah kita lebih bebas dari warga Oceania? [Unies Ananda Raja]

Anda mungkin juga menyukai