Anda di halaman 1dari 21

KIDUNG DISIANG HARI

Adaptasi naskah
PENGHUKUMAN ENDRANATA
R. Tio Atmojo Suryoputro
UNY

SINOPSIS:
Cerita dimulai ketika Tumenggung Endranata (55) berkhianat memberitahukan
strategi perang dan lumbung pangan kepada VOC sehingga menyebabkan
kemunduran prajurit kraton Mataram. Tumenggung Endranata ditangkap dan
dijatuhkan hukuman mati oleh Sultan Agung. Namun di saat akan dihukum mati ada
beberapa rakyat yang menolaknya. Perdebatan pun terjadi antara rakyat yang pro dan
kontra. Lalu apakah Tumenggung Endranata jadi dihukum mati?

PENOKOHAN:

1. TUMENGGUNG ENDRANATA, usia 55 tahun, berambut gondrong, tegap.


2. PRAJURIT 1, usia 40 tahun, berwibawa, tegap, tegas.
3. PRAJURIT 2, usia 30 tahun, berwibawa, tegap, tegas.
4. PRAJURIT 3, usia 30 tahun, berwibawa, tegap, berkumis, tegas.
5. PRAJURIT 4, usia 40 tahun, agak letoy, gendut, humoris.
6. PARJO, usia 30 tahun, tegap, berani, berkumis, warga yang pro dengan
Tumenggung.
7. SURYO, usia 45 tahun, tegap, berani, warga yang pro dengan Tumenggung.
8. SUMO, usia 30 tahun, tegap, berani, warga yang pro dengan Tumenggung.
9. ALGOJO, usia 30 tahun, tegap, berani.
10. BEBERAPA WARGA

PETUNJUK PENYUTRADARAAN:
PENONTON PERTUNJUKAN DI POSISIKAN SEBAGAI WARGA-WARGA ATAU
KAWULA ALIT. PEMANGGUNGAN DIBUAT SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA
PENONTON JUGA SEBAGAI WARGA.

Introduction
MENGGAMBAKAN TUMENGGUNG ENDRANATA DI TANGKAP PRAJURIT. SAAT
TUMENGGUNG ENDRANATA HENDAK MELARIKAN DIRI, NAMUN TERJATUH
SEHINGGA PARA PRAJURIT DENGAN MUDAH MENANGKAPNYA. T ENDRANATA
TAK DAPAT BERBUAT APA-APA.

ADEGAN 1
WAKTU MENUNJUKKAN SIANG HARI. BERLATAR TEMPAT DI ALUN-ALUN
SEKITAR MASA KERAJAAN MATARAM DI ERA SULTAN AGUNG TERDAPAT DUA
POHON BERINGIN YANG ASRI DAN RIMBUN. DI TENGAHNYA ADA PANGGUNG
KECIL TEMPAT PENGHAKIMAN DAN PENGEKSEKUSIAN ORANG YANG
BERSALAH.PENGGAMBARAN SETTING PANGGUNG:

DIANTARA DUA TIYANG PENGHUKUMAN. NAMPAK DUA PRAJURIT YANG


SEDANG BERJAGA DENGAN MEMBAWA TOMBAK DAN TAMENG. DUA PRAJURIT
YANG MEMAKAI PAKAIAN KEPRAJURITAN. PARA WARGA SAAT ITU
BERBONDONG INGIN MENYAKSIKAN HUKUMAN ATAS KESALAHAN t
ENDRANATA. PARA WARGA SALING RIBUT MENGGUNJING AKAN KEBAIKAN
KEPADA T ENDRANATA DAN JUGA KEJELAKAN. SAAT ITU SURYO MENCOBA
MEMECAH SUASANA DAN BERKATA PADA SELURUH WARGA YANG HADIR
1. Suryo : he para sedulur kabeh hari ini kita itu akan menyaksikan sebuah
hukuman kepada Tumenggung Endranata
2. Warga : iya benar
3. Suryo : naaah saya mau Tanya, apakah tumenggung Endranata itu
benar-benar bersalah ya. Selama ini dia kan baik-baik saja
4. Sumi : naaah aku juga kurang percaya dengan kesalahannya
5. Parjiyem : tapi kita mau apa? Itu semua urusan petinggi kraton yang bisa
memutuska salah dan tidak, Iya to iya to iya to
6. Warga : iyaaaaaaa
7. Suryo : ya wis kita tunggu saja seperti apa nanti
8. Sumi : tapi ini kenapa lama sekali, katanya hukuman dilaksanakan tepat
matahari berada ditengah-tengah atas kita (semua ribut)
9. Suryo : sabar… sabaaar sik to saya mau tanya dulu kepada ndoro
Prajurit yang dari tadi berdiri (mendekati Prajurit) mohon maaf
ndara prajurit, apakah pelaksanaan hukuman tasih dangu?
10. Prajurit 2 : Ngopo takon-takon, wis lungguh wae rasah rame (suryo kembali
pada warga)
11. Suryo : (memberi isyart tidak tahu)
12. Warga : piye-piye isih suwe po ora kang?
13. Suryo : yaaah masih lama
14. Warga 1 : yo wis bagaimana kalau ambil menunggu kita bercerita, saya
punya cerita yang sangat misteri. Pingn tau ndak
15. Parjiyem : waah menarik ini, wiis cerita saja
16. Warga 1 : ceritane begini (membaca Cerpen, Illustrasi Musik misteri)

SUKMA KENCANA
Adisty Salwa Zweita
Malam ini, hujan deras mengguyur sekitar Villa Kencana, sebuah bangunan tua
dan kuno di pinggir kota dekat rumahku. Suasana suram disertai petir menggelegar,
menambah kesan mencekam tempat ini. Kurapatkan mantel hitamku, lantas kueratkan
genggaman pada stang motor. Kutambah laju sepeda motorku saat melintasi jalanan
depan Villa Kencana. Dapat kurasakan, pelukan Tari mengerat di punggungku. Aku
tahu, Tari takut. Karena akupun begitu. Namun apa daya, jalan depan villa ini
merupakan satu-satunya akses menuju rumah kami.
“Mas, masih jauh ta?” suara Tari lirih terdengar. Kutelan ludahv susah payah
sebelum menjawab.
“Dikit lagi, Tar! Itu tinggal belok sekali lagi. Wis tutup mata aja kamu kalau takut,”
Kuelus pelan lengannya yang melingkari pinggangku, dengan harapan bisa sedikit
mengurangi ketakutannya.
Kurenggangkan cengkeramanku pada stang motor saat gang masuk rumah kami
mulai terlihat. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama. Saat motorku mulai berbelok
memasuki gang, samar kulihat sosok bungkuk berpakaian serba hitam dengan teken di
tangannya. Siapa itu? Kenapa pada malam yang dingin dan disertai hujan deras begini
berkeliaran di luar?
Tari yang duduk di belakang nampaknya masih memejamkan mata sehingga tak
melihat sosok kakek bungkuk di depan sana. Semakin dekat motorku dengan kakek
itu, semakin kurasa napas tersendat. Hingga sosok si kakek nampak nyata di
hadapanku. Ternyata oh ternyata ia adalah Mbah Sobari. Tetangga samping rumahku.
Semakin heranlah aku. Kenapa Mbah Sobari berkeliaran di luar malam-malam begini?
Kuhentikan laju motorku beberapa meter dari posisi Mbah Sobari yang sedang
melamun.
“Tar…Tari… melek sik! Lihatlah, Mbah Sobari kok sampe sini, ya, malem-malem
gini. Ngapain coba?” Tari yang bingung lantas membuka mata dan mengikuti arah
pandangku.
“Loh, iya, Mbah Sobari itu. Samperin Mas, kasihan, pa ndak kedinginan, ya?”
kurasakan tepukan pelan di lenganku. Mengikuti saran Tari, kupinggirkan motor lantas
berjalan pelan menghampiri Mbah Sobari.
“Mbah… Mbah Sobari, ada apa mbah kok di luar malam-malam begini?” kutepuk
pelan lengan Mbah Sobari. Nihilnya respon dari Mbah Sobari membuatku terheran-
heran. Sebenarnya Mbah Sobari ini kenapa? Kuputuskan kembali ke motorku dan
berujar pada Tari.
“Tar, coba kamu telpon Mas Anton. Bilango suruh jemput Mbah Sobari. Tak
panggil-panggil ndak respon soalnya,” Tari lantas mengeluarkan ponsel dan
menghubungi Mas Anton, anak lelaki Mbah Sobari.
Menunggu beberapa saat, dari kejauhan nampak motor Mas Anton mendekati
kami. Saat berhenti tepat di hadapan kami, wajah Mas Anton nampak pucat dengan
napas memburu. Aku dan Tari terheran-heran. Ada apa sebenarnya?
“Mas Anton kenapa? Kok sepertinya kemrungsung?” tak kuat menahan rasa
penasaran langsung saja aku bertanya pada Mas Anton.
“Ndak papa, Le. Matur nuwun, ya, wis jagain Bapak. Memang baru waktunya ini,”
Dahiku berkerut mendengar ucapan Mas Anton barusan. Ingin rasanya bertanya
namun aku memilih abai, merasa tak enak untuk bertanya lebih lanjut.
Setelah Mas Anton mengajak pulang Mbah Sobari, aku dan Tari melanjutkan
perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, aku dan Tari lantas bercerita pada Ibu dan
Bapak. Respon ibu dan bapak mulanya biasa saja. Hingga tak kuasa menahan
penasaran, aku memutuskan bertanya pada bapak.
“Pak, tadi waktu Mas Anton datang, dia bilang memang baru waktunya.
Maksudnya apa itu, Rajen penasaran, Pak?” dapat kulihat raut wajah bapak seketika
berubah pucat seperti wajah Mas Anton tadi. Berkali-kali terlihat membuka mulut tapi
nampak gagu menjawab.
“Wis… wis malam iki. Kana Rajen, Tari ndang bobok!” Suara Ibu sedikit
menginterupsi, namun aku masih setia menunggu jawaban Bapak.
“Bobok, Le, Ibumu wis ndhawuhi kae. Tak jawab suk isuk!” Sekarang giliran
bapak menyuruh kami istirahat.
Kuhela napas pelan mendengar jawaban bapak. Ya sudah. Aku dan Tari lantas
beranjak ke kamar masing-masing. Kurebahkan tubuhku ke dipan sembari menatap
lamat langit-langit kamar. Kantuk mulai menyerang, mataku memberat, hingga sayup-
sayup kudengar langkah kaki memasuki kamarku.
“Le, Rajen cah bagus, Utari adhimu mbesuk bakale melu aku. Jaganen ya, Cah
bagus!”
Apa itu tadi? Suara Ibu? Atau suara bapak? Sepertinya tidak mungkin. Ibu pasti
sudah tidur bersama bapak di kamar sebelah. Dan apa tadi yang kudengar? Utari akan
di bawa? Oleh siapa? Namun pusaran tanya yang memenuhi kepala tak terjawab.
Entah kenapa berat sekali rasanya mata dan tubuhku.

“Mas Rajen, mangga.” Suara di luar pagar rumah menginterupsiku dari kegiatan
mengelus ayam jantan bapak. Kudongakkan kepala dan kulihat Mbak Lastri, adik Mas
Anton, tengah tersenyum sembari menenteng plastik sayur.
“Nggih, Mangga Mbak Lastri. Saking peken, Mbak?” Mbak Lastri lantas
mengangguk dan tersenyum sekali lagi sebelum beranjak pergi. Akupun kembali pada
kegiatanku mengelus ayam jantan bapak sebelum suara ibu dari arah dapur terdengar
memanggilku.
“Le, tulung iki terna nyang omah e Mas Anton. Pesenane Mbak Lastri,” Kuhampiri
Ibu yang berdiri di depan pintu lantas ku ambil kotak roti di tangannya.
Dengan segera aku berjalan menuju rumah Mas Anton. Kulihat pekarangan
rumah Mas Anton nampak sepi. Biasanya, Mas Anton bercengkerama dengan ayam-
ayamnya. Kuketuk pelan pintu rumah tiga kali sambil mengucap salam. Namun tak
kunjung mendapat jawaban. Aku beranjak pergi, namun tiba-tiba terdengar suara
barang pecah. Refleks kuletakkan kotak roti. Kudorong pintu yang ternyata tidak
terkunci. Abai pada kesopanan, aku lantas berjalan cepat ke dalam rumah Mas Anton.
“Mas…Mas Anton. Kula nuwun… Mas, apa sing niba?” Aku memutuskan
berjalan ke dapur rumah ini yang kebetulan aku tahu pasti letaknya. Kusingkap pelan
korden yang membatasi ruang keluarga dengan dapur.
Deg… Serasa berhenti jantungku melihat pemandangan yang tersaji di
hadapanku. Ya Allah… Apa ini? Nampak Mbak Lastri tengah bersimpuh di hadapan
Mbah Sobari yang berdiri tegak dengan pisau teracung di tangannya. Di belakangnya,
Mas Anton yang tergeletak bersimbah darah mencoba menggapai pergelangan kaki
Mbah Sobari. Sekujur tubuhku mati rasa. Napasku tercekat. Pergelangan kakiku
serasa dipatok ke lantai. Kupejamkan mata dan berharap ini hanyalah mimpi.
Kesadaranku seperti ditarik kembali saat kulihat Mbah Sobari mulai
mengayunkan pisaunya kearah Mbak Lastri. Sekuat tenaga kudorong Mbah Sobari
hingga terbanting dan pisaunya terlepas. Kutahan tubuhnya yang memberontak ingin
menggapai pisau.
“Kene! Aja ganggu aku kowe. Lungaaa… Lungaaa kanaaa!” Kaki Mbah Sobari
menendang-nendang dan matanya melotot.
Aku mulai kewalahan menahan tubuh Mbah Sobari. Mas Anton mulai bangkit.
Dihampirinya aku dan Mbah Sobari dengan tertatih.
“Pergi, Jen. Biar aku yang urus Bapak. Jangan bilang sama siapa-siapa. Anggap
kamu ndak pernah lihat kejadian ini.”
“Tapi lukanya Mas Anton piye?” kupandang ngeri luka sobek di lengannya yang
terlihat masih mengucurkan darah.
“Ndak papa, wis kana mulih. Eling ya, aja kandha sapa-sapa!” Kuanggukkan
kepala pelan. Sebelum benar-benar pergi, kutolehkan kepala sekilas pada Mbak Lastri
yang masih bersimpuh. Kulihat bahunya bergetar dengan tangan terkepal.

Kantuk menyerang, mata terasa berat namun sukar memejam. Kejadian tadi pagi
begitu membekas di otakku. Berpilin, memantul ke segala penjuru kepala dan
melesatkan banyak tanya. Meresahkan. Ada apa? Mengapa? Ingin aku ceritakan pada
bapak dan ibu namun entah mengapa aku tak mampu. Sebenarnya apa yang terjadi
pada Mbah Sobari dan keluarga Mas Anton?
Kuhela napas pelan. Entah megapa malam ini tubuhku rasanya lelah sekali.
Beranjak bangun, aku mengambil segelas air. Setelah dahaga teratasi, kembali
kulangkahkan kaki ke kamar. Namun langkahku terhenti saat melewati kamar Tari.
Sayup terdengar suara gamelan dari dalam sana. Dahiku berkerut. Tak biasanya. Tari,
adikku yang begitu menggilai oppa-oppa koreanya itu, memutar gendhing jawa malam-
malam begini? Kuhampiri dan kuketuk pelan pintu kamarnya.
“Tar…Tari? Belum tidur?” tidak ada jawaban dari dalam, membuat benakku
bertanya. Kubuka pelan pintu kamarnya. Semakin berkerut dahiku ketika kulihat kamar
Tari gelap gulita. Kuraba-raba dinding mencari saklar lampu.
Ctek… Melototlah mataku saat lampu menyala menerangi kamar. Benar-benar
terkejut dengan pemandangan di depan sana. Tubuh Tari, adikku, nampak melayang
hampir menyentuh langit-langit kamar. Bergetar seluruh tubuhku. Kucoba berteriak
memanggil Bapak dan Ibu namun bibir serasa kelu. Tiba-tiba, samar kulihat sosok
Mbah Sobari di sudut kamar. Belum hilang rasa terkejutku melihat Mbah Sobari, aku
kembali dikejutkan dengan menghilangnya tubuh Tari yang tadi melayang-layang.
Tepukan pelan di bahuku membuatku menoleh. Kulihat sosok Mas Anton menatapku
datar.
“Mmm… Mas… Tari… Mas. Adikku kemana?” terbata dan bergetar menahan
tangis aku bertanya pada Mas Anton.
“Ndang salin. Nyilih surjane bapakmu. Aja nangis! Ora bakal Tari bali yen mung
tok tangisi. Tari kudu dipethuk.” Bergegas aku mengerjakan apa yang Mas Anton
titahkan tanpa banyak bertanya, walau benak serasa membeludak.
Kuganti kaosku dengan surjan bapak dan kuhampiri Mas Anton di pekarangan
rumah. Tanpa babibu, Mas Anton bergegas melangkah. Aku mengikutinya. Jalanan
depan rumah terasa sepi dan mencekam, menambah ketegangan diantara kami.
“Ngapuranen Bapakku ya, Le. Bapakku ngesir adhimu. Utari.” Suara Mas Anton
memecah keheningan diantara kami.
Bagai disambar petir di siang bolong, aku terkejut bukan main. Apa maksudnya?
Bapakku? Apakah yang Mas Anton maksud adalah Mbah Sobari? Gusti Allah…
apakah maksud dari semua ini? Aku benar-benar tidak mengerti.
“Aku ngerti, kowe bingung. Tak kandhani, sukmane adhimu dikurung lan
didadekke kanca Bapakku ana ing Villa Kencana. Sejatine, Bapakku amung kari raga
dene sukmane wis suwe kekurung ing villa kuwi. Bab iki, amarga Bapak nglakoni
prajanjen peteng karo sing mbaurekso kono. Sabenere Sulastri sing dititah Bapak
ngancani, nanging dheweke ora gelem lan golek tumbal liya, yaiku adhimu.”
Berjalan sambil mencoba mencerna apa yang diutarakan Mas Anton, tak terasa
kami sampai di Villa Kencana. Mas Anton mendorong gerbang villa. Aku mengikutinya
dengan langkah patah-patah dan perasaan yang tidak mampu terdefinisikan.
“Kula nuwun, Bapak.” Kuikuti arah pandang Mas Anton. Di tengah ruangan sana,
dapat kulihat sosok Mbah Sobari duduk bersila di depan perapian besar dengan tubuh
Tari melayang di atasnya. Refleks, aku berlari ke arah Tari. Namun Mas Anton
menahan lenganku.
“Aja edan kowe, Rajendra!! Bapak ora bakal seneng yen diganggu!” Mas Anton
mencengkeram kuat lenganku sambal melotot ke arahku.
“Mas…Tari… Mas… adhikuuuu. Piye nasibe?” suaraku terdengar bergetar. Aku
tak kuasa lagi menahan tangis. Demi Allah, aku tidak tega melihat Tari seperti itu.
“Kowe bakal ana mangsane dhewe. Sabar, Jen.” Dahiku berkerut tak mengerti
dengan ucapan Mas Anton.
“Le, wis tok gawakke pesenane Bapak?” Jantungku seperti berhenti saat
mendengar suara Mbah Sobari di balik punggungku. Mas Anton yang sedang berdiri di
hadapanku nampak tersenyum kepada Mbah Sobari.
“Sampun, Pak. Beres.” Sepersekian detik setelah Mas Anton berujar seperti itu,
sekujur tubuhku seperti mati rasa. Kebas. Hampa. Ringan. Melayang. Mataku berat,
bibirku kelu. Ada apa ini? Saat kesadaranku benar-benar terenggut, sayup kudengar
suara Bapak dan Ibu yang bercampur tangis, memanggil namaku dan Tari.

TAMAT
17. Warga 1 : naaah begitu ceritanya
18. Warga : medeniiiii yo ceritane (kabeh ribut)
19. Suryo : wis wis ada prajurit datang (semua diam)
PRAJURIT 1 MAJU DUA LANGKAH KE DEPAN, LALU PERLAHAN MEMBUKA
SURAT YANG DIBAWA DAN MEMBACAKANNYA.

20. PRAJURIT 1 : Woro-woro sesuai dengan dhawuh Kanjeng Sultan Agung, maka
hari ini, saat ini jam ini mentini detik ini kita akan menyaksikan
penghukuman Tumenggung Endranata, sang penghianat
Mataram. (membaca surat perintah Sang Raja, music illustrasi
prajurit berakting seperti memba sebuah surrat, warga saling
gerak merespon prajurit) nah sedulur semua demikian surt
perintah Raja

LALU PRAJURIT 1 MUNDUR DUA LANGKAH.TUMENGGUNG ENDRANATA MASUK


DARI SISI KANAN PANGGUNG DENGAN DIKAWAL DUA PRAJURIT YAKNI
PRAJURIT 3 DAN 4 SERTA SATU ALGOJO DENGAN PEDANGNYA. DI SAAT
TUMENGGUNG ENDRANATA DATANG RAKYAT BERDIRI DI BARENGI DENGAN
SUARA GONG TIGA KALI. TUMENGGUNG ENDRANATA DENGAN MATANYA
YANG TERTUTUP, TANGAN TERIKAT DI BELAKANG. POSISI PRAJURIT 3 DAN 4
BERADA DI SAMPING KANAN DAN KIRI TUMENGGUNG ENDRANATA, SERTA
ALGOJO BERADA DI SISI KIRI PRAJURIT 4

21. PRAJURIT 3 : Duduk!


22. PRAJURIT 2 : Wahai kawula alit inilah bentuk penghukuman untuk seorang
penghianat kerajaan Mataram. Dia (menunjuk Tumenggung)
adalah seorang penghianat, dia telah memberitahukan strategi
perang dan lumbung pangan kepada kawanan musuh kita yakni
VOC. (lantang)

23. PRAJURIT 1 : Maka dengan hal itu, dia (menunjuk Tumenggung) telah dijatuhi
hukuman mati oleh Kanjeng Sultan Agung sesuai surat dhawuh
dalem. (lantang)

LALU DATANG BEBERAPA WARGA YANG PRO DENGAN TUMENGGUNG


ENDRANATA DARI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG. SURYO BERADA DI SISI
KANAN PANGGUNG MEMAKAI SURJAN LURIK BAWAHNYA CELANA HITAM
PANJANG SERTA MEMAKAI IKET, PARJO DI POSISI DEPAN PANGGUNG
MEMAKAI SURJAN LURIK, SARUNG, SERTA IKET, DAN SUMO POSISI DI KIRI
PANGGUNG MEMAKAI SURJAN LURIK, CELANA HITAM PANJANG DAN IKET.

24. PRAJURIT 2 : Saksikanlah pengeksekusian saat ini, hari ini, detik ini. (lantang)
25. SURYO : Maaf, saya sebagai rakyat tidak setuju dengan penghukuman ini.
(berbicara misterius, posisi di kanan panggung, lalu maju)
26. PARJO : Saya juga (lalu maju), Beliau, Patih dalem Kraton Mataram,
Tumenggung Endranata sudah memberikan banyak sekali jasa
perjuangan bagi kraton ini
27. SUMi : Apa hanya karena satu kesalahan, harus dihukum mati? (posisi
di kiri panggung)
28. PARJIYEM : Apa ini balasan dari sang Raja terhadap patih dalem yang sudah
berjasa banyak? (suara lantang)
29. SURYO : Apa saya harus membuka kebusukan Tumenggung Endranata?
30. PRAJURIT 4 : Ehhhh ehhh.... suutttt sutttttt.... sini aku beritahu, kami hanya
ngemban dhawuh dari Kanjeng Sultan Agung ing Mataram.
(menjelaskan dengan lembut)
31. PARJIYEM : Dhawuhh?? Dhawuhh apalagi? HAAA?!! (nada tinggi
menekankan)
32. PRAJURIT 4 : Aja keras-keras to Mas, nganti kaget aku. (nada lemah gemulai)
33. SURYO : Sebagai prajurit kraton yang bijaksana, apa setiap dhawuh dalem
akan selalu dipatuhi walaupun DHAWUH itu buruk?
34. PARJIYEM : Apa Sang Raja tidak memikirkan akibat jika hukuman mati itu
dijatuhkan kepada Tumenggung Endranata?
35. SURYO : Kenapa diam? (lantang)
36. PARJIYEM : Kami malu punya raja, punya penguasa yang semena-mena
terhadap kawula alit tanpa memikirkan akibatnya. (lantang)
37. PRAJURIT 2 : STOPP!!!!....kami hanya abdi, abdi yang harus tunduk patuh
setiap dhawuh yang diberikan.
38. PRAJURIT 4 : Kepiye lhoo Mas e iki, (lalu mendatangi ParjIiyem) tak kandani,
Mas kami ini hanya abdi dalem bukan pujangga yang bisa
memerintahkan... (nada seakan merayu)
39. SURYO : Alesannnn! (nada tinggi, semua ribut)
40. PRAJURIT 4 : Ehhh....ehhh.. ehhhh... Gusti (kaget)
41. PRAJURIT 1 : Ini... iniii adalah surat dhawuh dalem (menunjukkan surat) Ituu...
(melemparkan kertas dhawuh ke arah Suryo) itu surat
dhawuh dalem! (marah)
42. PRAJURIT 2 : Baca baik-baik surat dhawuh dalem itu....DIBACA!!!!
43. WARGA KONTRA 1 : sampeyan itu kurang ajaar !!! (lalu naik ke atas tempat
eksekusi)

WARGA YANG PRO DENGAN TUMENGGUNG ENDRANATA MULAI TERSULUT


EMOSI, NAIK KE ATAS PODIUM TEMPAT EKSEKUSI MATI. NAMUN DICEGAH
OLEH PRAJURIT 3 DAN 4 SEHINGGA TURUN PODIUM LAGI.

44. PRAJURIT 3 : Arep ngapa?? (nada tinggi)


45. SURYO : Mateni awakmu!
46. WARGA : Wuuuuuuu pengangguuuuuuuu!
47 PRAJURIT 3 : Sudahhh wahai rakyat, sudah yang bersalah akan tetap
kami eksekusi, setuju?? (meminta persetujuan penonton)

NAMUN JAWABAN DARI WARGA ATAU PENONTON TETAP DIABAIKAN.(musik


gaduh, salah satu warga berdiri dan membacakan sebuah puisi Merajut Asa
Merajut Asa

Terang tatkala siang


Hatiku remuk
Terbakar panas
Tak kunjung usai
Terik trus menggigit
Ku tersingkir, tak berdaya

Malam tentram
Bintang bersinar
Bersama heningnya malam
Terus mencari arti alam

Keputusasaan siang
Menghilang
Oleh keindahan alam
Harapan terbakar
Muncul kembali bak rembulan
Siang malam bergantian
Dalam kelemahan temukan kekuatan
Tuk bertahan sebentar

48. PRAJURIT 2 : sudahlah kalian diam, Saat ini algojo yang sudah
bersiap, dengan pedang yang digenggamnya siap
menebas orang-orang yang berkhianat seperti dia!
(menunjuk Tumenggung)
49. PRAJURIT 1 : Dengan menyebut asma Gusti Kang Akarya Jagat,
pengkhianat akan mati.

DI SAAT ALGOJO AKAN MELAYANGKAN PEDANGNYA YANG DIIRINGI MUSIK


YANG MENCEKAM TIBA-TIBA DIHENTIKAN OLEH BEBERAPA WARGA. PEDANG
YANG SUDAH DI LETAKKAN DI LEHER LALU DIANGKAT TINGGI-TINGGI DAN
SIAP DIAYUNKAN KE BAWAH TAPI TIBA-TIBA TERHENTI.
50. SURYO : STOPPP!!! (musik mati, lalu maju naik ke atas)

LALU SUMi YANG BERADA DI SISI KIRI PANGGUNG MEREBUT TOMBAK DARI
SALAH SATU PRAJURIT DAN MELEMPARKAN KE ARAH ALGOJO YANG
MEMBUAT ALGOJO TERHENTI DAN PEDANG ITU TERLEMPAR. DI SAAT
BEBERAPA WARGA YANG PRO DENGAN TUMENGGUNG ENDRANATA NAIK KE
ATAS PANGGUNG, SERENTAK PARA PRAJURIT LANGSUNG MEMBUAT BARIS
GARIS LURUS MENGAMANKAN TUMENGGUNG ENDRANATA. NAMUN SUMO
LANGSUNG MENYELINAP KE BELAKANG POHON BERINGIN DAN BERUSAHA
MELEPASKAN IKATAN TUMENGGUNG ENDRANATA.
51. . SURYO : Coba pikirkan lagi wahai rakyat, hanya karena satu
kesalahan dapat melupakan semua jasa-jasa baiknya
beliau kepada kraton ini. (naik ke atas panggung dan
memengaruhi warga)
52. PARJIYEM : Betul itu, jadilah rakyat yang bijaksana jangan mau
ditindas karena kekuasaan.
53. PRAJURIT 1 : Siapa yang suruh naik? Sekarang TURUNNN!!! (nada
tegas)
54. PRAJURIT 3 : TURUNN!!
55. SURYO : Tidak akan, beliau bukan seorang penjahat.
56. PRAJURIT 1 : Dia seorang penghianat, penghianatan besar dalam
Kraton Mataram, kalau bukan penghianat kenapa dia
mau memberitahukan strategi perang Kanjeng Sultan
Agung kepada VOC? (nada tinggi)
57. PRAJURIT 2 : Dan kenapa dia juga yang memberitahukan lumbung
pangan sehingga dibakar habis oleh VOC?
58. PRAJURIT 3 : Dan satu lagi, dia yang menyebabkan perselisihan
antara Sultan Agung dengan saudaranya sampai tega
membunuhnya karena hasutanya dia yang penghianat.
59. PRAJURIT 4 : Begini-begini (melerai) pikirkan hal ini, bahwa seorang
penghianat akan terus jadi penghianat. Betull???
Betull?? Betul enggak? (tanya kepada penonton)

DI SAAT MEREKA SEDANG BERDEBAT, IKATAN TALI DI TANGAN TUMENGGUNG


ENDRANATA SUDAH TERLEPAS, DENGAN TIBA-TIBA DIA BERDIRI.

60. TUMENGGUNG E : yaaa saya adalah penghianat. (saat masih menunduk


lalu membuka ikatan penutup mata)

SEMUA KAGET, TERTUJU PADA TUMENGGUNG ENDRANATA YANG SUDAH


BERDIRI DENGAN IKATAN YANG TERLEPAS.

61. PRAJURIT 1 : Kurang ajar!! Tangkap diaaa!!!!


62. TUMENGGUNG E : Siapa? Saya? Ohh jelas dan sekarang saya bebas
(langsung lari)
63. SURYO : kejar dia (PRAJURIT MENGEJARNYA, WARGA
RIBUT DITEMPAT)..

SMUA WRRGA MEMBUAT KOMPOSISI BLOKING, SALAH SATUMEMBACA PUISI


“PESAN UNTK TAYLOR” (MEMBACA SOLO, BEBERAPA BAIT ADA KOOR)
Pesan tuk Taylor
Taylor
Ki kirimkan puisi
Yang tak selesai
Penuh kata tak usai
Yang tertinggal
Tak terpenggal

Taylor
Kau bagai kertas
Selalu ada goresan
Yang tak bisa
Dilepas

Taylor
Ini seperti hati
Selalu ada
Ruang mati
Yang telah
Digerogoti
Taylor
Engkau diksi yang hidup
Selalu ada dosa
Walau berusaha
Tuk sempurna

Taylor
Kau berantakan
Sulit temukan jalan
Dari banyak rintangan
Berujung menerima diri
Diatas balkon
Dengan segelintir teh manis
Dan gerimis
Yang perlahan mengemis

Taylor
Jika surga tak pantas untuk mu
Jangan urusi neraka orang
Untukku

64. Suryo : Sedulurku semua T Endranata dapat melarikan diri terus kita mau
apa?
65. Parjiyem : sudah sambil menunggu perkembangan episode berikuutnya, kita
cerita-cerita lagi saja mumpung kita masih di sini, jarang lho kita
ke sini`
66. Warga 2 : naaahhh bener itu kalau tadi sudah ada yang cerita dengan
misterinya, saya juga punyya cerita yang tidak kalah medeni lho
67. Suryo : gimana ceritanya?
68. Warga 2 : begini lho (mebcaca cerrpen Sangga Sanggar)

SANGGA SANGGAR
Rizky Pramudya Kinasih

Tubuh gemulai itu berlenggak-lenggok di hadapan para penonton. Tariannya yang


selalu disambut meriah oleh penonton, kali ini berbeda. Para penonton itu hanya berdiam diri
dengan pandangan menerawang. Meskipun tidak ada sorakan atau riuh suara penonton, si
penari tetap bersemangat menari dengan gemulai. Hingga pada pertengahan tarian,
pandangan si penari menangkap sosok hitam besar bermata merah di tengah-tengah
penonton. Sosok itu semakin lama semakin tinggi, kemudian lidahnya menjulur cepat ke arah
perempuan itu dan dengan rakus meraup tubuh ramping sang penari.
Mata Dewi terbuka cepat dan dirinya berusaha meraup oksigen dengan rakus. Mimpi
yang sama lagi. Dewi menghela napas perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca ketika ia
mengingat mimpi mengerikan tadi. Sosok hitam dan orang-orang dengan pandangan kosong.
**
Waktu menunjukkan pukul lima sore ketika Dewi melambaikan tangan pada anak
didiknya yang berlarian pulang. Tubuh tinggi semampainya berbalik sambil melepas sampur
yang melilit pinggul. Ia kemudian membenarkan ikatan rambutnya menjadi cepol tinggi,
menampilkan leher putih jenjang gadis 19 tahun itu.
Hari ini Dewi merasa sangat lelah karena malam tadi ia tidak bisa tidur dan hanya bisa
tidur 1 jam, itu pun tidak nyenyak. Kantung mata yang menggantung tidak bisa berbohong
bahwa ia kekurangan tidur dan butuh istirahat secepatnya. Ini semua disebabkan oleh mimpi
yang sama menyelusup ke tidurnya. Mimpinya itu membangunkan Dewi yang baru tidur satu
jam dan membuatnya tidak bisa tidur lagi sampai pagi hari. Mimpi itu telah berulang kali
menghantuinya ketika ia akan pentas sejak 2 tahun yang lalu. Ia bercerita pada neneknya
terkait hal itu dan jawaban dari neneknya tidak memuaskan. Anggap saja itu bunga tidur.
Dewi memberesi alat-alat yang baru saja digunakan untuk latihan, lalu menatap
sekeliling pendopo tempat latihan tarinya selama ini. Dewi sudah memutuskan untuk sejenak
meninggalkan pendopo ini dan meraih keinginannya berkuliah di luar kota. Meskipun tari
adalah hobinya, tetapi ia sangat bersemangat untuk menjadi seorang jurnalis seperti kakak
sepupunya dan menikmati meliput berita di berbagai wilayah. Selama ini, Dewi belum pernah
sekalipun menginjakkan kakinya ke luar kota karena dilarang oleh neneknya. Ia masih dianggap
terlalu kecil, bahkan jika ada tawaran menari di luar kota akan ditolak oleh neneknya.
“Dewi.”
Panggilan dari arah rumah mengalihkan atensi Dewi pada neneknya yang sudah di
teras. Dewi itu melangkah meninggalkan pendopo yang berada di samping rumah menuju
neneknya.
“Iya, Mbah Uti.”
“Anak-anak sudah pulang?” tanya Mbah Rengganis melihat ke arah pendopo yang
dijawab anggukan oleh Dewi.
“Sini, duduk sini, Nduk. Mbah uti mau bicara.” Mbah Rengganis merangkul tangan
Dewi, lalu dibawa untuk duduk di kursi santai. Dewi mengikuti mbah utinya sambil menguap
lebar karena kantuk tak tertahankan.
“Aku mendengar dari ibumu kalo kamu ingin kuliah?” tanya Mbah Rengganis dengan
raut skeptis.
“Iya, Mbah. Dewi ingin berkuliah biar kaya Mas Risang. Bisa keliling Indonesia,” jawab
Dewi menjadi berbinar raut mukanya.
Mbah Rengganis menghela napas pelan, lalu memegang bahu Dewi. “Nduk, mbah
sudah bilang sama kamu sejak lama, ‘kan? Kamu itu bakal jadi pemilik sanggar tari ini. Kalau
kamu pergi, lantas siapa yang akan jadi penerus sanggar? Simbah sudah tua, Wi, tidak tahu
hidupku sampai kapan. Mbakmu itu tidak bisa diandalkan malah merantau ke negeri orang.
Ibumu juga sudah sakit-sakitan, tidak bisa untuk mengurus sanggar tari ini.”
Ucapan Mbah Rengginas membuat raut Dewi kembali murung. Bayangan dirinya akan
meneruskan sanggar sebenarnya bukan masalah besar, tetapi bagian dirinya yang lain ingin
keluar dari suasana ini. Jika menjadi pemimpin sanggar tari, ia harus melakukan dan
mempersiapkan berbagai ritual yang biasanya dilakukan mbahnya. Dewi tidak ingin melakukan
itu.
“Aku tetap ingin berkuliah, Mbah,” pungkas Dewi lantas beranjak dari duduknya
meninggalkan Mbah Rengganis yang menatapnya sedih.
***
Hari-hari setelah itu, Dewi menjadi jarang berbicara dengan neneknya. Ia juga mulai
jarang melatih tari anak-anak bahkan ia jarang berlatih sendiri. Tawaran pentas pun ditolaknya
dengan alasan sibuk sekolah dan akan ujian. Namun ketika ia harus tampil sebagai penari
utama di peringatan berdirinya sanggar, mau tidak mau Dewi tetap harus tampil. Hampir
setiap hari Dewi berlatih bersama Mbah Rengganis dan tak lupa diselipi dengan bujukan-
bujukan neneknya.
Dua malam sebelum pementasan, Dewi harus melakukan ritual pembersihan diri agar
acara dapat berjalan lancar dengan mandi bunga tujuh rupa dan air dari tujuh sumber. Setelah
selesai, Dewi ingin mengembalikan jarik yang tidak jadi dipakai ke neneknya. Ketika sudah
sampai di depan kamar neneknya, Dewi mendengar suara neneknya sedang bercakap dengan
seseorang.
“Iya, Mbah. Saya akan menepati janji. Dewi akan jadi milik Mbah Ruwo.” Itu suara
neneknya. Mendengar namanya disebut, Dewi berhenti kaku. Ia menjadi penasaran siap
“Mbah Ruwo” itu dan mengapa ia akan menjadi milik seseorang itu.
“Akan kutagih janjimu itu dua hari lagi. Jika kamu melanggar omonganmu, akan
kuambil semua yang telah aku berikan termasuk sanggarmu. ” Suara besar dan terdengar
menggeram itu Dewi terka milik seorang pria.
Kemudian senyap. Tidak ada percakapan lagi di dalam ruangan itu. Dewi yang takut
ketahuan sedang mencuri dengar, lalu berjalan cepat kembali ke kamar. Pikirannya penuh
dengan pertanyaan maksud dari perbincangan neneknya yang ia dengar barusan. Janji Mbah
Rengganis dengan Mbah Ruwo yang membawa-bawa dirinya dan sanggar terasa mengancam
dan berisiko.
Dewi tidak ingin mencampuri urusan neneknya itu karena ia merasa tidak berhak
untuk ikut campur. Akan tetapi, semua itu menjadi urusannya ketika hari peringatan sanggar
tiba dan tepat sebelum pentas ibunya memberitahu yang sebenarnya terjadi.
“Anakku, sayang. Maafkan ibu, Nduk. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu larilah
yang jauh karena malam nanti kamu akan dikorbankan untuk sanggar ini oleh nenekmu
sendiri.”
Ibunya memberitahu Dewi dengan raut khawatir dan menahan tangis. Rasa tidak
percaya muncul dari benak Dewi bahwa neneknya sebegitu tega untuk mengorbankan cucunya
sendiri. Dengan penuh tekad, Dewi yang sudah berdandan cantik langsung pergi menyelinap
keluar rumah lewat pintu belakang.
**
Dewi merobek jarik yang dikenakannya untuk mempermudah langkah kakinya. Jalan
bebatuan yang terasa menyakiti kakinya ia hiraukan. Hal terpenting sekarang adalah ia harus
lari sejauh mungkin dari rumahnya dan menghindari acara peringatan berdirinya sanggar milik
Mbah Rengganis. Ia tidak mau dijadikan sebagai persembahan pada sosok yang memiliki
perjanjian dengan neneknya. Dewi ingin tetap hidup dan mengejar keinginannya untuk bisa
bepergian keluar kota.
Dewi berhenti ketika merasa sudah cukup jauh larinya. Ia duduk bersandar di batu
sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Matanya berkunang-kunang karena berlari
masih dengan memakai konde. Dipejamkan matanya untuk meredakan pusing itu, tetapi suara
langkah kaki yang mendekat membuat matanya terbuka seketika.
“Nduk.”
Panggilan itu berasal dari seorang kakek yang sudah berdiri di depannya. Wajah kakek
itu familiar di matanya.
“Anda siapa, Mbah? Bukan orang suruhan mbah uti, kan?” tanya Dewi bersiap lari lagi.
“Bukan. Aku bukan suruhan wanita tua itu. Aku di sini mau membantumu. Kamu mau
kabur, kan? Aku tahu jalan menuju ke desa sebelah. Ayo ikut aku,” ujar kakek.
“Anda yang selalu menonton ketika saya menari.” Dewi telah mengingat kakek itu. Pria
tua itu selalu dilihatnya ada di antara kerumunan penonton. Berdiam diri memandangi dirinya
dengan raut misterius.
“Aku tidak memiliki niat jahat, Nduk. Aku hanya ingin membantumu lari dari wanita
tua tak bertanggungjawab itu. Aku tahu jika kamu akan dijadikan tumbal untuk sanggar.”
Dewi terperangah mendengarnya karena kakek itu tahu apa yang dialaminya. Karena
dirinya sangat ingin pergi dari desa ini, ia setuju untuk mengikuti kakek itu. Perjalanan yang ia
tempuh terasa hanya sebentar, tetapi tak jauh di depannya sudah terlihat lampu-lampu
menyala terang menandakan ada desa di sana.
Semakin dekat Dewi dengan tempat terang itu, semakin kuat pula hawa dingin yang
menerpa bahu polosnya. Sampur yang melilit pinggul ia lepas untuk menutupi bahunya,
meskipun masih saja terasa dingin. Aroma melati bercampur bau busuk menyeruak ke
penciumannya ketika memasuki jalan desa itu membuatnya merinding.
Banyak orang di sana, tetapi semuanya hanya diam dan menatap Dewi kosong. Kakek
tua itu terus berjalan lurus ke depan menuju lapangan luas diikuti Dewi yang merasakan
keanehan. Ketakutan merambati dirinya saat itu juga karena orang-orang itu tidak berekspresi
apa pun. Laki-laki dan perempuan yang tadinya menyebar menjadi berkumpul mengelilingi
kakek dan Dewi yang berhenti di tengah-tengah lapangan kecil itu.
“Bocahe wes teko1,” ujar kakek itu. Tidak ada respon dari penduduk desa itu. Namun,
tak selang lama lengkungan bibir mereka terlihat menyunggingkan senyum. Bukan senyum
senang—bukan. Senyum mereka lebih mirip seringaian yang semakin lama semakin lebar.
Dewi yang melihatnya mundur perlahan karena rasa takut sudah menguasai dirinya.
“Mau kemana, cah ayu? Sekarang saatnya kamu menari untuk kami,” ucap kakek itu
yang suaranya semakin besar. Ini seperti suara yang bercakap dengan neneknya di ruang
terlarang waktu itu. Dewi semakin ketakutan ketika mengetahuinya. Sosok itu adalah Mbah
Ruwo.
“Tidak! Aku tidak mau!” Dewi berteriak dan menggelengkan kepalanya. Ia
membalikkan badan ingin melarikan diri, tetapi sepertinya penolakan barusan membuat si
kakek marah.
“Manusia tidak tahu berterima kasih! Sudah diberi kemewahan malah tidak mau
membayar! Dasar serakah!”
Suara keras itu menggema mengerikan merambati udara.
“Bukan aku yang harus membayar! Mbah Rengganis yang harus membayar! Bukan
aku!” teriak Dewi ketakutan.
“Anak turun keloro kudu mbayar! Kudu mbayar!” teriak kakek itu dengan suara
mengerikan. Wujud kakek tua kini berubah menjadi kepulan asap hitam yang membumbung

1
“Anaknya sudah datang,”
tinggi dan membentuk sosok raksasa dengan mata merah. Sosok yang selalu muncul di mimpi
Dewi. (“Anak turun kedua yang harus membayar! Harus membayar!)
“Kudu mbayar!”
“Kudu mbayar!”
“Kudu mbayar!”
Suara itu bersahut-sahutan di telinga Dewi. Terus bersahut-sahutan dengan suara
mengerikan. Dewi yang melihat sosok besar itu dan mendengar teriakan penduduk semakin
lama menjadi semakin ketakutan. Pada saat itu Dewi merasakan panas pada tubuhnya dan
jiwanya serasa dicerabut dari tubuhnya. Matanya terpejam dan kepalanya mendongak ke atas.
Tak lama mata itu terbuka, tatapannya menjadi genit dengan senyuman yang terulas di bibir
tipisnya. Tangannya terangkat bersamaan dengan musik yang mengalun indah. Dewi mulai
melenggak-lenggokkan tubuh dengan gemulai disambut riuh penduduk desa bertatapan
kosong itu
***
69. Warga 2 : nah begitu ceritanya
70. sumi : dari tadi ceritane kok medeni kabeh, sampe merinding lho aku,
wis sekarang untuk melepas penat kita cari kopi dulu saja biar ora
tegang habis ngopi kita pulang, ayo ( rebut, music kegembiraan,
semua membaca Angkringan kopi)
Angkringan Kopi

Dalam kota istimewa itu

Di sudut jalan yang berliku

Tersembunyi

Tempat makan sederhana berdiri

Tak pernah lupa dengan secangkir kopi

Menyuguhkan rasa dengan nasi kucing yang mini

Pagi pun ating, matahari terbit perlahan

Dengan sekotak nasi


Sejumput tempe, dan sambal yang pedas memang

Rakyat dengan setia berdatangan

Tak tergesa, tak juga cepat

Ditempat ini hidup terasa bahagia sesaat

Roda kehidupan terus berputar

Sementara sinarmu tak pernah memudar

Tempat bertemu teman tertawa dengan teman, hingga larut malam tanpa sadar

Dibawah sinar rembulan

Engkau menjadi saksi kehidupan yang mengakar

Sederhana namun kaya

Sejuk dibawah pohon cemara

Berbagi cerita, menjadi pelipur lara

Tempat sejenak melupakan duka

Di Antara lagu dan kata kata bijak lainnya

Sungguh

Engkau adalah tempat istimewa dalam cakrawala kota

Terlahir dari kemurahan hati

Dan juga secangkir kopi

Ditempat sederhana ini

Mengajarkan apa itu hidup sejati

Berkumpul ditempat sederhana ini


Ditemani kopi tuk memanggil pagi

Juga tawa teman yang tulus dari hati

Engkau, angkringan selalu ada tempat untuk kami

END

Anda mungkin juga menyukai