Anda di halaman 1dari 6

BERBEDA MAKA BINASA

Oleh : Shofie Achmad

Pekat malam itu sangatlah sunyi. Jalanan legang seakan udara


pegunungan pun berhenti mengalir. Hanya kelebatan bayangan gelap yang
bergerak mengintai. Tampak jendela-jendela perumahan transmigran
ditutup rapat, menyembunyikan sinar lampu yang kekuningan. Dalam ruang
kecil di sebuah rumah kayu berukuran sedang terselip serpihan
kehidupan.

Pemuda : pak, sudah tiga bulan sejak Hasan Tiro itu mendeklarasikan
Aceh merdeka, sejak itu pula kita sulit keluar dari sini.

Ayah : bicara apa kamu nak.

Pemuda : lihat itu pak, mobil hitam sering mondar-mandir di depan


rumah kita. Jalanan sepi. Orang-orang takut, jadi jarang pergi
berladang, makanan sulit didapat.

Kakek : jangan su’udzan dulu, kita belum tahu to itu mobil siapa?
Yang empunya juga memiliki maksud apa, kita jangan prasangkai.

Ayah : dengar itu kakekmu.

Pemuda : tapi sudah ada bekas sayatan di leher Inen Juriah.

Kakek : dengar dari mana kabar seperti itu?

Pemuda : bukan begitu, aku pernah lihat laki-laki dari dalam mobil
turun ke rumahnya Inen Juriah, yang di seberang itu, mereka bawa
parang pak. Aduh, serem to pak.

Ibu : hush, jangan besar-besar suaramu, tidak enak kalau didengar.


Sekarang ini kita masih banyak simpanan beras. Cukup untuk makan
bertiga, itu saja sudah patut disyukuri.
Ayah : minyak bensin jualan bapak juga masih ada dua setengah drum,
itu di warung depan rumah kita. Kamu tenanglah nak, begitu keadaan
tenang, bapak bisa jualan lagi.

Kakek : jarang berladang pun, asalkan hemat bisa tetap hidup.

Pemuda : aku bukannya mengkhawatirkan makanan saja... aku kasihan pada


Inen Juriah itu. Belum lama suaminya hilang, lalu rumahnya disambangi
begitu. Tega sekali, apakah karena Inen berdarah gayo?

Ayah : asalnya, darah bukan masalah. Bapak juga tidak mengerti apa
yang terjadi sekarang ini. Orang-orang seperti menggadaikan kebebasan
yang lainnya demi kemerdekaan semu, yang dari awal memang tidak
dijanjikan.

Pemuda : kemerdekaan itu hak kita juga pak, mengapa kita terasing di
tanah sendiri? Ini Negara kita, tanah kita, punya bersama.

Ibu : yah... terasingpun bukan sepenuhnya ulah mereka. Ada tindakan,


pastilah ada dorongan.

Kakek : Kita ini sedang tergeser untuk memberi ruangan pada yang lain.

Pemuda : berarti, ini memang nasib kita? Apa perubahan tidak boleh
dilakukan? Apa hidup bersama terlalu sulit?

Ayah : win, dengarlah. tinggal kamu seorang ini saja anak bapak.
Kakak-abangmu sudah jauh hari merantau. Jangan ikut pikirkan hal
macam-macam. Jangan pula kamu pusingkan yang seperti itu. Bapak
inginnya kamu tetap di sini saja, sama-sama.

Pemuda : sudah lama aku tinggal di sini. Mungkin lebih lama dari orang
yang hilir mudik di luar sana. Aku harus melakukan sesuatu untuk kita
juga.

Ayah : kita sudah ada yang mengatur, tinggal patuh, nurut saja.

Pemuda : mana bisa pak? Beginilah susahnya kalau kita diam saja.
Ibu : (menyalakan obat nyamuk bakar) wes... wes... ini sudah larut.
Besok saja ya dilanjutkan? Apa tidak mengantuk?

Kakek : ya... rasanya kakek mau tidur. Win, temani kakek.

Pemuda : maaf kek. Aku antar sekarang. Tapi malam ini aku tidur di
sini saja. Biar berjaga-jaga.

(kakek dituntun menuju kamar)

Ibu : ayo, pak.

Ayah dan ibu menuju ke bilik kecil tempat kamar tidur mereka, belum
sempat mereka menutup pintu, terdengar suara tembakan.

Ibu : dengarkan, suara apa itu pak?

Ayah : (reflek) tiarap semua!

DOR-DOR-DOR-DOR!

(beriring dengan tembakan, terdengar pula suara gedoran pintu)

Kakek : Siapa itu di luar?

Pemuda : biar kubuka saja.

Inen : buka, buka pintunya... Cepat!

Pemuda : kenapa bik? Jangan keluar malam-malam, bahaya---

Inen : (terengah-engah)win! Kedai bensin ama hendak dibakar!

Pemuda : hah? Kedai bapak?

Inen : iya win, oleh agam-agam si iblisa, hendak dibakar. Hati-hati


kalian---

DOR-DOR-DOR!

Ayah : Tiarap!

Pemuda : pak, inen pak... (pucat)


Ayah : bapak tahu, cepat bawa masuk mayatnya.

Kakek : Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Ibu : (histeris) apalah yang membuatmu kemari? Keadaan semerawut,


susah diredakan...

Ayah : inilah kalau kita melawan

Ibu : pagi datang, petang sudah tiada

Pemuda : ini karena kita hanya bergeming!

Ayah : tiap jasad ada nyawanya. Jangan jadikan sia-sia.

Pemuda : ayo kita bertindak!

Ibu : sekali hilang, tertelan bumi. Tidak kembali.

Pemuda : aaaargh! Kenapa kita tidak pergi saja? Tinggalkan semua,


pergi. jangan terlibat.

Ayah : kita hidup di sini, makan hasil buminya. Kediaman di atas


tanahnya. Bahagia bersama di dalamnya. Saat ia hancur, pantaskah kita
tinggalkan? Jangan sembunyi saat gelap dan kembali begitu fajar.
Sudah ada yang merusak, tapi kita bukanlah perusaknya.

Inen : kembalikan hari-hari kami yang lama tertinggal jauh...

(seseorang yang tak dikenal datang membakar bagian depan rumah, tempat
penyimpanan drum bensin, lalu pergi kabur. Salah satu drum meledak dan
tersulut)

Kakek : air... cepat siram agar padam.

Ibu : padamkan api di hati semuanya.

Pemuda : (melantunkan adzan dengan lantang)

***
PEMERINTAH ACEH
SMA NEGERI MODAL BANGSA
TERMOS (TEATER MOSA)
PANITIA SELEKSI PENERIMAAN CALON TERMOSIST ANGKATAN 6

Jl. Bandara Sultan Iskandar Muda Km. 12,5 Desa Meulayo Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar

teater-mosa.blogspot.com

Nama : Shofie Achmad

Kelas : XI IA - 1

No. Hp : 082368705004

Tempat, Tanggal Lahir : Ulee Kareng, 4 November 1996

Asal Sekolah (SMP) : MTsn. Tgk. Chiek Oemar Diyan

Nama Orang Tua : Achmad Ghozin

Pekerjaan Orang Tua : PNS (Pengawas sekolah)

Prestasi Seni : 1. Lomba menggambar

2. Lomba cerpen

3. -

Pengalaman di Bidang Seni : 1. Mengarang, menggambar

2. -

3. -

Alasan memilih Teater : 1. ingin melanjutkan klub yang diikuti pada sekolah sebelumnya

2. supaya bisa terbuka

3.

Riwayat Penyakit : 1. Amandel

2. DBD/malaria
3. Kelainan tulang punggung (ekor)

TTD

Anda mungkin juga menyukai