Anda di halaman 1dari 5

FELIA MAIZAL

XI MIPA 5
MAPEL: BAHASA INDONESIA
TUGAS: CERPEN

Gigi Rahasia Makhluk Aneh


Hari belum begitu malam. Yudi sedang nonton TV di rumah. Sendiri saja. Ayah, ibu,
dan kedua adiknya pergi ke puncak. Menginap di villa teman ayah. Yudi tidak
ikut. Besok pagi ia akan pergi memancing bersama teman-teman sekelas. Semua
anak laki-laki akan berkumpul di sekolah jam 6 pagi. Itu lebih mengasyikan
daripada pergi ke puncak.
Rumah tetangga di sebelah kiri rumah Yudi, sangat sepi. Pak wawan baru meninggal
kemarin. Istri dan pembantunya mungkin sudah tidur. Anjing mereka, Bruno,
mendengus-dengus gelisah di halaman. Mungkin Bruno sedih, kehilangan majikan
yang biasa mengajaknya bermain.
Di rumah sebelah kanan, lebih sepi lagi. Rumah itu sedang direnovasi. Batu bata dan
kerikil bertumpuk di halamannya. Alangkah berbeda suasana malam dengan siang
hari. Tadi siang banyak pekerja bangunan di rumah sebelah. Eko, Dimas, dan
Iwan juga datang ke rumah Yudi untuk mengerjakan tugas kelompok. Kini setelah
malam tiba, suasana jadi sepi sekali.
“Ah sebaiknya aku tidur sekarang. Supaya besok tidak kesiangan,” pikir Yudi. Ia
segera mematikan TV. Tiba-tiba terdengar bunyi anjing melolong. Lolongan itu
sungguh menyayat hati dan membuat bulu kuduk berdiri.
“Itu suara Bruno. Jangan-jangan ia melihat arwah majikannya,” batin Yudi. Ia agak
takut, hati dan nyalinya jadi sedikit ciut. “Ah, Dimas dan Iwan payah, sih. Tak
mau kuajak menginap disini!” pikr Yudi lagi. Dimas dan Iwan meledeknya sore
tadi, “Pasti kamu takut ya? Badan sebesar gajah, tapi takut tidur sendiri!” Kini
terdengar bunyi kerikil diinjak orang. Apa itu pencuri? Dag dig dug... Yudi bisa
mendengar detak jantungnya sendiri.
“Uaaaaauung ....!” Terdengar lagi lolongan Bruno.
“Ah lebih baik kuperiksa. Mungkin ada pencuri di rumah sebelah!” Yudi berdoa
memohon keberanian. Lalu mengambil senter dan pentungan.
Yudi mengendap-endap keluar. Ia mengintip dari tembok rumahnya ke rumah
sebelah. Ada makhluk berbaju putih dan bertopi sedang jongkok. Tampaknya
sedang mencari sesuatu. Yudi menyalakan senter. Makhluk itu menoleh.
Wajahnya kuning, hidungnya aneh, giginya besar-besar bagaikan gigi raksasa.
Yudi gemetar dan segera masuk ke rumah, mengunci pintu.
Makhluk itu ternyata tidak mengikutinya. Yudi tidak penasaran. Mungkin saja itu
makhluk angkasa luar yang butuh pertolongan. Perlahan-lahan Yudi keluar lagi.
Kali ini, ia keluar pagar menuju ke rumah sebelah. Ternyata, makhluk itu masih
ada. Ia sedang mencari sesuatu dengan senter. Keberanian Yudi timbul. Tak
mungkin hantu membawa senter.
“Siapa kau? Awas, kulapor pada satpam!” gertak Yudi.
Tiba-tiba makhluk itu menoleh. Ia memakai kedok. Pantas wajahnya berwarna kuning
dan bentuk hidungnya aneh.
“Ayo lekas jawab, atau rasakan pentungku ini,” desak Yudi.
Makhluk itu tertegun. Kemudian terdengar suaranya.
“Jangan pukul aku,Yud. Ini aku, Eko!” Eko membuka topi dan kedoknya.
Yudi terperangah.
“Kamu... kamu sedang apa malam-malam begini? Pakai kedok...., pakai topi... jas lab
kakakmu...,” Yudi menggeleng-gelengkan kepala.
“Maaf, Yud! Aku berdandan begini supaya tidak dikenali orang. Aku sedang
mencari...” Eko ragu meneruskan kata-katanya.
“Cari apa, Ko? Kau kehilangan barang berharga?” Yudi penasaran.
“Iya. Aku akan beritahu kamu, asal jangan beritahu teman-teman ya!” kata Eko lagi.
“Aku berjanji akan merahasiakannya,” janji Yudi tambah penasaran.
“Tadi siang kan kita makan bakso di sini. Baksonya keras dan gigi palsuku terlepas.
Lalu kuludahkan keluar bersama bakso di dekat kerikil-kerikil ini. Aku takut
ketahuan teman-teman. Aku malu memakai gigi palsu, walau hanya satu buah.
Setelah aku, Iwan, dan Dimas pulang dari rumahmu, sebenarnya aku mau kembali
ke sini. Tapi masih banyak tukang bangunan. Jadi, kutunggu sampai malam. Gigi
palsu itu harus ketemu. Kalau tidak, kan kelihatan kalau gigiku ompong. Lagipula
ibuku pasyi marah, karena harga gigi palsu itu mahal!”
Yudi tersenyum geli bercampur kasihan.
“Jangan sampai sekarang belum ketemu? Jangan-jangan dibawa lari tikus, Ko!” kata
Yudi. Bentuknya seperti apa sih?”
Yudi membungkuk. Mengamati sekitar tempat itu dengan seksama. Ibarat mencari
jarum di tumpukan jerami, Yudi berusaha keras menemukan gigi palsu Eko. Dan
di antara batu-batu kerikil tampak kepingan berwarna merah jambu. Yudi
mengangkatnya dan menunjukannya pada Eko.
“Ini yang kamu cari, Ko?” tanya Yudi.
Eko cepat menyambar benda itu, menggosoknya di bajunya.
“Ya, ya benar. Aduh, Yud, terima kasih banyak! Kamu telah menolongku
memecahkan masalah yang sulit,” kata Eko riang.
“Kamu hebat, Ko. Kecil-kecil begini sudah berani sendirian di tempat gelap!” puji
Yudi.
“Ah, ini kan terpaksa!” kata Eko. “Ingat ya, Yud. Jangan ceritakan rahasiaku ini pada
siapa-siapa!”
“Iya, aku sendiri juga punya rahasia, Ko. Sebenarnya aku takut tidur sendirian.
Tetangga sebelah rumahku baru meninggal kemarin. Anjingnya melolong terus.
Suasananya mengerikan. Dimas dan Iwan tak mau menginap di sini
menemaniku!” Yudi tiba-tiba mempercayakan rahasianya pada Eko.
“Bagaimana kalau aku menginap di rumahmu malam ini? Aku sangat berterima kasih
padamu. Aku juga takkan cerita pada siapa-siapa kalau kamu trakut tidur sendiri.
Kamu bisa pegang kata-kataku!” kata Eko.
“Wah, bagus sekali tuh. Kamu benar-benar menolongku memecahkan masalah yang
sulit!” kata Yudi gembira.
Malam itu, Eko menginap di rumah Yudi. Esok harinya, Dimas dan Iwan
menanyakan apakah Yudi bisa tidur semalam. Yudi menjawab dengan mantap.
“Tentu saja, aku tertidur pulas bagaikan bayi!” rahasia Yudi dan Eko tidak
tersebar di antara kawan-kawannya. Kecuali tersebar di antaara pembaca Bobo
tertentu.
(Oleh: Widya Suwarna)
FELIA MAIZAL
XI MIPA 5
MAPEL: BAHASA INDONESIA
TUGAS: CERPEN

PINDAH TEMPAT
Berkat nasihat ayahnya, Slamet dapat lulus dalam EBTA tahun ini. Menurut rencana
semula ia akan meneruskan ke sekolah menengah pertama. Sekarang ia menikmati
liburan akhir tahun ajaran.
Kesempatan itu dimanfaatkan Pak Ahmad untuk mencarikan sekolah yang tepat untuk
Slamet. Nilai yang tercantum di dalam STTB sangat baik dan memuaskan. Tidak
ada satu pun angka yang kurang.
“Bu, sebaiknya anak kita segera didaftarkan saja ke SMP,” kata Pak Ahmad kepada
istrinya.
“Saya mempunyai pendapat, Pak,” usul Bu Ahmad.
“Apa pendapatmu, Bu?”
“Slamet jangan disekolahkan di kota ini Pak.”
“Lalu di mana maksud Ibu?”
“Di Yogyakarta, Pak...”
“Di Yogya,” Pak Ahmad memotong.
“Iya, Pak. Pamannya kan ada di sana. Lagi pula ia menjadi kepala sekolah SMP di
sana.”
“Nanti dulu, Bu. Sebaiknya kita segera saja berhubungan ke sana. Langsung pada Dik
Riadi.
“Baik, Pak. Saya yakin pasti Slamet dapat diterima. Lebih-lebih pamannya sendiri
yang memasukkannya.”
“Baik, Bu. Tetapi masalah ikut pamannya bukan masalah dapat atau tidaknya diterima
nanti. Untuk memasuki sekolah hanya cukup dengan nilai yang baik. Tidak
memandang anak desa atau anak kota, saudara atau bukan, semua hanya
ditentukan oleh nilai saja. Kalau kita beranggapan karena saudara, itu jelas salah,
Bu. Sekarang lebih teliti dalam penerimaan murid baru. Bagi yang tidak mampu,
umpamanya, pemerintah sudah memberikan biaya yang disebut beasiswa. Siapa
yang rajin, dialah yang pandai. Siapa yang pandai, dialah yang beruntung. Bahkan
sekarang banyak anak desa yang dapat meneruskan sekolahnya sampai ke
perguruan tinggi. Mereka menjadi orang terkemuka. Itulah contoh-contoh tunas
desa yang makin bersemi.”
Bu Ahmad mengangguk-angguk. Penjelasan Pak Ahmad menarik sekali. Yang jelas,
Slamet memiliki modal pokok, yaitu nilai sebagai penopang demi keberhasilannya
masuk ke sekolah lanjutan nanti. Sesudah sama setuju, Slamet akan diantar ke
Yogjakarta saat liburan itu juga. Sesampai di Yogja Slamet hanya mengangguk
sambil tersenyum.
“Kebetulan sekali kedatangan Slamet kemari, Mas Ahmad.” Pak Riadi berkata kepada
Pak Ahmad,” Agar ada teman Tono belajar nanti.”
“Saya sangat berterima kasih, Dik Riadi,” jawab Pak Ahmad.
“Sama-sama, Mas.”
Bu Ahmad duduk bersama Bu Riadi. Keduanya saling melepas kerinduannya. Saling
bertanya tentang keadaan masing-masing.
“Oh, iya. Di mana Tono?” tanya Bu Ahmad kepda Bu Riadi.
“Tono baru saja keluar, Mbakyu.”
“Ke mana, Dik? Di sana sini sama saja. Senang bermain. Dasar anak.”
“Iya, Mbakyu. Tetapi ini tadi Tono melihat pengumuman pendaftaran,” sambung Bu
Riadi lagi. Saat itu memang Tono belum tampak.
“Pendaftaran di mana, Dik?”
“Di SMP, Mbakyu. Tono juga baru lulus EBTA.”
“Alhamdulillah kebetulan sekali, Dik. Benar-benar Tuhan sudah mengaturnya. Tepat
sekali. Dua anak nanti akan bersamaan.”
“Mudah-mudahan saja, Mbakyu!” Belum selesai Bu Riadi berbicara datanglah Tono.
Begitu berkenalan, Slamet dan Tono langsung akrab seperti saudara kembar.
Keduanya sama-sama pandai. Nilai STTB mereka cukup baik. Kedua anak itu
hidup rukun laksana dua ekor mas dalam satu kolam yang indah.
Waktu berjalan terus. Slamet semakin dewasa. Sekolahnya berjalan lancar. Tepat tiga
tahun sudah tamat bersama Tono. Keduanya melanjutkan ke SMA dan tamat pada
waktunya. Tidak ada yang mengaalami tinggal kelas. Nilai hasil belajarnya selalu
memuaskan. Orang tuamya sampai bahagia karenanya.
Slamet selalu mendapatkan kasih sayang dari saudara-saudaranya. Hari berganti hari,
suasana selalu silih berganti, antara suka dan duka. Sampailah sebuah berita yang
paling menyedihkan hati Slamet. Apa boleh buat. Tuhan telah menentukan takdir-
Nya. Pak Ahmad telah sampai pada puncak usianya. Tuhan memanggilnya dala
usia yang tua. Beliau pulang ke hadapan illahi dengan tenang. Pak Ahmad pergi
dengan meninggalkan amal bakti yang tidak ternilai harganya. Amal bakti selama
hidupnya sebagai guru, sudah mencetak tunas-tunas bangsa yang besar dan
berdaya guna. Sekarang beliau tidur untuk selama-lamanya di pangkuan Tuhan.
Namun namanya tetap tersungging megah dalam setiap sanubari sebagai
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa,” Tuhanlah yang kelak menganugerahkan bintang
kehormatan, yakni surga Firdaus sebagai tempat terindah bagi umat yang selalu
bedrbakti.
Setiap pagi hari dan petang, Slamet selalu memanjatkan doanya kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang. Tinggal Bu Ahmad yang juga sudah cukup tua
kini hidup bersama di rumah Pak Riadi di Yogjakarta. Rumahnya sendiri
dititipkan pada Buk Tatik yang kebetulan tempat tinggalnya berdekatan.
Kebetulan sekali, Buk Tatik seorang guru yang rajin dan terampil. Pagi mengajar
di sekolah, sore ikut menangani KPD, Kursus Pendidikan Dasar untuk
memberantas tiga buta, buta angka, buta aksara, dan buta bahasa indonesia.
Semuanya dimaksudkan untuk kegiatan kelompok belajar. Bu Tatik selalu aktif
dalam membina masyarakat bersama para perangkat kelurahan yang ada.
Slamet sudah berada di perguruan tinggi jurusan kedokteran. Gaji pensiunan Pak
Ahmad diterima Bu Ahmad untuk membiayai sekolah anaknya. Tono, sebagai
teman dan saudara Slamet, bercita-cita kelak dapat menjadi seorang ABRI. Ia
meneruskan sekolahnya di Akabri, Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Cita-citanya ingin hidup sebagai bunga bangsa. Kalau dulu antara
Slamet dengan Tono selalu bersama dalam segala hal, baik pada saat bermain
maupun pada saat mereka belajar setiap harinya, sekarang masing-masing mulai
menekuni bindangnya sendiri-sendiri. Slamet tekun dalam bidang kedokteran. Ia
memusatkan pikirannya di bidang kedokteran. Yang selalu dipelajari adalah hal-
hal yang berkaitan dengan ilmu untuk seorang dokter. Lain pula Tono. Ia tekun
sesuai dengan bidangnya yang bertalian dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi
seorang angkatan bersenjata yang kelak mampu membela dan memperjuangkan
negara dan bangsa.
Kedua anak itu menempuh jalan yang berbeda. Tetap dari jalan yang berbeda itulah
kelak akan medndapatkan satu tujuan yang sama, yaitu membangun nusa dan
bangsa tercinta. Keduanya akan tetap menyatu demi kepentingan seluruh bangsa.
Berkat kebukatan tekad serta ketekunan yang tinggi tercapailah cita-cita keduanya.
Slamet gembira karena keberhasilannya. Ia menjadi dokter. Dokter Slamet
Sutopo. Makin besar rasa syukurnya terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Setiap hari selalu melakukan ibadah kepada Tuhan dengan sungguh-
sumgguh dan ikhlas. Untuk ayahnya ia selalu berdoa, “Ya Tuhan, dengan nama-
Mu aku berjalan. Kepada-Mu aku menyembah serta memohon pertolongan.
Berilah jalan yang lurus demi langkahku. Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku
dan dosa orang tuaku, wahai Tuhan Yang Maha Besar....”Hatinya semakin pasti.
Dalam hidupnya ia ingin berbakti. Ilmu yang diterima dari para gurunya telah
mengukir jalan hidupnya membentuk satu prasasti yang abadi.

(Dari: Muhamad Syarief)

Anda mungkin juga menyukai