Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS NASKAH AENG KARYA PUTU WIJAYA

AENG

Karya : Putu Wijaya

Putu Wijaya yang produktif ini bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Lahir di Puri Anom, Sarem,
Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. banyak karya-karya baik drama maupun prosa yang ia hasilkan,
misalnya Dalam Cahaya Bulan Bila Malam ,Bertambah Malam, Invalid, Tak Sampai Tiga Bulan, Orang-
Orang Malam, Lautan bernyanyi, Aduh, Anu, Edan, Hum-pim-pah, Dag-dig-dug,dan lain sebagainya. Gaya
penulisan Putu Wijaya sangat kental sekali, ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat
pengisahan dan gaya stream of consciousness. Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena
dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah
kegelapan.

Dalam naskah drama Aeng ini Putu wijaya mencoba melukiskan seorang yang karena hasrat duniawinya
akhirnya terperosok ke dalam dunia yang sesak. Mula-mula ia menceritakan kebiasaan tokoh Alimin
yang ingin mengarungi kehidupan ini sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Ini terlihat ketika ada
seorang yang hendak bertamu tetapi ia malah ingin tidak diganggu. Pada awal-awal Putu Wijaya hendak
membeberkan bagaimana tokoh Alimin ini, seperti apa dia. Hal tersebut tergambar dalam penggalan
naskah ini.

TIBA-TIBA BERTERIAK DAN MELEPASKAN) Gila. Kamu melawan? (KETAWA) Kamu menghasutku untuk
melakukan melawan? (KETAWA) Tidak bisa.. Manusia bisa kamu lawan. Tapi dinding beku ini tidak.
Mereka bukan manusia lagi. Itu sistem yang tak mengenal rasa. Tak ada gunanya kawan, tidak.
(MEMBURU DAN MENGINJAK KECOAK ITU) kamu tidak berdaya. Kamu sudah habis (TERTEGUN)

Setelah puas dengan permainan diksi dan pengungkapan ‘dia’ dalam menggali dan mencoba mengenali
watak tokoh utama dalam naskah drama ini, kemudian Putu Wijaya mencoba memasukkan progesif alur
untuk membuat cerita ini menjadi lebih hidup. Tokoh langsung dihadapkan dengan beberapa pertikaian
atau permasalahan. Bagaimana tokoh Alimin ini menyikapinya? Ternyata dengan daya ledakan yang
cukup tinggi pada dirinya. Pengungkapan yang berapi-api dan cenderung dengan kata-kata kotor ini
wujud dari Putu Wijaya yang ekspresif dalam pengungkapannya. Hal ini dapat kita lihat dalam penggalan
naskah berikut ini.
Atau mungkin hanya hantu. Enak juga jadi hantu. Tidak kelihatan , tapi bisa melihat. Aku bisa masuk ke
kamar mandi mengintip perempuan-perempuan jadi cabul kalau sendirian. Aku masuk ke dalam kamar
tidur para Pemimpin dan melihat ia menjilati kaki istrinya seperti anjing. Aku masuk kedalam rumah-
rumah ibadah dan melihat beberapa Pendeta main judi sambil menarik kain para pembantu. Tak ada
orang yang bersih lagi. Sementara dogma-dogma makin keras ditiup dan aturan makin banyak dijejerkan
untuk membatasi tingkah laku manusia, peradaban makin kotor. Ah, apa ini? Menjadi hantu hanya
melihat kebrengsekan! Nggak enak ah!

Namun, yang menjadi hal menarik ialah terjadinya loncatan-loncatan sebelum tokoh Alimin
mendapatkan pressure dari sang pengarang. Putu Wijaya langsung memberikan permasalahan tanpa
latar belakang yang jelas. Ia tak mengisahkan bagaimana sang tokoh tersebut hanyut dalam sebuah
problema yang ia derita hingga akhirnya mengisahkan ia harus mendekap di balik jeruji besi. Disini
hanya dilukiskan bahwa si tokoh karena memperkosa seorang pelacur. Tetapi yang menarik apabila kita
kaji ialah bagaimana seorang pelacur ini hadir di dalam kehidupan Alimin. Tiba-tiba Putu Wijaya
menempatkan seorang pelacur tersebut sebagai bahan untuk menuju tahap yang klimaks.

MENOLEH KE TOPINYA TIBA-TIBA TERSENYUM RIANG) He, kamu ada di situ Nensi! Rupanya kamu yang
dari tadi melotot di situ. Apa kabar? Sedang apa kamu sekarang? Kenapa lipstik kamu belepotan? Ada
hansip yang memperkosa kamu? Jangan diam saja seperti orang bego sayang. Ke mari. Masih ingat pada
aku kan? MENUNDUKKAN BADANNYA, KEDUA TANGANNYA DI DEKAT TOPI ITU) Aku bukan orang yang
dulu lagi. Kau pun tidak. Ketiak kita sudah ubanan. Tetapi kita pernah bersama-sama membuat sejarah
dan itu tidak bisa hapuskan begitu saja. Sekeping dari diri kamu masih tetap dalam tubuhku dan bagian
dari punyaku masih tersimpan pada kamu. Kita bisa berbohong tapi itu tidak menolong.

Perkenalan itulah yang kurang disisipkan oleh Putu Wijaya. Hal ini membuat para pembaca akan
bertanya-tanya atau malah kebingungan dengan hadirnya sosok Nensi yang mendadak di dalam
kehidupan Alimin. Tiba-tiba sang pengarang langsung menempatkan tokoh utama dihapan sang
pengadil di meja hijau.

Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Saya tak akan membela apa yang sudah saya lakukan. Saya justru
ingin menjelaskannya. Bahwa memang benar saya yang melakukan segalanya itu. Hukumlah saya. Dua
kali dari ancaman yang telah paduka sediakan. Wanita itu saya cabik lehernya, karena saya rasa itu yang
paling tepat untuk dia. Kemudian harta bendanya saya rampas, karena kalau tidak dimanfaatkan akan
mubazir. Saya lakukan itu dalam keadaan yang tenang. Pikiran saya waras.

Kemudian sang tokoh langsung dibawa ke alam yang berbeda berdasarkan hasil akhir yang ia dapat dari
pengadilan tersebut. Tetapi hal menarik justru terjadi, seperti kita ketahui dalam film-film sekarang atau
sinetron-sinetron dimana saat tokoh utama saat menjalani proses kriminal dan harus dirumahkan di
jeruji besi akan mendapat tekanan batin yang besar sehingga faktor spiritualnya akan terganggu dan
seakan-akan menyangkal keberadaan tuhan itu ada.

Di dalam ruangan ini aku menjadi manusia. Di dalam ruangan ini aku lahir kembali. Mataku terbuka dan
melihat cinta di balik jendela. Melihat keindahan cahaya matahari dan bulan yang romantis malam hari.
Aku ingin kembali mengulang sekali lagi apa yang sudah kujalani....... Ya Tuhan, mengapa kamu tipu
saya. Kenapa tak kamu bilang bukan itu orangnya. Keliru sih boleh saja.

Bagian ending dalam cerita ini tidak jelas, karena terdapat sebuah sosok lagi yang hadir dalam naskah
ini. Tokoh tersebut hanya digambarkan oleh putu wijaya dengan keadaan fisiknya saja.

DUDUK DI KURSI DAN MENJADI TUA) Omong kosong! Orang itu menggantung diri karena setelah lima
puluh tahun dalam penjara, baru ia sadari segala tindakannya itu keliru. Bahkan ia yakin hukuman mati
belum setimpal dengan dosa-dosanya. Lalu ia menghukum dirinya sendiri. Memang ada kasus kesalahan
menghukum, tetapi itu kasus lain, jangan digado, ini bukan nasi campur!

Hal ini akan membuat kita juga akan bertanya-tanya, darimana datangnya tokoh tersebut? Dan
bagaimana kelanjutan tokoh utama yang telah ’bebas’ dari hukumannya? Apakah ilustrasi tokoh
tersebut merupakan tindak lanjut sikap tokoh utama? Tentu hanya pengarang yang saja yang mengerti
bagaimana itu semua terlukiskan? Mungkin kita juga akan memperkirakan bahwa tokoh tua yang
dihukum mati itu ialah tokoh utama yang karena putus asa dengan hukuman dan keduniawiannya
sehingga ia ingin menjadi tumbal atas ketidak-adilan yang ia terima. Kelebihan dari naskah drama ini
ialah pemilah diksi sang Putu Wijaya yang pintar dalam mengolah kata-kata yang kebanyakan ialah kata-
kata pembandingan dengan pengungkapan-pengungkapan yang full ekspresif walaupun terlihat apa
adanya. Penokohan menjadi hal yang membuat kita menjadi bingung, latar belakang yang tak jelas
sehingga mempengaruhi daya kejelajahan alur yang coba diungkapkan oleh sang pengarang.

KETIKA HUKUM MEMAKAI JAM KARET

Acep Zamzam Noor

Aeng adalah Alimin, seorang anak manusia

Yang diutus Tuhan untuk menegakkan kejahatan

Alimin adalah pahlawan kejahatan, seorang bromocorah


Manusia dari lingkaran yang negatif

Alimin telah merasa merdeka hidup di dalam penjara

Alimin telah tahu bahwa kematiannya itu besok

Alimin protes dan bertanya pada Tuhan:

Mengapa keadilan memakai jam karet?

Kenapa hukum belum horisontal?

Kenapa hukum tidak vertikal?

KALIMAT-KALIMAT di atas dibacakan oleh seorang pemuda dengan suara gemetar, wajah tegang dan
kedua tangan terkepal. Tak lama kemudian pemuda itu menghilang ke balik panggung seiring dengan
berdentumnya musik dan meredupnya lampu. Sampai di sini nampaknya pementasan masih belum
dimulai, yang dibacakan oleh pemuda tadi barulah sinopsis dari monolog Aeng karya Putu Wijaya yang
malam itu akan dibawakan oleh Wan Orlet, aktor sekaligus sutradara dalam pementasan ini. Wan Orlet
menulis sinopsis tersebut sebagai sebuah tafsir dari naskah yang cukup lama digumulinya.

Bagi Wan Orlet, pekerja teater yang sehari-harinya mencari nafkah dengan mengayuh becak di seputar
kota Tasikmalaya, Aeng merupakan naskah yang sangat menantang. Kehidupan sehari-harinya seakan
terwakili oleh naskah yang bercerita tentang ketidakadilan bagi orang kecil ini. Orlet bukanlah
bromocorah seperti halnya Alimin, sang tokoh dalam naskah ini, namun ia sangat merasakan bahwa
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum di negeri ini bisa menimpa orang kecil mana saja, termasuk
dirinya. Tak kurang dari lima tahun dibutuhkan waktu untuk mendalami dan menyelami naskah ini, dan
yang menarik ia bertekad untuk menampilkannya secara utuh tanpa edit atau sensor sedikit pun.
“Naskah ini sangat mewakili kami sebagai bagian dari kasta terendah di negeri ini,” ujar Orlet, yang
setiap sore berlatih bersama rekan-rekannya di pinggir sungai Cimulu, tak jauh dari pangkalan becaknya.

Aeng yang diangan-angankan untuk bisa dipentaskan keliling ke berbagai kota, pada tanggal 8 April 2006
atas prakarsa Komunitas Azan digelar terlebih dahulu di Cipasung. Dengan mengambil tempat halaman
rumah saya yang tidak terlalu luas, pementasan monolog ini menjadi terasa akrab dan khusyuk. Hampir
tak ada jarak antara penonton yang lesehan dengan panggung yang berkonsep teater arena. Begitu juga
tak ada jarak antara penonton dengan aktor. Tawa atau celotehan kecil dari arah penonton sepertinya
tak mengganggu permainan.
Sesungguhnya Aeng termasuk naskah yang “berat” untuk menjadi pementasan yang betah ditonton.
Dengan durasi lebih dari satu jam sebuah monolog bisa saja jatuh sebagai sesuatu yang membosankan.
Namun aktor sekaligus sutradara pementasan ini sudah mengantisivasi kemungkinan buruk itu. Wan
Orlet tidak membawa naskah yang berisi kritik sosial ini pada wilayah komedi, meskipun hal ini sangat
memungkinkan mengingat ada unsur satir dan parodi di dalamnya. Ia justru mengangkatnya pada
suasana yang khusyuk, kontemplatif dan puitik. Sebuah percakapan diri, sebuah soliloqui menjelang
hukuman mati, sebuah monologue interieur tentang eksistensi manusia di tengah kenyataan sosial dan
politik yang serba tidak pasti. Putu Wijaya sebagai penulis naskah mengungkapkannya dengan kalimat-
kalimat yang bernas, tajam, dan menggugat. Putu bukan hanya menggugat penegakan hukum namun
juga posisi kekuasaan dan peran agama yang tidak semestinya di negeri ini. Dan Orlet sebagai aktor,
memainkannya dengan intensitas yang tinggi, penuh dan total.

Paling tidak ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari monolog ini. Pertama adalah posisi sang aktor
sebagai pusat dari seluruh pementasan. Wan Orlet tidak hanya konsentrasi pada sektor pengucapan
yang secara audio cukup jelas terdengar sampai ke pinggir jalan, namun ia juga mengoptimalkan seluruh
tubuhnya sehingga berfungsi sebagai bahasa visual. Banyak sekali variasi-variasi gerakan yang ia
mainkan untuk mendukung teks-teks yang diucapkannya. Misalnya ia memainkan gerakan yang
menggambarkan seekor kecoa, sebuah simbol yang erat kaitannya dengan sel penjara. Ia juga
memainkan gerakan-gerakan berlari, berjalan patah-patah seperti dalam pantomim, berjoged,
membungkuk, merayap atau berguling-guling di lantai. Selain sebagai visualisasi yang digali dari
kandungan naskah itu sendiri, juga sebagai upaya yang cerdas dalam menjaga tempo permainan.

Kedua adalah efektivitas properti. Sebagai pementasan yang diniatkan untuk tour keliling, properti-
properti yang digunakannya sangatlah sederhana. Meja, kursi, botol, piring seng, kain batik, topi, kaos
dan kemeja. Meskipun begitu properti-properti ini bukan hanya tampil sebagai set panggung, namun
juga menjadi sangat fungsional dan berperan banyak dalam menghidupkan adegan demi adegan.
Misalnya kain batik, selain sebagai selimut juga berperan sebagai ibu di mana Alimin sering berbicara
dengannya. Begitu juga dengan topi warna merah yang berfungsi sebagai Nancy, seorang gadis imajiner
yang diciptakan Alimin sebagai teman bercanda. Meja, kursi dan botol selain berfungsi sebagaimana
umumnya, dalam kesempatan tertentu juga bisa berfungsi secara simbolis. Kursi menjadi lawan dialog
yang terus dieksplorasi: diduduki, diinjak, dipeluk, diangkat dan dibanting. Begitu juga meja, selain
disimbolkan sebagai hakim juga menggambarkan bentuk hukuman itu sendiri. Alimin kerap harus
memanggul meja tersebut dengan punggungnya. Sedangkan kemeja lengan panjang mempunyai makna
dan fungsi ganda, terutama ketika memasuki adegan memotong tangan sendiri.

Mengangkat persoalan hukum dan realitas sosial lewat sebuah pementasan teater di kampung, bisa jadi
akan menumbuhkan semacam kesadaran baru bagi yang menontonnya. Semacam pendidikan politik
tidak langsung. Dan terbukti ketika diskusi digelar, banyak pertanyaan atau komentar yang diarahkan
langsung pada substansi cerita. Namun karena penulis naskahnya tidak ada, Wan Orlet hanya menjawab
dalam kapasitasnya sebagai tukang becak yang merasa terwakili oleh naskah tersebut. Sementara untuk
pementasannya itu sendiri, banyak yang menanyakan kenapa Orlet seperti mengabaikan unsur humor.
Disinggung juga peranan musik pengiring yang dianggap kurang bisa mengimbangi intensitas sang aktor.

Memang, dalam pementasannya kali ini Orlet seperti ingin mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Kesan ini terlihat dari upaya dia melakukan gerakan-gerakan sulit seperti menggambarkan
seekor kecoa atau merangkaki panggung sambil memanggul meja misalnya. Selain itu sejumlah gerakan
yang pernah ia tampilkan dalam karya performance art-nya dulu, muncul kembali dan memperkaya
pementasan ini. Namun sayang musik sedikit kurang mendukung.

Monolog, seperti juga pidato, orasi, ceramah atau khotbah sangat berpotensi membuat orang tidak
tahan untuk mengikutinya. Banyak cara yang biasa dilakukan dalam mengatasi ancaman kebosanan ini,
misalkan memasukkan unsur-unsur humor atau pornografi. Namun Wan Orlet tidak melakukan muslihat
itu. Ia tetap bermain dengan khusyuk, kontemplatif dan puitik. Kemampuannya meramu yang fungsional
dengan yang simbolis, terutama yang berkaitan dengan properti dan tubuhnya sendiri, cukup
membantunya dalam mengatur tempo permainan secara keseluruhan. Bahkan di akhir pementasan ia
membuat kejutan kecil. Dari arah penonton muncul suara-suara yang menghujat, suara-suara yang
menteror serta lemparan benda-benda yang diarahkan kepada sang aktor. Lampu padam sejenak.
Kemudian terdengar sebuah lagu lembut, Dealova, dinyanyikan beramai-ramai oleh seluruh awak, yang
hampir semuanya tukang becak. Mereka berbaris di panggung seperti kelompok paduan suara ibu-ibu:

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu

Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kaurindu

Karena langkah merapuh tanpa dirimu

Oh karena hati telah letih

Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kausentuh

Aku ingin kau tahu bahwa aku selalu memujamu

Tanpamu sepinya waktu merantai hati

Oh bayangmu seakan-akan…
Wan Orlet membungkukkan badan dan kemudian diikuti oleh rekan-rekannya sebagai tanda
pementasan telah usai. Tepuk tangan panjang menyambutnya, disertai celotehan dan suit-suit
penonton. Wan Orlet tersenyum, begitu juga rekan-rekannya. Mereka seakan telah melepaskan sebuah
beban yang berat, beban kehidupan sehari-hari. Dan besok mereka harus kembali ke pangkalan
becaknya di Simpang Lima, menunggu penumpang seperti biasanya

Anda mungkin juga menyukai