XI MIPA 5
MAPEL: BAHASA INDONESIA
TUGAS: CERPEN
PINDAH TEMPAT
Berkat nasihat ayahnya, Slamet dapat lulus dalam EBTA tahun ini. Menurut rencana
semula ia akan meneruskan ke sekolah menengah pertama. Sekarang ia menikmati
liburan akhir tahun ajaran.
Kesempatan itu dimanfaatkan Pak Ahmad untuk mencarikan sekolah yang tepat untuk
Slamet. Nilai yang tercantum di dalam STTB sangat baik dan memuaskan. Tidak
ada satu pun angka yang kurang.
“Bu, sebaiknya anak kita segera didaftarkan saja ke SMP,” kata Pak Ahmad kepada
istrinya.
“Saya mempunyai pendapat, Pak,” usul Bu Ahmad.
“Apa pendapatmu, Bu?”
“Slamet jangan disekolahkan di kota ini Pak.”
“Lalu di mana maksud Ibu?”
“Di Yogyakarta, Pak...”
“Di Yogya,” Pak Ahmad memotong.
“Iya, Pak. Pamannya kan ada di sana. Lagi pula ia menjadi kepala sekolah SMP di
sana.”
“Nanti dulu, Bu. Sebaiknya kita segera saja berhubungan ke sana. Langsung pada Dik
Riadi.
“Baik, Pak. Saya yakin pasti Slamet dapat diterima. Lebih-lebih pamannya sendiri
yang memasukkannya.”
“Baik, Bu. Tetapi masalah ikut pamannya bukan masalah dapat atau tidaknya diterima
nanti. Untuk memasuki sekolah hanya cukup dengan nilai yang baik. Tidak
memandang anak desa atau anak kota, saudara atau bukan, semua hanya
ditentukan oleh nilai saja. Kalau kita beranggapan karena saudara, itu jelas salah,
Bu. Sekarang lebih teliti dalam penerimaan murid baru. Bagi yang tidak mampu,
umpamanya, pemerintah sudah memberikan biaya yang disebut beasiswa. Siapa
yang rajin, dialah yang pandai. Siapa yang pandai, dialah yang beruntung. Bahkan
sekarang banyak anak desa yang dapat meneruskan sekolahnya sampai ke
perguruan tinggi. Mereka menjadi orang terkemuka. Itulah contoh-contoh tunas
desa yang makin bersemi.”
Bu Ahmad mengangguk-angguk. Penjelasan Pak Ahmad menarik sekali. Yang jelas,
Slamet memiliki modal pokok, yaitu nilai sebagai penopang demi keberhasilannya
masuk ke sekolah lanjutan nanti. Sesudah sama setuju, Slamet akan diantar ke
Yogjakarta saat liburan itu juga. Sesampai di Yogja Slamet hanya mengangguk
sambil tersenyum.
“Kebetulan sekali kedatangan Slamet kemari, Mas Ahmad.” Pak Riadi berkata kepada
Pak Ahmad,” Agar ada teman Tono belajar nanti.”
“Saya sangat berterima kasih, Dik Riadi,” jawab Pak Ahmad.
“Sama-sama, Mas.”
Bu Ahmad duduk bersama Bu Riadi. Keduanya saling melepas kerinduannya. Saling
bertanya tentang keadaan masing-masing.
“Oh, iya. Di mana Tono?” tanya Bu Ahmad kepda Bu Riadi.
“Tono baru saja keluar, Mbakyu.”
“Ke mana, Dik? Di sana sini sama saja. Senang bermain. Dasar anak.”
“Iya, Mbakyu. Tetapi ini tadi Tono melihat pengumuman pendaftaran,” sambung Bu
Riadi lagi. Saat itu memang Tono belum tampak.
“Pendaftaran di mana, Dik?”
“Di SMP, Mbakyu. Tono juga baru lulus EBTA.”
“Alhamdulillah kebetulan sekali, Dik. Benar-benar Tuhan sudah mengaturnya. Tepat
sekali. Dua anak nanti akan bersamaan.”
“Mudah-mudahan saja, Mbakyu!” Belum selesai Bu Riadi berbicara datanglah Tono.
Begitu berkenalan, Slamet dan Tono langsung akrab seperti saudara kembar.
Keduanya sama-sama pandai. Nilai STTB mereka cukup baik. Kedua anak itu
hidup rukun laksana dua ekor mas dalam satu kolam yang indah.
Waktu berjalan terus. Slamet semakin dewasa. Sekolahnya berjalan lancar. Tepat tiga
tahun sudah tamat bersama Tono. Keduanya melanjutkan ke SMA dan tamat pada
waktunya. Tidak ada yang mengaalami tinggal kelas. Nilai hasil belajarnya selalu
memuaskan. Orang tuamya sampai bahagia karenanya.
Slamet selalu mendapatkan kasih sayang dari saudara-saudaranya. Hari berganti hari,
suasana selalu silih berganti, antara suka dan duka. Sampailah sebuah berita yang
paling menyedihkan hati Slamet. Apa boleh buat. Tuhan telah menentukan takdir-
Nya. Pak Ahmad telah sampai pada puncak usianya. Tuhan memanggilnya dala
usia yang tua. Beliau pulang ke hadapan illahi dengan tenang. Pak Ahmad pergi
dengan meninggalkan amal bakti yang tidak ternilai harganya. Amal bakti selama
hidupnya sebagai guru, sudah mencetak tunas-tunas bangsa yang besar dan
berdaya guna. Sekarang beliau tidur untuk selama-lamanya di pangkuan Tuhan.
Namun namanya tetap tersungging megah dalam setiap sanubari sebagai
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa,” Tuhanlah yang kelak menganugerahkan bintang
kehormatan, yakni surga Firdaus sebagai tempat terindah bagi umat yang selalu
bedrbakti.
Setiap pagi hari dan petang, Slamet selalu memanjatkan doanya kepada Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang. Tinggal Bu Ahmad yang juga sudah cukup tua
kini hidup bersama di rumah Pak Riadi di Yogjakarta. Rumahnya sendiri
dititipkan pada Buk Tatik yang kebetulan tempat tinggalnya berdekatan.
Kebetulan sekali, Buk Tatik seorang guru yang rajin dan terampil. Pagi mengajar
di sekolah, sore ikut menangani KPD, Kursus Pendidikan Dasar untuk
memberantas tiga buta, buta angka, buta aksara, dan buta bahasa indonesia.
Semuanya dimaksudkan untuk kegiatan kelompok belajar. Bu Tatik selalu aktif
dalam membina masyarakat bersama para perangkat kelurahan yang ada.
Slamet sudah berada di perguruan tinggi jurusan kedokteran. Gaji pensiunan Pak
Ahmad diterima Bu Ahmad untuk membiayai sekolah anaknya. Tono, sebagai
teman dan saudara Slamet, bercita-cita kelak dapat menjadi seorang ABRI. Ia
meneruskan sekolahnya di Akabri, Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Cita-citanya ingin hidup sebagai bunga bangsa. Kalau dulu antara
Slamet dengan Tono selalu bersama dalam segala hal, baik pada saat bermain
maupun pada saat mereka belajar setiap harinya, sekarang masing-masing mulai
menekuni bindangnya sendiri-sendiri. Slamet tekun dalam bidang kedokteran. Ia
memusatkan pikirannya di bidang kedokteran. Yang selalu dipelajari adalah hal-
hal yang berkaitan dengan ilmu untuk seorang dokter. Lain pula Tono. Ia tekun
sesuai dengan bidangnya yang bertalian dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi
seorang angkatan bersenjata yang kelak mampu membela dan memperjuangkan
negara dan bangsa.
Kedua anak itu menempuh jalan yang berbeda. Tetap dari jalan yang berbeda itulah
kelak akan medndapatkan satu tujuan yang sama, yaitu membangun nusa dan
bangsa tercinta. Keduanya akan tetap menyatu demi kepentingan seluruh bangsa.
Berkat kebukatan tekad serta ketekunan yang tinggi tercapailah cita-cita keduanya.
Slamet gembira karena keberhasilannya. Ia menjadi dokter. Dokter Slamet
Sutopo. Makin besar rasa syukurnya terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Setiap hari selalu melakukan ibadah kepada Tuhan dengan sungguh-
sumgguh dan ikhlas. Untuk ayahnya ia selalu berdoa, “Ya Tuhan, dengan nama-
Mu aku berjalan. Kepada-Mu aku menyembah serta memohon pertolongan.
Berilah jalan yang lurus demi langkahku. Ya Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku
dan dosa orang tuaku, wahai Tuhan Yang Maha Besar....”Hatinya semakin pasti.
Dalam hidupnya ia ingin berbakti. Ilmu yang diterima dari para gurunya telah
mengukir jalan hidupnya membentuk satu prasasti yang abadi.