Anda di halaman 1dari 21

BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. Amatan Tokoh ‘Anjani’ dalam Novel Laut Bercerita

Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III, tentang Posisi Subjek-Objek,
yang dimaksudkan di sini, adalah cerita yang dibuat oleh penulis digambarkan
seperti apa dan bagaimana. Kemudian, akan dimengerti kecenderungan dari Leila
S. Chudori tentang wacana feminisme dan pandangannya dalam memproduksi
tokoh novel Laut Bercerita, serta gambarannya untuk menampilkan tokoh Anjani.
Peneliti akan membedah teks berdasarkan pada bab sebelumnya, kemudian
mengelompokkan teks tersebut dan dianalisis. Dalam pembahasan berikut, peneliti
akan menggunakan pendekatan Teori Feminisme Liberal, berdasarkan (Rosemari,
2004) yang memiliki tiga dasar yaitu kebebasan, kesetaraan dan keadilan.
Kemudian peneliti akan menggunakan metode AWK untuk melihat bagaimana
posisi-posisi teksnya secara lebih terperinci.

5.2. Kebebasan

Menurut Freidan, secara sederhana menjelaskan tentang konsep kebebasan


adalah hak perempuan yang sebebas-bebasnya untuk dapat berperilaku yang sama
dengan laki-laki dan tidak ada batasan untuk perempuan dalam mengambil
keputusan dalam bersikap. “Kebebasan dalam kaca feminis liberal, berkeinginan
untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif-yaitu, dari peran-
peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang paling rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan
(Friedan, 1981). “

a) Posisi Subjek- Objek

Analisis ini, melibatkan pada posisi subjek-objek pada dasarnya berpusat


pada peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa yang
diposisikan pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan.
Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan

31
untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya ditampilkan oleh
kelompok/orang lain. Dalam hal ini penekanannya pada siapa dibalik
pembuatan cerita, kemudian tokoh yang muncul diceritakan oleh penulis.

Seperti yang sudah dijelaskan oleh pandangan feminisme liberal dengan


pendekatan kebebasan. Berikut disajikan teks yang berkaitan dengan tokoh
Anjani yang merepresentasikan pandangan tersebut:

“… Anjani yang baru saja menciumku beberapa hari lalu? Di Pasir


Putih?... (Di Sebuah Tempat, di Dalam Khianat, 1998, Halaman:
172)”.“… Anjani mendekat dan memelukku. Dia menciumku begitu
Panjang meski ombak terus menerus menghajar kami… (Di Sebuah
Tempat, di Dalam Kelam, 1998, Halaman: 226)”.

Penulis ingin memperlihatkan bahwa perempuan dapat berperilaku sama


dengan laki-laki, dengan menambahkan kata “cium”. Dalam kalimat tersebut,
penulis seolah mengisyaratkan bahwa tokoh perempuan ini adalah tokoh
pemberani dan percaya diri. Selain itu, penulis juga mempertegas dengan
narasi, jika yang mulai memeluk dan mencium adalah tokoh Anjani.
Kemudian, penulis seolah bebas mengekspresikan tokoh Anjani. Di sini dapat
dipahami, kalau yang berani memulai mencium atau memeluk tidak hanya laki-
laki. Posisi Subjek yang menceritakan pada kalimat ini “Laut” sedangkan objek
yang diceritakan merupakan tokoh Anjani. Tetapi, meski tokoh Anjani
digambarkan sebagai objek, namun dirinya tetap dijelaskan penulis tidak
kehilangan jati dirinya.

Selanjutnya, penulis memperlihatkan sisi perempuan yang melankolis dalam


kutipan berikut ini:

“… aku memperhatikan foto itu satu persatu. Lalu wajah Anjani


yang kini sudah basah entah oleh air mata atau keringat. Tapi
mata itu menunjukkan sesuatu yang membuatku jeri: suatu sinar
keyakinan sekaligus keras kepala… (Ciputat, Jakarta, 2000,
Halaman:237)”.

32
“… ya ya, aku tahu.. tapi tidak berarti mereka mati!” Anjani
berkeras. Air matanya mengalir deras dari kedua matanya yang
cekung itu…. Anjani menolak dan bersiteguh untuk duduk di kursi
Panjang depan sembari membuat sketsa di buku gambarnya.
Paling tidak dia masih bisa menggambar dan melukis, kataku
pada Aswin yang sangat prihatin dengan kondisi Anjani…
(Ciputat, Jakarta, 2000, Halaman: 239)”. “… Anjani tetap
memandangku dengan mata berkaca-kaca… Kerumitan ini
berpusat pada hati dan pikiran Anjani yang saat ini tak berada di
planet yang sama denganku…(Tanah Kusir, 2000, Halaman: 322
Paragraf 3)”.

Melalui teks itu, dapat ditarik kesimpulan, bahwa selain ditampilkan sebagai
sosok yang keras. Penulis juga memperlihatkan sisi melankolis, terlihat sedih
dan terpukul dalam ”Air matanya mengalir deras”, sehingga dalam keadaan
kehilangan, tokoh Anjani masih ditampilkan sebagai sosok yang tegar dan
bersemangat. Terlihat dalam teks “Tapi mata itu menunjukkan sesuatu yang
membuatku jeri: suatu sinar keyakinan sekaligus keras kepala”, kata ‘jeri’
berasumsi jika tokoh Anjani memperlihatkan sikap yang keras menyangkal
kepergian dari tokoh Laut. Di Ciputat, Jakarta, 2000, Halaman: 239, penulis
menjelaskan tokoh Anjani menggambar dan melukis, dengan perasaan tidak
karuan sekalipun. Teks selanjutnya dalam, “kerumitan ini berpusat pada hati
dan pikiran Anjani”, digambarkan tokoh Anjani dapat mengurus dirinya
sendiri, walaupun dalam cerita dinovelnya ia dinarasikan sedang merasa hancur
karena tokoh Laut hilang dan belum ditemukan. Tetapi, tidak sedikit pun
penulis mencantumkan jika tokoh Anjani menyakiti diri sendiri atau bertingkah
konyol.

Posisi subjek pada teks ‘Ciputat, Jakarta, 2000 Halaman 237’ adalah tokoh
Asmara, dan objeknya merupakan tokoh Anjani. Di dalam teks itu tokoh
Asmara menjelaskan keadaan tokoh Anjani yang sedang kacau karena
kehilangan tokoh Laut. Teks ‘Ciputat, Jakarta, 2000, Halaman 239’ posisi

33
subjek adalah tokoh Anjani, di sini penulis menampilkan tokoh Anjani menjadi
subjek yang menceritakan dirinya sendiri. Sesuai dengan pandangan feminisme
liberal yang menempatkan perempuan pada posisi bebas utuh sebagai dirinya
sendiri. Sedangkan teks ‘Tanah Kusir, 2000, Halaman 322, penulis diposisikan
sebagai subjek pencerita, sedangkan Anjani menjadi objek yang diceritakan.
Dalam teks memang silih berganti tokoh Anjani ditampilkan penulis sebagai
subjek dan terkadang menjadi objek. Namun, dalam teks itu, tokoh Anjani
masih ditampilkan sebagai perempuan seutuhnya tanpa ditindas ataupun
ditempatkan sebagai korban.

“… aku sudah biasa dengan yang serba tak pasti dan tidak
konsklusif, kata Anjani… (Tanah Kusir, 2000, Halaman: 321:
paragraph 8)”.

Kata “tidak konsklusif” dalam teks, membuat tokoh Anjani menjadi sosok
yang rasional dan tegas. Karena ada ironi yang tetap ditampilkan dalam tokoh,
namun ada sisi kuat dan percaya yang masih diperlihatkan penulis dibalik kata-
kata itu. Posisi subjek dalam teks merupakan Anjani yang sedang
merasionalkan keadaan yang dialaminya. Di sini penulis tidak memberikan
perantara, jadi tokoh Anjani dibuat dapat bercerita dengan bebas. Di dalam teks
itu, penulis juga tidak memberikan dialog bernada kasar atau pun marah, seakan
tokoh ini ditampilkan sebagai sosok yang sangat tangguh menghadapi
masalahnya. Sedangkan dalam teks, posisi objek yang sedang diceritakan
merupakan tokoh Laut, yang dikisahkan menghilang disekap orang tidak
dikenal.

“… betapa hancurnya wajah Anjani yang cantik itu. Kini dia


kelihatan kusam, rambut yang tak pernah bersentuhan dengan
shampo, baju yang mungkin dia ambil dari keranjang pakaian
kotor, dan jari-jarinya yang jorok dengan kuku hitam itu membuat
Anjani mirip kaum Hippies tahun 1965 yang konon malas
mandi… (Tanah Kusir, 2000, Halaman: 321-322)”.

34
Kata “cantik” yang dipakai untuk tokoh Anjani tidak memperlihatkan
tampilan fisik. Dibaca kutipan itu, cantik adalah seorang perempuan yang
sering mandi, memakai pakaian bersih dan kukunya tidak berwarna hitam,
karena penulis menjelaskan tokoh Anjani tidak mengurus dirinya “baju yang
mungkin dia ambil dari keranjang pakaian kotor, dan jari-jarinya yang jorok
dengan kuku hitam”. Tokoh Anjani menjadi berantakan dan jarang mandi yang
diibaratkan mirip dengan “Hippies tahun 1965”. Menurut sejarahnya, Hippie
orang-orang yang berasal dari Amerika Syarikat, budaya yang diperjuangkan
oleh kebanyakan remaja dan belia negara berat pada era tersebut, dan timbul
disebabkan oleh pemberontakan politik, sosial, dan spiritual yang melanda
Amerika.1 Penulis ingin merepresentasikan tokoh Anjani seperti Hipper dengan
keadaannya yang kacau dan tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Dalam teks,
posisi subjek adalah penulis, sedangkan posisi objeknya adalah Anjani. Penulis
menarasikan tokoh Anjani dalam keadaan yang cukup memprihatinkan, tetapi
walau tokoh Anjani jarang mandi dan kurang mengurus diri ia masih dapat
bekerja dengan baik di tempat kerjanya. Sehingga tokoh ini seolah menentang
konservatif dari perilaku perempuan pada umumnya, yang harus kalem dan
berperilaku baik, tetapi masih ditampilkan dapat tetap menjalani kehidupannya.

b) Posisi Pembaca

Posisi pembaca berkaitan dengan bagaimana posisi pembaca ditampilkan


Penulis dalam teks. Dilihat dari struktur kalimat, bahasa yang dipakai penulis,
menempatkan pembaca sebagai tokoh sekunder, sebab penulis masih mengikut
sertakan pembaca untuk terlibat dalam teks. Di sini, pembaca dapat ikut
merasakan dan memperkirakan bahwa tokoh Anjani dibuat oleh penulis
mengarah kepada perilaku seperti apa dan bagaimana. Pembaca dapat ikut

1Riani, Feby. Love, Peace, and Freedom Perkembangan dan Pengaruh Hippies terhadap
Kehidupan Sosial Budaya di Amerika Serikat 1965-1970-an. Diakses dalam,
http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=20156989&lokasi=lokal. Diakses pada 21
Agustus 2019, pukul 20:50 WIB.

35
menganalisa, sebab penulis mendiskribsikan semua tokoh saling melengkapi
dan menceritakan.

Setelah melihat posisi subjek-objek dan posisi pembaca dalam tujuh teks
tersebut. Peneliti menyimpulkan; tokoh Anjani, ditampilkan bersikap bebas,
berani, keras kepala dan rasional dan kuat. Teks yang menjelaskan pandangan
itu, “Di Sebuah Tempat, di Dalam Khianat, 1998, Halaman: 172”, Di Sebuah
Tempat, di Dalam Kelam, 1998, Halaman: 226, Ciputat, Jakarta, 2000,
Halaman: 239, dan Tanah Kusir, 2000, Halaman: 321: paragraph 8.
Perempuan ditampilkan sebagai tokoh yang bebas berekspresi, dalam teks itu
wacana yang dibangun penulis kuat menjelaskan tentang kebebasan dalam
berperilaku. Sedangkan pada teks berikutnya, Tanah Kusir, 2000, Halaman:
322 Paragraf 3, Tanah Kusir, 2000, Halaman: 321-322, wacana yang
dibangun dalam teks lemah, tidak jelas gambaran tokoh Anjani menangis,
jarang mandi dan seperti Hippie tidak diperkuat dengan narasi yang
mendukung arah pembahasan itu, sehingga penulis terkesan tidak kuat
menggiring opini melalui tindakan tokoh tersebut.

5.3 Kesetaraan

Pilar kedua dalam feminisme liberal adalah pandangan tentang kesetaraan


(Friedan, 1997), bahwa hukum yang spesifik gender adalah lebih baik daripada
hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis
kelamin.2 Friedan tahun 1980-an menambahkan jika tugas dari feminisme
liberal bukan untuk menentukan kebebasan dan kesetaraan itu apa bagi orang
yang rasional dan abstrak, melainkan apa kebebasan dan kesetaraan itu bagi
laki-laki dan perempuan yang kongkret. Dengan kata lain, dalam dalam
pandangan kesetaraan menurut Freidan, adalah untuk melihat secara nyata
kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.

2 Jane English, “Sex Roles and Gender: Introduction, dalam Feminism and Philosophy, Mary
Vetterling Braggin, Frederick A. Elliston, dan Jane English, ed. (To-towa, N.J..: Rowman &
Littlefield, 1977), hlm. 39.

36
c) Posisi Subjek-Objek

Berikut, teks yang menjelaskan tentang kesetaraan dalam pandangan


feminisme liberal:

“… mungkin Avarez tak menampilkan realisme magis seperti


Isabelle Allende. Tetapi tokoh-tokoh perempuan, Mirabel
bersaudara yang melawan diktator Trujillo ini luar biasa,
mengingatkan aku pada kalian,” kata Mas Laut… (Tanah
Kusir, 2000, Halaman: 312: paragraph 3)”. “… Mas Laut
tertawa kecil, “Tokoh Mirabel Bersaudara dalam novel ini
berkepribadian kuat, berani, penuh gairah, intens. Kekuatan
dan keberanian tak harus memperjuangkan yang persis
sama… (Tanah Kusir, 2000, Halaman: 312 paragraph 5)”.
“… Anjani adalah sosok yang intens. Ketika dia bersiteguh
untuk terlibat, dia akan betul-betul terlibat sepenuhnya pada
apa pun dan siapa pun yang dia kasihi dan dia percayai…
(Epilog, Halaman: 368: paragraph 2)”.

Dalam teks, penulis menjelaskan tentang perbandingan antara Avarez yang


tidak menampilkan realisme magis sebaik seperti Isabelle Allende. Penulis
luput dalam mencantumkan nama, karena tokoh besar kesusastraan dari
Amarika Latin yang paling terkenal dengan kiprahnya mengenalkan realisme
magis adalah Gabriel Garcia Marquez. Atau kerap dipanggil dengan nama
Marquez. Sebagai tokoh berpengaruh di dunia pada abad ke-20, Marquez
pernah meraih Nobel Sastra pada 1982, dalam novel “Seratus Tahun
Kesunyian”, menghadirkan sesuatu yang magis menjadi peristiwa biasa dalam
kehidupan keseharian, memadukan pendekatan realis dengan elemen-elemen
magis dalam karyanya sehingga menciptakan fantasi. 3 Tetapi dalam teks
penulis, membandingkan Marquez, dengan Isabel Allende yang memiliki nama

3Ramadhani, Yulaika. 2018. Gabriel Garcia Marquez Diganjar Nobel Sastra Berkat Realisme
Magis. Diakses dalam, https://tirto.id//gabriel-garcia-marquez-diganjar-nobel-sastra-berkat-
relisme-magis-cFKy pada, 18 Agustus 2018 pukul 08:34 WIB.

37
asli Isabel Allende Llona itu, merupakan seorang pengarang Chilli yang buku-
bukunya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, ia sekarang ini novelis
paling terkenal di dunia yang lebih dari 35 juta kopi terjual dengan 27 bahasa
di seluruh dunia.4

Di sini, dapat dilihat bahwa penulis membandingkan antara novelis laki-laki


dan perempuan serta mengarahkan pembaca untuk menganggap jika Isabel
lebih baik dari pada Marquez. Selanjutnya, penulis menjelaskan jika Mirebel
bersaudara “luar biasa” ketika melawan diktator Trujillo. Empat suster di
Republik Dominika ini merupakan perempuan tiga dari empat bersaudari,
mereka merupakan tokoh besar yang menentang kediktatoran Rafael Trujillo
(El Jefe) yang terlibat dalam kegiatan klandestin melawan rezimnya. 5 Dengan
adanya tokoh tersebut, penulis mengarahkan pembaca dapat berperilaku hebat
seperti mereka dan tidak hanya laki-laki yang bisa memiliki pengaruh besar
bagi dunia. Selain itu, penulis juga menyampaikan jika perjuangan tidak harus
sama persis, penulis juga menjelaskan jika tokoh Mirabel kuat, berani, penuh
gairah dan intens.

“mengingatkan aku pada kalian” kalimat itu, menjadi bukti jika penulis
menempatkan Anjani, Asmara dan Kinan memiliki sifat yang sama dengan
Mirabel bersaudara. Selain itu, pada Epilog, Halaman: 368: paragraph 2,
penulis menjelaskan tokoh Anjani sebagai sosok yang intens, sedangkan
sebelumnya di “Tanah Kusir, 2000, Halaman: 312 paragraph 5”
mendeskripsikan tokoh Mirabel merupakan sosok yang intens. Dapat dilihat
jika penulis menggambarkan tokoh Anjani dibuat berkorelasi dari tokoh-tokoh
besar perempuan dunia. Seperti dalam wawancara Leila Chudori mengatakan,
“Iya memang dalam membuat satu karakter yang ada di novel, saya tidak
terpaku pada satu tokoh atau narasumbernya cuma satu, jadi bukan aktivis
saja, tapi dari beberapa tokoh yang saya padukan sehingga menjadi tokoh

4 Wallace, Rachel dkk. 2009. Voices from the Gaps: Isabel Allende. Skripsi. University of
Minnesota.
5 Kordi, K.M. Ghufran. Majalah BakTI News (pdf), Halaman: 34.

38
Laut, Anjani dan lainnya”, sehingga dapat ditarik kesimpulan jika penulis
mengkonstruksi tokoh Anjani dan membuatnya menjadi tokoh yang kuat dll.
Tokoh Anjani diposisikan dalam teks sebagai objek, namun tokoh Anjani
ditampilkan tetap dengan jati dirinya. Sedangkan posisi subjek yang
menceritakan berdasarkan dialog “aku” yaitu tokoh Laut.

Teks berikutnya penulis merepresentasikan tokoh Anjani sebagai seorang


perempuan yang tidak manja atau lemah:
“… gaya baca Mao, kesentuh lintah saja sudah menjerit,”
Anjani menggerutu… (Blangguan, 1993, Halaman: 141)”.“…
tapi bagaimanapun Anjani bukanlah anak Jakarta yang manja
dan gelenjotan jika menemui ular yang merayap atau kodok
yang meloncat. Karena pada dasarnya Anjani adalah sosok
perempuan yang tak mengenal rasa takut. Sama seperti Kinan
atau Asmara… (Terminal Bungurasih, 1993, Halaman: 162)“.
“… nasi goreng, apalagi? Memangnya aku jago masak seperti
Laut.”… (Terminal Bungurasih, Halaman: 177)”.

Penulis mencantumkan kata “gaya baca Mao” di sini Mao merupakan Partai
Komunis Tiongkok.6 Berarti penulis menganalogikan jika tokoh-tokoh dalam
teks sering membaca tentang politik dan sejenisnya. Sedangkan, dalam kalimat
yang direpresentasikan manja dan takut dengan lintah adalah laki-laki. Tokoh
Anjani ditampilkan sebagai anak Jakarta yang tak mengenal rasa takut. Jakarta
merupakan Ibu Kota Negara Indonesia, di situ terlihat bahwa penulis sengaja
membuat karakter yang terbalik. Sehingga masih ada anak Jakarta yang
walaupun tersentuh dengan banyak kemajuan namun tetap mandiri dan tidak
manja.

Selanjutnya teks Terminal Bungurasih, Halaman: 177 penulis menjelaskan


tokoh Anjani tidak mahir memasak, sedangkan yang pintar memasak adalah
tokoh Laut. Seperti filosofi Jawa perempuanlah yang seharusnya piawai masak

6Dahana A. 2014. Mimpi Kembali Ke Maoisme?. Penlitian. Universitas BINUS dan Peneliti pada
Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia – China.

39
seperti masak, macak dan manak yang artinya perempuan harus bisa memasak,
berdandan dan melahirkan (George, 1995:12). Namun, tokoh laki-laki yang
ditampilkan penulis pandai memasak, menentang norma yang seharusnya,
penulis ingin menempatkan jika tidak hanya perempuan yang bisa memasak
tapi peran itu juga dapat diambil oleh laki-laki. Posisi subjek dalam Blangguan,
1993, Halaman: 141, Terminal Bungurasih, Halaman: 177 merupakan tokoh
Anjani. Ia dalam teks sedang berdialog untuk menjelaskan tokoh lain (objek)
dan penulis membuat konsisten seperti pada awal cerita yaitu tokoh yang tidak
kehilangan jati dirinya. Sedangkan pada Terminal Bungurasih, 1993, Halaman:
162, yang menjadi subjek adalah penulis, dan posisi objek yang dijelaskan
adalah tokoh Anjani. Penulis menempatkan tokoh Anjani sedang di diskripsikan
sebagai perempuan yang tak mengenal rasa takut.

Berikut pernyataan Leila Chudiri menjelaskan tentang penggalan teks


tersebut:

“Anjani itu orang Jakarta, yang sekolah di ISI, dia anak


orang kaya yang punya beberapa vila. Biasanya orang Jakarta
kan manja, agak in title, Anjani tidak, dia benar-benar menyatu
dengan semuanya, kakanya kan juga cowo semua, sangat
protektif. Anjani juga di situ yang paling terpukul di antara
lainnya, dia yang terlihat awalnya kuat terus kemudian kacau
dan akhirnya kuat lagi. Menurut saya Anjani itu kalau di karya
sastra sebagai ray karakter, pernah jatuh terus kuat lagi.”

Dari jawaban Leila inilah, dapat ditarik kesimpulan jika benar tokoh Anjani
ditampilkan berbeda dengan anak Jakarta pada umumnya yang terkenal manja.
Leila, menjelaskan jika tokoh Anjani adalah tokoh real yang memang berasal
dari Jakarta dan memiliki sifat yang pemberani

Selanjutnya terdapat teks berikut:

“… kata Coki si gondrong menjelaskan. “Aku akan mengisi


tembok yang berjendela dengan melukis beberapa tokoh yang

40
memberi inspirasi, sedangkan satu tembok besar di ruang
diskusi ini adalah jatah Anjani, dia si pendongeng ulung dan
akan memperlakukan tembok ini seperti panel komik”…
(Sayegan, 1991, Halaman: 36)“.“… wah kamu ingat ucapanku
itu langka. ”maksudmu?” “Pengalamanku, lelaki di rumah
maupun di kampus jarang mendengarkan ketika perempuan
berbicara. Mereka gemar memotong lawan bicara mereka,”
Anjani menyimpulkan dan saat itu aku langsung memutuskan
Asmara dan Kinan pasti akan cocok membentuk trio
bersama… (Di Sebuah Tempat, di Dalam Keji, 1998,
Halaman: 104-105)”.“Percayalah, anak-anak Winatra sangat
mendengarkan. Lelaki atau perempuan…” Aku coba membela
kaumku dengan setengah hati, karena yang dikatakan Anjani
memang benar. “Maksudku, begini, mengapa kau secara
pribadi menginginkan konsep mural seperti ini? Apa yang
mendorongmu?... (Halaman: 105: paragraph 2)”.
Teks, Sayegan 1991, Halaman 36, disebutkan jika tokoh Anjani adalah
“pendongeng ulung” tokoh ini digambarkan penulis sebagai tokoh yang mahir
menggambar dan melukis mural (keterangan lengkap dibagian 5.3 keadilan, hal
37). Seperti tokoh lainnya, tokoh Anjani disisihkan tembok untuk melukis yang
sama dengan pelukis laki-laki lainnya. Selanjutnya Di Sebuah Tempat, di
Dalam Keji, 1998, Halaman: 104-105, tokoh Anjani menjelaskan posisinya
ketika di rumah dan luar yang sering kali menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak setara dengan laki-laki. Sedangkan kelompok Winatra itu adalah
kelompok aktivis, yang dalam ceritanya tidak mengesampingkan tokoh
perempuan.
Sehingga, Leila menjelaskan peran laki-laki yang sering dianggap lebih
tinggi dibanding perempuan dalam teks Di Sebuah Tempat, di Dalam Keji,
1998, Halaman: 105: paragraph 2, tokoh Laut dibuat seolah setengah hati
membela laki-laki, karena pada kenyataannya laki-laki lebih sering memimpin
dibanding perempuan. Penekanan yang diberikan penulis pada bagian ini, juga

41
menjelaskan jika tokoh perempuan pada nyatanya memang selalu berada di
bawah laki-laki. Posisi subjek dalam tiga teks itu adalah Coki dan Laut,
sedangkan yang menjadi objek adalah tokoh Anjani. Dalam teks, menjelaskan
tentang tokoh laki-laki yang mengakui posisi perempuan yang ditempatkan di
bawah laki-laki. Tetapi, penulis membuat masih ada tokoh laki-laki yang
percaya jika perempuan itu sejatinya posisinya setara dengan laki-laki.

“… Tetapi Kinan dan Anjani adalah dua perempuan yang


mengembalikan kepercayaanku kepada kekuatan cita-cita;
kepada kekuatan kemanusiaan untuk bertahan dari segala
aniaya, hujaman, khianat dan cerca. Masih ada kebaikan yang
tumbuh dan hidup di dalam gelap… (Epilog, Di Hadapan Laut
di Bawah Matahari, Halaman: 365)”.

“… tapi peristiwa Blangguan adalah satu momen yang


membuat aku merasa, aku ingin bersamanya selamanya.
Padahal saat itu, aku betul-betul disadarkan bahwa
perempuan bukan hanya melahirkan lelaki (dan perempuan),
tetapi mereka juga penyelamat kaum kami … (Epilog,
Halaman: 368: paragraph 1)”.
“… aku mencintaimu, Anjani, bukan hanya karena kau selalu
mencoba menyelamatkan aku, tetapi karena aku menemukan
kehangatan yang tulus di dalam dirimu, di dalam tubuhmu...
(Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998, Halaman: 227)”.
Selanjutnya, penulis masih menampilkan tokoh Anjani sebagai seorang yang
memiliki pengaruh yang besar di dalam cerita. Salah satu penggalan yang
merepresentasikannya “perempuan yang mengembalikan kepercayaanku
kepada kekuatan cita-cita (Di Hadapan Laut di Bawah Matahari, Halaman:
365)”, perempuan yang dimaksudkan adalah tokoh Anjani, di sini tokoh Anjani
masih konsisten sejak awal memiliki pengaruh besar pada pemeran utama
(Laut). Penulis tidak menempatkan tokoh Anjani sebagai pelengkap, tapi
sebagai tokoh yang mempunyai dampak yang besar terhadap sebagian besar

42
tokoh dalam novel, pandangan dan perilakunya menjadi sorotan. Tidak hanya
itu, selanjutnya pada Halaman: 368, paragraph 1 penulis menyebutkan jika
perempuan adalah “penyelamat kaum kami” “kami” yang dimaksudkan adalah
tokoh laki-laki. Kami yang dimaksudkan dalam teks ini merupakan tokoh Laut,
tokoh perempuan ditampilkan Leila menjadi sosok sangat berpengaruh.
Kemudian Halaman 227 pada dialog “kau selalu mencoba menyelamatkan
aku” di sini tokoh perempuanlah yang lebih kuat dan menyelamatkan kaum
laki-laki. Sehingga penulis mencoba menyetarakan antara posisi laki-laki dan
perempuan yang sebenarnya setara dan dapat melakukan hal yang sama. Posisi
subjek dalam teks Di Hadapan Laut di Bawah Matahari, Halaman: 365- 368
paragraf 1 dan Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998, Halaman: 227 tokoh
Laut menjadi subjek. Tetapi, meski tokoh Laut menjadi subjek, dalam teks Leila
tidak menggambarkan objeknya menjadi tertindas atau kehilangan sifat-
sifatnya. Leila malah seolah menyanjung-nyanjung tokoh Anjani dalam novel
melalui dialog dari tokoh Laut.

d) Posisi Pembaca
Dalam kalimat, Tanah Kusir, 2000, Halaman: 312: paragraph 3, kata
“mungkin” mengawali pembukaan teksnya, yang dibuat Leila untuk
menjelaskan tokoh Isabel yang lebih baik daripada Marquez. Di sini pembaca
dapat mengambil peran dan terlibat untuk memberikan asumsi dalam kalimat
itu, walaupun penulis tidak menjelaskannya secara kuat. Leila pada teks Tanah
Kusir, 2000, Halaman: 312: paragraph 5 dan Epilog, Halaman: 368:
paragraph 2, dan seolah menjelaskan jika perempuan tidak selalu di bawah
laki-laki. Dalam hal ini, penulis membandingkan antara tokoh besar laki-laki
dan perempuan untuk mendeskripsikan sifat dari tokoh Anjani. Sehingga
perempuan dapat dipandang setara dengan laki-laki, walaupun untuk
memberikan pengantar itu penulis mengatakan dengan kata “mungkin”.

Posisi pembaca dalam tiga teks Blangguan, 1993, Halaman: 141, Terminal
Bungurasih, 1993, Halaman: 162 sampai 177, penulis melibatkan interaksi dari
kalimat mempertanyakan “pembaca Mao”, “anak Jakarta yang manja”,

43
“memangnya aku jago masak?” dalam kalimat ini penulis dapat ikut
menganalisis, karena lumrahnya di kehidupan nyata perempuanlah yang sering
ditampilkan lemah dan lebih pandai untuk urusan di dapur. Posisi pembaca pada
teks, ikut dapat berperan dengan kuat, dialog yang ada memberikan celah bagai
pembaca berpikir. Sehingga pembaca dapat melihat bagaimana sebenarnya
peran laki-laki dan perempuan yang sesungguhnya. Pembaca diberikan ruang
untuk mengkritisi sejauh mana perempuan selalu di tempatkan. Karena di dalam
tiga teks, Leila membuat banyak dialog yang pertanyaan, sehingga pembaca
mendapatkan banyak kesempatan, untuk merasakan keadaan yang sebenar-
benarnya.

Pada teks, Sayegan, 1991, Halaman: 36, Di Sebuah Tempat, di Dalam Keji,
1998, Halaman: 104-10, Halaman: 105: paragraph 2, setelah dilihat posisi
subjek-objeknya, pada pembahasan sebelumnya, memiliki kecenderungan
pembaca di tempatkan pada posisi yang kuat. Leila memberikan ruang untuk
pembaca ikut melihat, maksud dari mural yang dibuat tokoh Anjani, sikap tokoh
Laut begitu tertarik pada mural tokoh Anjani. Pembaca dibuat ikut terbuai
dengan dialog yang santai, namun tetap fokus dengan tokoh Anjani yang
ditampilkan Leila, sebagai sosok yang menyita perhatian.

Di Hadapan Laut di Bawah Matahari, Halaman: 365 – 368 paragraf 1, dan


Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998, Halaman: 227 berisi tentang dialog
tokoh Laut, yang masih pada posisi menggambarkan sosok tokoh Anjani, yang
mempesona. Di sini, pembaca di tempatkan sebagai tokoh yang kuat, karena
dapat ikut menjadi pengamat, sebab Leila dari awal cerita sudah memberikan
banyak ruang untuk pembaca memberikan pandangannya melalui teks dan
kecenderungan dari wacana yang ingin ditonjolkan oleh Leila. Dari amatan
berdasarkan dialog tokoh Laut, tokoh Mirabel dan sikap tokoh Anjani yang
dinarasikan oleh Leila.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, dalam teks yang dianalisis pada premis
kesetaraan ini, Laila menjelaskan jika perempuan dapat ditampilkan setara
dengan laki-laki, memiliki kesempatan yang sama dan perempuan juga dapat

44
memiliki pengaruh besar seperti halnya laki-laki. Semua tercermin dalam posisi
subjek-objek dan kecenderungan posisi pembaca yang dapat ikut berperan
dalam memaknai teks tersebut.

5.4 Keadilan

Pilar ketiga dalam pandangan (Freidan, 1997) menjelaskan adil adalah


kesetaraan berdasarkan tanggung jawab yang akan diemban antara laki-laki dan
perempuan dalam tatanan waktu yang bebas. “Suatu pengaturan seperti waktu
fleksibel digambarkan sebagai suatu perubahan struktural, gagasan utama yang
salah dari pemikiran yang ditekankan seperti itu adalah bahwa rumah dan
keluarga adalah tanggung jawab utama perempuan daripada tanggung jawab
bersama perempuan dan laki-laki.” 7

e) Posisi Subjek-Objek

Tokoh Anjani, menjadi perhatian utama peneliti. Namun, awal cerita


Ramayana digambarkan penulis melalui tokoh Asmara yang berperan sebagai
tokoh adik dari Laut Bercerita (tokoh utama). Kisah Ramayana merupakan
cerita dari kisah kepahlawanan dari India. Cerita Rama dan Sita di Jawa juga
menjadi falsafah kehidupan masyarakat. Dari sekian banyak versi cerita
Mahabarata, hal yang menarik dari ceritanya adalah tentang pengorbanan Sita
yang menceburkan dirinya ke api untuk membuktikan setianya pada Rama
(Nyoman, 2003 hal. 354). Kemudian cerita ini diadopsi oleh penulis dan
mengisahkan Anjani sebagai sosok pelukis mural yang salah satu muralnya
adalah tentang kisah Ramayana tersebut. Seperti pada bab I, Biru Laut,
Halaman 30-31 “aku membuka perlahan dan lukisan komik R.A. Kosasih
berkelebat begitu saja” penulis menambahkan cerita R.A Kosasih yang
merupakan penulis dan penggambar komik terkemuka di Indonesia. Ini
mengisyaratkan jika penulis ingin menjelaskan secara rinci gambaran cerita

7 Ibid

45
Ramayana yang menjadi fokus utama, cerita ini merepresentasikan kekuatan
seorang laki-laki. Sebab, cerita Ramayana memiliki akhir ceritanya
mengorbanan diri adalah perempuan (Sita). Penulis menambahkan cerita “kisah
Panjang keluarga besar Barata tentang cinta dan pertarungan merebut takhta
serta kehormatan; juga pada filsafat kehidupan, kematian, peperangan,
kehancuran, dan kelahiran kembali“ melalui teks ini, penulis juga ingin
menjelaskan jika cerita Ramayana merupakan cerita yang kuat tentang
pedoman kehidupan dan ingin mengambil sudut pandang cerita ini sebagai
cerita yang kuat untuk menjadi dasar pembentukan tokoh Anjani.

Tokoh Anjani, di dalam teks ini dicantumkan sebagai objek yang


diceritakan, namun penulis tidak membatasi ruang gerak dan perilaku. Penulis
masih membuat tokoh Anjani ditempatkan dalam teks tidak dengan keadaan
terintimidasi atau kehilangan eksistensi. Namun, sebaliknya penulis
memberikan gambaran tokoh ini memiliki keistimewaan yang lebih dibanding
tokoh lainnya. Lalu, pada posisi subjek adalah pada tokoh Laut yang
menceritakan tentang cerita Ramayana. Dalam posisinya tokoh Laut
menjelaskan tetap sejalan dengan pemikiran dan perilaku tokoh Anjani.

Selanjutnya, teks gambaran cerita Ramayana di dalam novel. Berikut adalah


kutipannya:

“Komik Ramayana yang diletakkan di rak paling atas itu


mengingatkan aku pada serial mural karya Anjani, (Ciputat 1991,
Halaman 87)”. “… Anjani membuat panel komik perjalanan Tan
Malaka dari satu negara ke negara lain; kemudian di tembok
belakang… nah ini favoritku: dia membuat komik kontemporer yang
terinspirasi dari Ramayana... (Halaman: 88)”.“… seorang gadis
yang dengan luwes melukis mural di dinding belakang markas di
Sayegan itu… (Rumah Susun Klender, Jakarta, 1996, Halaman: 215:
paragraph 1)”.

46
Dalam ketiga kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana penulis membebaskan
tokoh perempuan ini menjadi sosok yang kuat dalam cerita, walau di sini, posisi
subjek yang menceritakan adalah Laut. Dalam teks “aku” yang dituliskan
merupakan tokoh Laut, sedangkan teks Rumah Susun Klender adalah penulis
yang menarasikan. Mural sebagai salah satu seni menggambar dengan objek
dinding, seni ini ada sejak tahun 31.500 tahun yang lalu, tepatnya pada masa
prasejarah.8 Penulis di awal teks sudah mencantumkan R.A. Kosasih sebagai
tokoh besar pelukis komik. Ini memperlihatkan ada keterkaitan antara tokoh
Anjani dibuat terinspirasi dari tokoh Kosasih. Kemudian, penulis juga
mencantumkan tokoh Tan Malaka, yaitu tokoh pembela kemerdekaan Indonesia
dan tokoh Pahlawan Nasional Indonesia. Selain, ingin memperlihatkan bahwa
sosok Anjani sebagai tokoh yang cerdas dan memiliki wawasan yang luas,
penulis juga tidak ingin meninggalkan nilai yang diusung dari novel tersebut
yang menceritakan tentang kelamnya peristiwa 1998. Karena, tokoh Tan Malaka
merupakan Tokoh Partai Komunis Indonesia yang merupakan salah satu pejuang
nasional Indonesia.

Sama halnya dengan teks Ciputat 1991, Halaman 87, penulis masih
mengulang tentang tokoh R.A Kosasih, berikut kutipannya:

“… Anjani tetap melukis dengan tangannya yang kecil memegang


kuas besar dan garis yang tebal. Lama-kelamaan aku menyadari dia
sedang melukis seorang lelaki yang diculik oleh beberapa orang yang
mengendarai kuda. Perlahan-lahan aku mendekat dan mempelajari
tokoh-tokoh yang digambarkannya. Tokoh-tokoh ini tak mengenakan
kostum wayang golek seperti yang biasa dilakukan R.A Kosasih. Para
tokoh Anjani, baik lelaki maupun perempuan mengenakan baju silat
sederhana. Lama-lama aku bisa menebak, Anjani sedang membuat
interpretasi kisah Ramayana modern. Namun, pada panel yang

8Luthfi, Muhammad. 2015. Sejarah Seni Lukis-Lukisan Dinding (Mural). Diakses dalam,
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/fianca97/sejarah-seni-lukislukisan-
dinding-mural_54f79dcaa33311c6198b4595. Tanggal 17 Agustus 2019 pukul 22:00 WIB.

47
dilukisnya aku terkejut, justru tokoh Rama yang ditantang berkelahi
itu akhirnya dikepung beberapa lelaki, dibekap lalu diculik. … dalam
ceritaku, justru sang suami yang diculik oleh raja berkepala sepuluh
yang berniat menyiksa dan membunuhnya dan sang istri yang akan
berperang menyelamatkan dia,” Anjani menjawab dengan wajah dan
mata yang tetap terfokus pada lukisannya. “Bedanya, nanti ketika
mereka bersatu, sang istri tak perlu meminta sang suami membuktikan
kesetiaannya dengan terjun ke dalam kobaran api. Sang istri percaya
bahwa cinta telah mempertahankan segala kehormatan.. “Bukan
main jeniusnya,” tak sadar aku mengeluarkan segala rasa kagumku…
(Halaman: 88-89)“. Terminal Bungurasih 1993“… barulah aku sadar
mengapa Anjani melukis mural itu, bahwa perempuanlah, sang dewi
yang menyelamatkan kekasihnya dari cengkeraman angkara murka
dan bukan sebaliknya… (Halaman: 187)”.
Teks di atas menjadi bukti kecenderungan dari munculnya tokoh Anjani
yang terinspirasi oleh tokoh Kosasih, karena penulis menuliskan jika
terdapat kesamaan ketika mereka menggambar walau media menggambar
mereka berbeda. Kosasih juga disebut sebagai Bapak Komik Indonesia,
karena karya yang dibuatnya. Sedangkan tokoh Anjani ditampilkan juga
sebagai tokoh pelukis yang cerdas. Pada teks kedua di atas dijelaskan pula
bahwa dialog Laut “Bukan main jeniusnya, ini memberikan bukti bahwa
Anjani benar digambarkan sebagai perempuan yang cerdas. Letak di mana
Anjani merupakan sosok feminis adalah pada saat ia menggambar mural
dengan cerita Ramayana, namun dengan cerita yang terbalik. Sita yang
menyelamatkan Rama saat diculik dan disekap dan berperang melawan
orang yang berniat menyiksa dan menculiknya. Dalam hal ini, Anjani
menjadi subjek yang dapat utuh bercerita tentang ketertarikan dirinya akan
cerita Ramayana dan bagaimana ia membuat cerita ini.

Teks berikut, Leila masih memberikan pandangan positif terhadap


mural Anjani. Berikut kutipannya:

48
“…. Aku masih takjub dia memilih cerita yang subversif dari
pakem: Sita menyelamatkan Rama yang diculik dan nyaris
dibunuh oleh musuhnya. Mengapa?... (Di Sebuah Tempat, di
Dalam Keji, 1998, Halaman: 104)”.“Subversif,” ujar Anjani
sembari mengunyah mi dan senyumnya perlahan
mengembang. “Aku ingin sekali perempuan tak selalu menjadi
korban, menjadi subjek yang ditekan, yang menjadi damsel in
distress… (Di Sebuah Tempat, di Dalam Keji, 1998, Halaman:
104, paragraph 3)“.

Kata “subfersif” dalam kalimat di atas, menjelaskan jika cerita yang


dibuat oleh tokoh Anjani berbeda dengan cerita aslinya “Sita
menyelamatkan Rama yang diculik dan nyaris dibunuh oleh musuhnya”,
mempertegas jika dari awal kemunculan tokoh Anjani ia seolah ditampilkan
bertentangan dengan tokoh perempuan pada umumnya. Bahkan ketika
tokoh dalam novel ini, Anjani, Asmara dan Kinan merupakan tiga tokoh
feminisme yang dibangun penulis, untuk memperjuangkan kesetaraan yang
sama dengan laki-laki. Dalam teks “Di Sebuah Tempat, di Dalam Keji,
1998, Halaman: 104, paragraph 3” tokoh Anjani sebagai salah satu tokoh
dominan membela perempuan dan tidak ingin kalau perempuan selalu
dalam masalah, menjadi objek. Kemudian, pada , “Aku ingin sekali
perempuan tak selalu menjadi korban, menjadi subjek yang ditekan, yang
menjadi damsel in distress” jelas kalimat ini memiliki makna yang kuat.
Tokoh Anjani ditampilkan oleh Leila menjadi sosok yang peduli pada
keadilan tanpa melihat gender. Selain itu, ia menjelaskan pula jika
perempuan seharusnya tidak “menjadi subjek yang ditekan”. Menurutnya
posisi perempuan dan laki-laki seharusnya sejajar dan tidak dibanding-
bandingkan. Dengan begitu perempuan tidak akan melulu menjadi korban
yang selalu di bawah laki-laki. Posisi subjek pada Di Sebuah Tempat, di
Dalam Keji, 1998, Halaman: 104 – 104 Paragraf 3, tokoh Anjani menjadi
objek. Ia di posisikan Leila sebagai pencerita dan objek yang diceritakan
merupakan “perempuan”. Secara sederhana, Leila menggambarkan tokoh

49
Anjani sedang memposisikan tokoh Anjani bukan sebagai objek yang
ditidak dihiraukan, namun mengindahkan pandangan keadilan dalam
mengutarakan pendapat.

Selanjutnya Leila menjelaskan secara tekstual jika tokoh Anjani


merupakan tokoh feminisme:

“… mungkin jika bukan karena engkau, Kinan, Anjani,


mungkin aku tak sepenuhnya memahami feminisme. Jika bukan
karena kalian bertiga, aku tak akan menyadari betapa
perempuan pencinta kehidupan, penggerak matahari dan
peniup ruh kegairahan hidup… (Rumah Susun Klender,
Jakarta, 1996, Halaman: 219-220)”.
Dari kalimat itu, posisi subjek adalah pada tokoh Laut, ia digambarkan
menjelaskan tentang ketiga tokoh (objek) dalam novel adalah sosok
feminisme. Pernyataan ini membenarkan dugaan peneliti, jika Anjani
merupakan tokoh feminisme yang dibangun oleh penulis untuk
merepresentasikan tentang kesetaraan perempuan.
Dugaan peneliti ini didukung dengan hasil wawancara bersama dengan
Leila Chudori yang menjawab pertanyaan dari peneliti seperti berikut:
Apakah Ratih Anjani itu ditampilkan sebagai sosok feminis? “Iya jelas,
sebenarnya tiga-tiganya. Di sini dapat diambil kesimpulan jika hipotesa dari
peneliti benar, dan bukti teks yang sudah dianalisis tentang kecenderungan
Leila dalam menampilkan tokoh Anjani. Ditambah dengan pernyataan Leila
sebagai berikut: Apakah Leila S. Chudori seorang feminis? “Iya banget.
Yang melihat laki-laki dan perempuan sama, iya itu saja. Kesetaraan dalam
apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki bisa dilakukan perempuan. Udah
simpel gitu, tidak boleh ada diskriminasi karena gender yang berbeda.”
Sehingga dapat ditarik kesimpulan jika, penulis memang membangun
wacana feminisme pada tokoh Anjani sejak dari awal cerita hingga pada teks
terakhir.

50
f) Posisi Pembaca
Berdasarkan teks Bab 1, Biru Laut, Halaman 30-31, Ciputat 1991,
Halaman 87-88, Rumah Susun Klender, Jakarta, 1996, Halaman: 215:
paragraph 1 Halaman: 88-89, kemudian pada Di Sebuah Tempat, di Dalam
Keji, 1998, Halaman: 104 dan 104 paragraph 3 dan Rumah Susun Klender,
Jakarta, 1996, Halaman: 219-220, penulis menempatkan pembaca sebagai
bagian penting. Leila kuat dalam menampilkan teksnya dengan berbagai
sudut pandang dan kalimat, mulai dari mencantumkan R.A Kosasih, kata
“subversif”, perempuan yang ditekan, atau menjadi korban dan feminisme
merupakan bukti dari adanya adanya keterlibatan dari pembaca. Sehingga
pembaca dapat menduga atau menganalisis keterkaitan antara teks dan
akhirnya dimengerti maksud terselubung dibalik adanya teks dan tokoh
tersebut.
Selain itu, Leila melalui lima teks itu, merepresentasikan arah yang
jelas. Kecenderungan dari tokoh Anjani yang membuat mural dengan cerita
yang berbeda dari pakem, dari sikap yang diperlihatkan dan wawasannya
tentang gender secara tersirat ditampilkan konsisten dari awal teks. Sehingga
dalam Sembilan teks tersebut dapat diambil kesimpulan jika, melihat dari
awal kemunculan teks, Biru Laut, Halaman 30-3, hingga Rumah Susun
Klender, Jakarta, 1996, Halaman: 219-220 pada premis keadilan itu, Leila
sudah memberikan arah jika perempuan harus ditempatkan secara adil dan
sejajar dengan laki-laki. Karena kecenderungan dari pandangan ini, dapat
dilihat dari posisi subjek-objek dan posisi pembaca yang sudah diamati pada
bagian sebelumnya.

51

Anda mungkin juga menyukai