Anda di halaman 1dari 5

KEBO NYUSU GUDEL

(Naskah lakon satu babak)


DHENY JATMIKO

Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu oranye

yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga, seorang kakek bersantai di

kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai sarung, peci, sambil nembang megatruh.

Megatruh

niki wancine sukma sampun kasebut


saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon

Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti suara

demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek panik, mengambil sapu dan membawanya

seolah membawa senapan.

Kakek : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.

Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena bangun tidur.

Ibu : Ada apa to, kek?

Kakek : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada demo.

Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. Kalian berjaga di pos

sebelah sana. Biar aku awasi yang sebelah sini. Cepaaat!

Anak : Siap, komandan!

Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri panggung.

Bapak : Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?

Ibu : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini. Paling ini hanya

sebentar. Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.

Kakek : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat, jaga dengan sangat waspada.

Anak : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!

Kakek : Kasihan anak-anak muda itu. Orang intelek kok ngomongnya seperti robot. Kalau cuma

ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.

1
Bapak : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti istirahat.

Hari sudah larut, kek.

Ibu : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.

Kakek : Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.

Ibu : Kakek sudah lelah, lebih baik istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga.

Kakek : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini sudah selesai,

aku berencana pensiun. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.

Bapak : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah menyusahkan,

tambah tidak ada gunanya.

Anak : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.

Kakek : Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan

kenaikan pangkat buatmu.

Anak : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?

Bapak : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.

Kakek : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang harus diberi

pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja.

Bapak : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja. Dimas

besok juga harus sekolah…

Kakek : Sekolah?! Sekolah tidak menjamin membuat orang bisa berpikir cerdas. Jangankan

berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya,

dijemur seharian, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni

macam apa itu, murahan.

Ibu : Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?

Bapak : Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya. Aku ini sudah capek.

Ibu : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik

dilayani biar cepat selesai.

Bapak : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat nenek,

dan kakek jadi dalang.


2
Kakek : Hah, benar. Dalang. Wayang.

Kakek : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu seni. Beda kan

dengan wayang yang penuh budi pekerti.

Anak : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?

Kakek : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Mereka itu hanya

bisa membanggakan seragamnya. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu menyuguhkan

petuah-petuah yang dibutuhkan masyarakat. (bergaya dalang) Ooo, langit gumbleger,

bumi katon kebak geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-

wung plak-plak-plak).

Kakek : Ayo kita berkesenian, kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?

Anak : Siap, pak dalang.

Kakek : Musiiik.

Anak : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung plak-plak-plak wung-

wung-wung…

Kakek : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman

malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo

gendingnya masuk!

Ibu : Minta gending apa pak dalang.

Kakek : Kinanti

Ibu : Anoman mlumpat sampun


prapteng witing nagasari
mulat managandap katinngal
wanodya ju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga keksi

Kakek : Luar biasa. Itulah seni.

Bapak : Hah, aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak

tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. (meninggalkan panggung)

Kakek : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak sopan.

Anak tidak ngerti tata krama.


3
Bapak : Terserah kata kakek.

Kakek : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya tahu, pasti

dia dirundung kesedihan.

Anak : Lho, kakek mengapa bersedih?

Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi nenek, istri kakek.

Ibu : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?

Kakek : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.

Ibu : Ya, namanya juga anak kecil. Jangan terlalu banyak dipikir.

Kakek : Anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi apa dia nantinya.

Ibu : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus.

Kakek : Aku merasa aku telah gagal.

Ibu : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas.

Ibu : Sekarang apa lagi yang mas pikirkan.

Kakek : Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?

Ibu : Lho gimana to?

Kakek : Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?

Ibu : Mungkin mas memikirkan anak kita.

Kakek : (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan

dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa menjadi

orang yang hebat. Tidak. Aku pasti memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting,

lebih... ahhh, tapi apa yang sedang aku pikirkan.

Ibu : Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus

menghadiri upacara penghargaan.

Kakek : Benar juga.

Ibu : Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. ( Kakek mencoba

berdiri tegap, tetapi kesulitan) Nah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas sudah capek

dan butuh istirahat.

Kakek : Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Martha, jangan pernah kau
4
meninggalkanku.

Ibu : Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia

tertidur di kursi, biar aku antar ke kamar dulu ya mas.

Kakek : Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku.

Ibu : Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas setelah ini harus langsung istirahat.

Kakek : Tentu, sayang. Aku janji.

Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek termenung

sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu

semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.

Kakek : Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!

Ibu dan anak kembali masuk panggung.

Ibu : Ada apa lagi?

Kakek : Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?

Bapak : Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya,

mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita kirim ke

panti jompo.

Ibu : Jangan, mas. Biar aku saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.

Bapak : Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.

Ibu : Yang sabar. Bagaimanapun Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita istirahat.

Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah capek. Mas angkat kakek.

Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke

kursi goyang.

Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang

menyorot kursi goyang. Perlahan lampu biru padam.

Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang

dengan wajah yang lesu dan hanya memandang.

Lampu pelan-pelan padam.


5

Anda mungkin juga menyukai