Anda di halaman 1dari 15

Nominator Lomba Penulisan Naskah Drama Remaja Dewan Kesenian JATIM 2008.

KEBO NYUSU GUDEL


(Naskah lakon satu babak)
Dheny Jatmiko

Pelaku:

Kakek : Seorang kakek umur 80 tahun yang selalu terbayang-bayang peristiwa masa

lalunya.

Bapak : Seorang lelaki pekerja kantoran.

Ibu : Ibu rumah tangga.

Anak : Anak berumur 10 tahun.

***

Terdengar musik tembang megatruh. Lampu warna biru menyala pelan, dilanjutkan

lampu oranye yang fokus ke kursi goyang (kakek). Tampak sebuah ruang keluarga,

seorang kakek bersantai di kursi goyang. Kakek memakai sepatu tentara, memakai

sarung, peci, sambil nembang megatruh.

Megatruh

niki wancine sukma sampun kasebut


saking dzat akarti bumi
sampun wanci dipun suwun
tan janji sakniki ugi
baline sadaya lakon

Tembang megatruh selesai. Kakek diam, merenung. Tiba-tiba terdengar suara riuh,

seperti suara demontrasi. (Lampu ruang pelan-pelan menyala) Kakek panik, mengambil

sapu dan membawanya seolah membawa senapan.

Kakek : Bangun! Bangun! Kita harus segera bersiap. Bangun kalian semua.

Muncul seorang Bapak, Ibu dan anaknya berjalan malas karena bangun tidur.

1
Bapak : Ada apa lagi, kek? Malam-malam begini bikin ribut?

Ibu : Ada apa to, kek?

Kakek : Ada apa. Ada apa. Apa kalian sudah tuli. Apa kalian tidak mendengar ada

demo. Situasinya sekarang semakin sulit. Jadi kita harus waspada. (Berlagak

seperti komandan) Kalian berjaga di pos sebelah sana. Biar aku awasi yang

sebelah sini (mengambil kursi kecil dan berdiri di atasnya). Cepaaat!

Anak : Siap, komandan!

Bapak, Ibu & Anak bergegas menuju kiri panggung.

Bapak : Kalau tiap malam begini, bagaimana aku bisa nyaman kerja besok?

Ibu : Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam ini.

Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur. Lakukan saja. Kalau

kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama.

Kakek : Jangan banyak ngomong. Sekarang sedang darurat militer, jaga dengan

kewaspadaan tingkat tinggi.

Anak : Di sini terlihat aman, kek, eh, ndan!

Kakek : Meski aman tetap waspada. Cari gembongnya.

Anak : Siaap.

Kakek : Kasihan anak-anak muda itu. Katanya mereka orang-orang yang intelek. Tapi

lihat, bicaranya seperti tukang becak. (pada penonton) Dengar kalian semua!

Tidak ada gunanya kalian teriak-teriak sampai tenggorokan kering. Lebih baik

baca buku yang banyak saja biar bisa mikir lebih jernih, biar tidak

dimanfaatkan orang. Masak orang intelek ngomongnya seperti robot. Cuma

bisa ngomong: kami butuh makan, turunkan ini, turunkan itu... Kalau cuma

2
ngomong seperti itu, anak umur dua tahun saja bisa.

Bapak : Tapi, kakek memang harus segera turun, dan segera tidur lagi. Kita mesti

istirahat. Hari sudah larut, kek.

Ibu : Jangan banyak komentar, nanti tidak cepat selesai, kita yang repot sendiri.

Kakek : (turun dari kursi, duduk dengan malas) Kalian ternyata sama saja dengan

orang-orang itu. Semua ini bukan karena salahku. Aku hanya menjelaskan

tugas. Semua tugas sudah aku jalankan dengan baik, mulai dari Operasi Sikat,

Operasi Burung Sriti, Operasi Galian Malam. Semua sudah kujalankan dengan

baik. Terus mengapa mereka masih saja menginginkan aku turun? Mengerti

apa mereka dengan situasi ini. Orang-orang seperti mereka dan kamu inilah

yang sebenarnya mengacau.

Ibu : Kakek sudah lelah, lebih baik kakek istirahat. Biarlah di sini kami yang

berjaga. (Kakek hanya diam) Percayalah, situasinya di sini bisa kami atasi.

Kakek : Kalian sudah mengkhianati aku. Apakah kalian tidak tahu, kalau tugas ini

sudah selesai, aku memang berencana pensiun. Ini adalah operasi terakhirku.

Operasi Sapu Jalan ini adalah pengabdian terakhirku pada negeri ini. Aku juga

sudah lelah, aku ingin istirahat dengan tenang.

Ibu : (kembali seperti menjadi anak buah kakeknya) Kami tidak berkhianat. Kami

tahu apa yang anda butuhkan.

Bapak : Terus bujuklah kakek. Orang kalau tambah tua, tambah pikun, tambah

menyusahkan, tambah tidak ada gunanya.

Ibu : Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap bapakmu. Orang

yang membuatmu ada di dunia ini.

3
Bapak : Iya, aku sudah tahu. Tapi aku sangat lelah hari ini. Bujuklah ia agar segera

tidur.

Anak : Lapor, komandan. Situasi sudah terkendali. Kerusuhan sudah bisa diamankan.

Kakek : (kembali bersemangat) Kamu memang perwiraku yang paling bisa

diandalkan. Aku pasti akan merekomendasikan kenaikan pangkat buatmu.

Tapi, sayang, aku masih punya anak buah yang kerjanya lamban. Inilah yang

memperburuk citra tentara.

Anak : (pada bapak dan ibunya) Sersan, Kapten, ada masalah apa ini?

Bapak : (menjewer anaknya) Sekarang sudah malam, jangan main-main terus.

Kakek : Apa katamu?! Main-main?! Ini bukan masalah sepele. Orang-orang memang

harus diberi pelajaran. Bisa nglunjak kalau dibiarkan saja. …

Bapak : Sudahlah kek, Ini sudah malam. Saya butuh istirahat, besok saya harus kerja.

Dimas besok juga harus sekolah…

Kakek : Sekolah?! Sekolah tidak jaminan membuat orang bisa berpikir cerdas.

Jangankan berpikir cerdas, berpikir saja belum tentu bisa. Apa kau tidak

mendengar apa yang diteriakkan orang-orang sok berpendidikan yang

berdemo itu. Semuanya hanya omongan yang tidak ada pemikirannya. Terlalu

dangkal otak mereka. Lihat orang-orang yang dicat tubuhnya, dijemur

sesiangan, dan berteriak ndak karuan itu. Masak mereka bilang itu seni? Seni

macam apa itu, murahan.

Ibu : Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek?

Bapak : (pada istrinya) Kamu ini bagaimana kok malah dilayani. Kapan selesaianya.

Aku ini sudah capek.

4
Ibu : Ssttt. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin lama.

Lebih baik dilayani biar makin cepat selesai. Aku juga sudah capek, mas.

Bapak : Ya semoga berhasil. Tadi sudah disuruh menjadi tentara, pasti nanti teringat

nenek, dan kakek jadi dalang.

Kakek : Hah, benar. Dalang. Wayang.

Bapak : Lho, iya, benar kan. Yang ada dalam ingatannya hanya itu-itu saja: tentara dan

wayang.

Kakek : Seni yang paling agung adalah wayang. Mereka itu tidak mengerti apa itu

seni. Seni kok tidak mengandung budi pekerti. Beda kan dengan wayang yang

penuh budi pekerti. Kemari kau Dimas. Kalau kau nanti sudah besar kau harus

menjadi orang yang mengerti budi pekerti.

Anak : Bermain tentara-tentaraannya sudah selesai to, kek?

Kakek : Ahh, tentara itu apa. Sebenarnya aku menyesal juga menjadi tentara. Apalagi

setelah melihat anak buahku. Mereka itu hanya bisa membanggakan

seragamnya, hanya bisa sok jagoan. Mereka sering lupa bahwa mereka itu

abdi masyarakat. Yang namanya abdi itu mesti melindungi bukannya sok.

Mengamankan demontrasi mahasiswa saja tidak pecus. Masih saja ada yang

mati. Akhirnya juga yang kena batu. Berbeda dengan dalang. Dalang selalu

menyuguhkan nasehat-nasehat yang filosofis, petuah-petuah yang dibutuhkan

masyarakat. (bergaya dalang) Ooo, langit gumbleger, bumi katon kebak

geber… ooo (Anak mengiringi musiknya dengan suara: wung-wung-wung

plak-plak-plak)

Bapak : Kakek, sudah malam, tidak baik kalau teriak-teriak, tidak enak sama tetangga.

5
Kakek : Inilah contoh orang yang tidak bisa menghargai seni dan budaya. Kalau

ketahuan ibumu, pasti kamu akan diomeli sampai pagi.

Bapak : (menggrundel) Dasar orang pikun.

Kakek : Lebih baik tidak usah dihiraukan orang macam itu. Ayo kita berkesenian, kita

lakonkan Anoman Obong. Dimas, musiknya siap?

Anak : Siap, pak dalang.

Kakek : Musiiik.

Anak : (membuat musik dari suaranya) Plak-plak-plak wung-wung-wung plak-plak-

plak wung-wung-wung…

Kakek : Oooo, cumlorot antaraning mega geni molak-malik katiup angin, satria

Anoman malumpat-lumpat ing Alengka nylametake dewi Shinta, ooo… (tablo)

(pada ibu) Ayo gendingnya masuk!

Ibu : Minta gending apa pak dalang.

Kakek : Kinanti

Ibu : Anoman mlumpat sampun


prapteng witing nagasari
mulat managandap katinngal
wanodya ju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga keksi

Kakek : Luar biasa. Itulah seni.

Bapak : Hah, aku sudah sangat capek. (pada istrinya) Kamu urus sendiri kakek. Kalau

aku tidak tidur, besok aku telat lagi, dan bisa-bisa aku dipecat. Trus kita mau

makan apa? Aku sudah muak dengan kondisi ini. (meninggalkan panggung)

Kakek : Hei, anak kurang ajar. Mau ke mana kau. Diberi nasehat jangan pergi. Tidak

6
sopan. Anak tidak ngerti tata krama.

Bapak : Terserah kata kakek.

Kakek : (tiba-tiba sedih) Mengapa aku punya anak yang durhaka. Kalau saja ibunya

tahu, pasti dia dirundung kesedihan. Maafkan aku Martha, istriku, aku tidak

bisa menjaga dengan baik anak kita. Tapi kenapa kau mesti pergi begitu cepat.

Anak : Lho, kakek mengapa bersedih? (kakek hanya diam bersedih)

Ibu terdiam sejenak. Lalu berpura-pura menjadi nenek, istri kakek.

Ibu : (bergaya menjadi seorang nenek) Mas Jarwo, suamiku, ada apa?

Kakek : Anak kita, Martha. Lihatlah anak kita, kenapa dia tidak patuh padaku.

Ibu : Ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan mengelus rambut anaknya)

Jangan terlalu banyak dipikir. Mas harus segera istirahat. Besok harus segera

masuk dinas. Katanya besok ada upacara.

Kakek : Masalah anak itu masalah yang serius. Kalau aku salah mendidik, mau jadi

apa dia nantinya.

Ibu : Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak suka

kalau mas sedih terus.

Kakek : Aku merasa aku telah gagal.

Ibu : Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas itu

optimis, tidak pesimis begini. (kakek masih diam) Kalau sedih begini, mas

paling suka kalau aku nembang. Bagaimana kalau aku nyanyikan satu

tembang lagi, mas. Dengar ya mas.

Kakek : Terserah kamu.

Ibu : Caping Gunung

7
Dhek jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang


keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali

Ning gunung tak cadhongi sega jagung


yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung ndesa dadi reja
dene ora ilang nggone padha lara lapa

Anak menuju kursi panjang dan tertidur, ketika mendengar ibunya menembang.

Kakek : Suaramu bagaikan pinus diterpa angin, Martha. Begitu lembut, halus, dan

menenangkan. Itulah kenapa aku selalu mencintaimu. Kaulah satu-satunya

perempuan yang bisa menentramkan hatiku ini.

Ibu : Aduh, mas Jarwo ini berlebihan, jadi malu aku.

Kakek : Ini tidak berlebihan, Martha. Ini kenyataan. Aku selalu terpaku, diam tidak

bisa apa-apa, kerena telampau terpikat suara dan kecantikanmu.

Ibu : Jika mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku menghibur.

Apa sekarang mas sudah merasa nyaman?

Kakek : Seperti perasaan Danareja seandainya lamarannya diterima Sukesi tanpa

membedah Sastra Gendra. Begitulah yang aku rasakan.

Ibu : Mas bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah suami istri

yang tak terpisahkan. Bagai akar dan tanah.

Kakek : Hmmm, iya, iya. Hmmm... (seperti berpikir)

Ibu : Benar kan, mas?

8
Kakek : Iya, iya.

Ibu : Lalu apa yang masih dipikirkan.

Kakek : Aku sendiri tidak tahu aku ini sedang memikirkan apa?

Ibu : Lho gimana to?

Kakek : Aku ini sedang berpikir, apa sebenarnya yang aku pikirkan. Apa kamu tahu?

Ibu : Ya, ndak tahu, lha wong yang mikir mas kok tanyanya ke aku.

Kakek : Ya, barangkali saja. Selama ini yang bisa mengerti aku kan cuma kamu.

Ibu : Entahlah.

Kakek : (Kekanak-kanakan) Ahh, kalau kamu saja tidak tahu apa yang aku pikirkan,

pada siapa lagi mesti aku bertanya?

Ibu : (Diam, berpikir. Meraih Kakek) Mungkin mas memikirkan anak kita, apakah

kalau sudah besar di bisa sesuai dengan harapan kita.

Kakek : (Melihat Anak yang tertidur di kursi) Mungkin. Tapi tidak. Anak itu adalah

keturunan dari lelaki sempurna dan perempuan teristimewa. Pasti dengan

sendirinya bisa menjadi orang yang hebat. Tidak. Aku pasti tidak sedang

memikirkan anak itu. Keluarga kita baik-baik saja, teramat baik, tidak ada

masalah yang perlu memeras otak. Kalaupun ada masalah keluarga hanyalah

masalah yang teramat kecil. Dan pikiranku tidak sekecil itu. Aku pasti

memikirkan hal yang lebih besar, lebih penting, lebih... ahhh, tapi apa yang

sedang aku pikirkan.

Ibu : Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok mas

harus menghadiri upacara penghargaan. Nah, kalau kurang istirahat, terus

wajah mas masih kusut, apa mas tidak akan malu.

9
Kakek : Benar juga.

Ibu : (Terlihat senang) Nah, lebih baik istarahat kan?

Kakek : Tapi kepala ini terus saja kebingungan sendiri.

Ibu : Mungkin tidur dulu, besok pasti sudah ingat.

Kakek : Kalau masih tidak ingat?

Ibu : Terserah mas saja. Tapi pikikirkan sekali lagi, acara besok itu penting!

Kakek : (Kekanak-kanakan) Aduh, Martha, jangan marah sayang.

Ibu : Aku tidak marah, mas. Aku cuma memberi saran. Tapi kalau mas tidak mau ya

sudah. Nah, kalau masih loyo seperti ini, apakah Presiden akan merasa bangga

memiliki rakyat sebaik mas.

Kakek : Iya, benar.

Ibu : Nah, sekarang coba mas berdiri dengan tegap dan penuh wibawa. (Kakek

mencoba berdiri tegap, tetapi kesulitan) Hah, benar kan, sulit. Itu tandanya

mas sudah capek dan butuh istirahat.

Kakek : Kamu memang benar-benar perempuan impian lelaki. Kamu sangat mengerti.

Betapa beruntungnya aku mendapatkanmu. Martha, jangan pernah kau

meninggalkanku. Aku bisa menjadi makhluk paling hina jika kau tinggalkan.

Ibu : Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat, Mardi,

kasihan dia tertidur di kursi, biar antar ke kamar dulu ya mas.

Kakek : Kau memang istri yang penuh kasih sayang. Silahkan istriku tercinta. Tapi

jangan terlalu lama aku kau tinggalkan. Segeralah kembali, Martha.

Ibu : Tidak lama. Aku hanya mengantar Mardi ke kamar. Tapi, mas harus janji

setelah ini langsung istirahat.

10
Kakek : Tentu, sayang. Aku janji.

Ibu dan anaknya yang sudah ngantuk keluar dari panggung dengan tersenyum. Kakek

termenung sendiri sambil sesekali tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara demo. Semakin

lama suara itu semakin keras. Kakek kebingungan, ketakutan.

Kakek : Pasukan! Kumpul! Ada kekacauan!

Ibu dan anak kembali masuk panggung.

Ibu : Ada apa lagi?

Kakek : Cepat rapikan barisan. Mana sersan Untung?

Anak : Dia masih tidur, komandan.

Kakek : Cepat bangunkan dia.

Ibu : Sersan Untung masih keluar kota, Komandan.

Kakek : Tidak mungkin, tidak ada tugas bagi sersan Untung untuk keluar kota. Pasti

dia masih tidur. Kalian baris di sini dengan rapi, awasi situasi. Aku akan

bangunkan sersan Untung. Situasinya sudah genting, tidak ada waktu untuk

istirahat.

Kakek keluar panggung. Beberapa saat, masuk lagi dengan Bapak yang terlihat

mengantuk.

Bapak : Ada apa lagi ini. Sudahlah, kek, aku capek, aku butuh istirahat, aku besok

harus kerja.

Kakek : Sekarang kerjanya! Tidak usah menunggu besok. Lihat di sana, kekacauan

terjadi di mana-mana. Dan kamu enak-enakan tidur. Perwira macam apa kamu

ini, hah!

Anak : Komandan, situasinya makin kacau.

11
Bapak : Dimas, diam.

Kakek : Bicara yang sopan. Apa pantas kamu bicara seperti itu dengan atasanmu.

Sebagai hukuman kau harus push-up satu seri, dan jangan diulangi lagi.

Mayor, terus awasi keadaannya.

Anak : Siap komandan.

Kakek : (pada bapak) Ayo, cepat laksanakan. Apa kamu ini tidak pernah diajari sopan

santun. (pada Ibu) Kamu juga, kenapa kamu berani membela orang yang

salah?

Ibu : Tidak, komandan. Saya tidak berani.

Kakek : Kalian harus sadar, harus sadar, di sini aku yang menjadi pimpinan kalian.

Kalian harus nurut!

Ibu : Siap.

Kakek : (Pada Ibu) Kamu ke sana, coba beri mereka pengertian sebisa mungkin.

Usahakan jangan samapi ada bentrokan fisik.

Ibu maju ke depan pangung, seolah-olah membawa Megaphone.

Ibu : Saudara-saudara, usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik. Semua

aspirasi saudara-saudara pasti kami tampung. Tetap tenang. Kondisi negeri

kita sudah kacau, jangan sampai saudara-saudara menambah kekacauan.

Kami di sini sedang mengusahakan yang terbaik untuk negeri ini.

Kakek : Bagus. Teruskan.

Ibu : Kita semua tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada perwakilan

dari saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi dengan damai.

Percayalah saudara. Percayalah, kita semua tidak ingin kondisi ini makin

12
runyam.

Anak : Komandan, gawat komandan! Mereka menyerang.

Kakek : Tetap bertahan.

Anak : Sulit, komandan. Mereka semakin mendesak.

Bapak : (Menghampiri anak, dan berbicara lirih) Sudah! Diam.

Kakek : Segera berpencar. Cari tempat berlindung. Seraaaaangg! Dor, dor, dor, dor,

ahhhhhhhhh, aku tertembak.

Kakek terjatuh. Anak berlari menghampiri kakek.

Anak : Komandan, apakah komandan baik-baik saja.

Kakek : Teruskan perjuangan. Jangan hiraukan aku. Ambil alih pimpinan.

Anak : Komandan, komandan, komandan jangan mati.

Bapak : Ahh, akhirnya selesai. Malam yang melelahkan.

Ibu : Mas, jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini dingin.

Anak : (menggoyang-goyang tubuh kakek) Komandan jangan mati. Komandan, ayo

bangun.

Bapak : (Menghampiri Anak) Dimas, jangan ganggu kakek. Biarkan kakek istirahat.

Kamu juga harus segera tidur.

Dimas berjalan pelan keluar panggung.

Ibu : Kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-ingatannya.

Bapak : Ya begitulah orang kalau sudah tua. Pikun.

Ibu : Kalau saja nenek masih ada.

Bapak : Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Semua cara tidak dapat

menyembuhkannya, mulai psikiater, dokter, bahkan dukun. Mungkin memang

13
lebih baik segera kita kirim ke panti jompo. Mungkin mereka bisa mengurus

lebih baik.

Ibu : Jangan, mas. Biar akau saja yang mengurus kakek. Panti jompo bukanlah

solusi.

Bapak : Tapi jika tiap malam diteror begini, aku juga bisa gila.

Ibu : Yang sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita. Lebih

baik kita istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga sudah caek.

Mas angkat kakek.

Bapak menghampiri kakek. Memandanginya dengan rasa iba. Pelan-pelan ia angkat,

dibaringkan ke kursi goyang.

Kembali terdengan tembang megatruh. Lampu ruang pelan-pelan padam, tinggal lampu

biru yang menyorot kursi goyang. Perlahan lampu biru padam.

Lampu ruang kembali menyala. Kakek ketakutan dan menjerit-jerit. Bapak dan Ibu

datang dengan wajah yang lesu dan hanya memandang.

Lampu pelan-pelan padam.

***

SELESAI
SELAMAT MENIKMATI
SEMOGA BERBAHAGIA

14
Biodata Penulis:

Nama : Dheny Jatmiko

TTL : Tulungagung, 11 Februari 1982

NIM : 120110330

Fakultas : Ilmu Budaya

Jurusan : Sastra Indonesia

Alamat : Jl. Jaya Baya 5 Bandung, Tulungagung.

HP : 081 931 545 883

Lainnya : Menulis puisi, sedikit cerpen dan esai. Pernah terpublikasikan di Koran

Tempo, Kompas, Jawa Pos, Surya, Jurnal Aksara, Majalah Budaya Sagang, Majalah

Aksara (kini Imajio), Bangka Post, Riau Post, Wapada, Surat kabar Priangan, Radio

Suara Jerman Deutsche Welle, Australia-Indonesia Art Aliance (AIAA), Suara Anum

Online (Malaysia). Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Nasional kategori Sagang di Riau

2003. Juara III Penulisan Puisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional tahun 2006 di

Makasar.

15

Anda mungkin juga menyukai