Adaptasi naskah
PENGHUKUMAN ENDRANATA
R. Tio Atmojo Suryoputro
UNY
SINOPSIS:
Cerita dimulai ketika Tumenggung Endranata (55) berkhianat memberitahukan
strategi perang dan lumbung pangan kepada VOC sehingga menyebabkan
kemunduran prajurit kraton Mataram. Tumenggung Endranata ditangkap dan
dijatuhkan hukuman mati oleh Sultan Agung. Namun di saat akan dihukum mati ada
beberapa rakyat yang menolaknya. Perdebatan pun terjadi antara rakyat yang pro dan
kontra. Lalu apakah Tumenggung Endranata jadi dihukum mati?
PENOKOHAN:
PETUNJUK PENYUTRADARAAN:
PENONTON PERTUNJUKAN DI POSISIKAN SEBAGAI WARGA-WARGA ATAU
KAWULA ALIT. PEMANGGUNGAN DIBUAT SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA
PENONTON JUGA SEBAGAI WARGA.
Introduction
MENGGAMBAKAN TUMENGGUNG ENDRANATA DI TANGKAP PRAJURIT. SAAT
TUMENGGUNG ENDRANATA HENDAK MELARIKAN DIRI, NAMUN TERJATUH
SEHINGGA PARA PRAJURIT DENGAN MUDAH MENANGKAPNYA. T ENDRANATA
TAK DAPAT BERBUAT APA-APA.
ADEGAN 1
WAKTU MENUNJUKKAN SIANG HARI. BERLATAR TEMPAT DI ALUN-ALUN
SEKITAR MASA KERAJAAN MATARAM DI ERA SULTAN AGUNG TERDAPAT DUA
POHON BERINGIN YANG ASRI DAN RIMBUN. DI TENGAHNYA ADA PANGGUNG
KECIL TEMPAT PENGHAKIMAN DAN PENGEKSEKUSIAN ORANG YANG
BERSALAH.PENGGAMBARAN SETTING PANGGUNG:
SUKMA KENCANA
Adisty Salwa Zweita
Malam ini, hujan deras mengguyur sekitar Villa Kencana, sebuah bangunan tua
dan kuno di pinggir kota dekat rumahku. Suasana suram disertai petir menggelegar,
menambah kesan mencekam tempat ini. Kurapatkan mantel hitamku, lantas kueratkan
genggaman pada stang motor. Kutambah laju sepeda motorku saat melintasi jalanan
depan Villa Kencana. Dapat kurasakan, pelukan Tari mengerat di punggungku. Aku
tahu, Tari takut. Karena akupun begitu. Namun apa daya, jalan depan villa ini
merupakan satu-satunya akses menuju rumah kami.
“Mas, masih jauh ta?” suara Tari lirih terdengar. Kutelan ludahv susah payah
sebelum menjawab.
“Dikit lagi, Tar! Itu tinggal belok sekali lagi. Wis tutup mata aja kamu kalau takut,”
Kuelus pelan lengannya yang melingkari pinggangku, dengan harapan bisa sedikit
mengurangi ketakutannya.
Kurenggangkan cengkeramanku pada stang motor saat gang masuk rumah kami
mulai terlihat. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama. Saat motorku mulai berbelok
memasuki gang, samar kulihat sosok bungkuk berpakaian serba hitam dengan teken di
tangannya. Siapa itu? Kenapa pada malam yang dingin dan disertai hujan deras begini
berkeliaran di luar?
Tari yang duduk di belakang nampaknya masih memejamkan mata sehingga tak
melihat sosok kakek bungkuk di depan sana. Semakin dekat motorku dengan kakek
itu, semakin kurasa napas tersendat. Hingga sosok si kakek nampak nyata di
hadapanku. Ternyata oh ternyata ia adalah Mbah Sobari. Tetangga samping rumahku.
Semakin heranlah aku. Kenapa Mbah Sobari berkeliaran di luar malam-malam begini?
Kuhentikan laju motorku beberapa meter dari posisi Mbah Sobari yang sedang
melamun.
“Tar…Tari… melek sik! Lihatlah, Mbah Sobari kok sampe sini, ya, malem-malem
gini. Ngapain coba?” Tari yang bingung lantas membuka mata dan mengikuti arah
pandangku.
“Loh, iya, Mbah Sobari itu. Samperin Mas, kasihan, pa ndak kedinginan, ya?”
kurasakan tepukan pelan di lenganku. Mengikuti saran Tari, kupinggirkan motor lantas
berjalan pelan menghampiri Mbah Sobari.
“Mbah… Mbah Sobari, ada apa mbah kok di luar malam-malam begini?” kutepuk
pelan lengan Mbah Sobari. Nihilnya respon dari Mbah Sobari membuatku terheran-
heran. Sebenarnya Mbah Sobari ini kenapa? Kuputuskan kembali ke motorku dan
berujar pada Tari.
“Tar, coba kamu telpon Mas Anton. Bilango suruh jemput Mbah Sobari. Tak
panggil-panggil ndak respon soalnya,” Tari lantas mengeluarkan ponsel dan
menghubungi Mas Anton, anak lelaki Mbah Sobari.
Menunggu beberapa saat, dari kejauhan nampak motor Mas Anton mendekati
kami. Saat berhenti tepat di hadapan kami, wajah Mas Anton nampak pucat dengan
napas memburu. Aku dan Tari terheran-heran. Ada apa sebenarnya?
“Mas Anton kenapa? Kok sepertinya kemrungsung?” tak kuat menahan rasa
penasaran langsung saja aku bertanya pada Mas Anton.
“Ndak papa, Le. Matur nuwun, ya, wis jagain Bapak. Memang baru waktunya ini,”
Dahiku berkerut mendengar ucapan Mas Anton barusan. Ingin rasanya bertanya
namun aku memilih abai, merasa tak enak untuk bertanya lebih lanjut.
Setelah Mas Anton mengajak pulang Mbah Sobari, aku dan Tari melanjutkan
perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, aku dan Tari lantas bercerita pada Ibu dan
Bapak. Respon ibu dan bapak mulanya biasa saja. Hingga tak kuasa menahan
penasaran, aku memutuskan bertanya pada bapak.
“Pak, tadi waktu Mas Anton datang, dia bilang memang baru waktunya.
Maksudnya apa itu, Rajen penasaran, Pak?” dapat kulihat raut wajah bapak seketika
berubah pucat seperti wajah Mas Anton tadi. Berkali-kali terlihat membuka mulut tapi
nampak gagu menjawab.
“Wis… wis malam iki. Kana Rajen, Tari ndang bobok!” Suara Ibu sedikit
menginterupsi, namun aku masih setia menunggu jawaban Bapak.
“Bobok, Le, Ibumu wis ndhawuhi kae. Tak jawab suk isuk!” Sekarang giliran
bapak menyuruh kami istirahat.
Kuhela napas pelan mendengar jawaban bapak. Ya sudah. Aku dan Tari lantas
beranjak ke kamar masing-masing. Kurebahkan tubuhku ke dipan sembari menatap
lamat langit-langit kamar. Kantuk mulai menyerang, mataku memberat, hingga sayup-
sayup kudengar langkah kaki memasuki kamarku.
“Le, Rajen cah bagus, Utari adhimu mbesuk bakale melu aku. Jaganen ya, Cah
bagus!”
Apa itu tadi? Suara Ibu? Atau suara bapak? Sepertinya tidak mungkin. Ibu pasti
sudah tidur bersama bapak di kamar sebelah. Dan apa tadi yang kudengar? Utari akan
di bawa? Oleh siapa? Namun pusaran tanya yang memenuhi kepala tak terjawab.
Entah kenapa berat sekali rasanya mata dan tubuhku.
“Mas Rajen, mangga.” Suara di luar pagar rumah menginterupsiku dari kegiatan
mengelus ayam jantan bapak. Kudongakkan kepala dan kulihat Mbak Lastri, adik Mas
Anton, tengah tersenyum sembari menenteng plastik sayur.
“Nggih, Mangga Mbak Lastri. Saking peken, Mbak?” Mbak Lastri lantas
mengangguk dan tersenyum sekali lagi sebelum beranjak pergi. Akupun kembali pada
kegiatanku mengelus ayam jantan bapak sebelum suara ibu dari arah dapur terdengar
memanggilku.
“Le, tulung iki terna nyang omah e Mas Anton. Pesenane Mbak Lastri,” Kuhampiri
Ibu yang berdiri di depan pintu lantas ku ambil kotak roti di tangannya.
Dengan segera aku berjalan menuju rumah Mas Anton. Kulihat pekarangan
rumah Mas Anton nampak sepi. Biasanya, Mas Anton bercengkerama dengan ayam-
ayamnya. Kuketuk pelan pintu rumah tiga kali sambil mengucap salam. Namun tak
kunjung mendapat jawaban. Aku beranjak pergi, namun tiba-tiba terdengar suara
barang pecah. Refleks kuletakkan kotak roti. Kudorong pintu yang ternyata tidak
terkunci. Abai pada kesopanan, aku lantas berjalan cepat ke dalam rumah Mas Anton.
“Mas…Mas Anton. Kula nuwun… Mas, apa sing niba?” Aku memutuskan
berjalan ke dapur rumah ini yang kebetulan aku tahu pasti letaknya. Kusingkap pelan
korden yang membatasi ruang keluarga dengan dapur.
Deg… Serasa berhenti jantungku melihat pemandangan yang tersaji di
hadapanku. Ya Allah… Apa ini? Nampak Mbak Lastri tengah bersimpuh di hadapan
Mbah Sobari yang berdiri tegak dengan pisau teracung di tangannya. Di belakangnya,
Mas Anton yang tergeletak bersimbah darah mencoba menggapai pergelangan kaki
Mbah Sobari. Sekujur tubuhku mati rasa. Napasku tercekat. Pergelangan kakiku
serasa dipatok ke lantai. Kupejamkan mata dan berharap ini hanyalah mimpi.
Kesadaranku seperti ditarik kembali saat kulihat Mbah Sobari mulai
mengayunkan pisaunya kearah Mbak Lastri. Sekuat tenaga kudorong Mbah Sobari
hingga terbanting dan pisaunya terlepas. Kutahan tubuhnya yang memberontak ingin
menggapai pisau.
“Kene! Aja ganggu aku kowe. Lungaaa… Lungaaa kanaaa!” Kaki Mbah Sobari
menendang-nendang dan matanya melotot.
Aku mulai kewalahan menahan tubuh Mbah Sobari. Mas Anton mulai bangkit.
Dihampirinya aku dan Mbah Sobari dengan tertatih.
“Pergi, Jen. Biar aku yang urus Bapak. Jangan bilang sama siapa-siapa. Anggap
kamu ndak pernah lihat kejadian ini.”
“Tapi lukanya Mas Anton piye?” kupandang ngeri luka sobek di lengannya yang
terlihat masih mengucurkan darah.
“Ndak papa, wis kana mulih. Eling ya, aja kandha sapa-sapa!” Kuanggukkan
kepala pelan. Sebelum benar-benar pergi, kutolehkan kepala sekilas pada Mbak Lastri
yang masih bersimpuh. Kulihat bahunya bergetar dengan tangan terkepal.
Kantuk menyerang, mata terasa berat namun sukar memejam. Kejadian tadi pagi
begitu membekas di otakku. Berpilin, memantul ke segala penjuru kepala dan
melesatkan banyak tanya. Meresahkan. Ada apa? Mengapa? Ingin aku ceritakan pada
bapak dan ibu namun entah mengapa aku tak mampu. Sebenarnya apa yang terjadi
pada Mbah Sobari dan keluarga Mas Anton?
Kuhela napas pelan. Entah megapa malam ini tubuhku rasanya lelah sekali.
Beranjak bangun, aku mengambil segelas air. Setelah dahaga teratasi, kembali
kulangkahkan kaki ke kamar. Namun langkahku terhenti saat melewati kamar Tari.
Sayup terdengar suara gamelan dari dalam sana. Dahiku berkerut. Tak biasanya. Tari,
adikku yang begitu menggilai oppa-oppa koreanya itu, memutar gendhing jawa malam-
malam begini? Kuhampiri dan kuketuk pelan pintu kamarnya.
“Tar…Tari? Belum tidur?” tidak ada jawaban dari dalam, membuat benakku
bertanya. Kubuka pelan pintu kamarnya. Semakin berkerut dahiku ketika kulihat kamar
Tari gelap gulita. Kuraba-raba dinding mencari saklar lampu.
Ctek… Melototlah mataku saat lampu menyala menerangi kamar. Benar-benar
terkejut dengan pemandangan di depan sana. Tubuh Tari, adikku, nampak melayang
hampir menyentuh langit-langit kamar. Bergetar seluruh tubuhku. Kucoba berteriak
memanggil Bapak dan Ibu namun bibir serasa kelu. Tiba-tiba, samar kulihat sosok
Mbah Sobari di sudut kamar. Belum hilang rasa terkejutku melihat Mbah Sobari, aku
kembali dikejutkan dengan menghilangnya tubuh Tari yang tadi melayang-layang.
Tepukan pelan di bahuku membuatku menoleh. Kulihat sosok Mas Anton menatapku
datar.
“Mmm… Mas… Tari… Mas. Adikku kemana?” terbata dan bergetar menahan
tangis aku bertanya pada Mas Anton.
“Ndang salin. Nyilih surjane bapakmu. Aja nangis! Ora bakal Tari bali yen mung
tok tangisi. Tari kudu dipethuk.” Bergegas aku mengerjakan apa yang Mas Anton
titahkan tanpa banyak bertanya, walau benak serasa membeludak.
Kuganti kaosku dengan surjan bapak dan kuhampiri Mas Anton di pekarangan
rumah. Tanpa babibu, Mas Anton bergegas melangkah. Aku mengikutinya. Jalanan
depan rumah terasa sepi dan mencekam, menambah ketegangan diantara kami.
“Ngapuranen Bapakku ya, Le. Bapakku ngesir adhimu. Utari.” Suara Mas Anton
memecah keheningan diantara kami.
Bagai disambar petir di siang bolong, aku terkejut bukan main. Apa maksudnya?
Bapakku? Apakah yang Mas Anton maksud adalah Mbah Sobari? Gusti Allah…
apakah maksud dari semua ini? Aku benar-benar tidak mengerti.
“Aku ngerti, kowe bingung. Tak kandhani, sukmane adhimu dikurung lan
didadekke kanca Bapakku ana ing Villa Kencana. Sejatine, Bapakku amung kari raga
dene sukmane wis suwe kekurung ing villa kuwi. Bab iki, amarga Bapak nglakoni
prajanjen peteng karo sing mbaurekso kono. Sabenere Sulastri sing dititah Bapak
ngancani, nanging dheweke ora gelem lan golek tumbal liya, yaiku adhimu.”
Berjalan sambil mencoba mencerna apa yang diutarakan Mas Anton, tak terasa
kami sampai di Villa Kencana. Mas Anton mendorong gerbang villa. Aku mengikutinya
dengan langkah patah-patah dan perasaan yang tidak mampu terdefinisikan.
“Kula nuwun, Bapak.” Kuikuti arah pandang Mas Anton. Di tengah ruangan sana,
dapat kulihat sosok Mbah Sobari duduk bersila di depan perapian besar dengan tubuh
Tari melayang di atasnya. Refleks, aku berlari ke arah Tari. Namun Mas Anton
menahan lenganku.
“Aja edan kowe, Rajendra!! Bapak ora bakal seneng yen diganggu!” Mas Anton
mencengkeram kuat lenganku sambal melotot ke arahku.
“Mas…Tari… Mas… adhikuuuu. Piye nasibe?” suaraku terdengar bergetar. Aku
tak kuasa lagi menahan tangis. Demi Allah, aku tidak tega melihat Tari seperti itu.
“Kowe bakal ana mangsane dhewe. Sabar, Jen.” Dahiku berkerut tak mengerti
dengan ucapan Mas Anton.
“Le, wis tok gawakke pesenane Bapak?” Jantungku seperti berhenti saat
mendengar suara Mbah Sobari di balik punggungku. Mas Anton yang sedang berdiri di
hadapanku nampak tersenyum kepada Mbah Sobari.
“Sampun, Pak. Beres.” Sepersekian detik setelah Mas Anton berujar seperti itu,
sekujur tubuhku seperti mati rasa. Kebas. Hampa. Ringan. Melayang. Mataku berat,
bibirku kelu. Ada apa ini? Saat kesadaranku benar-benar terenggut, sayup kudengar
suara Bapak dan Ibu yang bercampur tangis, memanggil namaku dan Tari.
TAMAT
17. Warga 1 : naaah begitu ceritanya
18. Warga : medeniiiii yo ceritane (kabeh ribut)
19. Suryo : wis wis ada prajurit datang (semua diam)
PRAJURIT 1 MAJU DUA LANGKAH KE DEPAN, LALU PERLAHAN MEMBUKA
SURAT YANG DIBAWA DAN MEMBACAKANNYA.
20. PRAJURIT 1 : Woro-woro sesuai dengan dhawuh Kanjeng Sultan Agung, maka
hari ini, saat ini jam ini mentini detik ini kita akan menyaksikan
penghukuman Tumenggung Endranata, sang penghianat
Mataram. (membaca surat perintah Sang Raja, music illustrasi
prajurit berakting seperti memba sebuah surrat, warga saling
gerak merespon prajurit) nah sedulur semua demikian surt
perintah Raja
23. PRAJURIT 1 : Maka dengan hal itu, dia (menunjuk Tumenggung) telah dijatuhi
hukuman mati oleh Kanjeng Sultan Agung sesuai surat dhawuh
dalem. (lantang)
24. PRAJURIT 2 : Saksikanlah pengeksekusian saat ini, hari ini, detik ini. (lantang)
25. SURYO : Maaf, saya sebagai rakyat tidak setuju dengan penghukuman ini.
(berbicara misterius, posisi di kanan panggung, lalu maju)
26. PARJO : Saya juga (lalu maju), Beliau, Patih dalem Kraton Mataram,
Tumenggung Endranata sudah memberikan banyak sekali jasa
perjuangan bagi kraton ini
27. SUMi : Apa hanya karena satu kesalahan, harus dihukum mati? (posisi
di kiri panggung)
28. PARJIYEM : Apa ini balasan dari sang Raja terhadap patih dalem yang sudah
berjasa banyak? (suara lantang)
29. SURYO : Apa saya harus membuka kebusukan Tumenggung Endranata?
30. PRAJURIT 4 : Ehhhh ehhh.... suutttt sutttttt.... sini aku beritahu, kami hanya
ngemban dhawuh dari Kanjeng Sultan Agung ing Mataram.
(menjelaskan dengan lembut)
31. PARJIYEM : Dhawuhh?? Dhawuhh apalagi? HAAA?!! (nada tinggi
menekankan)
32. PRAJURIT 4 : Aja keras-keras to Mas, nganti kaget aku. (nada lemah gemulai)
33. SURYO : Sebagai prajurit kraton yang bijaksana, apa setiap dhawuh dalem
akan selalu dipatuhi walaupun DHAWUH itu buruk?
34. PARJIYEM : Apa Sang Raja tidak memikirkan akibat jika hukuman mati itu
dijatuhkan kepada Tumenggung Endranata?
35. SURYO : Kenapa diam? (lantang)
36. PARJIYEM : Kami malu punya raja, punya penguasa yang semena-mena
terhadap kawula alit tanpa memikirkan akibatnya. (lantang)
37. PRAJURIT 2 : STOPP!!!!....kami hanya abdi, abdi yang harus tunduk patuh
setiap dhawuh yang diberikan.
38. PRAJURIT 4 : Kepiye lhoo Mas e iki, (lalu mendatangi ParjIiyem) tak kandani,
Mas kami ini hanya abdi dalem bukan pujangga yang bisa
memerintahkan... (nada seakan merayu)
39. SURYO : Alesannnn! (nada tinggi, semua ribut)
40. PRAJURIT 4 : Ehhh....ehhh.. ehhhh... Gusti (kaget)
41. PRAJURIT 1 : Ini... iniii adalah surat dhawuh dalem (menunjukkan surat) Ituu...
(melemparkan kertas dhawuh ke arah Suryo) itu surat
dhawuh dalem! (marah)
42. PRAJURIT 2 : Baca baik-baik surat dhawuh dalem itu....DIBACA!!!!
43. WARGA KONTRA 1 : sampeyan itu kurang ajaar !!! (lalu naik ke atas tempat
eksekusi)
Malam tentram
Bintang bersinar
Bersama heningnya malam
Terus mencari arti alam
Keputusasaan siang
Menghilang
Oleh keindahan alam
Harapan terbakar
Muncul kembali bak rembulan
Siang malam bergantian
Dalam kelemahan temukan kekuatan
Tuk bertahan sebentar
48. PRAJURIT 2 : sudahlah kalian diam, Saat ini algojo yang sudah
bersiap, dengan pedang yang digenggamnya siap
menebas orang-orang yang berkhianat seperti dia!
(menunjuk Tumenggung)
49. PRAJURIT 1 : Dengan menyebut asma Gusti Kang Akarya Jagat,
pengkhianat akan mati.
LALU SUMi YANG BERADA DI SISI KIRI PANGGUNG MEREBUT TOMBAK DARI
SALAH SATU PRAJURIT DAN MELEMPARKAN KE ARAH ALGOJO YANG
MEMBUAT ALGOJO TERHENTI DAN PEDANG ITU TERLEMPAR. DI SAAT
BEBERAPA WARGA YANG PRO DENGAN TUMENGGUNG ENDRANATA NAIK KE
ATAS PANGGUNG, SERENTAK PARA PRAJURIT LANGSUNG MEMBUAT BARIS
GARIS LURUS MENGAMANKAN TUMENGGUNG ENDRANATA. NAMUN SUMO
LANGSUNG MENYELINAP KE BELAKANG POHON BERINGIN DAN BERUSAHA
MELEPASKAN IKATAN TUMENGGUNG ENDRANATA.
51. . SURYO : Coba pikirkan lagi wahai rakyat, hanya karena satu
kesalahan dapat melupakan semua jasa-jasa baiknya
beliau kepada kraton ini. (naik ke atas panggung dan
memengaruhi warga)
52. PARJIYEM : Betul itu, jadilah rakyat yang bijaksana jangan mau
ditindas karena kekuasaan.
53. PRAJURIT 1 : Siapa yang suruh naik? Sekarang TURUNNN!!! (nada
tegas)
54. PRAJURIT 3 : TURUNN!!
55. SURYO : Tidak akan, beliau bukan seorang penjahat.
56. PRAJURIT 1 : Dia seorang penghianat, penghianatan besar dalam
Kraton Mataram, kalau bukan penghianat kenapa dia
mau memberitahukan strategi perang Kanjeng Sultan
Agung kepada VOC? (nada tinggi)
57. PRAJURIT 2 : Dan kenapa dia juga yang memberitahukan lumbung
pangan sehingga dibakar habis oleh VOC?
58. PRAJURIT 3 : Dan satu lagi, dia yang menyebabkan perselisihan
antara Sultan Agung dengan saudaranya sampai tega
membunuhnya karena hasutanya dia yang penghianat.
59. PRAJURIT 4 : Begini-begini (melerai) pikirkan hal ini, bahwa seorang
penghianat akan terus jadi penghianat. Betull???
Betull?? Betul enggak? (tanya kepada penonton)
Taylor
Kau bagai kertas
Selalu ada goresan
Yang tak bisa
Dilepas
Taylor
Ini seperti hati
Selalu ada
Ruang mati
Yang telah
Digerogoti
Taylor
Engkau diksi yang hidup
Selalu ada dosa
Walau berusaha
Tuk sempurna
Taylor
Kau berantakan
Sulit temukan jalan
Dari banyak rintangan
Berujung menerima diri
Diatas balkon
Dengan segelintir teh manis
Dan gerimis
Yang perlahan mengemis
Taylor
Jika surga tak pantas untuk mu
Jangan urusi neraka orang
Untukku
64. Suryo : Sedulurku semua T Endranata dapat melarikan diri terus kita mau
apa?
65. Parjiyem : sudah sambil menunggu perkembangan episode berikuutnya, kita
cerita-cerita lagi saja mumpung kita masih di sini, jarang lho kita
ke sini`
66. Warga 2 : naaahhh bener itu kalau tadi sudah ada yang cerita dengan
misterinya, saya juga punyya cerita yang tidak kalah medeni lho
67. Suryo : gimana ceritanya?
68. Warga 2 : begini lho (mebcaca cerrpen Sangga Sanggar)
SANGGA SANGGAR
Rizky Pramudya Kinasih
1
“Anaknya sudah datang,”
tinggi dan membentuk sosok raksasa dengan mata merah. Sosok yang selalu muncul di mimpi
Dewi. (“Anak turun kedua yang harus membayar! Harus membayar!)
“Kudu mbayar!”
“Kudu mbayar!”
“Kudu mbayar!”
Suara itu bersahut-sahutan di telinga Dewi. Terus bersahut-sahutan dengan suara
mengerikan. Dewi yang melihat sosok besar itu dan mendengar teriakan penduduk semakin
lama menjadi semakin ketakutan. Pada saat itu Dewi merasakan panas pada tubuhnya dan
jiwanya serasa dicerabut dari tubuhnya. Matanya terpejam dan kepalanya mendongak ke atas.
Tak lama mata itu terbuka, tatapannya menjadi genit dengan senyuman yang terulas di bibir
tipisnya. Tangannya terangkat bersamaan dengan musik yang mengalun indah. Dewi mulai
melenggak-lenggokkan tubuh dengan gemulai disambut riuh penduduk desa bertatapan
kosong itu
***
69. Warga 2 : nah begitu ceritanya
70. sumi : dari tadi ceritane kok medeni kabeh, sampe merinding lho aku,
wis sekarang untuk melepas penat kita cari kopi dulu saja biar ora
tegang habis ngopi kita pulang, ayo ( rebut, music kegembiraan,
semua membaca Angkringan kopi)
Angkringan Kopi
Tersembunyi
Tempat bertemu teman tertawa dengan teman, hingga larut malam tanpa sadar
Sungguh
END