Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan lampu oranye
yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga, seorang kakek bersantai di
kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai sarung, peci, sambil nembang megatruh.
Megatruh
Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh, seperti suara
demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek panik, mengambil sapu dan membawanya
Kakek : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.
Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena bangun tidur.
Kakek : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada demo.
Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. Kalian berjaga di pos
Bapak : Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?
Ibu : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini. Paling ini hanya
Kakek : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat, jaga dengan sangat waspada.
Kakek : Kasihan anak-anak muda itu. Orang intelek kok ngomongnya seperti robot. Kalau cuma
1
Bapak : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti istirahat.
Ibu : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.
Kakek : Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah yang sebenarnya mengacau.
Ibu : Kakek sudah lelah, lebih baik istirahat. Biarlah di sini kami yang berjaga.
Kakek : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini sudah selesai,
aku berencana pensiun. Aku juga sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.
Bapak : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah menyusahkan,
Anak : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.
Kakek : Kamu memang perwiraku yang paling bisa diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan
Anak : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?
Kakek : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang harus diberi
Bapak : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja. Dimas
Kakek : Sekolah?! Sekolah tidak menjamin membuat orang bisa berpikir cerdas. Jangankan
berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya,
dijemur seharian, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni
Bapak : Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya. Aku ini sudah capek.
Ibu : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama. Lebih baik
Bapak : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat nenek,
Kakek : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu seni. Beda kan
Kakek : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Mereka itu hanya
bumi katon kebak geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-
wung plak-plak-plak).
Kakek : Ayo kita berkesenian, kita lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?
Kakek : Musiiik.
wung-wung…
Kakek : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria Anoman
malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo) (pada ibu) Ayo
gendingnya masuk!
Kakek : Kinanti
Bapak : Hah, aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau aku tidak
tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. (meninggalkan panggung)
Kakek : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak sopan.
Kakek : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya tahu, pasti
Ibu : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?
Kakek : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.
Ibu : Ya, namanya juga anak kecil. Jangan terlalu banyak dipikir.
Kakek : Anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi apa dia nantinya.
Ibu : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus.
Kakek : Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?
Kakek : Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?
Kakek : (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah keturunan
dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan sendirinya bisa menjadi
orang yang hebat. Tidak. Aku pasti memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting,
Ibu : Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas harus
Ibu : Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. ( Kakek mencoba
berdiri tegap, tetapi kesulitan) Nah, benar kan, sulit. Itu tandanya mas sudah capek
Kakek : Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Martha, jangan pernah kau
4
meninggalkanku.
Ibu : Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi, kasihan dia
Kakek : Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku.
Ibu : Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas setelah ini harus langsung istirahat.
Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek termenung
sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin lama suara itu
Bapak : Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat menyembuhkannya,
mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang lebih baik segera kita kirim ke
panti jompo.
Ibu : Jangan, mas. Biar aku saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah solusi.
Bapak : Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.
Ibu : Yang sabar. Bagaimanapun Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih baik kita istirahat.
Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah capek. Mas angkat kakek.
Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat, dibaringkan ke
kursi goyang.
Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu biru yang
Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu datang