Anda di halaman 1dari 5

Bab VI

Menilai Karya Melalui Kritik

Dalam kegiatan tulis-menulis, termasuk dalam dunia sastra, dikenal dua bentuk tulisan yaitu
kritik dan esai. Seringkali kedua istilah tersebut digunakan secara bersama-sama, bahkan diberi
pengertian yang kurang tepat. Agar terjadi pemahaman yang tepat, berikut ini diuraikan pengertian,
ciri, dan karakteristik masing-masing bentuk tulisan tersebut.

Kritik dapat diterapkan pada semua bentuk karya sastra, baik berupa puisi, prosa, maupun
drama. Kritik adalah karangan yang menguraikan tentang pertimbangan baik atau buruk suatu karya
sastra. Kritik biasanya diakhiri dengan kesimpulan analisis. Tujuan kritik bukan hanya menunjukkan
keunggulan, kelemahan, kebenaran, dan kesalahan sebuah karya sastra berdasarkan sudut pandang
tertentu, tetapi mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra tertinggi dan untuk
mengapresiasi karya sastra secara lebih baik. Adapun esai adalah tulisan yang mengandung opini
dan bersifat subjektif ataupun argumentasi. Suatu esai yang disampaikan harus logis dan dapat
dipahami serta didukung oleh fakta dan bukan bersifat fiktif atau imajinasi pengarang. Berikut
penjelasan mengenai kritik sastra dan esai. Kedua jenis teks ini sangat menarik untuk dipelajari
karena dapat memberi wawasan sekaligus berpikir kritis dalam menilai karya orang lain. Kritik dan
esai adalah dua jenis tulisan yang hamper sama. Keduanya sama-sama mengeungkapkan pendapat
atau argument. Namun, penulis kritik dan esai haruslah melakukan analisis dan penilaian secara
objektif terlebih dahulu agar dapat dipercaya.

Kata “kritik” sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang terlintas dalam benakmu
ketiak ada seseorang menyampaikan kritik? Sebagian di antara kamu mungkin ada yang
beranggapan bahwa kritik adalah celaan, pernyataan yang mengunkap kekurangan karya seseorang.
Tentulah tidak salah jika yang dimaksud adalah kritik tanpa dasar. Yang dimaksud dengan kritik di
dalam pelajaran ini adalah kritik yang didasarkan atas analisis yang mendalam. Karya yang dikritik
biasanya berupa karya seni, baik karya sastra, musik, lukis, buku, maupun film.

Berbeda dengan kritik yang fokusnya adalah menilai karya, esei lebih mengarah pada ‘cara
pandang’ seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa tidak selalu terhadap karya. Pemahaman
tentang kritik dan esi sering kali rancu karena keduanya merupakan teks yang harus didasarkan pada
suatu objek untuk dinilai. Dalam pembelajaran ini kalian akan belajar tentang kritik dan esei, serta
perbandingan di antara keduanya.

A. Membandingkan Kritik Sastra

Kegiatan 1. Mengidentifikasi Unsur Kritik

Di atas telah disinggung bahwa kritik dan esai adalah penilaian terhadap suatu karya secara
seimbang baik kelemahan dan kelebihannya. Struktur kritik dan esai sama halnya dengan struktur
editorial dan artikel yaitu ada pernyataan pendapat atau tesis, argumen dan pengasan ulang.
Bacalah contoh kritik novel di bawah ini!
Kritik Novel

Peristiwa pada Sebuah Kapal

Novel ini terdiri atas dua bagian yaitu “Penari” dan “Pelaut” novel “Pada Sebuah Kapal”
mengisahkan pertemuan dan percintaan gelap antara seorang penari Indonesia dengan seorang
komandan kapal berkebangsaan Perancis, di sebuah kapal yang berlayar antara Saigon dan
Marseilles. Tokoh utama novel ini adalah Sri dan Michael.

Sri awalnya seorang penyiar radio, pramugari dan kemudian menjadi seorang penari terkenal.
Pada saar menjadi pramugari Sri di sukai banyak pilot, di antaranya: Saputro, Coal, seorang diplomat
prancis bernama Charles Vincent. Sri menjatuhkan pilihannnya pada Saputro. Ia dan Saputro telah
hidup layaknya suami istri walaupun mereka belum resmi menikah. Pada suatu hari, Saputro
mengalami kecelakan bersamaan Bersama pesawatnya dan ia meninggal. Sepeninggal Saputro, Sri
menjatuhkan pilihannya pada Charles Vincent. Awalnya Charles halus budinya, namun pada
kenyataannya ia memiliki watak yang keras dan tak mau diungguli oleh orang lain. Apalagi oleh
istrinya. Charles merasa ketenaran istrinya sebagai penari telah mengunggulinya. Rumah tangga
mereka kerap dihinggapi pertengkaran sampai akhirnya Charles memutuskan untuk pulang ke
Prancis Bersama keluarganya.

Dari Jepang, tempat di mana tempat Charles bekerja, Charles pulang menggunakan pesawat
terbang, sedangkan istri dan putrinya disuruh naik kapal laut dari Srigon. Dalam kapal laut inilah Sri
bertemu dengan seorang komandan kapal itu bernama Michael. Dalam kapal itulah Sri dan Michael
menyempurnakan cintanya sampai ke Prancis.

Michael sesungguhnya memiliki istri yang bernama Nicole. Namun, perkawinannya dengan
Nicole tidak Bahagia karena Nicole pencemburu dan penuh curiga.

Novel ini mengambil tema “Kehadiran orang ketiga”. Tokoh-tokoh di dalammnya yaitu Sri dan
Michael sebagai tokoh utama, sedangkan Saputro, Charles, Nicole merupakan tokoh pembantu.
Peristiwa yang dialami Sri dan Michael terjadi pada sebuah kapal. Jalin peristiwa itu terangkum
dalam alur maju. Gaya orang pertama dipakai dalam novel ini sehingga laku dan tokoh terlihat
menonjol sekali. Pembaca tidak kesulitan dalam hal menikmati laku dan tokoh ini, karena Bahasa
yang digunakan begitu lancer, sederhana dan mudah dicerna. Akhir cerita ini diselesaikan oleh
pengarang secara terbuka.

Tema orang ketiga sebagai solusi kemelut rumah tangga, kerap kali ditentang oleh penulis
wanita. Namun, N.H Dini begitu berani menyodorkan masalah ini pada pembaca. Novel ini diakhiri
secara terbuka, tanpa ada penghakiman terhadap pihak yang bersalah, sedangkan pada umumnya
orang yang berbuat serong seperti itu diakhiri dengan cara penghakiman oleh pengarang atas tokoh
yang bermasalah tersebut.

Kisah Sri dan Michael yang sama menemukan kemelut dalam rumah tangga kiranya masih
relevan sampai sekarang. Kehadiran orang ketiga dalam kemelut rumah tangga kadang-kadang
dijadikan sebagai solusi oleh pasangan suami istri di zaman sekarang. Namun, sebagai bangsa yang
beragama, bermoral, dan memegang teguh adat ketimuran, kiranya solusi Sri dan Michael ini tidak
bisa dibenarkan. Mereka sudah melanggar norma apalagi Sri sebagai orang timur, telah melakukan
zina sejak lama. Sejak dia mengenal pacar pertamanya Saputro. Secara tidak langsung hal ini bisa
merusak
moral bangsa. Alasan apapun, perzinahan merupakan perbuatan tercela, dan itu harus dihindarkan.
Ini betul-betul tidak mendidik. Novel ini bisa dibaca oleh orang dewasa, namun untuk anak-anak
remaja masih mencari identitas, bisa saja novel ini merusaknya, jika siswa tersebut belum matang
daya pikirnya!

Oleh Elmas Nur Islamy Adiwijaya

Siswa Kelas XII IPA 5

SMA Negeri 11 Garut 2015

Latihan 1

Pilahlah bagian-bagian struktur kritik novel di atas!

Tesis Argumen Penegasan


Kritik Cerpen

Coba kamu perhatikan contoh teks yang berjudul “Nasib Kuli Kontrak” karya Sunu Wasono
merupakan tanggapan atas cerpen “Kuli kontrak” karya Muchtar Lubis. Bacalah secara cermat
terlebih dahulu teks berikut ini!

Kasib Kuli Kontrak

“Kuli Kontrak berkisah tentang nasib para pekerja perbunan di sumatra pada zaman penjajahan
Belanda”. Para pekerja itu disebut kuli kontrak. “Aku” tang tentunya belum cukup dewasa untuk
melihat adegan kekejaman-suatu kali, meski secara tak langsung telah dilarang “Ayah” menyaksikan
suatu adegan penyiksaan terhadap 3 orang kuli kontrak yang dilakukan oleh mandor penjara. Tiga
orang kuli itu disika karena telah menikam seorang opzichter, mendor belanda. Sebetulnya alasan
mereka menikam karena opzchter itu telah mengganggu mereka. Namun, karena belanda adalah
penguasa dan para kuli ini budak, maka para kuli itu tetap dianggap salah dan si opzichternya
dianggap benar. Disinilah ketidakadilan telah terjadi. Celakanya “Ayah” yang mestinya membela
para kuli itu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali ikut menyaksikan adegan kekejaman itu berlangsung
di depan matanya. Untunglah akhirnya “Ayah” menjelaskan alasan dan sikapnya keapda “Aku”
bahwa ia berbuat karena keterkaitannya sebagai pemerintah belanda (dalam hal ini ia menjabat
sebagai demang).

Cerita pendek ini mengambil latar waktu tahun 1920-1930-an dan pokok persoalannya berkisar
pada kehidupan kuli kontrak yang bekerja diperkebunan pada saat itu. Dengan menampilkan
pencerita “Aku” sekaligus menjdai salah seorang tokoh, pencerita langsung membukakan diri
kepada pembaca sehingga pembaca seakan-akan merasa terlibat langsung dengan persolan yang
dihadapi ataupun yang dialami tokoh-tokoh, baik tokoh “aku” maupun tokoh-tokoh lain yang
diceritakan “aku”. Cara seperti ini memang cara yang tepat untuk menampilkan cerita yang latarnya
jauh dari kehidupan kini atau cerita-cerita biografis.

Bagaimana peristiwa-peristiwa dalam cerpen ini ditata. Sekalipun Teknik kilas bilas tidak terlihat,
tidak berarti bahwa cerpen ini kehilangan daya pukaunya. Mochtar lubis masih menyediakan
tegangan dan kejutan untuk pembaca. Hal ini, misalnya terlihat pada bagian Ketika akhirnya “Ayah”
mengetahui bahwa “Aku” yang dinasehati agar tidak bermain di belakang rumah, ternyata bukan
saja sekedar bermain melainkan justru menyaksikan penyiksaan terhadap para kuli. Kejadian ini
tentu membuat kita lekas ingin tahu bagaimana reaksi “Ayah”. Anehnya, dan ini tentunya suatu
kejutan, “Ayah” tidak marah. Sebaliknya, ia mengungkapkan isi hatinya dengan menasehati “Aku”
agar dia kelak tidak menjadi pamong praja. Belanda sebab pekerjaan itu dapat membuat seseorang-
demi sang penguasa-mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal.

Rupanya pesan “Ayah” kepada aku yang ditempatkan pada bagian akhir cerita ini merupakan
yang penting yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca apa yang dikatakan “Ayah”
kepada “Aku” boleh dikatakan merupakan cara lain untuk mengatakan, “Janganlah kamu-generasi
muda- bekerja untuk Belanda sebab kelak kamu akan terpaksa melakukan Tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan hati nuranimu dan kamu akan “membenarkan” ketidakadilan sebagaimana
“Ayah” mendiamkan penyiksaan mandor penjara kepada para kuli kontrak.”
Pesan tersebut amat relevan dengan kondisi pada tahun 1950-an, tahun Ketika cerpen ini ditulis.
Tahun 1950-an kiranya masih dekat dengan tahun 1940-an, tahun-tahun berkecambuknya revolusi
kita. Muchtar lubis lewat “Kuli kontrak” telah mengangkat sepenggal pengalaman hidupnya Ketika
menyaksikan kesewang-wenang dan ketikadilan yang dilakukan pemerintah belanda kepada rakyat
Indonesia umunya, khususnya pada kuli kontrak biasanya dari pulai jawa-yang dipekerjakan di
perkebunan-perkebunan sumatera. Suasana tahun 1950-an yang belum sepi dari gegap revolusi
tampaknya memang menempatkan cerpen ini para tempat yang “Pas” saat itu. Namun harus
ditambahkan bahwa untuk situasi kini pun tema universal yang dituangkan Muchtar lubis dalam
cerpen itu tetap relevan sebab “Kekejaman” dan “Ketidakadilan” tidak hanya bersenyam di dada
penjajah (belanda), tetapi bisa saja merasuk dalam sanubasi manusia dibagian dunia maupun di
zaman kini.

Karya: Sunu Wasono

Dari “Kaki Langit”

Horison, Januari

1997

Latihan 2

Buatlah sebuah kritik cerpen!

Anda mungkin juga menyukai