Anda di halaman 1dari 48

Wacana Oleh : Putu Wijaya

Kosep Menulis 8 Nopember 2007 · & Komentar

Ini tentang bagaimana saya menulis. Bukan tentang bagaimana seseorang sebaiknya,
apalagi seharusnya menulis. Tidak mudah menulis bimbingan menulis yang umum,
karena itu segera akan menjadi kiat yang kedaluwarsa.

Perkembangan dalam banyak hal sudah begitu cepat dan dahsyat. Manusia berubah dan
sastra pun selalu menjadi baru. Bidang penulisan terus menemukan kiat-kiat terkini,
meskipun yang lama tidak dengan sendirinya musnah.

Memang ada yang umum dan mungkin akan masih berlaku. Misalnya teknik menulis.
Buku “Teknik Mengarang” yang ditulis oleh Muchtar Lubis sampai sekarang tetap saya
anggap sebagai pedoman menulis yang terbaik.

Pertama sarannya untuk membuang dua atau tiga alenia pertama (bahkan mungkin
lembar pertama) dari yang sudah kita tulis. Karena itu biasanya bagian-bagian emosional
yang tak terkendali.

Kemudian anjurannya untuk pembukaan tulisan yang langsung menggedor dengan


masalah. Di dalam buku itu diberi contoh bagaimana Anton Chekov, sudah menabur
pertanyaan dalam kalimat pertama. Pembaca jadi penasaran dan ingin tahu apa yang
terjadi. Dan Chekov memang seorang master dalam “plot” yang selalu memberikan
kejutan yang mempesona di akhir cerita.

Yang ketiga, Mochtar Lubis menyarankan untuk tidak berhenti menulis kalau sedang
buntu. Kalau itu dilakukan, besar kemungkinan penulis tidak akan pernah kembali
melanjutkan. Setiap hendak melanjutkan sudah langsung mumet melihat jalan buntu yang
menunggunya.

Berhenti sebaiknya dilakukan justru saat sedang lancar dan berapi-api. Di samping
membantu mengendapkan emosi, itu sercara psikologis akan menjaga semangat untuk
meneruskan bekerja.

Unsur cerita secara umum juga masih berlaku, walau kehadirannya sudah teracak-acak.
Bahkan ada yang sama sekali menjungkir-balik dan memperlakukan berbeda. Dulu cerita
memerlukan tokoh, riwayat, alur dan penuturan. Sekarang cerita masih terpakai, tetapi
diacak hancur dan tidak harus memakai unsur-unsur tadi.

Pernah keindahan bahasa menjadi tujuan utama. Mengarang jadi kehebohan memberi
gincu , memoles dan memasang berbagai asesoris, sehingga yang mau disampaikan jadi
berdandan keren. Bahasa Indonesia dalam masa Pujangga Baru, misalnya, seperti menari-
nari melakukan gerak indah.
Tetapi kemudian digeser oleh Angkatan 45 yang ceplas-ceplos, kasar kadang cenderung
kurang-ajar (Surabaya oleh Idrus), tapi terasa lebih menggigit dan konkrit. Kekenesan
dan kegenitan pun ditinggal. Bahasa penulisan menjadi lebih dinamis, padat dan
berdarah. Bahasa Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontany dan
Mochtar Lubis membuat sastra Indonesia memasuki babak baru.

Mohtar Lubis adalah wartawan terkenal yang menulis dengan mempergunakan kiat dan
pengalamannya sebagai wartawan. Bahasa pers yang dulu dianggap bahasa berita yang
kering, menjadi lain ketika penulis “Jalan Tak Ada Ujung” ini memberinya muatan.

Tak pernah dipersoalkan sebagai cela lagi, kalau ada pengarang yang menulis fiksi
dengan ketrampilan wartawan. Majalah TEMPO yang didirikan pada tahun 70-an bahkan
kemudian menggabungkan bahasa sastra ke dalam pemberitaan, sehingga bukan hanya
bahasa sastra berkembang, bahasa pers juga berubah, keduanya saling menghampiri.

Pernah tema besar menjadi primadona. Tulisan yang mengangkat tentang nasib manusia,
perang, revolusi dan sebagainya menjadi tiket untuk dianggap sebagai karya bergengsi.
Kita masih terus mengagumi War And Peace karya Tolstoy dan Dokter Zhivago Boris
Pasternak dan Hamlet Shakespearre.

Tetapi cerita kemalangan seorang nelayan kecil dalam The Old Man and The Sea dari
Hemingway pun dianggap luar biasa. Juga penantian Didi dan Gogo dalam Waiting for
Godot karya Beckett dianggap sebagai sebuah fenomena, setelah pernah lama hanya
ditoleh dengan sebelah mata karena seperti dagelan

Pada suatu siang (tahun 70-an) di kantor majalah TEMPO di bilangan Senen Raya, saya
pernah bertanya pada Goenawan Mohamad. Apakah tema besar besar itu menentukan
nilai sebuah karya. Artinya sebuah karya tulisan tidak akan pernah besar kalau temanya
tidak besar. Pemimpin Redaksi Tempo yang juga salah seorang penyair dan eseis
Indonesia kelas satu itu dengan tak ragu-ragu menjawab: “Tidak.”

Saat itu saya sedang menulis novel “Telegram” dan naskah drama “Aduh”. Keduanya
tidak punya tema besar. Hanya tentang perasaan individu kecil yang gagap dan
kebingungan menghadapi komplekasi kehidupan yang semakin jumpalitan.

Rasa kerdil bahkan nyaris “bersalah” (karena tidak seperti Pramudya Ananta Toer yang
banyak bicara tentang revolusi) segera mendapat angin segar. Perlahan saya yakini, karya
sastra jadinya bukan hanya “tentang apa”, tapi “bagaimana memaparkan apa itu”.

Menceritakan apa yang ada di sekitar, yang mudah diceritakan, karena kita
menguasainya, tidak lagi terasa tercela. Lebih dari itu menceritakan dengan sepenuh
keberadaan diri kita, dengan segala kelebihan dan terutama kekurangannya, juga bukan
sesuatu yang tercela.
Dalam Telegram saya numpang bertanya lewat tokoh utamanya. “Apakah yang berhak
bercerita itu hanya para pahlawan dengan tindakan-tindakan besarnya. Apa orang yang
bodoh dan tidak tahu, tidak boleh ikut bicara membagikan pikiran-pikirannya?”

Dalam sebuah Telegram, tokoh utama mendapat telepon dari seseorang yang tidak
dikenalnya dalam bahasa Arab. Saya tertegun waktu itu. Apakah saya harus menunda
tulisan itu sampai saya dapat menuliskan dalam bahasa Arab apa yang diucapkan oleh
yang nelpon? Atau tak perlu menyembunyikan kekurangpengetahuan saya, karena
seorang penulis tak harus orang yang serba tahu.

Saya mengambil resiko, tidak perlu menunggu. Saya tulis ucapan bahasa Arab itu dengan
deretan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca, karena bagi telinga pelaku cerita, dia tidak
menangkap makna tapi hanya bunyi.

Dari proses itu saya belajar, menulis adalah “mengambil resiko” . Tanpa keberanian
mengambil resiko hasilnya hanya akan menjadi rata-rata saja. Memenuhi persyaratan,
tetapi tidak orisinal apalagi unik. Dua hal itulah kemudian yang selalu saya kejar dalam
menulis.

Keberanian mengambil resiko tidak datang begitu saja. Pendidikan orang tua untuk
menghormati desiplin membuat saya berwatak patuh. Tak berani melawan aturan. Itu
membuat saya jadi penakut dan pengecut. Tetapi pengalaman keras di lapangan perlahan-
lahan menyeret saya untuk belajar bersikap.

Pada tahun 60-an, saya menulis drama “Dalam Cahaya Bulan” di Yogya. Dalam drama
itu ada yang tidak logis. Pelaku utamanya memberikan pengakuan yang menyalahi cerita.
Pemain yang memainkan tokoh itu protes, mengatakan ucapan tokoh itu salah. Saya
hampir saja tergoda.untuk mengoreksinya.

Tapi kemudian saya bertahan, karena ucapan tokoh tidak harus semuanya benar. Tokoh
utama pun bisa saja tidak jujur. Dia hidup dan merdeka mengutarakan pikirannya, tak
hanya menjadi corong dari penulis.

Mempertimbangkan pembaca dalam menulis selalu mendua. Bisa menjadi kelemahan,


karena itu akan membatasi kebebasan. Tapi dalam keadaan tidak terlalu bebas, kreativitas
akan tertantang, lalu kita terpacu meloncat seperti dalam lari gawang sehingga hasilnya
bisa mengejutkan. Pada awalnya pembaca menjadi beban, tetapi kemudian ketika beban
itu sudah terbiasa, menjadi hikmah.

Saya percaya setiap penulis adalah sebuah dunia mandiri yang menempuh jalannya
sendiri. Ia memiliki banyak persamaan dengan orang lain, tetapi itu tidak penting. Yang
menentukan adalah perbedaan-perbedaannya.

Keunikannyalah yang akan menjadikan produknya menonjol di tengah karya orang lain.
Penulis bukan sebuah pabrik, meskipun produktif. Berbeda dengan kerajinan yang
berulang-ulang dibuat, produk tulisan selalu berbeda karena ia menyangkut ekspressi..
Setiap penulis akan menyusun teorinya sendiri. Proses kreatif itu tidak untuk ditiru
apalagi diberhalakan, meskipun boleh saja dicoba oleh orang lain. Pengalaman bekerja
penulis lain, dapat jadi perimbangan yang mempercepat proses pembelajaran menulis.
Tetapi bisa juga jadi bumerang kalau kemudian diterima sebagai sebuah idiologi.

Sastra punya potensi untuk menghibur, namun bukan hiburan. Novel, cerpen, puisi, esei
dan sebagainya adalah kesaksian, perenungan, pemikiran dan pencarian-pencarian pribadi
tetapi menjadi obyektif ketika berhasil menyangkut kebenaran banyak orang. Akibatnya
sastra tidak bedanya dengan bidang yang lain, sastra adalah ilmu pengetahuan. Tak
selamanya upaya pencarian sastra berhasil. tetapi setiap kegagalan adalah sebuah janji.

Karenanya “menulis” bukan sesuatu yang mudah. Tidak seperti yang dikatakan oleh
Arswendo: Mengarang Itu Gampang, juga tidak sama dengan apa yang dikatakan dosen
penulisan di UI, Ismail Marahimin, bahwa “mengarang itu fun”.

Mengarang - bagi saya - adalah sebuah peristiwa yang khusuk, sunyi, pedih, melelahkan,
menyakitkan, membosankan. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, menulis
menjadi sebuah peristiwa yang “menegangkan” tetapi indah dan sakral.

Menulis selalu menjadi sebuah pengembaraan baru yang membuat saya tertantang
sehingga tak ada saat untuk tidak menyala. Meskipun saya tak pernah melihat nyala itu,
tetapi dari apa yang dilakukan para penulis sebelumnya, jelas betapa jilatan pikiran
mereka tetap mengibas ke masa-zaman yang akan datang hingga membuat kehadiran
berarti.

Buat saya, menulis adalah menciptakan “teror mental”. Tetapi konsep itu akan saya
tinggalkan setiap saat kalau ada kebenaran lain yang membuktikannya salah.

Peranan Sastra 7 Nopember 2007 · dan komentar

Dengan pembatasan yang ugal-ugalan — “sastra adalah semua bentuk ekspresi dengan
bahasa sebagai basisnya” — wilayah sastra jadi merebak, merengkuh daerah yang sangat
luas. Ke dalamnya sudah tercakup sastra lisan maupun tulisan.

Prosa, puisi, lakon, skenario, skripsi, risalah ilmiah, esei, kolom, berita, surat, proposal,
catatan harian, laporan, pandangan mata, pidato, ceramah, transkripsi percakapan,
wawancara, iklam, propaganda, doa dan sebagainya semuanya jadi termasuk sastra,
karena mempergunakan bahasa.

Semua sektor kehidupan, seluruh aktivitas manusia tak bisa membebaskan diri dari
bahasa. Bahkan olahraga yang jelas-jelas menitikberatkan pada aktivitas raga, tetap saja
membutuhkan bahasa dalam menumbuhkan dan mengembangkan dirinya. Dengan
cakupan yang begitu dahsyat, sastra tidak mungkin tidak berguna. Demikianlah
mahasiswa yang sedang menekuni berbagai jurusan, akan selalu, suka tak suka
berhubungan dengan sastra.
Bagaimana dengan puisi dan prosa yang merupakan bagian dari kesusastraan (baca:
sastra yang indah). Apakah puisi dan prosa juga berguna bagi semua mahasiswa,
sehingga bukan saja jurusan bahasa dan sastra tapi juga jurusan sosial, ekonomi dan
eksakta berkepentingan mengkaji sastra? Apa seorang yang ingin menjadi insinyur,
dokter, diplomat, pengusaha, perwira, pemimpin politik, ahli hukum, negarawan dan
ulama, perlu membaca sastra?

Di tahun 60-an, pelajaran kesusastraan masih diajarkan di SMA di semua bagian A,B dan
C (budaya, eksakta dan ekonomi). Tetapi posisinya memang hanya sebagai pendukung
pelajaran Bahasa Indonesia. Tak jarang jam pelajaran kesusastraan dikanibal oleh
pelajaran bahasa.

Hal tersebut dimungkinkan, karena pelajaran kesusastraan tak lebih dari hapalan bentuk-
bentuk kesusastraan, riwayat hidup pengarang, judul karya dan sinopsis buku-buku wajib
baca. Tak pernah ditelusuri secara mendalam (gurunya tak ada yang terdidik ke arah itu)
hakekat kesusastraan itu kaitannya dengan berbagai pemikiran yang ada dalam
kehidupan. Jadinya pelajaran kesusastraan - lebih popular disebut pelajaran sastra saja -
hanya jadi pelajaran tak berguna. Dihapus juga tidak ada akibatnya.

Kesusastraan (prosa dan puisi) sesungguhnya terkait dengan seluruh aspek kehidupan.
Hanya saja karena pemaparannya menempuh lajur rekaan imajinasi, sehingga nampak
semu. Tapi dalam kesemuannya itu, sastra merefleksikan fenomena hidup beragam
dengan mendalam, mengikuti cipta-rasa-karsa penulisnya.

Untuk itu memang diperlukan kesiapan: apresiasi, interpretasi dan analisis, sehingga
dunia rekaan di dalam sastra jelas kaitannya dengan seluruh aspek kehidupan. Kritik
sebagai perangkat penting yang sesungguhnya berfungsi menunjukkan arti kehadiran
sastra, kebetulan sangat parah di Indonesia, sehingga kehadiran sastra semakin tenggelam
hanya sebagai hiburan.

Sastra memang memiliki potensi yang hebat untuk menghibur. Dan karenanya sebagai
barang komoditi nilainya tinggi. Kaitannya dengan bisnis dan industri juga meyakinkan.
Sebuah karya sastra dapat meledak, mengalami ulang cetak setiap tahun dengan oplag
raksasa dalam berbagai bahasa.

Namun sastra tidak semata-mata kelangenan, tetapi juga dokumen perjalanan pemikiran
yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah. Uncle Toms’s Cabin karya Beecher Stowe
yang melukiskan derita dan nestapa budak kulit hitam di Amerika Serikat, telah diakui
sebagai salah satu pemicu perang Saudara di Amerika dalam rangka menghapuskan
perbudakan.

Dokter Zhivago karya Boris Pasternak melukiskan hidup pelakunya yang bernama Lara
yang melambangkan Ibu Rusia. Pemerintah tirai besi Uni Soviet melarang Pasternak
menerima hadiah nobel, karena novel itu dianggap sebagai potret Rusia yang tidak
dikehendaki oleh pemerintah komunis.
Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdie menimbulkan kegegeran dunia, karena dianggap
penghinaan terhadap Islam, sehingga Ayatulah Khomeini menjatuhkan hukuman mati
pada penulisnya yang berlindung di daratan Inggris.

Di Indonesia, Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin, menjadi perkara, sehingga
HB Jassin selaku Pimpinan Redaksi majalah Horison yang memuat cerita pendek itu
diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Sementara Iwan Simatupang, sengaja
menulis drama “RT 0 - RW 0” (sekalian dipentaskan oleh para mahasiswanya), dalam
rangka memberi kuliah tentang filsafat eksistensialis.

Pada 1980 saya menulis sebuah cerpen SEPI.

Sepi sudah saya bacakan di berbagai tempat: Jakarta, Denpasar, Yogya, Bandung,
Leiden, New York, Columbus, Ithaca, Madison, Berlin, Tokyo, Afrika Selatan, Caribia.
Kesan yang didapat oleh berbagai pendengar bermacam-macam.

Apa yang tertangkap oleh pembaca memang kadangkalam bisa melampaui dari apa yang
mendorong dan ingin didapatkan ketika sastra ditulis. Artinya, sebuah karya sastra,
setelah jadi dan dilepaskan kaitannya dengan penulis, menjadi sebanyak apa yang terbaca
oleh pembaca.

Bahkan seorang pembaca yang membaca sebuah karya sastra berkali-kali, akan
menemukan seperti karya baru karena karya itu selalu memberikan nuansa yang lain,
sesuai dengan kondisi dan perasaan yang membacanya.

Boen S. Oemarjati menulis disertasi tentang sajak “Nisan” karya Chairil Anwar yang
memberikan beliau gelar doktor. Padahal sajak itu amat pendek:

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu seringgi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta

Sementara HB. Jassin menulis esei panjang yang mendalam terhadap sajak Sitor
Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Padahal sajak itu hanya terdiri dari satu baris
saja.

Bulan di atas kuburan.

Karya sastra dengan demikian adalah sebuah padatan atau esensi kehidupan yang
disampaikan dengan “indah” oleh penulisnya untuk mempertebal rasa kemanusiaan.
Membacanya, membahasnya, memerlukan ilmu bantu dari berbagai desiplin, sehingga
bila disentuhkan kepada mahasiwa, sastra menjadi semacam “starter”, pemicu pada
penjelajahan pemikiran yang tak terbatas ke segala arah.

Sesuatu yang sangat diperlukan oleh para mahasiswa agar tidak terjebak seperti tikus
masuk perangkap di dalam ilmu yang ditekuninya.

Sastra akan mengimbangi pematangan, pemantapan serta kedewasaan kepribadian


seseorang yang tidak diberikan oleh kurikulum yang hanya ingin mencetak “Manusia
Indonesia Yang Cerdas Dan Kompetitif” sebagaimana yang dicanangkan oleh “Cetak
Biru” pendidikan Indonesia.

Pelajar dan mahasiswa tak cukup hanya pintar dan menguasai bidang keilmuannya, tetapi
juga mesti memahami kehidupan, masyarakat dan realita di mana nanti dia bekerja
setelah meninggalkan bangku pendidikan. Kalau tidak, ia bisa menjadi robot yang pintar
tetapi sangat berbahaya bagi kemanusiaan.

Zen seorang kandidat doktor dari Indonesia yang sedang belajar phisika murni di
Universitas Kyoto (1991) memberikan pengakuan bahwa ia sangat dekat dengan sastra.
Dengan sastra ia dibelajarkan untuk melakukan penjelajahan imajinasi yang tak terbatas,
sehingga baginya sastra bukan semu atau khayal, tetapi konkrit. Einstein penemu teori
relativitas yang juga suka main biola pun pernah berucap:

“Imagination is more important than knowledge”.

Pemberdayaan Sastra Indonesia 6 Nopember 2007 ·

Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah,
didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, maka kesusatraan adalah
segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah
buku-buku karya fiksi dan puisi.

Tetapi sampai kepada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung.
Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Mesti ada wujud tulisannya
dulu, agar bisa diucapkan. Namun pada prakteknya sastra lisan sejak lahir sudah
merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian memang tutur itu
ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun ketika
ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak
menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.

Sebagai seorang penulis, saya tak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai
pengertian, sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan maupun lisan. Tetapi juga bukan
pengertian tok. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian
yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat
kaitannya dengan bahasa.
Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra.
Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati
pengertian yang sudah saya anut selama ini.

Karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih


sempurna, adalah bagian dari cita-cita sastra. Karena itulah dalam alam pikiran saya,
sastra tak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik.
Kalau toh ada aliran dan idiologi sastra, itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan
kepada kesimpulan yang salah.

Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba bicara tentang pemberdayaan sastra
Indonesia.

Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (192 dicetuskan,
pasti sesuatu yang asing. Karena pengertian Indonesia sendiri sudah berarti baru.
Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah
teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pengertian “baru” dicantelkan kepada Indonesia, sesudah gerakan reformasi pada 1998.
Ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa
Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak azasi manusia. Pengertian
Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 –
hanya saja dulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim
dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna scanning ulang, defragmentasi,
reinstal dan format ulang terhadap hard disk Indonesia yang sudah eror.

Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut


pemulihan terhadap hak-hak azasi manusia tersebut. Dan bagi sastra sendiri, sekaligus
juga berarti pemulihan terhadap hak-hak azasinya sendiri. Karena dalam beberapa dekade
gelap sebelum reformasi, sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah
kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.

Tak bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun –sebagai bentuk pengucapan
pikiran dan perasaan yang memakai bahasa -sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa
merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa
telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat.

Akibatnya sastra pun menjadi bukan saja mandul tetapi terutama sekali: berbalik sesat.
Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah
kemanusiaan itu sendiri.

Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa bukan lagi jembatan untuk mengucapkan pikir
dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang
menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tak bisa lagi
dipercaya.
Kalimat bersiponggang dan memekakkan tetapi kosong. Khususnya pidato-pidato para
pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi “safe deposite” yang menyembunyikan
kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai
alam pikiran.

Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dulu dipelajari sebagai
kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke
bak sampah. Dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah
berteknologi tinggi.

Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang
kemudian dengan lihaynya disulap di dalam “dagang” yang membuat pelajar
kebingungan. Teknologi pun kotor, karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah
seakan-akan itulah dewa penyelamat tyang akan membawa bangsa ke mimpi gemah-
ripah-loh-jinawi.

Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga
ikut ngacir berserakan ke sana-ke mari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi
pabrik tak berguna.

Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan atau amtenar yang
terasa lebih konkrit memikirkan realita dan kepentingan rakyat serta masa depan negara.
Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tak dapat tempat, kecuali bila
berhasil menjadi “maling-maling” besar, sebagaimana Rendra. Tetapi banyak sekali di
antaranya justru “menikmati” keadaan tak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan
kemalasan dan ketidakmampuannya.

Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan


masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi
setelah reformasi di mana semua orang boleh ngapain saja, mereka juga tetap tak berbuat
apa-apa karena memang “dari sononya” sudah tak berdaya.

Kenyataan yang juga harus diakui, adalah di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup
membuat orang menjadi sastrawan. Dan sastra secara rahasia berubah artinya sebagai
seni memaki, seni menghujat, seni menista, seni mencuri. Tak peduli nilai karyanya, asal
nampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa, terasa sebagai karya yang
berdarah dan besar.

Sastra yang semestinya punya potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari
dalam jiwanya, jadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditi. Sastra
menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang
impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah
pribadinya di atas tempat tidur.

Sebagai barang komoditi sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi
membaca, serta para penulis, bertambah jumlahnya. Penerbit-penerbit menjamur,
sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru
yang terbit. Media massa berkembang pesat, sehingga para konglomerat mulai ikut
malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan
lokal, apalagi sesudah reformasi membludak.

Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang


pesat. “Sastra” terpacu secara kwantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya
hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tak kalah pamornya dengan sastrawan
tua.

Sementara sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping
Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Dharma, Umat Khayam, Sutarji C Bachri, Taufiq
ismail (sekedar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru seperti Afrisal Malna,
Seno Gumira Aji Darmo, Ayu Utami dan sebagainya.

Memang secara perorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal
saja. Artinya di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu busuk yang terus
bekerja dengan setia. Dan hasilnya bagus. Tetapi sebagai potensi kultural, sastra
Indonesia sangat tidak berkekuatan.

Jangan mengukur kekuatan dari analisa seorang kritikus yang meskipun berhasil
menerbitkan pikirannya ke dalam buku, karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-
rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar, tidak habis dalam 5 tahun.
Meskipun memang buku Ayu Utami, belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang
berkali-kali).

Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan, sudah memble, karena dari 200 juta lebih
bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris
memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail, melakukan
wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia.

Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s/d 30 buku yang
dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar
Indonesia mencatat 0 buku.

Tak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia, tak
mampu mempergunakan bahasa. Sebagai akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di
perguruan tinggi juga tidak ada gunanya, karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka
yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Karena kalau dipaksakan pun akan
menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa
skripsi.

Taufiq kemudian membuat lobby pada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil
diskusi tersebut, didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar
sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat
yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak
langsung akan cacad pula sektor-sktor lain.

Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan
guru-guru sekolah. Dengan amat entusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu
langsung dengan para sastrawan, mendengarkan, berdiskusi tentang sastra. Mereka
nampak begitu rindu, banyak yang terkejut, melihat sastra begitu dekat dengan berbagai
persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dal;am rangka
pembelajaran anak-anak bangsa.

Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta itu kemudian meluas ke
kegiatan se-Jawa Barat-jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di
seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan
masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.

Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan
sastra. Namun itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan,
harus segera diatasi dengan tindakan. Dan bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari
yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa bahkan bisa
mendatangkan duit.

Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong
Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra. Menjadikan Indonesia –dalam pengertian
sastra -kembali memposisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan
lain seperti teknologi, ekonomi, politik dan sebagainya.

Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya.
Pemberdayaan sastra adalah bagian bagian dari pemberdayaan seluruh sumber
daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu kita mencoba untuk
menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah-
loh jinawi lewat sektor dan tanggungjawab para profesional.

Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isyu sangat klise sekarang. Karena itu
dengan mudah kemudian bisa ditafsirkan kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah
memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tak lebih dari
sedekah atas dasar belas kasihan dan seringkali lebih banyak menguntungkan satu dua
individu sastrawan –bukan pada sastra-nya.

Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu
pribadi. Baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, Chairil dan
sebagainya. Pemberdayaan sastra ada usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk
penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk
sastra, tetapi juga untuk seluruh manusia.

Sastra tak mungkin, tak sanggup dan tak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tak memerlukan
isolasi. Bahkan sastra yang terisolir pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan
kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerjasama dengan seluruh
sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingoin berbicara kepada setiap
manusia/warganegara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan dan kepangkatan.

Bentuk kerjasama itu adalah kerjasama profesional, atas dasar kegunaaan kegunaan
timbal-balik, bukan pemerasan atau pencekokan.

Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada
posisi yang tepat dalam simponi kehidupan, sehingga sastra sebagai “sembako batin”
jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin hubungan antara sastra dengan masyarakat tidak
lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan tetapi saling membantu, saling
mempergunakan dan saling menyempurnakan.

Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya sama sekali bukan pemberantasan potensi
sastra sebagai barang komoditi. Karena potensi sastra sebagai apa pun, harusnya tetap
dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra.

Pemberdayaan di sini harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai


kekuatan sastra tersebut, sehingga ia bisa hadir utuh dalam dalam kehidupan serta
berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Dan itu tak perlu
disimpulkan sebagai penentangan kepada “penguasa” –selama kekuasaan adalah alat
yang menjalankan kedaulatan rakyat.

Pemberdayaan sastra yang dalam benak saya, mau tak mau adalah pemberdayaan
sastrawan, untuk sementara. Dengan satrawan yang tak berdaya tak akan mungkin ada
sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tak berdaya tak
akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam mana pun. Karena kita
tidak berpikir tentang pemberdayaan semu, sebagai slogan atau etalase dalam sebuah
pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan
berkesinambungan.

Dengan sastrawan yang berdaya, tak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra
sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi
untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tak kurang pentingnya dari
berbagai percobaan fisika di laboratorium, tak kurang pentingnya dari ekploarasi
pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai. Tak kurang pentingnya dari
disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara
mendalam.

Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Perancis yang
diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Perancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an,
terucap perbedaan posisi sastra di Perancis dan Indonesia. Di Perancis kata mereka, sastra
sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinra para sastrawan juga
setara harkatnya dengan para ilmuwan.
Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Tetapi status sosial tersebut hanya
kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Sebagai akibatnya maka satrawan
pun memikul tanggungjawab ilmu pengetahuan atas profesinya.

Sastrawan sebagai pabrik sastra, mesti lebih dulu berdaya. Dan itu tak bisa dicapai hanya
dengan slogan, teriakan, yel-yel atau demo. Mustahil terjadi dengan surat sakti, besluit
atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi dan mulai dari hati pemerdayaan
sastrawannya sendiri, sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra
memang berdaya.

Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan


masyarakat, bahwa sastra adalah penyampung lidah nasib mereka. Dan itu bukan sesuatu
yang mustahil, karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki
Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Aji, Ida Pedande Dau Rauh dan sebagainya.

Reposisi Sastra Indonesia 5 Nopember 2007 ·

Posisi sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan
dalam konteks pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah Indonesia
hampir tak mendapat pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan informal, sastrawan
Taufiq Ismail menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam
kurun 3 tahun, sementara pelajar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku. Dan
malangnya keadaan yang amat papa itu masih dianggap sudah lumayan, karena sastra toh
masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai asesoris. Seakan dengan mempelajari
bahasa Indonesia, sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Walhasil
pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak
perlu diberikan “otonomi daerah”.

Dalam posisi yang “hina” dan “sepele” tersebut, memberdayakan sastra Indonesia,
sebagai potensi untuk membangun Indonesia baru, menjadi absurd. Kecuali kalau kita
melakukan reposisi radikal terhadap pengertian sastra itu sendiri. Sebuah upaya
akrobatik, yang ambisius dan bombas, untuk memberdayakan kembali lahan yang sudah
mati suri itu. Karena kalau tidak dilakukan penyulapan, dari tempatnya yang mati kutu
seperti sekarang, sastra jangankan berdaya, bernafas pun tidak mampu.

Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi, harus dipujikan bahwa pelajaran
bahasa Indonesia, membuat orang belajar tentang ilmu tata-bahasa. Mengerti tentang
bahasa Indonesia sebagai ilmu. Dan mau tak mau juga akan mengerti logika dasar
manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke
dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghapal pengertian kata, menyusun
kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu-lintas percakapan.
Pelajaran bahasa mengantar bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat
berkomunikasi yang memiliki tatanan.
Tetapi, pelajaran tata-bahasa tidak dengan sendirinya bermakna berlatih mempergunakan
bahasa untuk membentangkan alam pikiran personal kepada orang lain. Pengetahuan
bahasa, belum tentu menjamin yang bersangkutan pasih apalagi lihai mempergunakan
bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna
dalam kehidupan. Bahasa Indonesia tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom
pengucapan personal, yang secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan
ekspresi emosional seseorang, kalau tidak disertai latihan-latihan khusus, sebagaimana
yang dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan
untuk dapat menganalisa bahasa, bukan sebagai alat mentransver apalagi mengconvert
pengertian personal.

Akibatnya, ketika seorang yang ahli bahasa Indonesia berpikir, merasa dan kemudian
berbicara untuk mengekspresikan pengalaman personalnya, ia belum tentu berhasil
mengembangkan bahasa itu menjadi kausakata yang secara akurat mewakili makna-
makna yang hendak diutarakannnya. Apalagi menyangkut pengalaman-pengalaman
spiritual yang pelik, abstrak dan penuh dengan asosiasi serta simbol-simbol. Sesuatu yang
merupakan kegiatan khusus sastra. Di dalam sastra, ilmu bahasa, tata bahasa,
dikembangkan, diaplikasikan, dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman
spiritual seseorang, agar dapat sampai kepada orang lain sevara akurat, dengan berbagai
cara.

Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini, selalu diidentifikasi sebagai karya
tulis. Karya indah yang tertulis, baik berbentuk puisi maupun prosa. Lebih jauh lagi, yang
menon jol adalah faktanya sebagai sebuah fiksi. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual.
Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Tetapi kesinambungannnya dengan
ratio, pemikiran dan telaah-telaah, sudah dipreteli habis. Maka sastra menjadi penari strip
tease. Penyebar keindahan, yang menimbulkan kelangenan, kenikmatan, keasyik-
masyukkan dan akhirnya kealpaan dan bencana.

Sastra sebagaimana di atas, kopong dan sama sekali tak ada hubungannya dengan
“sastra” lagi. Dia menjadi barang komoditi yang bertuan kepada bisnis. Hidupnya subur
dan dilalah didukung oleh lapisan masyarakat yang luas. Dia menjadi barang nyamikan
masyarakat, yang menimbun lemak serta kolestrol. Dan pada gilirannya membawa
masyarakat ke dalam pendangkalan-pendangkalan sehingga massa menjadi tolol, masa
bodoh dan malas untuk berpikir. Sastra pun menjadi kuburan dan pelarian bagi pemalas.

Sastra yang mengisi pasar itu, memiliki kekuasaan dahsyat. Ia masuk ke dalam gubuk-
gubuk kecoak sampai ke rak buku masyarakat kelas elit yang menyembahnya sebagai
berhala. Sastra semacam itulah yang memiliki kekuatan nyata. Para sosiolog, ahli sejarah
dan psikolog, mengenalnya secara baik. Karena lewat sastra itulah ia dapat membedah
fenomena masyarakat pada suatu masa. Dari makanan batinnya itulah mereka mengenal
isi perut dan lekuk-lekuk otak manusia macam mana yang menghuni suatu dekade. Lalu
mereka menulis risalah sejarah, sosiologi, psikologi dan malangnya kadangkala tak
tertolak juga menulis risalah sastra. Walhasil, bukan sesuatu yang tidak berguna.
Tetapi kita memang tidak sedang bicara soal kegunaan. Karena apa pun substansinya,
apabila dipandang dari sudut kegunaan, tetap akan berbunyi kemanfatannya. Kita
mencoba melihat sudah ada penyimpangan nilai-nilai antara kegunaan, kepentingan dan
kualitas. Karena fenomena sastra dagangan memiliki kegunaan dan penting dalam
mengungkap fenomena masyarakat, ia cendrung dianggap memiliki kualitas. Sementara
yang benar-benar berkualitas, karena tidak secara gamblang menunjuk kegunaan dan
memerlukan waktu untuk mengidentifikasi arti pentingnya, menjadi sampah.

Khususnya terhadap berbagai peninjau dari mancanegara. Secara berseloroh pernah


disindir oleh pemusik Slamet Abdul Syukur, bahwa mereka biasanya melakukan telaah
dengan melempar batu ke hutan, lalu mencari-cari batu yang barusan dilemparkannya
(anekdot ini saya dengar dari orang lain). Merekalah yang sering memberi label keliru,
karena kepentingan mereka berbeda. Namun kekeliruan mereka kemudian menjadi
hukum, karena penghargaan kita terhadap peneliti mancanegara demikian tinggi.

Sudah terjadi kerancauan di dalam sastra Indonesia. Kerancauan yang amat mendalam.
Karena kiblatnya adalah kepentingan dalam tandakutip “Barat”. Tetapi itu bukan tidak
penting. Karena dari kerancauan itu, menjadi semakin terang, sastra apa yang selama ini
“tidak” dibicarakan. Sastra itulah yang akan kita bicakan berikut ini.

Yang kita maksudkan dengan sastra, adalah daerah gelap yang belum dijelajah oleh
tangan-tangan peneliti yang tak lain dari “pencari batu yang dilemparkannya sendiri itu”.
Dan itu harus dimulai dengan tidak lagi hanya memparkir sastra sebagai tulisan yang
indah dan menarik saja. Sastra adalah seluruh ekspresi manusia yang diutarakan dengan
bahasa. Tertulis ataupun tidak tertulis. Indah atau pun tidak indah.

Apakah itu penting, berguna atau berkualitas, tidak ditentukan oleh mereka yang
menilainya. Ia ditentukan oleh eksistensinya sendiri. Selama ia merupakan ekspresi lewat
bahasa maka ia adalah penting, berguna dan berkualitas sebagai sastra. Sastra adalah
seluruh upaya bahasa untuk mengekspresikan eksistensi manusia-manusia yang
diaturnya.

Sastra dengan demikian tidak lagi hanya merupakan barang hiburan. Bahwa ia dapat
menghibur, itu besar kemungkinannya, tetapi bukanlah tujuannnya. Sastra adalah seluruh
pengucapan manusia. Seluruh pikir rasa dan karsa manusia, lewat bahasa yang mereka
kuasai. Sastra adalah pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan, pengutaraan
pengalaman spiritual manusia bersangkutan dengan memakai bahasa sebagai wadahnya.

Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna-makan dengan
bahasa sebagai alatnya. Jadi sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekedar
alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kausakata
untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan
sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan
sastra adalah dua sekawan yang saling bahu-membahu untuk mengembangkan daya
jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya.
Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya
penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah
perkembangan pemikiran di dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya.
Sastra juga bukan hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan dan permainan
bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, pilihan sudut padang dalam membelah
kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual, dengan bahasa sebagai mediumnya.

Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghapalan nama serta tahun-
tahun, merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogyanya adalah pelajaran tentang
proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika,
kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan
berbagai ilmu bantu seperti: filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu
sendiri dan bahkan juga ekonomi dan teologi.

Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar
pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi
bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di
seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Dan sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-
angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus.

Dengan memposisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan
konkrit. Pertama: sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi
sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi tetapi
juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya, sehingga memiliki wilayah jelajah
yang tak terbatas.

Kedua: sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang-
surut kehidupan. Kesimpulan-kesimpulannnya bertumbuh. Ia mengembangkan budaya
interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda,
dengan kebenaran yang berbeda namun saling menunjang sebagai sebuah keutuhan.
Sastra adalah pendidikan jiwa, yang mengembangkan citra manusia dan kualitas
kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri
perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan.

Ketiga: sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan
sastra dapat dicapai berbagai hal yang tak tergapai oleh kekerasan senjata. Dan pada
gilirannnya sastra yang berpotensi, memiliki kekuasaan untuk mengarahkan manusia ke
tujuan yang hendak digiringnya dengan dengan pesona bahasa dan makna-maknanya
tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan.

Barangkali masih dapat dicari kekuatan sastra yang lain, tetapi tiga hal di atas saja sudah
cukup untuk membuat sastra berhenti tak berdaya. Sastra yang diciptakan oleh manusia
menjadi potensial untuk membangun manusia. Dalam situasi perpecahan yang kini
merebak di mana-mana, sastra juga tidak sedikit kemungkinannya untuk
menyumbangkan andil. Karena sastra dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh
senjata. Sastra dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Dan sastra
dapat menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Dan
pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa itu sendiri agar lebih hidup dan
lebih bermakna dalam pergaulan manusia.

Dengan bahasa, manusia dapat bertemu dan merasakan dirinya satu nasib. Membangun
dan mengembangkan sastra Indonesia dengan sendirinya juga memposisikan sastra
sebagai perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi itu tak akan mungkin terjadi
sebelum kita mereposisi sastra dalam peta pendidikan kita mulai sekarang. Sastra berhak
menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga sastra menjadi baru dan relevan. Sastra
harus tak sepantasnya hanya benalu apalagi virus dalam pelajaran bahasa, sebagaimana
tersistimkan dalam pendidikan kita selama ini.

Sastra Reformasi 4 Nopember 2007 ·

Orde Baru dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para
teknokrat bergabung membenah Indonesia yang dinilai sangat rawan kesejahteraan
rakyatnya. Maka agenda pun dipalingkan ke perkembangan ekonomi.

Orde Baru mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda
didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener. Rakyat
diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan. Mereka dibimbing
menghadapi kenyataan dan mencintai uang.

Kelas menengah yang kemudian lahir, ternyata bukan memelopori penalaran, mereka
malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat memang menjadi sadar pada
kemiskinannya lalu menjadi lapar pada kesuksesan tapi dalam bentuk materi. Orang
mulai terbiasa memburu uang dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-
kemajuan phisik tidak diimbangi oleh kesiapan batin.

Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan manusia ke arah
perkembangan batin, amat terpojok. Tempatnya di luar pembangunan, bahkan nampak
mengganggu. Karena dianggap tak berguna, kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset
bangsa, bahkan dinilai sebagai pemborosan. Digeletakkan begitu saja di sudut kecil
sebagai pajangan parawisata.

Dan sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya
sebagai pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia, menjadi
hanya kelanggenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.

Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti kesemarakkan
pasar. Hal ini ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang dikampanyekan oleh majalah-
majalah wanita yang gemerlapan dan menjual gaya hidup wah. Untuk bertahan sastra pun
ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra
Indonesia.
Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh antara lain lewat sastra, sebagaimana yang
pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya, kembali gagal. Kemanusiaan
sendiri mendapatkan rangking nol di dalam kehidupan. Yang menjadi utama pada era
tersebut adalah politik, ekonomi dan teknologi. Tapi itu pun politik kelas yang berkuasa,
ekonomi kelas konglomerat dan teknologi mercu suar.

Reformasi mendadak memberikan kesempatan.

Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra, di dalam kehidupan. Dapat


diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala keluhan di masa lalu, mendadak
tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan
mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap
sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki
kemungkinan.

Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang. Membuka pintu dan memulai kerja
besar. Tapi benarkah sastra melangkah laju ke depan bila tanpa hambatan, tanpa ditolong
oleh siapa-siapa. Beranikah, mampukah, dan berhasilkah sastra membuktikan
keberadaannya yang istimewa penting di dalam kehidupan yang lebih bebas?

Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut mengeluh terhadap
berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan sewenang-wenang merupakan alasan
yang empuk untuk membenarkan bahwa layaklah tidak ada hasil besar yang lahir.
Padahal pada zamannya, bukan sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta
Toer, toh dia berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan pada zaman
kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis karena
mereka dilarang berkarya, toh lahir penyair-penyair besar seperti Goenawan Mohamad,
misalnya. Sedangkan di era Orde Baru yang dianggap sebagai neraka bagi kebebasan
berekspresi, tetap saja melambung karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budidharma
dan sebagainya, seperti tak tersentuh oleh berbagai hambatan.

Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan besar dan karya besar
yang lain? Harusnya lahir. Tanpa itu bagaimana mungkin sastra dapat mereposisi
dirinya? Tetapi sayang, sudah setahun reformasi bergulir, yang lahir baru novel “Saman”
dari tangan Ayu Utami, pengarang wanita yang dipujikan oleh para pengamat sebagai
jenius yang membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia. “Malu Aku Jadi Orang
Indonesia”, kumpulan sajak Taufiq Ismail. Novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis
Basino serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?

Sedang giat menulis atau ikut kampanye? (Apa karena krismon yang membuat harga
kertas membumbung tinggi penerbitan jadi seret? Karena prioritas dikerahkan kepada
pada pemulihan ekonomi dan kestabilan politik?) Atau karena tidak terbiasa oleh
kebebasan? Apakah kebebasan justru membuat sastra jadi tak berdaya?

Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih tajam dan
produktif. Sementara kebebasan seringkali berakhir dengan kebingungan apabila memang
jiwa sastrawannya memang tak bebas. Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi,
ia tidak tahu mau mengisi dengan apa?

Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang, tetapi juga
dapat membunuh. Karena dalam ketidakbebasan yang macam mana pun, selalu ada
peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur. Sehingga sastra tidak pernah tidak
ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya kalau memang tak ada, dibebaskan dengan cara
bablas-bablasan pun dia tetap tak akan hadir.

Atau: menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang diperlukan
sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi. Sastra harus menghidupkan visi.
Para sastrawan adalah visoner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi input-
input berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing. Sehingga sastra tidak hanya
berhenti sebagai sastra. Tetapi berawal dari sastra dan kemudian berserak ke seluruh
sektor kehidupan. Dengan begitu sastra baru akan memiliki wibawa yang setara dengan
pengetahuan. Karena ia memiliki akses ke segala arah. Sementara keindahan bahasa
adalah bonusnya.

Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya, bukan berarti “Pembebasan”, yang
berarti: bahwa kini adalah saatnya sastra dapat berbuat apa saja. Bahwa kini adalah
saatnya sastra dapat menuliskan apa saja. Tidak. Karena sastra selalu komplit. Sastra
selalu mendua. Sejak adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan.
Kenapa? Sastra yang berpihak memang tidak pernah bebas. Dan sastra yang bebas, tidak
pernah bisa ditahan oleh apa pun, karena dia memiliki kreativitas untuk mengelak.
Keduanya bangga atas keadaannya. Dan suka tidak suka, ternyata saling melengkapi.

Sastra reformasi menurut hemat saya, bukan: “pesta kebebasan dan selamat tinggal
ketidakbebasan”, tetapi masalah kesempatan dan agenda. Masalah prioritas apa yang
seyogyanya harus dilakukan oleh sastra, baik sastra yang berpihak maupun sastra yang
bebas, pada saat ini. Saat ketika Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti
dengan tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya nanti, adalah
kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako jiwa.

Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari benar artinya
sebagai sembako batin. Namun dia juga mengerti di mana posisinya kini. Idealismenya
mengandung strategi. Sastra mesti melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak,
tujuannya akan terganggu atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat,
tetapi karena tidak dewasa menyikapi situasi.

Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor kehidupan.
Karenanya sastra tidak mungkin tidak, tetap akan menghadapi berbagai halangan.
Kesulitan-kesulitan di masa lalu, bukan tidak akan mungkin akan terulang lagi.
Kekurangan penerbit, jalinan distribusi tak lancar, aturan main yang tidak mendukung
bahkan juga sensor dan sebagainya yang dulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai
lagi. Dan menjadi bertambah berat, karena itu terjadi dalam era reformasi.
Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek
kehidupan secara aktif. Membuktikan dirinya bukan hanya semata-mata hiburan. Bukan
sekedar “sastra”. Untuk itu sastrawan sendiri harus berkemas, membenah diri, dan
belajar. Karena penampilan yang rusak, citra yang kalangkabut, wawasan dan gagasan
yang mgawur dan mabok, justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi
bukti bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.

Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus menunjukkan kwalitas
dan sekaligus kwantitasnya. Dia tidak boleh enak-enakan menuntut apalagi mengemis
pengakuan. Sastra harus berjuang untuk merebut pengakuan, seperti partai-partai merebut
kursi dalam pemilu. Kalau tak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tak punya apresiasi,
tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Karena itu sastra perlu bisa
membuktikan dirinya berkaliber, sehingga mau tak mau pantas diakui.

Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas dan barangkali juga harus bijaksana. Sastra
harus mampu membangun imij bahwa ia adalah pekerja pendidikan jiwa yang setara
dengan pekerja-pekerja kehidupan lain seperti sejarah, politik dan ekonomi atau
teknologi, misalnya. Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya
pengalaman-pengalaman batinnya.

Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan, tanpa sastra kehidupan akan
berjalan timpang. Dan itu tidak cukup dengan sebuah slogan tetapi kerja nyata sehingga
ada bukti. Dengan karya-karya yang berkesinambungan. Dengan usaha-usaha. Dengan
percobaan-percobaan dan barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi,
kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.

Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan sebagai


pembenaran kemacatan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu yang sudah terbiasa
pada sastra. Sering itu menjadi kekuatan sastra sendiri. Kalau tidak berani menghadapi
kesulitan, barangkali memang tidak perlu menjadi sastrawan.

Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan? Menumbuhkan ethos


kerja yang lebih kerangsukan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan disusul dengan
pertanyaan: siapkan pemerintah dan masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Dan
selanjutnya akan melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya
akan kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu sebagai
sembako?

Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik,
kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan
perilakunya sebagai sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak,
memasang label reformasi di kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-
karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.
Pengajaran Sastra 3 Nopember 2007 ·

Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus
dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah:
apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan dengan
mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya
pada sastra.

Mungkin setelah itu seorang guru sastra mendapatkan beberapa pegangan untuk untuk
menjawab, walau pun tidak benar-benar tuntas tentang: bagaimana mengajarkan
pelajaran sastra. Tetapi sementara itu, pertanyaan lain sudah buru-buru hendak mengejar.
Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya ada di luar sastra. Apa, siapa dan bagaimana
sebenarnya apa yang disebut “guru” itu. Apakah itu sebuah lembaga atau orang?

Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan adalah segala


tulisan yang indah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang tidak indah tidak termasuk
sastra. Apa batas/syarat keindahan itu. Bagaimana kalau ada sebuah karya yang sama
sekali tidak indah, tetapi mengandung ekspresi yang sangat penting, sehingga menuntun
imajinasi mengembara ke sesuatu yang lain, yang mengantarkan ke pada makna-makna
yang mendasar, sehingga menciptakan haru?. Apa itu juga keindahan? Kalau begitu
keindahan itu bisa tidak indah?

Lalu bagaimana dengan sastra lisan yang menjadi salah satu kekuatan di dalam tradisi
kita, apa itu bukan sastra hanya karena tidak tertulis? Sebuah sastra lisan Bali yang
dikenal dengan nama Men Kelodang ( Bu Kelodang), misalnya, (atau ambillah sastra
lisan yang mana pun) transkripsinya bila dibaca akan terasa patah dan tak indah.

Tetapi bila dibunyikan, lewat mulut seorang nenek untuk didengarkan oleh cucunya yang
sedang tumbuh, ia menjadi sebuah tenung yang mengandung berbagai aspek. Di situ ada
pendidikan moral yang diam-diam menjadi kekayaan batin calon penerus generasi itu di
masa depan. Sastra lisan adalah sebuah lab, sebuah kepustakaan yang berwujud bunyi
yang sangat besar artinya pada tradisi Timur yang menempatkan pembelajaran sebagai
proses yang non formal yang disebut magang atau nyantrik..

Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa
sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita
seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang
tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su (indah), catatan-catatan,
surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan
pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu
adalah sastra.

Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra mendadak
membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan pun
yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Segala hal kena gigit
oleh sastra. Teknologi dan dagang pun tak mampu bebas dari sastra.
Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya, bila sastra
tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada sesuatu yang telah
sesat . Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu sendiri.

Bila di masa lalu, pelajaran sastra hanya dikunyah oleh anak-anak bagian A (budaya) di
SMA, bahkan kemudian nyaris dibuang, karena jam pelajarannya dikanibal oleh
pelajaran tata bahasa, maka sebenarnya sudah terjadi kesalahan besar. Sastra harus
dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya
akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa. Dan tanpa
kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan hanya kering, membosankan,
tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.

Dengan memandang sastra seperti itu, tak ada yang tidak terjamah oleh sastra. Sastra
sendiri sebaliknya juga tidak hanya terpatok pada dirinya sendiri. Sastra tak terkunci pada
keindahan, kemolekan dan tulisan tok. Sastra tak hanya masturbasi kata-kata, tetapi idiom
idiom bahasa, yang menjadi kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya,
teknologi, ekonomi maupun masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan
bahkan juga agama.

Tak heran, kalau di berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra, dikaitkan
dengan sejarah dan politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya berhenti sebagai bacaan
pelipur lara, tetapi juga menjadi dokumen sosial-politik terhadap kurun masa di saat
pengarangnya hidup. Dari sebuah cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik
di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S.

Guru sastra bertugas untuk membuka semua katup-katup sastra. Dengan keberadaan
seorang guru permainan kata-kata itu tidak mampus sebagai teka-teki, tetapi memberikan
inspirasi yang membuat sastra berdaya. Sastra akan memotivasi bahkan menstimulasi
manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang dan mencapai targetnya. Guru sastra adalah
seoprang jubir, seorang PR, seorang menejer, seorang agen dan seorang penafsir.
Walhasil seorang “:pemain” aktip, bukan hanya makelar apalagi

Pada prakteknya, seorang guru di masa lalu, adalah seorang “penghajar”. Ia memiliki
posisi lebih tahu, lebih cerdik, lebih pintar dan lebih berkuasa . Untuk mengoper ilmu
yang dikuasainya (padahal sering ilmu yang sudah kedaluwarsa), ia tak segan-segan
melakukan kekerasan dengan dalih desiplin. Suasana kelas lebih merupakan pertunjukan
monolog dan indoktrinasi tanpa boleh ada yang membantah. Yang terjadi bukan proses
pembelajaran tetapi penderaan. Murid-murid disiksa untuk menelan, menghapal, apa
yang dimuntahkan oleh guru. Berpendapat lain bisa dicap kurangajar.

Hasil pembelajaran seperti itu memang tak menghalangi anak-anak yang jenius untuk
tumbuh terus dan melejit berdasarkan kodratnya. Tetapi secara umum, posisi guru yang
menghajar itu sudah menyelewengkan makna pembelajaran menjadi pelajaran
mengembik. Murid-murid hapal nama-nama, tahun dan jumlah, tetapi tak mampu
memaknakan apa hakekat dari semua pengetahuan yang diterimanya.
Murid yang terdidik bertahun-tahun bukannya menjadi luas wawasannya dan kaya
gagasannya, tetapi malah menjadi berkepala keras dan pada gilirannya, mentoladan jejak
gurunya, menjadi otoriter.

Mengajar adalah mengantar, membimbing, mengembangkan potensi anak-anak didik


dengan berbagai pengetahuan yang harus terus dikembangkan dan diikuti
perkembangannya. Pelajaran bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mengantar mereka yang
diajar agar sampai kepada hakekat dari makna-makna berbagai hal di dalam kehidupan
yang terus bergerak, berkembang, bertumbuh bahkan mungkin berubah.

Kadangkala seorang guru bisa lebih bodoh dari muridnya, tetapi ia tetap seorang guru. Ia
menjadi guru bukan karena lebih pintar, tetapi karena berkemampuan untuk
mengembangkan potensi anak didiknya berdasarkan kemampuan masing-masing.
Mengajar dengan demikian bukanlah mengindoktrinasi, atau menyulap orang bodoh
menjadi pintar. Guru bukan seorang dukun, bukan juga tukang sihir dan bukan seorang
tiran.

Guru adalah seorang teman yang membimbing yang membagi informasi secara periodik
dan sistimatik, sesuai dengan tingkat kemampuan anak didiknya. Sehingga apabila ia
menghadapi murid yang sangat pintar, yang lebih pintar dari dirinya, ia tidak perlu
merasa terancam akan dipecat. Sekali seorang menjadi guru, ia tetap saja guru, karena itu
sebuah fungsi yang tetap diperlukan oleh orang yang pintar sekali pun, karena “guru” lah
yang menemani muridnya untuk mengembangkan kepintarannya.

Mengajar lebih cenderung sebagai menemani secara aktip, anak-anak didik dalam
memunggut pengetahuan dari berbagai buku. Mengajar lebih kurang adalah menjadi
seorang tukang kebun dengan berbagai bibit pohon yang memiliki watak berbeda-beda,
di dalam sepetak tanah yang sama.

Kesibukan rutinnya adalah merawat dan mengembangkan. Bagaimana membagi


perhatian, bagaimana menyiasati agar pohon-pohon itu berkembang, di tanah yang
adanya memang begitu, adalah tanggungjawab guru.

Mengajar sama sekali bukan menghajar, meskipun sekali tempo diperlukan hajaran.
Mengajar adalah mempengaruhi kalau perlu “menipu” anak didik untuk mencintai dan
melihat kegunaan dari apa yang dibelajarkan. Mengajar berarti membuat siasat. Seorang
guru harus belajar bersiasat, tanpa bersiasat, pembelajaran akan kembali menjadi
penghajaran.

Seorang guru harus dapat membuktikan bahwa apa yang diajarkannya bermanfaat. Tanpa
melihat kemanfaatan dari apa yang dipelajari, tanpa menyadari kaitannya dengan realita,
maka pelajaran tetap akan kembali sebagai “penghajaran” yang membuat mereka yang
belajar merasa didera/dihukum.

Mengajar bukan menyulap seorang anak yang bodoh menjadi pintar, bukan mendadani
murid dengan asesoris ijazah/gelar, tetapi mencoba membuktikan bahwa bahwa anak
yang bodoh itu sebenarnya sudah keliru, karena ia lupa bahwa dirinya pintar. Tak ada
yang bisa diajarkan kepada orang lain, apalagi sastra.

Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra
dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra.
Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas
kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata,
seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang
pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan,
bahwa sastra adalah ilmu.

Apa gunanya sastra. Mengapa sastra terkait dengan hidup setiap orang? Itulah yang harus
dijawab oleh setiap guru sastra supaya pebelajarannya tidak menjadi penghajaran.

Ada banyak metode mengajar. Semua metode bagus, tetapi tidak semua yang bagus
cocok dengan siapa yang mengajar dan siapa yang diajar. Sementara itu, siapa yang
mengajar tidak harus lebih penting dari siapa yang akan diajar.

Bukan pengetahuan pengajar atau apa yang cocok dengan pengajar yang penting, tetapi
apa yang akan menjadi pengetahuan yang diajar dan bagaimana membuat yang diajar jadi
berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan agenda mutlak. Seorang guru sastra
memiliki strategi masing-masing sesuai dengan medan dan kondisi orang-orang yang
diajarnya.

Pelajaran sastra tak penting diajarkan oleh siapa, tapi siapa yang diajar, itu sangat
menentukan. Di masa lalu hal ini diabaikan. Kurikulum yang ingin mensistimatiskan
pendidikan, mecoba melihat pembelajaran sebagai membangun rumah. Desainnya yang
terlebih dahulu dirancang. Kemudian dirinci pelaksanaannya sesuai dengan waktu dan
biaya. Lalu hasilnya ditargetkan. Tapi apa yang terjadi?

Yang muncul adalah satu birokrasi yang rapih. Rumah pun jadi, nampak indah, tepat
waktu, sesuai dengan rencana dan tidak ada pembengkakan biaya. Itu sem ua memang
cocok buat menyusun laporan, sebab ada rencana, ada hasil, sehingga jelas plus dan
minus prosesnya dalam setiap tahun. Persis seperti sebuah pembukuan uang.

Tetapi apa lacur, rumah yang dibangun itu, hasil pembelajaran sastra itu, ketika dihuni,
ketika diujicoba hasilnya, yang tinggal hanya dendam, rasa benci dan muak, karena hanya
menjadi kenang-kenangan bagi mereka yang sudah dihajar, terhadap tindak kekerasan.
Rumah itu bukan dipersiapkan untuk ditinggali tetapi dilihat sebagai maket dal;am
sebuah pameran. Pelajaran sastra hanya menjadi pelajaran tidak perlu yang buang-buang
waktu dan membuat orang benci pada sastra.

_Pembelajaran sastra telah menghasilkan semacam Rumah Sangat Sederhana yang cocok
untuk etalase laporan administrative, bahwa sudah dilaksanakan pembangunan. Namun
kalau ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorang pun yang dapat hidup tenang di
dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara itu. Berbeda dengan rumah-rumah liar
yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel kereta api di stasiun.

Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi sarang bagi
pengghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan
kebutuhan penghuninya, sehingga cocok dan akrab. Rumah semacam itulah yang lebih
diperlukan dalam proses pembelajaran sastra.

Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan
mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak
diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak
seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi
yang nyata.

Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti
pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun,
gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai
dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.

Sajak-sajak pamflet Rendra, lagu-lagu Bimbo yang liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail,
misalnya, selama ini tak pernah sempat diajarkan di dalam pelajaran sastra, karena
adanya diujung kerucut. Bahkan guru-guru sastra pun banyak yang tidak tahu. Pelajaran
sastra harus dimulai digenjot dari masa kini, karena sastra bukan hanya mimpi, bukan
cerita masa lampau..

Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk
menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita,
di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada
mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk,
memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.

Sajak “Aku” yang ditulis oleh Chairil Anwar, setiap kali dibaca kembali, seperti sebuah
sajak yang baru, karena ia mengandung makna yang seperti tumbuh. Kata-kata memang
sesuatu yang mati, tetapi maknanya berkembang, mengikuti interptretasi dari pembaca.
Karya sastra tidak membungkam pembaca, tetapi justru menawarkan diri agar pembaca
dapat mengembangkan interpretasinya. Sastra menggelorakan kehidupan pikir dan
imajinasi pembaca. Permainan itulah yang akan membuat sastra menjadi semacam
permainan yang seharusnya menarik dan asyik karena hampir tanpa batas.

Sebuah lakon bernama “Menunggu Godot” karya Samuel Beckett, adalah sumbangan
yang monumental terhadap kehidupan. Sebagaimana Thomas Alfa Edison yang
menemukan listrik, atau Einstein yang menyumbangkan teori kwantum, Beckett
menangkap satu makna besar dari kehidupan bahwa pada hakekatnya manusia, semua
manusia harus menunggu. Dengan memahami kesaksian Beckett tersebut, wawasan
tentang kehidupan bertambah dan semakin jelas bahwa sastra bukan hanya hiburan, tetapi
ilmu.
Sebuah novel berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Beecher Stowe yang menceritakan
penderitaan budak-budak kulit hitam di Amerika telah mengobarkan rasa kemanusiaan
orang Amerika. Buku tersebut dianggap salah satu pencetus dari perang Saudara di
Amerika yanbg kemudian membawa kesetaraan perlakuan terhadap kulit hitam di negara
yang kini mengakju menjadi pelopor demokrasi itu.

Kita membutuhkan guru-guru pelajaran sastra yang memahami apa sastra dan bagaimana
mengajarkan sastra kepada anak didiknya. Untuk itu, sebagaimana juga olahraga,
diperlukan pendidikan khusus.

Tapi itu mungkin hanya sebuah mimpi, kecuali kalau pelajaran sastra diberikan posisi
yang setara dengan pelajaran tata bahasa, setidak-tidaknya proposional. Lebih lanjut,
kerucut kurikulum sebaiknya dibalik agar konteks kekiniannya keluar. Pembelajaran
sastra tidak lagi dimulai dari Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, tetapi dari — misalnya -
Sutardji atau …….. .

Sastra Sebagai Refleksi Kemanusiaan 1 Nopember 2007 · 1 Komentar

Kemanusiaan kita kenal sebagai sesuatu yang universal. Cita-cita tentang kesejahteraan
manusia dikenal oleh seluruh umat manusia di seantero dunia dengan cara masing-
masing. Betapa pun beragam corak pelafalannya, karena konteks setiap kelompok
masyarakat banyak memberikan warna, tak pelak lagi, semangat ini meruap dari naluri
cinta kepada sesama.

Rasa kemanusiaan itu menyebrangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, panutan,
keyakinan, menembus batas suku, negara. Menyebrangi waktu dan jarak, menembus
perbedaan-perbedaan strata sosial. Bahkan tak terhalangi oleh kekuasaan yang
merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini.

Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas
jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-
masing pada desa-kala-patranya (tempat-waktu-suasananya), sastra telah memilih tema-
tema terbaik. Seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian,
penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, nafsu-nafsu bawah sadar dan sebagainya
yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagatraya.

Sastra tertulis yang kemudian membuat bahasa menjadi halangan untuk mencapai
manusia secara serentak, tidak sepenuhnya bisa menghalangi penjelajahan sastra sebagai
pengembaraan spiritual manusia sejagat. Dalam waktu-waktu yang tertentu, suara-suara
kemanusiaan itu secara estafet meloncat dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sehingga
cepat atau lambat, seperti air, suara yang mau digemakannya, merembes ke seluruh
dunia.

Sastra lisan yang kemudian merupakan kelanjutan kalau tidak bisa dikatakan pasukan
khusus dari sastra, secara informal menusukkan peluru-peluru kemanusiaan itu, langsung
kepada manusia lain dengan bahasa ibunya. Akhirnya tak berkelebihan kalau dikatakan
bahwa sastra adalah jembatan ajaib yang menghubungkan manusia dengan manusia tanpa
perlu melalui petugas pabean apalagi harus menunjukkan paspor.

Sastra menjadi warganegara dunia yang bebas masuk ke mana saja, karena dia kelihatan
tetapi tidak nampak seluruhnya. Karena ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap
oleh mata hati yang peka. Ia berwujud namun tidak seluruhnya bertubuh, karena ia adalah
sebuah pengalaman spiritual.

Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional, yang tak terkendali lagi kemampuan
jangkauannya. Tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik. Ia begitu
ampuh namun juga begitu halus. Tak ubah seperti yang dilakukan oleh jaringan internet
dewasa ini. Sastra sudah membebaskan manusia dari berbagai batasan.

Sastra dengan demikian tidak hanya tulisan, bukan hanya buku-buku. Sastra adalah
bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga
memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi
rekaan, sehingga ia merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari
kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya.

Sastra adalah cerita tentang manusia. Atau cerita tentang apa saja yang memberikan
kepada manusia sebuah pengalaman spiritual, untuk merenungi kehidupan masa lalu,
masa kini dan masa datang, untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih
baik, lebih sempurna, lebih membahagiakan manusia bersama-sama.

Sastra dengan demikian adalah sebuah senjata kemanusiaan yang ditembakkan, sebagai
upaya untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia. Tidak untuk
mengatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi
hanya untuk menyadarkan bahwa manusia satu dengan yang lain saling terkait dan tidak
mungkin hidup tanpa manusia yang lain.

Bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, namun adalah


perjuangan, kegigihan dan kemudian keberuntungan/nasib baik yang menjadikannya
berbeda. Berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tak sama
perkembangannya.

Sebagai sebuah senjata, sastra bisa saja dibelokkan untuk menembak yang lain. Sastra
bisa menjadi senjata politik dan memihak kepada kebenaran politik. Sastra juga bisa
menjadi prajurit kemiskinan untuk memperjuangkan nasib manusia yang papa agar
bangkit dan menjadi seimbang dengan mereka yang gemah-ripah. Sastra juga bisa
menjadi alat perjuangan bagi manusia-manusia yang tertindas untuk menendang
kekuasaan yang menidurinya dengan semena-mena.

Tetapi semua itu hanya bagian dari kemungkinan sastra sebagai alat, di tangan manusia
yang menciptakannya. Sastra itu sendiri, betapa pun sudah dibelokkan menjadi berbagai
senjata, ia tetap saja memiliki, potensi dasarnya untuk menyentuh perasaan kemanusiaan
dengan cinta. Sebab kalau tidak, tidak akan mungkin ia potensial untuk menjadi berbagai
tembakan meriam.

Sastra yang memihak kepada kemanusiaan, dalam pergolakan politik, kadangkala terasa
aneh. Ia bisa dituduh sebagai sebuah mimpi yang mengingkari sejarah, karena seperti
mengingkari konteksnya. Namun sebenarnya, ia bersetia kepada konteks dasarnya
sebagai suara dasar kemanusiaan yang berbicara untuk manusia secara umum.

Kenyataan di atas sering dipertentangkan. Sering membuat sastra menjadi blok-blok yang
satu sama lain saling tembak-menembak. Sehingga bukan saja dunia kekuasaan dan dunia
politik serta dunia ekonomi yang berperang, dunia sastra pun berperang. Para sastrawan
pun gotok-gontokan. Sastra pun menjadi medan kurusetra dan para sastrawan saling
membunuh, seperti melupakan hakekatnya untuk menuntun manusia kepada
kesejahteraan.

Tetapi itulah persolan kita semua, persoalan seluruh sektor kehidupan kita semua di
seluruh dunia. Setiap ciptaan manusia, kalau memiliki potensi luar biasa, akhirnya akan
melahirkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu kalau tidak bisa dipergunakan dengan baik,
akan menciderakan manusia itu sendiri.

Kalau sastra menjadi begitu ampuh, ketika ia menjadi sebuah kekuatan, ia pun
mengulangi sejarah kekuasaan yang lama. Sastra dapat dibalikkan untuk menyerang
manusia. Sastra yang semula dibuat untuk melindungi manusia dari deraan kekuasaan,
pada akhirnya bisa menjadi kekuasaan itu sendiri, yang tidak segan untuk merobek
kemanusiaan.

Karena itu dalam kesempatan ini, saya ingin mengatakan sebuah kalimat: bahwa sastra
adalah barang yang sangat canggih dan sekaligus sangat berbahaya, sehingga kita harus
benar-benar super hati-hati untuk mempergunakannya untuk menembak.

Menulis Lakon 15 Oktober 2006 · 1 Komentar

I. KIAT PENULISAN LAKON

Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua
hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon,
adalah hasil perenungan dan pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan
atau ide adalah apa yang biasa disebut “inspirasi”.

Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham
sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh
lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini
adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan,
hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-
rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang
lain.
Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada
dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan,
mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan
berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir
sebagai lakon.

Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan
adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk
mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja
gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya
daya pukau sebagai tontonan.

Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke
dalam tema yang menjadi flatform dari naskah itu kemudian dipancangkan gagasan yang
merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.

Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun. Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau
kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur
membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah
pemikiran, sikap dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam
menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru.

Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap: waktu, tempat,
tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-
masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis
mesti memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang
diperlukan adalah statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau
pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit.

Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik
secara langsung maupun tak langsung. Watak, idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis
naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak
memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral.

Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus
pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat
dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu.

Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan
terdiri dari banyak babak sehingga durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup
satu babak, sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis
menentukan strategi dan konsepnya.

Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya
bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah
tontonan. Untuk itu ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu
menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia
tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha
menuangkan ide tidak terhambat.

Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi


bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara
menyampaikan pesan, bahasa, gaya, jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan
hanya sekedar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat
sederhana, tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara
menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan.

Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya disebut “berdarah” atau “memiliki
daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata
memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-
benar penting, jitu atau baru. Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu
punya nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa
menjadi luar biasa.

Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan
penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih
mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah
kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya,
bukan hanya masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar
kemanusiaan.

Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara
hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser
sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi
pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur
untuk beringas dan aktip kembali menegakkan keadilan.

Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan.
Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari
kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar keluar, bukan hanya untuk berbeda,
tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain,
kebenaran lebih terburai atau muncrat.

Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa
penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan
menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian
kultural. Sebagaimana yang terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett
yang memenangkan hadiah nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett
mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah
menunggu.
Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena
itu sebelum menulis lakon, seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon.
Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas
sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk
dibaca biasa disebut drama “kloset”.

Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot
akan memukau bila mengandung empathi. Empathi akan menjadi sempurna kalau
dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-
kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan
memiliki komitmen sosial.

Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-


kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan
tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang
lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan
kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.

Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain serta
penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang
tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada
penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif.
Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan
benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga
menciptakan pengalaman spiritual.

Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat
penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada
semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau
naskah kontemporer yang multi iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan
sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang
baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda.
Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.

II.CATATAN DARI LAPANGAN

Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk perbandingan:

Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-
ide mentah yang belum disentuhkan dengan pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang
saya tulis adalah drama kloset. Drama yang hanya untuk dibaca, miskin dari
kemungkinan pemanggungan.

Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov, Barabah:Motinggo Boesye dan
Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany, Pelacur:Sartre), baru saya memahami
hubungan naskah dengan pementasan, memahami hubungan naskah dengan penonton.
Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk
dimainkan. Dalam periode itu saya menulis Bila Malam Bertambah Malam, Dalam
Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan
(1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.

Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di gedung BTN Jogja, saya melakukan
monolog spontan berjudul Matahari Yang Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main
baru naskahnya dituliskan. Menjadi lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk
dibaca tetapi untuk dimainkan. Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan
sesudahnya baru ditulis. Misalnya Merdeka dan Zmar.

Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan, saya ikut pementasan Waiting For
Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu,
antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan,
Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah). Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan
dengan Teater Mandiri di Jakarta.

Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan tanpa memakai naskah (Lho,
Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya suasana dan gambar-gambar. Pementasan
Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan, sangat visual, mengagetkan penonton dan
mendapat sambutan bagus sekali. Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater
Arena TIM. Tetapi pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang
waktu NOL. Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita.
Saya kembali kepada kata-kata.

Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh kata-kata untuk pementasan (Dor,
Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas, Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita,
karakter dan konflik. Tetapi saya tidak berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung
menjadi teater seni rupa.

Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan membuat naskah, hanya untuk membuat
naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah, Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang
belum pernah saya pentaskan.

Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat naskah dan hanya melakukan
pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art, Seatle, Brunai Darusssalam,
Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto, Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel
II, Bor, The Coffin is too Bif for The Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat
sekumpulan monolog yang terhimpun dalam buku DAR-DER-DOR.

Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan monolog (Kemerdekaan, Demokrasi,
Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan, Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya
sejak 2004 saya kembali menulis lakon untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia,
Zetan, TVRI)
Dalam perjalanan saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir
didorong oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri.
Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di
samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi sekali kerja
dua hal tercapai.

Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk berekspresi, berdialog dengan
penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang personal tentang kejadian di sekitar.
Saya merasa punya sudut pandang yang lain dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak
ada maksud untuk memenangkan pandangan sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan
kepada masyarakat bahwa perbedaan itu harmoni yang dinamis.

Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi terhadap kondisi pemain, keadaan
sarana serta keterbatasan biaya produksi yang semuanya kemudian membentuk sikap
dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun 1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada :
Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan
dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin
dalam setiap produksi.

Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi orang-orang biasa. Mereka bukan
aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah
tangga. Bahkan pernah suami-sitri pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah
dalam lakon Anu, 1974) Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan
mereka yang juga membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari
pembuatan naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.

Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin dan komitmen dalam berlatih. Para
pemain jarang datang lengkap dan selalu merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis
naskah yang membuat pemain sekali masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa
keluar sampai lakon berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang
mengetengahkan kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang
menjadi formula semua naskah yang saya buat sampai 1989.

Pesan moral yang saya pegang dalam setiap pembuatan naskah adalah usaha untuk
melakukan “teror mental”. Upaya untuk mengganggu, membangunkan, mengingat,
membimbangkan, menggoda, menteror batin penonton. Tujuannya agar penonton
terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan mendusin dari tidurnya.

Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan (politik, ekonomi, sosial, budaya),
banyak orang setelah membuat keputusan tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena
dibius oleh sesuatu yang dahysat ( idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat,
ilmu) mengunci dirinya dalam satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam
kehidupan. Banyak manusia menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan
memikirkan lagi posisinya, tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya
kebimbangan adalah suci.
Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap naskah dengan langsung menggebrak.
Dan kemudian mengakhirinya dengan mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan
yang terbuka. Pertanyan berakhir sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan
yang lain. Lakon adalah sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka
berdialog dan kemudian mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.

Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam naskah (yang saya lakukan juga dalam
membuat skrip film) karena berharap mereka yang membaca/mempergunakan naskah itu
akan melakukan penafsiran. Saya mengambil posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu
tentang naskah itu dari penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat
multi interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau
penontonnya.

Maksud saya untuk memberikan ruang kepada sutradara. Tetapi hasilnya agak
menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya kemudian mempergunakan seenak
perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang belum pernah menyaksikan
pementasannya menjadi sulit dimengerti.

Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah mendapat hambatan. Sensor dan
batasan dari berbagai aspek di sekitar saya adalah tantangan, adalah kesempatan yang
justru menolong saya mampu melompat. Pengalaman dalam mengelak, menyiasati
hambatan-hambatan itu, membuat saya percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang
tak mungkin di atas pentas. Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah
wilayah yang yang tak terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.

Konsep 17 Nopember 1982 · 1 Komentar

Kesenian adalah salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan
kepada manusia lain secara tuntas. Seperti sebuah baskom ia menampung darah yang
keluar dari leher seniman yang menggorok dirinya, menggorok orang lain, situasi,
problematik, lingkungan, misteri, makna-makna yang berserak, menempel, terapung,
bersembunyi di mana-mana.

Ia menolong memaketkan, memberi pigura kadangkala menyamarkan, menggelapkan,


menyandi, mengawetkan, membebaskan dari kurun waktu dan ruang, memberikan
potensi untuk menembus segala kesulitan, perbedaan, jarak, intelegensia, intelektual, latar
belakang, perbedaan ras, bahasa, bangsa dan ideologi.

Sebagai akibatnya makna yang hendak disemprotkan itu mengalami proses, mengembang
dan mengempis, masuk ke dalam satu kehidupan yang memungkinkan dia tumbuh,
mandiri dan menelorkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir dan terasakan oleh
manusia yang menggarapnya.

Kesenian dengan demikian tidak hanya bentuk-bentuk, bukan hanya satu wadah mati,
bukan hanya saluran mati, tetapi adalah tanah untuk menanam, menyimpan,
membudidayakan makna-makna untuk diwariskan kepada manusia lain. Ia dapat
merupakan ladang, sawah, kebon, tegalan, padang liar, rimba belantara, gurun pasir,
bukit, gunung, lembah, ngarai, danau, laut, sumur, bahkan mungkin juga kuburan.

Proses yang terjadi di atas tanah itu selanjutnya sangat menentukan. Lingkungannya,
saatnya dan orang-orang yang menyentuhnya, mempergunakannya atau menerimanya
merupakan bagian-bagian yang bisa menyebabkan makna semula memiliki kemungkinan
yang tak terduga.

Menulis bagi saya adalah menggorok leher. Leher sendiri atau milik siapa saja, tetapi
tanpa menyakiti yang bersangkutan, bahkan kalau bisa tanpa diketahui. Ini semacam
pencurian, kucing-kucingan, akal-akalan, kadangkala dengan ngumpet-ngumpet, bila
perlu menghapus jejak sama sekali.

Sama sekali tidak memiliki pretensi untuk memberikan resep, apalagi melahirkan
pahlawan. Hanya menyeret orang untuk melihat begitu banyak alternatif yang ada di
sekitar yang bertumpuk, cakar-cakaran dan memecah manusia menjadi individu-individu
atau kelompok-kelompok.

Saya memilih anekdot. Hal-hal lucu, remeh, aneh kadangkala tak masuk akal, untuk
mengagetkan, mencubit, menarik perhatian, mengganggu, menteror orang supaya terhenti
sebentar, lalu berpikir dan mungkin ingat kembali bahwa dia juga manusia seperti orang
lain. Dia bukan alat, sistem, aliran, jalan pikiran, tentara, polisi, pedagang, dan
sebagainya, tapi jiwa dan raga.

Bahwa terlepas dari kelompok, tingkat kecerdasan, tingkat sosial dan kepentingan, ia juga
manusia seperti orang lain yang secara eementer sama. Rata-rata punya rasa suka-duka,
cinta, bahagia dan seterusnya.

Pada akhirnya apa yang saya tulis itu, baik merupakan cerpen, novel, esei, resensi, drama,
skenario dan sebagainya tidaklah lebih penting dari apa yang kemudian terjadi dalam diri
orang. Dengan kecenderungan dan pelbagai latar belakang, setiap orang akan memiliki
tanggapan lain, kesan yang lain, reaksi yang lain lalu kesimpulannya sendiri.

Sebagian besar mereka mungkin sekali akan mengatakan bahwa apa yang saya tulis
adalah gombal. Menulis tiba-tiba menjadi usaha untuk mengingatkan kepada orang lain
yang akan menjadi pembaca, bahwa dia manusia. Mengembalikan ia kembali pada harkat
manusianya kalau ia sudah menjadi barang, binatang, dewa atau mayat.

Semacam usaha untuk menyulut, menghidupkan, tapi bukan untuk mengabdi kepada
sesuatu apalagi menjadi budak dari suatu tirani pikiran, baik bernama ideologi,
kepercayaan bahkan juga agama.

Sebuah karangan dengan demikian menjadi alat saja yang tak pernah lebih penting dari
manusia pembaca yang akan dihubungi. Tetapi sebagai alat yang sempurna ia harus
memenuhi persyaratan yang bisa menembus ruang dan waktu sehingga dapat dipakai oleh
manusia segala zaman, manusia segala tingkatan, manusia dari segala paham, dari segala
jenis manusia, yang luhur maupun yang bejat. Dan ia juga mestinya tidak hanya
mengandung satu kemungkinan. Ia harus penuh, sesak bagai rimba, bagai Arjuna
Sasrabahu dengan seribu muka yang bisa menerjang ke segala arah dengan serentak.

Sebuah tulisan seringkali juga bagaikan bom.

Semua tulisan saya tidak gamblang menunjukkan apa yang sebenarnya sasarannya. Judul,
gaya, jalan cerita, lingkungan yang menjadi setting cerita, bahkan juga persoalan yang
kelihatannya menjadi benang merah pembahasan, tokoh-tokoh dan sebagainya hanya
dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menangkap apa sebenarnya yang ada. Apalagi
saya sendiri sering juga tidak tahu dengan pasti sasarannya itu, karena memang tidak
bermaksud untuk mengikat diri pada satu sasaran.

Selama ini pembaca karya sastra sudah sedemikian hormatnya pada para pengarang,
sehingga setiap karya dirasa perlu untuk diselidiki apa manfaatnya. Seakan-akan karya
memang sudah langsung mengandung arti besar, berguna dan tidak mungkin tidak ada
artinya.

Dengan cara begini setiap pengarang sudah dinobatkan menjadi pemikir, cendekiawan,
intelektual yang mungkin satu atau beberapa strip di atas derajat orang banyak yang
sudah disebut orang awam. Seakan-akan setiap karangan menyimpan suatu misteri yang
harus ditelusuri seperti orang mengorek-orek tanah untuk menemukan peninggalan kuno
- yang pasti bernilai.

Sekarang sudah masanya untuk berhenti memanjakan para pengarang. Buku dan karya
sastra semakin banyak. Yang tak bermutu juga kadangkala sedemikian banyaknya
menyemprotkan kebodohan, ketidakarifan atau kesalahan-kesalahan yang lebih tolol dari
apa yang bisa dihasilkan oleh yang menyebut dirinya awam.

Usaha menggali dengan rasa khidmat, luhur dan percaya akan menemukan paling sedikit
sebutir mutiara, harus diubah, dihentikan. Mungkin sekali sebuah karya sastra tak lebih
dari tumpukan kata-kata usang yang merupakan tumpukan pikiran-pikiran rombengan di
dalam gudang. Dan ini juga tidak harus disesalkan, karena adalah haknya untuk menjadi
apa adanya, kalau memang kualitasnya hanya setingkat itu. Harapan yang terlalu
banyaklah yang salah.

Lamunan harus dimatikan. Karya sastra harus dikembalikan sebagai barang biasa yang
“mati”. Setumpukan kata-kata yang mungkin sekali telah disusun dengan disiplin
keindahan seorang penyair atau penulis fiksi. Mungkin ada beberapa yang memang tiba-
tiba memberikan pengalaman, penyegaran, pencarian dan sebagainya yang meningkatkan
budi pembaca.

Mungkin ada yang benar-benar merupakan bunyi yang hidup dan memiliki relevansi
yang hebat dengan kehidupan kita dan masa kita. Tapi itu pun tetap masih membutuhkan
manusia sebagai embacanya, untuk kemudian “mempergunakannya”.
Para pembaca harus kembali kepada kehadirannya sebagai manusia yang lengkap dengan
pikiran, perasaan dan kepribadiannya. Dengan cara begini maka bukan karya sastra yang
dihidup-hidupkan, tetapi manusia/pembacanya. Mereka yang akan menyentuh karya-
karya itu, menerimanya secara gelontongan, menyaringnya, menggemakannya,
melanjutkannya dengan pikiran-pikiran lanjutan.

Menyambungnya dengan imajinasi dan asosiasi. Mereka punya peluang untuk


menghidupkannya sebebas mungkin, bila perlu tak mempedulikan apa yang sudah
diprogandakan atau dikecapkan sebelumnya oleh pengarangnya.

Cara memperlakukan karya sastra seperti ini akan menyebabkan karya itu jadi lahir
kembali menjadi karya-karya baru pada setiap orang. Manfaatnya pun segera muncul.
Latar belakang dan kecenderungan pembacanya ikut menjadi bagian dari karya itu dan
menghasilkan sesuatu yang setidak-tidaknya berguna bagi orang itu. Dengan begini
sebuah sajak, atau sebuah cerita pendek dan sebagainya bisa saja menjadi motivasi
sebuah tindakan konkrit yang satu sama lain bisa berbeda hasilnya.

Sebuah sajak atau cerita cinta misalnya, bisa saja kemudian dianggap sebagai usaha untuk
mengingatkan orang untuk menghargai manusia lain. Dan usaha untuk menghargai orang
lain, bisa saja menelorkan tindakan kekerasan untuk menghancurkan segala penghalang
yang telah menjebak orang untuk tidak mencintai sesamanya.

Dengan cara berfikir seperti ini, pertanyaan tentang apakah sastra mampu mengubah atau
mempengaruhi masyarakat, apakah sastra memiliki peranan untuk perubahan-perubahan
sosial - menjadi tidak penting. Pertanyaan itu tidak bisa ditanyakan kepada karya itu
sendiri. Karena ia adalah barang “mati”. Jawabannya ada pada manusia pembacanya.

Pertanyaan yang mestinya diucapkan adalah apakah satu masyarakat tertentu, apakah
pembaca, sudah dapat memanfaatkan karya sastra ? Pertanyaan yang senada dengan,
apakah orang yang sudah bisa memanfaatkan pacul atau tanah ?

Pembaca yang kreatif akan bisa melihat tambang emas di dalam karya sastra jenis
sampah. Apalagi kalau ia berjumpa dengan karya-karya kelas satu, hasilnya mungkin
lebih hebat lagi. Saya mengatakan kelas satu dan sampah.

Bagaimana saya bisa sampai pada penggolongan kelas, kalau sebelumnya saya
menganjurkan untuk menilai semua karya sastra itu sebagai barang mati pasif yang
potensinya relatif sama - yakni tergantung dari pada pembacanya ? Dan apa artinya kelas
satu kemudian kalau pembacanya mendapat kesulitan untuk memanfaatkan karya sastra
itu padahal ia bukannya tidak ingin membuatnya bermanfaat ?

Ini barangkali menyebabkan kita akan sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa kendati
pun semua karya sastra itu sama dalam arti membutuhkan partisipasi pemanfaatan dari
pembacanya, memang pada akhirnya ada yang kelas satu dan kelas lainnya.
Kelas tersebut dengan gampang akan terbentuk setelah melalui perjalanan yang panjang,
melihat banyaknya ia berhasil menarik orang untuk memanfaatkannya maupun karena
arah pemanfaatannya sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan orang banyak
atau nilai-nilai universal yang sedang dibutuhkan pada masa hidup manusia.

Usaha memanfaatkan karya sastra apabila dapat menggantikan usaha lama, yakni memuja
karya sastra di atas menara gading, alam pertumbuhannya mungkin akan sampai pada
saat yang berbahaya. Yakni manakala pemanfaatan itu sudah sedemikian gencar dan
luasnya sehingga di luar batas-batas kemampuan karya itu sendiri.

Di sini sebenarnya manusia pembaca sudah menulis karya sastra yang lain. Di sini karya
sastra itu dengan sendirinya telah mati tapi serentak waktu itu bertelor dan menetaskan
sesuatu. Secara historis ia memiliki kaitan, meskipun secara intrinsik mungkin ia sudah
terlepas sama sekali. Tapi ini justru segera membuktikan, bahwa karya sastra merupakan
salah satu bagian dari mata rantai yang telah menciptakan sesuatu. Tentang bermanfaat
atau tidak itu boleh diperdebatkan.

Karya sastra yang segede apa pun akan tetap menjadi karya sastra “yang benar-benar
mati” apabila pembacanya melempem. Sebaliknya, dengan pembaca yang “bermodal”,
satu kata dalam sebuah karya bisa berarti sangat banyak.

Menghadapi mesin ketik dan kertas putih, kadangkala seperti peristiwa melahirkan bayi,
meregang nyawa, menahan sembilu yang menghujam tubuh. Kadangkala seperti muntah,
berak, kentut, menguap, meludah. Kadangkala juga seperti mesem, tersenyum, tertawa
ngakak dan orgasme.

Bahkan tak jarang seperti kuli kontrakan, budak, tukang, dan seorang pelacur. Itu
semuanya tidak penting. Barangkali memang ada pengaruhnya, tetapi itu lebih
merupakan bumbu, warna yang akan menghias cerita rekonstruksi dari seorang kritikus.

Memilih tokoh, lokasi, jalan cerita, tema adalah seperti menyabet barang dalam keadaan
yang terdesak untuk bertahan, melindungi, menyerang, pendeknya bertindak. Apa saja.
Asal ia kebetulan ada di sekitar kita. Asal dia dapat dipegang. Asal dia tidak menambah
beban. Karena yang penting bukan apa yang kita pergunakan, tetapi bagaimana kita
mempergunakannya.

Ketepatan mempergunakannya akan menyebabkan segala apa saja yang terpegang


menjadi prima. Kejituan akan menyebabkan segala yang klise yang gombal yang sepele
menjadi besar dan ampuh. Ini adalah mikroskop rahasia yang ada di mana-mana, setiap
saat pada apa saja.

Mikroskop inilah yang ingin saya cangkok, jadi milik sehari-hari dan bukannya asesoris
elit. Bukan semacam dasi, jas, kondom,gincu, senjata, obat dan sebagainya yang hanya
disentuh untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia harus jadi ketrampilan umum bukan
usaha bukan juga kecerdasan, ia harus jadi naluri.
Hidup 24 jam pakai kacamata, pakai mikroskop, pakai asesoris pasti tidak akan bebas,
karena terlalu banyak yang teringat, terlihat, terpikirkan, sama dengan siksaan. Seperti
membiarkan diri terpanggang jadi sate dalam hidup panjang ini, sementara kenikmatan
yang lebih gampang dengan mudah dapat diraih, tersedia di mana-mana.

Pada akhirnya tidak ada yang akan tertarik, setelah beberapa kali mencoba mungkin
hanya orang-orang gila, orang-orang putus asa, orang-orang yang tak mempunyai
kesempatan yang mau bertahan terus.

Dan kesenian, hasil-hasil sastra dalam hal ini termasuk teater, akan terpencil dengan
sendirinya, melenting ke atas dinding. Bergantung jadi hiasan, etalase, barang antik, elit
dan praktis mubazir. Dan dalam prakteknya meneruskan menghasilkan barang-barang
seperti itu, apa pun pertanggungan jawabnya adalah menelorkan lebih banyak bintang di
langit, dewa di awang-awang dan mimpi-mimpi yang membusuk.

Bertolak dari kenyataan tersebut, saya belajar dari para pedagang, tengkulak, tukang
tadah, tukang copet, pembual, politikus, pencuri, perampok, teroris, diktator, orator, tirani
dan badut. Menulis akhirnya tak beda dengan tindakan kriminal terhadap pribadi-pribadi
pembaca. Membadut, menipu, goblog-goblogan, mabok, edan dan menteror orang lain
adalah gaya, untuk menjual dagangan.

Saya percaya ada zat terkatung di udara, menempel di mana-mana, pada siapa saja, pada
apa saja dan kapan saja, yang sama. Dan ada semacam keluhuran yang mengatur
semuanya itu. Keluhuran yang kadangkala tak teraba, tak tergapai tapi terus menerus ada.

Keluhuran yang mestinya juga bisa ditempel atau menempeli manusia sehingga ada satu
arus yang mendesak kita untuk berkumpul dan menjadi satu monumen yang besar. Dan
saya mengkhayal tentang satu keluarga besar, satu kerajaan besar, satu perdamaian besar,
satu dongeng besar tentang cinta kasih yang luruh, satu harmoni besar yang menyebabkan
semua makhluk berkomunikasi satu sama lain, seperti cerita-cerita wayang, Tantri atau
Nabi Sulaiman. Tentang perdamaian yang abadi.

Kenyataan sehari-hari selalu menghajar kerinduan itu sebagai mimpi, sehingga setiap kali
dengan mudah saja kita bisa terkecoh untuk menganggap hidup ini sia-sia. Bahwa
seakan-akan apa pun yang dikerjakan semuanya tak akan ada artinya, kecuali sebagai
sebuah sejarah panjang gagalan manusia.

Untuk mencegah hal tersebut atau katakanlah untuk melupakannya, saya memilih untuk
bekerja secara maksimal berdasarkan apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, kelemahan
yang disulap menjadi kekuatan - apa adanya dari saya.

Bekerja secara total dan kerangsukan. Sehingga peristiwa “bekerja” jadi heroik,
berkobar-kobar hampir menyerupai pertempuran, revolusi atau perang saudara di dalam
diri. Peristiwa yang gegap-gempita dan berdarah, tetapi diam-diam dan tanpa etalase bagi
orang lain. Sebuah petualangan yang sunyi.
Itulah semua kecap saya.

Kategori: jurus · seni


Tagged: jurus satu, sembilan jurus teror mental

Pemerintah dan Seni


24 Oktober 2007 · 1 Komentar

Setelah masa reformasi, keadaan Indonesia porak-poranda. Ada perdebatan di antara para
ahli, bagaimana membangun Indonesia kembali. Satu pihak mengatakan bahwa untuk
membangun Indonesia yang baru dan satu, diperlukan stabilitas politik. Pihak lain
membantah, mereka mengemukakan bukan stabilitas politik, tetapi stabilitas ekonomi
yang mesti didahulukan.

Tak ada kesimpulan atas perdebatan itu. Pembangunan Indonesia pun berjalan seret,
bingung dan tetap masih dalam keadaan tersaruk-saruk sampai sekarang. Yang jelas
adalah bahwa “budaya” sama sekali tidak diperhitungkan.

Padahal sudah begitu santer tuduhan bahwa salah satu musuh terbesar pembangunan
Indonesia adalah korupsi yang sudah seperti “membudaya”. Sementara kemerosotan
moral dan sindiran “bangsa tak beradab” muncul dari tetangga. Bagaimana tidak. Maling
ayam bisa dibakar, mall diganguskan berikut pengunjungnya, manusia makan manusia
seperti dalam film horror.

Kongres Kebudayaan yang bergegas dilakukan pada 2003 dengan maksud untuk
memberikan masukan pada pemerintah dalam rangka ikut membangun Indonesia dari
aspek moralnya, hanya menjadi peristiwa seremonial. Tujuh belas butir keputusan yang
hendak memberikan arahan pada politik dan strategi kebudayaan, hanya berakhir sebagai
sebuah dokumen – sebagaimana juga hasil-hasil Kongres Kebudayaan sebelumnya –
sampai kemudian saat untuk menyelenggarakan Kongres Kebudayaan berikutnya
(disepakati dalam Kongres 2003, 5 tahun sekali) sudah di depan mata lagi.

Seni sebagai bagian dari kebudayaan yang sebenarnya berharap akan mendapat kasih-
sayang yang lebih baik berkat butir-butir keputusan Kongres Kebudayaan 2003, terpaksa
menikmati nasibnya yang lama, menjadi anak tiri dalam pembangunan. Posisinya tetap
sebagai penumpang gelap yang sekali tempo beruntung bisa bernafas kalau ada bola liar
pada tutup tahun sisa anggaran. Selebihnya hanya menjadi pengemis yang berjuang
sendiri untuk hidup. Beda sekali dengan kegiatan olahraga yang kendati prestasinya tak
seberapa (bahkan sepakbola kalah melulu) tetap saja mendapat anggaran yang manis.

Padahal sudah jelas dibuktikan bahwa hidup tak hanya membutuhkan sandang-pangan
dan papan. Dalam musibah tsunami di Nanggru, Aceh Darussalam, misalnya, kita lihat,
sumbangan berlimpah dari seluruh dunia, tak segera melipur lara. Manusia tidak hanya
memerlukan ganti harta-bendanya yang hilang. Yang lebih menyakitkan dan sulit
disembuhkan adalah hati hampa oleh luka kehilangan sanak-saudara.. Itu sebabnya
kemudian, sesudah membanjiri daerah bencana dengan berbagai sumbangan, maka
kesenian pun mulai dikirim. Senilah yang dapat menyeimbangkan kembali rasa yang
sudah terbelah oleh kehilangan yang tidak mungkin tergantikan itu.

Di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, banyak contoh bagaimana sial posisi seni.
Bila ekonomi berkembang, maka jalanan menjadi macat. Motor berseliweran seperti
kecoak. Mobil berbaris panjangnya melebihi panjang jalan. Pembangunan gedung
bertingkat di mana-mana kesurupan. Gedung yang sebenarnya masih layak dipakai,
dirobohkan. Peninggalan sejarah pun tak urung diratakan dengan tanah, agar bisa
memuaskan nafsu manusia untuk membangun proyek.

Sementara tempat-tempat publik, diabaikan. Gedung kesenian sama sekali tidak


diupayakan. Indonesia yang lebarnya sama dengan daratan Amerika dan penduduknya
masik kelompok besar dunia, sumber daya alamnya pun konon hebat, ternyata hanya
punya satu gedung kesenian yang layak. GKJ di wilayah Pasar Baru, Jakarta. Itu pun
warisan Belanda yang dulu sempat diacak-acak dijadikan gedung bioskop dan hanya
karena keajaiban tidak punah oleh kegarangan membangun.

Begitu banyak hasil-hasil kesenian dan kerajinan Indonesia yang pantas dipajang sebagai
pelajaran di museum, tetapi begitu sedikit museum yang ada. Hampir semua museum
sepi bagai rumah hantu. Pengunjungnya paling banter peneliti-peneliti asing, turis
mancanegara dan murid-murid sekolah yang dipaksa melakukan study tour oleh
sekolahnya. Penghargaan terhadap seni, begitu kurang, baik dari pemerintah maupun dari
masyarakat.

Mengeluh tentang kurangnya penghargaan pemerintah dan masyarakat pada seni,


sebenarnya sudah tidak penting lagi, sebab nasib kesenian di negeri ini memang begitu.
Memang ada Departemen Kebudayaan tetapi digandeng oleh Departemen Pendidikan dan
sekarang oleh Departemen Pariwisata. Akibatnya hanya jadi bayang-bayang kelabu. Tak
heran kalau di masa pemerintrahan Gus Dur departemen kebudayaan (seperti juga
departemen penerangan dan sosial) dibunuh.

Namun pembasmian itu ada baiknya. Daripada ada tetapi tiada, lebih baik sama sekali tak
ada, tetapi ada. Artinya: justru dengan tak adanya departemen kebudayaan, kebudayaan
dengan sendirinya masuk ke seluruh departemen dengan bebas dan galak. Seluruh
departemen dengan tak ragu-ragu akan “membudaya” tanpa perlu merasa mencampuri
dapur departemen lain (kebudayaan). Hal itu terjadi karena kehidupan bernegara mustahil
lepas dari seni-budaya.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa kendati perhatian pada kebudayaan/kesenian


secara formal begitu “brengseknya”, toh pemerintah sejak dulu terus mengirim missi-
missi kebudayaan sebagai bagian dari diplomasi publik. Sementara dunia pariwisata yang
makin lama semakin menjadi putra mahkota perebut divisa dari kelom pok non migas,
dengan lantang sudah mengobarkan semboyan: “pariwisata budaya”. Kepariwisataan
yang terang-terang hendak “menjual” budaya - maksudnya “seni tradisi”.
Walhasil, kendati pemerintah dan masyarakat nampak tak peduli pada kesenian, tetapi
pada prakteknya seni dimanfaatkan untuk mengenalkan Indonesia ke forum internasional.
Khususnya seni tradisi. Dan berhasil. Jadi kendati didudukkan sebagai “obyek”, dana
sudah mengucur dan seni tradisi pun hidup sehat dan segar, walau tak membuat
perorangan menjadi kaya-raya (seperti dalam seni modern). Maka semua kesenian akan
lebih terlindungi secara proyek bila dikatagorikan seni tradisi atau seni wilayah, karena
dia akan mudah mendapat santunan dana.

Seni modern pun mulai diam-diam membonceng. Tak jarang dengan “memperalat”
pengembangan atau pelestarian seni tradisi ( kolaborasi, inter aksi, kreasi baru) seni
modern mencuri santunan. Dan itu dimaklumi. Artinya, secara diam-diam pengembangan
seni modern juga didukung oleh pemerintah, asal memakai tameng seni tradisi. Betul, itu
akal-akalan, tapi hasilnya konkrit.

Maka kita pun sampai pada kata-kata “puncak-puncak kesenian daerah adalah kesenian
nasional”. Dalam pengertian itu, sebenarnya banyak hal yang bisa disimpulkan. Apa
sebenarnya yang dinamakan puncak? Ukuran puncaknya apa? Sangat tak jelas. Apa itu
berarti yang terbaik, atau termasuk terbaik, atau cukup karena mampu bertahan dengan
baik sepanjang masa?

Puncak pohon kelapa (yang sudah berbuah) paling tidak tingginya beberapa meter. Tapi
untuk rumput, yang namanya puncak cukup beberapa centimeter saja. Puncak tidak hanya
satu, bisa banyak. Apa salahnya untuk menganggap kesenian yang asal mampu bertahan
hidup sepanjang zaman, sebagai puncak?

Apakah puncak kesenian Sumatra Barat itu hanya saluang, randai, serampang dua belas
saja – untuk menyebutkan beberapa sebagai misal. Atau semua tarian Minang yang
bertahan adalah puncak dan karenanya juga adalah tarian nasional alias tarian Indonesia.
Dengan kata lain, semua kesenian daerah (baca: tradisi) dalah kesenian nasional alias
kesenian Indonesia . Dengan kata tradisi – seperti kita bentangkan di atas – seni adalah
aset untuk menjaring devisa dan karenanya akan mendapat jaminan santunan. Inilah
kesempatan emas bagi kesenian Indonesia modern kemudian untuk melakukan pencurian
yang diam-diam direstui, walau pun pemerintah tak peduli (pura-pura) pada kesenian.

Pada tahun 1991 saya dikejutkan oleh komentar Toshi Tsuchitori (pimpinan musik
pementasan Mahabharata Peter Brook). “Kami di Jepang harus belajar dari kalian di
Indonesiam bagaimana memeliharan tradisi, ‘”katanya. “Di Jepang tradisi dipelihara
dengan begitu kakunya, sehingga anak-anak muda gerah lalu menolak, lalu mengganti
kiblat dengan Amerika. Tapi pada kalian di Indonsia, seni tradisi dan seni
modern/kontemporetr begitu mesra berjalan bersama.”

Pada 1995 dalam pertemuan Teater di Solo. Katsura-Khan, penari butho anggota
Byakhosa, juga memberikan komentar yang senada. Melihat pertunjukan teater berbahasa
Jawa yang digelar secara terbuka di Taman Budaya dengan pengunjung membludak, dia
berdecak kagum di depan saya. “Ini yang membuat aku iri. Yang begini tidak ada di
jepang,”katanya.
Kedua komentar itu benar-benar sudah menjungkir balik cara saya melihat kenyataan
“rawan” di Indonesia. Kurang mesranya cinta “pemerintah-penguasa-masyarakat” pada
seni (baca budaya) justru telah membuat kesenian di Indonesia menjadi garang dan
berdarah. Itulah yang sudah mematangkan Indonesia menghasilkan orang-orang seperti
Rendra, Sardono, Sutardji, Arifin, Chairil, Pramudya, Amir Hamzah, Slamet Syukur,
Goenawan, Afandi, Huriah Adam, Gusmiati Suid, Ki Narto Sabdo, Oesman Effendi dll.

Kategori: seni

Konsep
17 Nopember 1982 · 1 Komentar

Kesenian adalah salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan
kepada manusia lain secara tuntas. Seperti sebuah baskom ia menampung darah yang
keluar dari leher seniman yang menggorok dirinya, menggorok orang lain, situasi,
problematik, lingkungan, misteri, makna-makna yang berserak, menempel, terapung,
bersembunyi di mana-mana.

Ia menolong memaketkan, memberi pigura kadangkala menyamarkan, menggelapkan,


menyandi, mengawetkan, membebaskan dari kurun waktu dan ruang, memberikan
potensi untuk menembus segala kesulitan, perbedaan, jarak, intelegensia, intelektual, latar
belakang, perbedaan ras, bahasa, bangsa dan ideologi.

Sebagai akibatnya makna yang hendak disemprotkan itu mengalami proses, mengembang
dan mengempis, masuk ke dalam satu kehidupan yang memungkinkan dia tumbuh,
mandiri dan menelorkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikir dan terasakan oleh
manusia yang menggarapnya.

Kesenian dengan demikian tidak hanya bentuk-bentuk, bukan hanya satu wadah mati,
bukan hanya saluran mati, tetapi adalah tanah untuk menanam, menyimpan,
membudidayakan makna-makna untuk diwariskan kepada manusia lain. Ia dapat
merupakan ladang, sawah, kebon, tegalan, padang liar, rimba belantara, gurun pasir,
bukit, gunung, lembah, ngarai, danau, laut, sumur, bahkan mungkin juga kuburan.

Proses yang terjadi di atas tanah itu selanjutnya sangat menentukan. Lingkungannya,
saatnya dan orang-orang yang menyentuhnya, mempergunakannya atau menerimanya
merupakan bagian-bagian yang bisa menyebabkan makna semula memiliki kemungkinan
yang tak terduga.

Menulis bagi saya adalah menggorok leher. Leher sendiri atau milik siapa saja, tetapi
tanpa menyakiti yang bersangkutan, bahkan kalau bisa tanpa diketahui. Ini semacam
pencurian, kucing-kucingan, akal-akalan, kadangkala dengan ngumpet-ngumpet, bila
perlu menghapus jejak sama sekali.
Sama sekali tidak memiliki pretensi untuk memberikan resep, apalagi melahirkan
pahlawan. Hanya menyeret orang untuk melihat begitu banyak alternatif yang ada di
sekitar yang bertumpuk, cakar-cakaran dan memecah manusia menjadi individu-individu
atau kelompok-kelompok.

Saya memilih anekdot. Hal-hal lucu, remeh, aneh kadangkala tak masuk akal, untuk
mengagetkan, mencubit, menarik perhatian, mengganggu, menteror orang supaya terhenti
sebentar, lalu berpikir dan mungkin ingat kembali bahwa dia juga manusia seperti orang
lain. Dia bukan alat, sistem, aliran, jalan pikiran, tentara, polisi, pedagang, dan
sebagainya, tapi jiwa dan raga.

Bahwa terlepas dari kelompok, tingkat kecerdasan, tingkat sosial dan kepentingan, ia juga
manusia seperti orang lain yang secara eementer sama. Rata-rata punya rasa suka-duka,
cinta, bahagia dan seterusnya.

Pada akhirnya apa yang saya tulis itu, baik merupakan cerpen, novel, esei, resensi, drama,
skenario dan sebagainya tidaklah lebih penting dari apa yang kemudian terjadi dalam diri
orang. Dengan kecenderungan dan pelbagai latar belakang, setiap orang akan memiliki
tanggapan lain, kesan yang lain, reaksi yang lain lalu kesimpulannya sendiri.

Sebagian besar mereka mungkin sekali akan mengatakan bahwa apa yang saya tulis
adalah gombal. Menulis tiba-tiba menjadi usaha untuk mengingatkan kepada orang lain
yang akan menjadi pembaca, bahwa dia manusia. Mengembalikan ia kembali pada harkat
manusianya kalau ia sudah menjadi barang, binatang, dewa atau mayat.

Semacam usaha untuk menyulut, menghidupkan, tapi bukan untuk mengabdi kepada
sesuatu apalagi menjadi budak dari suatu tirani pikiran, baik bernama ideologi,
kepercayaan bahkan juga agama.

Sebuah karangan dengan demikian menjadi alat saja yang tak pernah lebih penting dari
manusia pembaca yang akan dihubungi. Tetapi sebagai alat yang sempurna ia harus
memenuhi persyaratan yang bisa menembus ruang dan waktu sehingga dapat dipakai oleh
manusia segala zaman, manusia segala tingkatan, manusia dari segala paham, dari segala
jenis manusia, yang luhur maupun yang bejat. Dan ia juga mestinya tidak hanya
mengandung satu kemungkinan. Ia harus penuh, sesak bagai rimba, bagai Arjuna
Sasrabahu dengan seribu muka yang bisa menerjang ke segala arah dengan serentak.

Sebuah tulisan seringkali juga bagaikan bom.

Semua tulisan saya tidak gamblang menunjukkan apa yang sebenarnya sasarannya. Judul,
gaya, jalan cerita, lingkungan yang menjadi setting cerita, bahkan juga persoalan yang
kelihatannya menjadi benang merah pembahasan, tokoh-tokoh dan sebagainya hanya
dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menangkap apa sebenarnya yang ada. Apalagi
saya sendiri sering juga tidak tahu dengan pasti sasarannya itu, karena memang tidak
bermaksud untuk mengikat diri pada satu sasaran.
Selama ini pembaca karya sastra sudah sedemikian hormatnya pada para pengarang,
sehingga setiap karya dirasa perlu untuk diselidiki apa manfaatnya. Seakan-akan karya
memang sudah langsung mengandung arti besar, berguna dan tidak mungkin tidak ada
artinya.

Dengan cara begini setiap pengarang sudah dinobatkan menjadi pemikir, cendekiawan,
intelektual yang mungkin satu atau beberapa strip di atas derajat orang banyak yang
sudah disebut orang awam. Seakan-akan setiap karangan menyimpan suatu misteri yang
harus ditelusuri seperti orang mengorek-orek tanah untuk menemukan peninggalan kuno
- yang pasti bernilai.

Sekarang sudah masanya untuk berhenti memanjakan para pengarang. Buku dan karya
sastra semakin banyak. Yang tak bermutu juga kadangkala sedemikian banyaknya
menyemprotkan kebodohan, ketidakarifan atau kesalahan-kesalahan yang lebih tolol dari
apa yang bisa dihasilkan oleh yang menyebut dirinya awam.

Usaha menggali dengan rasa khidmat, luhur dan percaya akan menemukan paling sedikit
sebutir mutiara, harus diubah, dihentikan. Mungkin sekali sebuah karya sastra tak lebih
dari tumpukan kata-kata usang yang merupakan tumpukan pikiran-pikiran rombengan di
dalam gudang. Dan ini juga tidak harus disesalkan, karena adalah haknya untuk menjadi
apa adanya, kalau memang kualitasnya hanya setingkat itu. Harapan yang terlalu
banyaklah yang salah.

Lamunan harus dimatikan. Karya sastra harus dikembalikan sebagai barang biasa yang
“mati”. Setumpukan kata-kata yang mungkin sekali telah disusun dengan disiplin
keindahan seorang penyair atau penulis fiksi. Mungkin ada beberapa yang memang tiba-
tiba memberikan pengalaman, penyegaran, pencarian dan sebagainya yang meningkatkan
budi pembaca.

Mungkin ada yang benar-benar merupakan bunyi yang hidup dan memiliki relevansi
yang hebat dengan kehidupan kita dan masa kita. Tapi itu pun tetap masih membutuhkan
manusia sebagai embacanya, untuk kemudian “mempergunakannya”.

Para pembaca harus kembali kepada kehadirannya sebagai manusia yang lengkap dengan
pikiran, perasaan dan kepribadiannya. Dengan cara begini maka bukan karya sastra yang
dihidup-hidupkan, tetapi manusia/pembacanya. Mereka yang akan menyentuh karya-
karya itu, menerimanya secara gelontongan, menyaringnya, menggemakannya,
melanjutkannya dengan pikiran-pikiran lanjutan.

Menyambungnya dengan imajinasi dan asosiasi. Mereka punya peluang untuk


menghidupkannya sebebas mungkin, bila perlu tak mempedulikan apa yang sudah
diprogandakan atau dikecapkan sebelumnya oleh pengarangnya.

Cara memperlakukan karya sastra seperti ini akan menyebabkan karya itu jadi lahir
kembali menjadi karya-karya baru pada setiap orang. Manfaatnya pun segera muncul.
Latar belakang dan kecenderungan pembacanya ikut menjadi bagian dari karya itu dan
menghasilkan sesuatu yang setidak-tidaknya berguna bagi orang itu. Dengan begini
sebuah sajak, atau sebuah cerita pendek dan sebagainya bisa saja menjadi motivasi
sebuah tindakan konkrit yang satu sama lain bisa berbeda hasilnya.

Sebuah sajak atau cerita cinta misalnya, bisa saja kemudian dianggap sebagai usaha untuk
mengingatkan orang untuk menghargai manusia lain. Dan usaha untuk menghargai orang
lain, bisa saja menelorkan tindakan kekerasan untuk menghancurkan segala penghalang
yang telah menjebak orang untuk tidak mencintai sesamanya.

Dengan cara berfikir seperti ini, pertanyaan tentang apakah sastra mampu mengubah atau
mempengaruhi masyarakat, apakah sastra memiliki peranan untuk perubahan-perubahan
sosial - menjadi tidak penting. Pertanyaan itu tidak bisa ditanyakan kepada karya itu
sendiri. Karena ia adalah barang “mati”. Jawabannya ada pada manusia pembacanya.

Pertanyaan yang mestinya diucapkan adalah apakah satu masyarakat tertentu, apakah
pembaca, sudah dapat memanfaatkan karya sastra ? Pertanyaan yang senada dengan,
apakah orang yang sudah bisa memanfaatkan pacul atau tanah ?

Pembaca yang kreatif akan bisa melihat tambang emas di dalam karya sastra jenis
sampah. Apalagi kalau ia berjumpa dengan karya-karya kelas satu, hasilnya mungkin
lebih hebat lagi. Saya mengatakan kelas satu dan sampah.

Bagaimana saya bisa sampai pada penggolongan kelas, kalau sebelumnya saya
menganjurkan untuk menilai semua karya sastra itu sebagai barang mati pasif yang
potensinya relatif sama - yakni tergantung dari pada pembacanya ? Dan apa artinya kelas
satu kemudian kalau pembacanya mendapat kesulitan untuk memanfaatkan karya sastra
itu padahal ia bukannya tidak ingin membuatnya bermanfaat ?

Ini barangkali menyebabkan kita akan sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa kendati
pun semua karya sastra itu sama dalam arti membutuhkan partisipasi pemanfaatan dari
pembacanya, memang pada akhirnya ada yang kelas satu dan kelas lainnya.

Kelas tersebut dengan gampang akan terbentuk setelah melalui perjalanan yang panjang,
melihat banyaknya ia berhasil menarik orang untuk memanfaatkannya maupun karena
arah pemanfaatannya sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan orang banyak
atau nilai-nilai universal yang sedang dibutuhkan pada masa hidup manusia.

Usaha memanfaatkan karya sastra apabila dapat menggantikan usaha lama, yakni memuja
karya sastra di atas menara gading, alam pertumbuhannya mungkin akan sampai pada
saat yang berbahaya. Yakni manakala pemanfaatan itu sudah sedemikian gencar dan
luasnya sehingga di luar batas-batas kemampuan karya itu sendiri.

Di sini sebenarnya manusia pembaca sudah menulis karya sastra yang lain. Di sini karya
sastra itu dengan sendirinya telah mati tapi serentak waktu itu bertelor dan menetaskan
sesuatu. Secara historis ia memiliki kaitan, meskipun secara intrinsik mungkin ia sudah
terlepas sama sekali. Tapi ini justru segera membuktikan, bahwa karya sastra merupakan
salah satu bagian dari mata rantai yang telah menciptakan sesuatu. Tentang bermanfaat
atau tidak itu boleh diperdebatkan.

Karya sastra yang segede apa pun akan tetap menjadi karya sastra “yang benar-benar
mati” apabila pembacanya melempem. Sebaliknya, dengan pembaca yang “bermodal”,
satu kata dalam sebuah karya bisa berarti sangat banyak.

Menghadapi mesin ketik dan kertas putih, kadangkala seperti peristiwa melahirkan bayi,
meregang nyawa, menahan sembilu yang menghujam tubuh. Kadangkala seperti muntah,
berak, kentut, menguap, meludah. Kadangkala juga seperti mesem, tersenyum, tertawa
ngakak dan orgasme.

Bahkan tak jarang seperti kuli kontrakan, budak, tukang, dan seorang pelacur. Itu
semuanya tidak penting. Barangkali memang ada pengaruhnya, tetapi itu lebih
merupakan bumbu, warna yang akan menghias cerita rekonstruksi dari seorang kritikus.

Memilih tokoh, lokasi, jalan cerita, tema adalah seperti menyabet barang dalam keadaan
yang terdesak untuk bertahan, melindungi, menyerang, pendeknya bertindak. Apa saja.
Asal ia kebetulan ada di sekitar kita. Asal dia dapat dipegang. Asal dia tidak menambah
beban. Karena yang penting bukan apa yang kita pergunakan, tetapi bagaimana kita
mempergunakannya.

Ketepatan mempergunakannya akan menyebabkan segala apa saja yang terpegang


menjadi prima. Kejituan akan menyebabkan segala yang klise yang gombal yang sepele
menjadi besar dan ampuh. Ini adalah mikroskop rahasia yang ada di mana-mana, setiap
saat pada apa saja.

Mikroskop inilah yang ingin saya cangkok, jadi milik sehari-hari dan bukannya asesoris
elit. Bukan semacam dasi, jas, kondom,gincu, senjata, obat dan sebagainya yang hanya
disentuh untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia harus jadi ketrampilan umum bukan
usaha bukan juga kecerdasan, ia harus jadi naluri.

Hidup 24 jam pakai kacamata, pakai mikroskop, pakai asesoris pasti tidak akan bebas,
karena terlalu banyak yang teringat, terlihat, terpikirkan, sama dengan siksaan. Seperti
membiarkan diri terpanggang jadi sate dalam hidup panjang ini, sementara kenikmatan
yang lebih gampang dengan mudah dapat diraih, tersedia di mana-mana.

Pada akhirnya tidak ada yang akan tertarik, setelah beberapa kali mencoba mungkin
hanya orang-orang gila, orang-orang putus asa, orang-orang yang tak mempunyai
kesempatan yang mau bertahan terus.

Dan kesenian, hasil-hasil sastra dalam hal ini termasuk teater, akan terpencil dengan
sendirinya, melenting ke atas dinding. Bergantung jadi hiasan, etalase, barang antik, elit
dan praktis mubazir. Dan dalam prakteknya meneruskan menghasilkan barang-barang
seperti itu, apa pun pertanggungan jawabnya adalah menelorkan lebih banyak bintang di
langit, dewa di awang-awang dan mimpi-mimpi yang membusuk.
Bertolak dari kenyataan tersebut, saya belajar dari para pedagang, tengkulak, tukang
tadah, tukang copet, pembual, politikus, pencuri, perampok, teroris, diktator, orator, tirani
dan badut. Menulis akhirnya tak beda dengan tindakan kriminal terhadap pribadi-pribadi
pembaca. Membadut, menipu, goblog-goblogan, mabok, edan dan menteror orang lain
adalah gaya, untuk menjual dagangan.

Saya percaya ada zat terkatung di udara, menempel di mana-mana, pada siapa saja, pada
apa saja dan kapan saja, yang sama. Dan ada semacam keluhuran yang mengatur
semuanya itu. Keluhuran yang kadangkala tak teraba, tak tergapai tapi terus menerus ada.

Keluhuran yang mestinya juga bisa ditempel atau menempeli manusia sehingga ada satu
arus yang mendesak kita untuk berkumpul dan menjadi satu monumen yang besar. Dan
saya mengkhayal tentang satu keluarga besar, satu kerajaan besar, satu perdamaian besar,
satu dongeng besar tentang cinta kasih yang luruh, satu harmoni besar yang menyebabkan
semua makhluk berkomunikasi satu sama lain, seperti cerita-cerita wayang, Tantri atau
Nabi Sulaiman. Tentang perdamaian yang abadi.

Kenyataan sehari-hari selalu menghajar kerinduan itu sebagai mimpi, sehingga setiap kali
dengan mudah saja kita bisa terkecoh untuk menganggap hidup ini sia-sia. Bahwa
seakan-akan apa pun yang dikerjakan semuanya tak akan ada artinya, kecuali sebagai
sebuah sejarah panjang gagalan manusia.

Untuk mencegah hal tersebut atau katakanlah untuk melupakannya, saya memilih untuk
bekerja secara maksimal berdasarkan apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, kelemahan
yang disulap menjadi kekuatan - apa adanya dari saya.

Bekerja secara total dan kerangsukan. Sehingga peristiwa “bekerja” jadi heroik,
berkobar-kobar hampir menyerupai pertempuran, revolusi atau perang saudara di dalam
diri. Peristiwa yang gegap-gempita dan berdarah, tetapi diam-diam dan tanpa etalase bagi
orang lain. Sebuah petualangan yang sunyi.

Itulah semua kecap saya.

Kategori: jurus · seni


Tagged: jurus satu, sembilan jurus teror mental

Anda mungkin juga menyukai