A. Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya merupakan ide pengarang yang bertolak dari
realitas kehidupan. Ide tersebut kemudian diproses dengan kemampuan intelek,
kepekaan intuisi, dan ketajaman imajinasi. Ide yang diproses dengan ketiga unsur
tersebut kemudian diciptakan menjadi suatu karya sastra, dalam hal ini novel.
Novel merupakan suatu bentuk struktur yang utuh dan otonom. Keutuhan
novel ditentukan oleh jalinan unsur-unsurnya. Hubungan antara unsur-unsur
tersebut membentuk makna keseluruhan. Keotonoman novel disebabkan sifatnya
sebagai karya imajinatif.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara novel dengan
realitas sosial bersifat semu. Percakapan, tingkah laku, dan aktivitas lahir maupun
batin dalam novel secara hakiki tidak dapat ditemukan dalam realitas kehidupan.
Hubungan antara keduanya hanya bersifat relevansional. Berkaitan dengan hal
tersebut Ingarden (via Teeuw, 1984: 190-191) mengemukakan bahwa pemahaman
makna karya sastra (novel) diserahkan kepada kemampuan dan selera pembaca.
Novel sebagai karya imajinatif yang memiliki hubungan relevansional
dengan realitas sosial tentu patut untuk dibaca dan diapresiasi. Panuti Sudjiman
dalam bukunya Memahami Cerita Rekaan (1988:12) berpendapat bahwa ada tiga
jenis motivasi dalam membaca cerita fiksi. Salah satunya disebutkan membaca
fiksi sebagai hiburan. Jenis pembaca seperti ini biasanya mempertimbangkan
masalah keetisan dan juga keestetisan dalam setiap bacaan yang mereka baca.
Mereka akan cenderung memilih cerita yang menarik, namun itu semua tentang
selera. Selanjutnya ia menyebutkan tentang pembaca serius, yang mana
menjadikan novel yang mereka baca sebagai pencarian pengalaman baru yang
belum pernah mereka rasakan, dan juga sebagai sumber pembekalan diri oleh
kearifan hidup. Dalam hal yang satu ini artinya pembaca mengerti dan paham apa
yang disampaikan penulis melalui karya sastra tersebut yang mana jika
disimpulkan bahwa karya sastra adalah tentang penulis dan juga pembaca, tentang
sang pencipta dan juga sang penikmat. Namun, terkadang terjadi pro dan kontra
antara pencipta dan ciptaanya tersebut, yang mana menjadikan jurang atau jarak
antara penulis dan pembacanya. Hal itu biasanya disebabkan oleh perbedaan atau
penyimpangan yang sudah ada sebelumnya, seperti yang terjadi saat Iwan
Simatupang dengan karya sastranya dalam bidang prosa dan Chairil Anwar pada
bidang puisi masa pembaharuan. Munculnya karya pengarang tersebut
menimbulkan berbagai reaksi para pembaca. Faktor pentingnya adalah karena
perbedaan hal yang mereka terima yang pada akhirnya mengakibatkan
ketidakpahaman dalam menghadapi karya sastra tersebut. Berdasarkan hal inilah
dikatakan jika karya sastra bukan hanya untuk dinikmati saja, namun juga
dihayati, diinterprestasi, dan ditafsirkan sehingga kita mengerti. Tetapi penafsiran
setiap orang dapat berbeda-beda diakibatkan oleh pengamatan, pencernaan,
penjiwaan, dan juga persepsi atas karya sastra tersebut berbeda. Oleh karena itu,
muncul istilah kritik sastra yang terjadi akibat usaha manusia dalam menafsirkan
karya sastra yang mereka nikmati untuk memenuhi kebutuhan pikiran atau
intelektual.
Sebagaimana yang terdapat pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis dan Oeroeg karya Hella Hasse. Jalan Tak Ada Ujung adalah karya keempat
dari penulis angkatan 1950-1960 yaitu Mochtar Lubis. Novel ini diterbitkan
pertama kali pada tahun 1952 oleh penerbit Balai Pustaka. M Balfas, seorang
sastrawan Indonesia angkatan 1945 bependapat bahwa novel ini merupakan karya
paling bagus milik Mochtar Lubis. Novel ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris pada tahun 1968 oleh A. H. John dan Bahasa Mandarin tahun 1988. Jalan
Tak Ada Ujung memiliki 166 halaman yang berlatarkan suasana
pascakemerdekaan Indonesia. Dengan sudut pandang orang ketiga serbatahu
membuat pembaca turut merasakan keadaan batin para tokohnya. Ada pula
penulis Belanda bernamakan Hella S. Haasse dengan karya masterpiece-nya,
Oeroeg. Novel ini memiliki 144 halaman dan diterbitkan berbahasa Belanda.
Oeroeg pertama kali terbit di Belanda pada tahun 1948, yang kemudian
diterjemahkan oleh Indira Ismail. Ketika kampanye Kedutaan Besar Belanda di
Indonesia pada Oktober 2009, Oeroeg pertama kali diluncurkan dalam rangka The
Netherland Road, sebuah kampanye buku-buku Belanda yang telah berlangsung
sejak 2006. Yang membuat novel ini menarik adalah jalan ceritanya yang sulit
ditebak, gaya penulisan yang mudah diterima, dan juga berlatarkan di Indonesia
pada zaman pra-kemerdekaan sampai setelahnya.
B. Sinopsis
Tokoh utama dalam novel Jalan Tak Ada Ujung adalah seorang guru yang
mencintai perdamaian dan tidak menginginkan terjadinya kekerasan bernamakan
Isa. Ia merupakan tulang punggung keluarga yang harus menghidupi seorang istri
dan anaknya. Namun hubungan antara Isa dan istrinya tidak berjalan sebagaimana
mestinya, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan diantara mereka. Di
samping konflik tersebut, Isa dihadapkan oleh kenyataan dimana ia harus menjadi
gerilyawan untuk mempertahankan kemerdekaan yang mana hal tersebut
bertentangan dengan keadaannya. Ditambah dengan pengkhianatan sahabat dan
istrinya membuat batin Isa semakin tertekan. Pada akhir cerita ia mendapatkan
malapetaka yang justru mendatangkan tanggapan berbeda dari dirinya.
Sedangkan novel Oeroeg mengisahkan tokoh bernamakan Oeroeg, ia
merupakan seorang anak inlander. Inlander adalah istilah untuk pribumi yang
pada saat itu selalu dianggap rendahan secara sosial oleh orang-orang Belanda
yang berkuasa di Hindia-Belanda (panggilan Indonesia pada saat itu). Sedangkan
Aku adalah seorang Belanda kelahiran dan besar di Indonesia yang telah
menganggap dirinya sudah seperti seorang Indonesia dan juga berkelakuan seperti
orang Indonesia. Aku dan Oeroeg telah bersahabat melalui hubungan kedua ibu
mereka yang pada saat itu sama-sama mengandung keduanya, dan ayah Oeroeg
merupakan salah satu pegawai dari ayah Aku. Walaupun hubungan Oeroeg dan
Aku ditentang oleh keadaan sosial pada saat itu, keduanya tetap berteman baik.
Sampai pada akhirnya dimana mereka mulai tumbuh dewasa dan mengerti apa
perihal kondisi yang ada pada diri mereka. Keduanya mulai merenggang, waktu
kebersamaan masih ada, namun kesenangan yang ada di jiwa mereka yang hilang.
Oeroeg pun bersekolah di Surabaya dan Aku harus bersekolah di Batavia
(Sekarang disebut Jakarta), jarak yang mereka terima semakin mendukung
renggangnya hubungan keduanya sampai Aku pun harus pergi ke Belanda dan
meninggalkan Oeroeg.
C. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik ialah segala sesuatu yang secara terbuka kedapatan dalam
cerita itu sendiri (Sugiarta, 1984: 55). Unsur-unsur tersebut berupa tema, tokoh
dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, bahasa, dan amanat. Dalam tulisan ini
penulis tidak menguraikan secara keseluruhan unsur-unsur intrinsik tersebut.
Namun hanya akan mendeskripsikan tentang tema, tokoh, latar, sudut pandang,
gaya bahasa, dan amanat dari kedua novel.
Tema merupakan gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasar suatu
karya sastra (Sudjiman, 1988: 50). Jalan Tak Ada Ujung dan Oeroeg memiliki
tema yang berbeda. Tema yang dipilih oleh Mochtar Lubis dalam karyanya Jalan
Tak Ada Ujung adalah Perjuangan tidak akan berhasil bila tidak ada rasa percaya
diri. Perjuangan yang digambarkan dalam novel ini merupakan perjuangan batin
yang dialami oleh tokoh utama yaitu Guru Isa. Tokoh utama tersebut berusaha
untuk melawan rasa takut yang terus-menerus menghantuinya. Dapat dilihat pada
kutipan-kutipan berikut.
Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya,
kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini dia
membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak.
Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-
macam. Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena
kedudukannya sebagai guru, maka dia menjadi wakil ketua panitia
Keamanaan Rakyat di kampungnya, dan menjadi penasihat Badan
Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR. (JTAU: 27)
Dalam kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Guru Isa adalah orang
yang berpengaruh dan cukup memiliki kedudukan. Namun dalam kutipan diatas
juga menggambarkan ketidakpercayaan diri Guru Isa dalam mengembankan
tanggung jawabnya, hal itu dapat dilihat dalam kalimat ‘Guru Isa belum
menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya, dan pekerjaannya dalam
revolusi.’ Yang mana artinya bahwa Guru Isa belum sepenuhnya yakin pada
dirinya tentang kewajiban yang ia dapatkan, dan didukung dengan kalimat
setelahnya yaitu ‘Selama ini dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat
rakyat banyak. Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-
macam.’ Bahwa dirinya mengemban kewajiban itu karena arus semangat rakyat,
karena semangat banyak orang, bukan karena kepercayaan dirinya sendiri
sehingga ia berani untuk berpartisipasi dalam revolusi. Ada pun kutipan yang
dengan jelas menggambarkan ketidakpercayaan diri seorang Guru Isa sebagai
berikut.
“Aku takut sebenarnya, Fat,” katanya,” tidak pernah aku
berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja
aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata
orang.”
“tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas,”
bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-
jangan nanti kita dicap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa
mudahnya orang dipotong karna soal yang bukan-bukan saja.”
Guru isa menggelengkan kepalanya.
“Aku guru,” katanya, “bukan tukang berkelahi.” (JTAU:
39)
Saat kecil, Aku dan Oeroeg sama-sama berjanji akan menjadi pilot di masa
depan nanti, namun dalam kutipan di atas dapat menggambarkan adanya
perubahan pikiran oleh Oeroeg yang ingin menjadi seorang dokter setelah
bersekolah di MULO atau setara Sekolah Menengah Pertama. Setelah itu, kutipan
selanjutnya juga semakin menjelaskan jika ada kerenggangan yang terjadi pada
Oeroeg dan juga Aku.
Pakaian maupun sikap tidak dapat membuatnja mendjadi
apa jang ia inginkan: mendjadi salah seorang dari kami. Mungkin
djuga pada masa itu djarak antara Oeroeg dan aku mulai muntjul.
Ia mau tidak mau memasukkan aku ke dalam golongan Éropa, jang
ia merasa telah menolaknja. Aku tahu pergaulan dengan teman-
temannja jang Indo di luar djam sekolah telah berhenti. Kini ia
sering berurusan dengan orang bernama Abdullah Harudin, anak
laki-laki jang berdarah setengah Arab, jang akan masuk NIAS
seperti dirinja. Aku agak tjemburu dengan pertemanan ini karena
mumbuatku tersingkir. Aku tidak tahu apakah tersingkirnja diriku
lantaran Oeroeg sendiri atau Abdullah. (Oeroeg: 103-104)
Pada kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Isa adalah sosok penakut,
hal ini dibuktikan pada saat ia bertanya pada dirinya sendiri perihal apabila rumah
dan istrinya digeledah. Hal itu didukung pula dengan kutipan ‘perasaan takut
matinya juga yang akan menang’. Selain itu adapun watak dari tokoh utama ini
yaitu tidak percaya diri yang mana dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Aku takut sebenarnya, Fat,” katanya,” tidak pernah aku
berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja
aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata
orang.”
“tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas,”
bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-
jangan nanti kita dicap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa
mudahnya orang dipotong karna soal yang bukan-bukan saja.”
Guru isa menggelengkan kepalanya.
“Aku guru,” katanya, “bukan tukang berkelahi.” (JTAU:
39)
Penulis cerita disini menggambarkan sosok Isa sebagai manusia tak
sempurna yang mungkin jarang ditemui pada masanya saat itu. Dengan eksekusi
mental yang dilakukan para penjajah dalam waktu lama seharusnya dapat
membangun mental Guru Isa menjadi tidak penakut, melainkan pemberani.
Namun tokoh langka ini membuat banyak pembaca bertanya-tanya mengapa ia
sangat penakut dalam menghadapi masalahnya. Jika dianalisa, dapat dilihat bahwa
ketakutan yang ada pada diri Guru Isa didasari dengan ketidakpercayaan diri yang
tertanam dalam pikirannya. Karena tidak percaya diri untuk berhasil dalam
melakukan sesuatu, ia pun takut untuk melakukannya yang mana hal itu dapat
memberatkan beban pikirannya sendiri. Guru Isa pun cenderung mudah gelisah
dan khawatir setiap mengambil keputusan atau bertindak sesuatu, hal itu dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Hatinya berdebar-debar, darah melonjak-lonjak mendesak
ubun-ubunnya. Panasnya bertambah cepat. Keringat dingin tumbuh
di punggungya, di pelipisnya, dan kedua belah tangannya basah.
Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan yang gemetar
Guru Isa membuka bungkusan buku-buku tulis baru itu,
diambilnya sepuluh, dan kemudian lemari ditutupnya kembali.
Buku tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-gesa
dimasukannya ke dalam tasnya. (JTAU: 69)
Dari kutipan tersebut kita dapat mengetahui bahwa perasaan batin yang
dirasakan oleh guru Isa membuatnya gelisah dengan keterangan yang menjelaskan
‘Hatinya berdebar-debar, darah melonjak-lonjak mendesak ubun-ubunnya.
Panasnya bertambah cepat. Keringat dingin tumbuh di punggungya, di pelipisnya,
dan kedua belah tangannya basah. Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan
yang gemetar’ dimana ia sulit mengendalikan emosinya dan kegelisahannya.
Memang pada saat itu Guru Isa dituliskan sedang mencoba mencuri buku-buku
untuk ia jual, tentu saja ia merasa gelisah karena posisinya sebagai guru namun
juga harus menafkahi istrinya yang terus-terusan berhutang karena sudah lama
tidak memiliki uang. Bukan seorang yang berpengalaman dalam mencuri pasti
akan merasakan gelisah dalam hatinya, tetapi tidak hanya itu saja, ada kutipan lain
yang menggambarkan kegelisahan sosok Guru Isa sebagai berikut.
Peluh dingin membasahi dada, perut, dan sepanjang
punggung Guru Isa. Dia ingin menjerit, menangis, melolong, dan
lari, lari dan lari. Tetapi dia tidak lari. Dia tidak menjerit. Tidak
menangis. Tidak melolong. Dia duduk terus di sana, minum sirsak
dalam gelasnya, tidak merasa asam-manis minuman itu, dan tidak
habisnya bertanya dalam hatinya mengapa dia ada di sini. (JTAU:
128-129 )
Sementara itu adapula watak Guru Isa yang lain, yang menjadi sisi lain
dari Guru Isa, yaitu penyayang. Mungkin karena wataknya yang satu inilah
mengapa Guru Isa menjadi seseorang yang tidak menyukai kekerasan dan cinta
damai. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
Orang besar dan anak kecil itu berpandang-pandangan
demikian sebentar. Lambat-lambat senyum timbul di mulut Salim, dan
dia berteriak, “Lagi, siram lagi!”
Guru Isa tertawa dan berkata, “Habis airnya.” dia
memperlihatkan kaleng mentega yang kosong, kemudian berkata,
“Dan engkau masuk kembali ke dalam rumah. Jangan main dalam
hujan gerimis. Nanti masuk angin. Kita mandi sama-sama.” (JTAU:
64)
Selain tokoh sentral adapula tokoh bawahan dalam novel ini yaitu, Fatimah
dan Hazil. Fatimah merupakan istri Guru Isa yang memiliki watak ingin dicintai.
Hal itu terbukti pada kutipan berikut,
Karena, meskipun Fatimah tidak tahu-dia adalah seorang
perempuan yang seluruh tubuhnya dan jiwanya memekik minta
dikuasai dan direbut. (JTAU: 63)
Fatimah digambarkan sebagai sosok wanita muda yang cenderung haus
akan kasih sayang, ditambah dengan kondisi Guru Isa yang jika penulis dapat
spekulasikan ia memiliki gangguan Disfungsi Ereksi yang mengakibatkan
keduanya tidak harmonis dan sulit memiliki anak, ditambah dengan
ketidakpercayaan diri Guru Isa untuk memperbaiki hubungan mereka. Pada
akhirnya pun Fatimah luluh pada Hazil, salah seorang teman Guru Isa.
Hazil adalah seorang gerilyawan yang memperkenalkan tentang perjuangan
pada Guru Isa. Ia memiliki watak dinamis dalam memperjuangkan kemerdekaan
namun ia juga merupakan seorang pengkhianat bagi Guru Isa. Bukti bahwa Hazil
adalah seorang yang dinamis dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Amanat tersirat yang berada pada novel Jalan Tak Ada Ujung dapat dilihat
pada sikap-sikap tokoh yang ada di dalam buku ini, seperti Guru Isa yang cinta
perdamaian dan sabar, Hazil yang pemberani dan juga dinamis, dan juga agar
setiap manusia bisa menghalaukan ketakutan dan meningkat kepecayaan diri
dalam menghadapi permasalahan.
Sedangkan dalam novel Oeroeg karya Hella Haasse ini pun juga berisikan
amanat yang disampaikan secara tersurat dan tersirat. Salah satu dari amanat
tersuratnya yaitu sebagai berikut.
“Apakah Oeroeg lebih rendah daripada kita?” aku
meluapkanja. “Apakah dia berbeda?” — “Kau dibohongi,” kata
Gerard tenang tanpa melepaskan tjangklong dari bibirnja. “Siapa
jang bilang begitu?” Aku memberitahu, dengan susah pajah, apa
yang kualami tadi siang. “Matjan kumbang berbeda berbéda dari
monjét,” kata Gerard setelah beberapa saat, “tapi apakah jang satu
lebih rendah ketimbang jang lainnja? Bagimu itu pertanjaan jang
bodoh, dan kau benar. Pertanjaan ini djuga sama bodohnya bila
dikaitkan kepada manusia. Pérbedaan itu—adalah hal biasa. Setiap
manusia berbéda. Aku pun berbéda darimu. Tetapi lebih tinggi atau
lebih rendah lantaran warna kulit wadjahmu atau lantaran siapa
ajahmu—itu omong kosong. Oeroeg sahabatmu, kan? Kalau
memang ia sahabatmu dan bisa mendjadi sahabatmu—bagaimana
bisa ia lebih rendah dibanding kau atau jang lain?” (Oeroeg: 63).
Dari kutipan di atas amanat yang terkandung adalah seseorang hendaknya
menerima orang lain dengan apa adanya, tidak bergantung pada siapa dia, apa
warna kulitnya dan apa jabatannya. Selama masih sesama manusia kita tidak
boleh saling mendekriminasi satu sama lain.
Amanat tersirat dalam novel Oeroeg dapat dilihat pada bagaimana cara
Aku berteman dengan Oeroeg. Dimana Aku dapat menerima Oeroeg dengan
begitu apa adanya tanpa memperdulikan perbedaan yang ada di antara mereka.
Walaupun persahabatan mereka terhalangi oleh perbedaan Aku tetap berusaha
berteman dengan Oeroeg.
D. Unsur Ekstrinsik
Dua tahun setelah aku lahir, ibuku keguguran, dan semendjak itu
tidak pernah hamil lagi. Mungkin lantaran itulah hanja Oeroeg teman
bermainku, meskipun Sidris kemudian beberapa kali berturut-turut
melahirkan anak lagi. Djam-djam kebersamaan di serambi belakang pun
berachir. (Oeroeg: 7).
2. Nilai Politik
Novel Jalan Tak Ada Ujung menggambarkan nilai politik melalui sudut
pandang warga pribumi. Dimana nilai politik tersebut didominasi oleh
penggambaran perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Yang menarik ada
sebuah nilai politik yang digambarkan secara tersirat, nilai tersebut digambarkan
melalui interaksi antaranak dimana seorang anak yang bertubuh besar dan kuat
menindas anak lain yang bertubuh biasa dan ia anggap lemah. Interaksi antaranak
tersebut seolah mengambarkan keadaan Indonesia yang menjadi latar belakang
novel tersebut yaitu pascakemerdaan. Dimana yang berhak berkuasa hanyalah dia
yang ‘besar dan kuat’. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini.
Dari dalam Gang Sirih Wetan seorang anak kecil yang lebih besar
dan kuat dari ketiga anak yang sedang bermain-main itu datang keluar.
Langkahnya dan sikapnya menunjukkan dia jago anak-anak yang sebaya
dia di kampung itu. Di tangan kanannya sebatang tongkat dari dahan
nangka yang baru dipatahkan. Di ujung gang ia berdiri, dan melihat ke kiri
dan ke kanan. Ketika dia melihat ketiga anak-anak itu bermain dia
tersenyum, dan melangkah menuju mereka.
“Aku ambil layangan si Jujuh,” pikirnya dengan amat puas. (JTAU:
2)
F. Kesimpulan
Kritik sastra adalah istilah yang muncul akibat usaha manusia dalam
menafsirkan karya sastra yang mereka nikmati untuk memenuhi kebutuhan
pikiran atau intelektual. Dalam hal ini penulis memberikan perbandingan dua jenis
karya sastra yang memiliki latar tempat yang sama, yaitu Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis dan juga Oeroeg karya Hella Haasse. Jalan Tak Ada Ujung
merupakan karya keempat yang terbit pada tahun 1952 oleh penerbit Balai
Pustaka. Memiliki halaman sebanyak 166 halaman yang mengisahkan tentang
seorang guru yang mencintai perdamaian dan tidak menginginkan terjadinya
kekerasan bernamakan Isa. Ia merupakan tulang punggung keluarga yang harus
menghidupi seorang istri dan anaknya. Namun hubungan antara Isa dan istrinya
tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan
diantara mereka. Di samping konflik tersebut, Isa dihadapkan oleh kenyataan
dimana ia harus menjadi gerilyawan untuk mempertahankan kemerdekaan yang
mana hal tersebut bertentangan dengan keadaannya. Ditambah dengan
pengkhianatan sahabat dan istrinya membuat batin Isa semakin tertekan. Pada
akhir cerita ia mendapatkan malapetaka yang justru mendatangkan tanggapan
berbeda dari dirinya. Dan Ada pula novel Oeroeg yang terbit pertama kali di
Belanda pada tahun 1948, yang kemudian diterjemahkan oleh Indira Ismail.
Dengan 166 halaman, novel ini berhasil menjadi karya sastra yang mendunia.
Sedangkan novel Oeroeg mengisahkan tokoh bernamakan Oeroeg, ia merupakan
seorang anak inlander. Inlander adalah istilah untuk pribumi yang pada saat itu
selalu dianggap rendahan secara sosial oleh orang-orang Belanda yang berkuasa
di Hindia-Belanda (panggilan Indonesia pada saat itu). Sedangkan Aku adalah
seorang Belanda kelahiran dan besar di Indonesia yang telah menganggap dirinya
sudah seperti seorang Indonesia dan juga berkelakuan seperti orang Indonesia.
Aku dan Oeroeg telah bersahabat melalui hubungan kedua ibu mereka yang pada
saat itu sama-sama mengandung keduanya, dan ayah Oeroeg merupakan salah
satu pegawai dari ayah Aku. Walaupun hubungan Oeroeg dan Aku ditentang oleh
keadaan sosial pada saat itu, keduanya tetap berteman baik. Sampai pada akhirnya
dimana mereka mulai tumbuh dewasa dan mengerti apa perihal kondisi yang ada
pada diri mereka. Keduanya mulai merenggang, waktu kebersamaan masih ada,
namun kesenangan yang ada di jiwa mereka yang hilang. Oeroeg pun bersekolah
di Surabaya dan Aku harus bersekolah di Batavia (Sekarang disebut Jakarta),
jarak yang mereka terima semakin mendukung renggangnya hubungan keduanya
sampai Aku pun harus pergi ke Belanda dan meninggalkan Oeroeg.
Kekayaan kedua buku itu dibuktikan dengan unsur-unsur yang ada, yaitu
unsur instrinsik dan juga unsur ekstrinsiknya. Dalam hal ini penulis hanya
menyertakan unsur instrinsik berupa tema, tokoh, sudut pandang, gaya bahasa,
dan amanat karena unsur inilah yang paling menonjolkan kekayaan dari kedua
novel. Pada unsur ekstrinsiknya, penulis menyertakan nilai sosial seperti
hubungan pertemanan, rumah tangga, dan pengkhianatan, juga nilai budaya
seperti perbedan budaya antara Belanda dan Indonesia, penggunaan senjata di
zaman kemerdekaan dan kebiasaan masyarakat, dan nilai politiknya seperti
perbedaan derajat antara Belanda dan Inlander, penindasan antar ras, dan lain-lain
yang ada di dalam kedua novel tersebut.
Ada pula yang penulis sertakan dalam kritik sastra ini, yaitu beberapa
perbandingan antara novel Jalan Tak Ada Ujung dan Oeroeg serta kekurangan
juga kelebihan pada kedua novel tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.