Anda di halaman 1dari 3

1984: Memikirkan Lagi Arti Melawan

Penulis: George Orwell

Penerbit: PT Bentang Pustaka, Jakarta.

Cetakan: Cetakan II, 2004.

Jumlah Halaman: v—ix + 585 halaman

Eric Arthur Blair dalam sebuah novelnya pernah mengatakan, “Buku-buku terbaik adalah yang
mengatakan kepadamu hal-hal yang sudah kamu ketahui.” Namun apa jadinya kalau sebuah buku telah
memberitahukan hal-hal yang sudah Anda ketahui, tetapi Anda menolak untuk menyetujui?

Nama Eric Arthur Blair pasti tidak akrab di telinga kita. Besar kemungkinan, kita tidak mengenal pria
kelahiran India, 25 Juni 1903 ini. Tetapi kalau menyebut George Orwell, kita mungkin akan segera
mengangguk-angguk. Ya, dia adalah novelis akbar dunia dengan deretan karya yang luar biasa. Kutipan
yang membuka tulisan ini berasal dari salah satu novelnya yang terkenal, 1984.

Selain Animal Farm, banyak orang akan menyebut 1984 apabila mengingat George Orwell. Novel ini
(1984) menceritakan tentang “dunia yang tampak dingin” akibat cengkeraman rezim politik otoriter.
Segalanya tampak membeku dan “seolah tak berwarna”. Penguasa mengawasi semua aktivitas rakyat.
Pikiran terkekang. Secuil isi pikiran yang berseberangan dengan agenda rezim pasti—cepat atau lambat—
akan diberangus. Segala percakapan disadap. Bahkan, denyut jantung yang menunjukkan gejala-gejala
pemberontakan pun akan terdeteksi. Dalam wajah politik yang suram inilah, Winston Smith (sebagai
tokoh utama) menjalani kehidupannya.

1984 akan mempertontonkan kepada kita tentang rezim diktator yang penuh dengan dusta. Sebab, dusta
adalah pelumas utama agar mesin kediktatoran lancar bekerja. Sejarah sudah membuktikan ini. Demi
kepentingan politiknya, mereka bebas mengganti satu omong kosong dengan omong kosong lainnya.
Bagi mereka, 2+2 bisa saja sama dengan 5.

Dalam konteks inilah, Winston bergumul. Selain berbahaya, pergumulannya pun tidak biasa. Ketika 2+2
ditetapkan menjadi 5, otomatis, kita akan sukar membedakan antara dusta dan fakta. Namun dilemanya,
sekali bersuara bahwa 2+2=4, nyawa kita adalah taruhannya. Di muka keganjilan inilah, mulut Winston
mengatup selama tujuh tahun. Selama itu, dia berpura-pura setuju. Namun dalam kebisuannya, pikirannya
tidak tenang. Lalu akhirnya, dia memutuskan untuk melawan walau dalam senyap dan sendirian.

Mungkin, semangat melawan dusta inilah yang membuat novel 1984 wajib untuk kita baca. Apalagi,
Orwell melukiskan Winston bukan seperti Gatot Kaca dengan tulang besi dan urat kawat. Winston, sama
seperti kita, adalah manusia biasa yang merasakan khawatir dan takut kalau-kalau nanti “diuapkan”.
Tidak seperti gambaran umum seorang pahlawan yang selalu tegas, pasti, dan berani, Winston malah
sebaliknya. Rasa ragu kerap menyerangnya. Suatu waktu, dia begitu yakin dengan harapannya. Di waktu
lain, dia mempertanyakannya. Namun di tengah segala kegalauan itu, dia tetap meneguhkan hati untuk
melawan.
Namun, apakah novel ini memang menganjurkan perlawanan? Cukup lama saya memikirkan pertanyaan
ini. Jangan-jangan, kalau Orwell bangkit dari kematiannya, dia justru akan tertawa karena merasa tidak
pernah mengatakan demikian.

Sesungguhnya, Orwell memang tidak menganjurkan apa-apa. Dia hanya seorang pencerita yang enggan
menarik kesimpulan. Dia sekadar berusaha untuk menampakkan wajah realitas, yaitu penuh dengan
paradoksal serta parade ambiguitas.

Di satu sisi, Orwell berhasil memancing kemarahan agar kita tidak diam di hadapan penindasan.
Kesewenang-wenangan rezim yang digambarkannya, setidaknya, berhasil membuat saya geram. Tak
perlu menunggu lama, puisi Wiji Thukul langsung bergema, “Maka hanya ada satu kata: lawan!”

Namun di sisi lain, Orwell juga menampakkan wajah getir dari perlawanan. Ternyata, melawan diktator
tidak semudah seperti kata film-film. Orwell mengingatkan bahwa ketakutan dalam diri sendiri adalah
lawan yang sulit ditaklukkan. Harga dari sebuah perlawanan sungguh mahal. Banyak orang mengatakan
bahwa prestasi tertinggi dari seorang aktivis adalah kematian. Namun, pendapat Orwell lain: bukan
kematian, tetapi hidup dalam kehampaan tanpa cinta dan kasih sayang.

Jadinya, tidak ada kata yang pas untuk menggambarkan nada dasar novel ini. Awalnya, jalan cerita
mendebarkan. Petualangan, imajinasi, dan gagasan politik yang disuguhkan amat menarik untuk
dinikmati. Namun, ketika berjumpa dengan kata “TAMAT” di akhir cerita, sekonyong-konyong saya
merasa putus asa.

Karena itulah, tangan saya, sebenarnya, berat untuk menulis resensi novel ini. Saya bahkan hampir-
hampir membuka ulasan ini dengan seruan, “Jangan baca 1984!” Pasalnya, efek samping novel ini adalah
perasaan aneh dan gamang. Antara kagum dan jengkel bersatu tak karuan. Di satu saat, jantung berdegup
bangga karena menonton pagelaran sebuah keberanian. Tetapi di ujung, pesimisme terhadap semua
mimpi tentang revolusi akan menggigil dalam pikiran.

Mengapa bisa begitu?

Sepertinya itu dikarenakan cara Orwell yang terlalu jujur dalam bercerita. Dia terlalu jujur
menggambarkan Winston sebagai manusia biasa. Ragu-pasti; jujur-bohong; berani-takut; baik-jahat; dan
semua unsur moralitas berkelindan di dalam dirinya. Selain itu, Orwell juga terlampau jujur dalam
melukiskan wajah sebuah rezim diktator. Rezim penindas, ternyata, tidak dihuni oleh orang-orang bodoh.
Mereka juga ahli dalam membaca sejarah. Mereka cakap dalam mengoreksi diri dan hebat dalam
beradaptasi.

Novel ini tentu saja bukan imajinasi semata karena Orwell bukan orang sembarangan. Dia pernah terlibat
langsung dalam perang. Selain itu, dia juga pernah menjadi Polisi Imperial di India. Jika membaca
Animal Farm, pilihan filosofisnya tampaknya berlabuh pada gagasan Trotsky. Berbagai pengalaman ini
pasti berpengaruh pada kompetensinya dalam menilai sejarah. Tampaknya, dia sudah yakin betul, bukan
teror senjata yang membuat patuh masyarakat—itu teknik kadaluarsa—melainkan propaganda; penipuan
sejarah; atau memutarbalikkan fakta.

Dari pengalaman Winston, Orwell seolah ingin mengingatkan kita kalau tidak selamanya perlawanan
berumur panjang. Namun, dia juga tidak pernah menganjurkan agar kita diam di hadapan penindasan.
Mungkin saja kita limbung pada sikap ini. Namun, jangan salahkan Orwell karena, sekali lagi, tugasnya
hanya bercerita.

Memang selama dusta dan penindasan masih eksis di atas bumi manusia, selama itu pula novel ini tetap
relevan. Tetapi menurut saya, kesimpulannya pada novel ini tidak se-heroik itu. Sebab pada akhirnya,
novel ini akan mencecar kita hanya dengan satu pertanyaan. Dia akan memaksa kita untuk memeriksa
ulang jawaban kita perihal, “Apakah rezim penindas harus dilawan atau dibiarkan saja?”

Anda mungkin juga menyukai