Anda di halaman 1dari 32

Jalan Tak Ada Ujung dan Oeroeg dalam Kritik

Nilai-nilai Intrinsik dan Ekstrinsik

A. Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya merupakan ide pengarang yang bertolak dari
realitas kehidupan. Ide tersebut kemudian diproses dengan kemampuan intelek,
kepekaan intuisi, dan ketajaman imajinasi. Ide yang diproses dengan ketiga unsur
tersebut kemudian diciptakan menjadi suatu karya sastra, dalam hal ini novel.
Novel merupakan suatu bentuk struktur yang utuh dan otonom. Keutuhan
novel ditentukan oleh jalinan unsur-unsurnya. Hubungan antara unsur-unsur
tersebut membentuk makna keseluruhan. Keotonoman novel disebabkan sifatnya
sebagai karya imajinatif.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara novel dengan
realitas sosial bersifat semu. Percakapan, tingkah laku, dan aktivitas lahir maupun
batin dalam novel secara hakiki tidak dapat ditemukan dalam realitas kehidupan.
Hubungan antara keduanya hanya bersifat relevansional. Berkaitan dengan hal
tersebut Ingarden (via Teeuw, 1984: 190-191) mengemukakan bahwa pemahaman
makna karya sastra (novel) diserahkan kepada kemampuan dan selera pembaca.
Novel sebagai karya imajinatif yang memiliki hubungan relevansional
dengan realitas sosial tentu patut untuk dibaca dan diapresiasi. Panuti Sudjiman
dalam bukunya Memahami Cerita Rekaan (1988:12) berpendapat bahwa ada tiga
jenis motivasi dalam membaca cerita fiksi. Salah satunya disebutkan membaca
fiksi sebagai hiburan. Jenis pembaca seperti ini biasanya mempertimbangkan
masalah keetisan dan juga keestetisan dalam setiap bacaan yang mereka baca.
Mereka akan cenderung memilih cerita yang menarik, namun itu semua tentang
selera. Selanjutnya ia menyebutkan tentang pembaca serius, yang mana
menjadikan novel yang mereka baca sebagai pencarian pengalaman baru yang
belum pernah mereka rasakan, dan juga sebagai sumber pembekalan diri oleh
kearifan hidup. Dalam hal yang satu ini artinya pembaca mengerti dan paham apa
yang disampaikan penulis melalui karya sastra tersebut yang mana jika
disimpulkan bahwa karya sastra adalah tentang penulis dan juga pembaca, tentang
sang pencipta dan juga sang penikmat. Namun, terkadang terjadi pro dan kontra
antara pencipta dan ciptaanya tersebut, yang mana menjadikan jurang atau jarak
antara penulis dan pembacanya. Hal itu biasanya disebabkan oleh perbedaan atau
penyimpangan yang sudah ada sebelumnya, seperti yang terjadi saat Iwan
Simatupang dengan karya sastranya dalam bidang prosa dan Chairil Anwar pada
bidang puisi masa pembaharuan. Munculnya karya pengarang tersebut
menimbulkan berbagai reaksi para pembaca. Faktor pentingnya adalah karena
perbedaan hal yang mereka terima yang pada akhirnya mengakibatkan
ketidakpahaman dalam menghadapi karya sastra tersebut. Berdasarkan hal inilah
dikatakan jika karya sastra bukan hanya untuk dinikmati saja, namun juga
dihayati, diinterprestasi, dan ditafsirkan sehingga kita mengerti. Tetapi penafsiran
setiap orang dapat berbeda-beda diakibatkan oleh pengamatan, pencernaan,
penjiwaan, dan juga persepsi atas karya sastra tersebut berbeda. Oleh karena itu,
muncul istilah kritik sastra yang terjadi akibat usaha manusia dalam menafsirkan
karya sastra yang mereka nikmati untuk memenuhi kebutuhan pikiran atau
intelektual.
Sebagaimana yang terdapat pada novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis dan Oeroeg karya Hella Hasse. Jalan Tak Ada Ujung adalah karya keempat
dari penulis angkatan 1950-1960 yaitu Mochtar Lubis. Novel ini diterbitkan
pertama kali pada tahun 1952 oleh penerbit Balai Pustaka. M Balfas, seorang
sastrawan Indonesia angkatan 1945 bependapat bahwa novel ini merupakan karya
paling bagus milik Mochtar Lubis. Novel ini juga diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris pada tahun 1968 oleh A. H. John dan Bahasa Mandarin tahun 1988. Jalan
Tak Ada Ujung memiliki 166 halaman yang berlatarkan suasana
pascakemerdekaan Indonesia. Dengan sudut pandang orang ketiga serbatahu
membuat pembaca turut merasakan keadaan batin para tokohnya. Ada pula
penulis Belanda bernamakan Hella S. Haasse dengan karya masterpiece-nya,
Oeroeg. Novel ini memiliki 144 halaman dan diterbitkan berbahasa Belanda.
Oeroeg pertama kali terbit di Belanda pada tahun 1948, yang kemudian
diterjemahkan oleh Indira Ismail. Ketika kampanye Kedutaan Besar Belanda di
Indonesia pada Oktober 2009, Oeroeg pertama kali diluncurkan dalam rangka The
Netherland Road, sebuah kampanye buku-buku Belanda yang telah berlangsung
sejak 2006. Yang membuat novel ini menarik adalah jalan ceritanya yang sulit
ditebak, gaya penulisan yang mudah diterima, dan juga berlatarkan di Indonesia
pada zaman pra-kemerdekaan sampai setelahnya.

B. Sinopsis
Tokoh utama dalam novel Jalan Tak Ada Ujung adalah seorang guru yang
mencintai perdamaian dan tidak menginginkan terjadinya kekerasan bernamakan
Isa. Ia merupakan tulang punggung keluarga yang harus menghidupi seorang istri
dan anaknya. Namun hubungan antara Isa dan istrinya tidak berjalan sebagaimana
mestinya, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan diantara mereka. Di
samping konflik tersebut, Isa dihadapkan oleh kenyataan dimana ia harus menjadi
gerilyawan untuk mempertahankan kemerdekaan yang mana hal tersebut
bertentangan dengan keadaannya. Ditambah dengan pengkhianatan sahabat dan
istrinya membuat batin Isa semakin tertekan. Pada akhir cerita ia mendapatkan
malapetaka yang justru mendatangkan tanggapan berbeda dari dirinya.
Sedangkan novel Oeroeg mengisahkan tokoh bernamakan Oeroeg, ia
merupakan seorang anak inlander. Inlander adalah istilah untuk pribumi yang
pada saat itu selalu dianggap rendahan secara sosial oleh orang-orang Belanda
yang berkuasa di Hindia-Belanda (panggilan Indonesia pada saat itu). Sedangkan
Aku adalah seorang Belanda kelahiran dan besar di Indonesia yang telah
menganggap dirinya sudah seperti seorang Indonesia dan juga berkelakuan seperti
orang Indonesia. Aku dan Oeroeg telah bersahabat melalui hubungan kedua ibu
mereka yang pada saat itu sama-sama mengandung keduanya, dan ayah Oeroeg
merupakan salah satu pegawai dari ayah Aku. Walaupun hubungan Oeroeg dan
Aku ditentang oleh keadaan sosial pada saat itu, keduanya tetap berteman baik.
Sampai pada akhirnya dimana mereka mulai tumbuh dewasa dan mengerti apa
perihal kondisi yang ada pada diri mereka. Keduanya mulai merenggang, waktu
kebersamaan masih ada, namun kesenangan yang ada di jiwa mereka yang hilang.
Oeroeg pun bersekolah di Surabaya dan Aku harus bersekolah di Batavia
(Sekarang disebut Jakarta), jarak yang mereka terima semakin mendukung
renggangnya hubungan keduanya sampai Aku pun harus pergi ke Belanda dan
meninggalkan Oeroeg.

C. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik ialah segala sesuatu yang secara terbuka kedapatan dalam
cerita itu sendiri (Sugiarta, 1984: 55). Unsur-unsur tersebut berupa tema, tokoh
dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, bahasa, dan amanat. Dalam tulisan ini
penulis tidak menguraikan secara keseluruhan unsur-unsur intrinsik tersebut.
Namun hanya akan mendeskripsikan tentang tema, tokoh, latar, sudut pandang,
gaya bahasa, dan amanat dari kedua novel.
Tema merupakan gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasar suatu
karya sastra (Sudjiman, 1988: 50). Jalan Tak Ada Ujung dan Oeroeg memiliki
tema yang berbeda. Tema yang dipilih oleh Mochtar Lubis dalam karyanya Jalan
Tak Ada Ujung adalah Perjuangan tidak akan berhasil bila tidak ada rasa percaya
diri. Perjuangan yang digambarkan dalam novel ini merupakan perjuangan batin
yang dialami oleh tokoh utama yaitu Guru Isa. Tokoh utama tersebut berusaha
untuk melawan rasa takut yang terus-menerus menghantuinya. Dapat dilihat pada
kutipan-kutipan berikut.
Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya,
kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini dia
membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat rakyat banyak.
Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-
macam. Dia ikut jadi anggota jaga kampung. Malahan karena
kedudukannya sebagai guru, maka dia menjadi wakil ketua panitia
Keamanaan Rakyat di kampungnya, dan menjadi penasihat Badan
Keamanan Rakyat, lebih terkenal dengan nama BKR. (JTAU: 27)

Dalam kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Guru Isa adalah orang
yang berpengaruh dan cukup memiliki kedudukan. Namun dalam kutipan diatas
juga menggambarkan ketidakpercayaan diri Guru Isa dalam mengembankan
tanggung jawabnya, hal itu dapat dilihat dalam kalimat ‘Guru Isa belum
menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya, dan pekerjaannya dalam
revolusi.’ Yang mana artinya bahwa Guru Isa belum sepenuhnya yakin pada
dirinya tentang kewajiban yang ia dapatkan, dan didukung dengan kalimat
setelahnya yaitu ‘Selama ini dia membiarkan dirinya dibawa arus. Arus semangat
rakyat banyak. Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari macam-
macam.’ Bahwa dirinya mengemban kewajiban itu karena arus semangat rakyat,
karena semangat banyak orang, bukan karena kepercayaan dirinya sendiri
sehingga ia berani untuk berpartisipasi dalam revolusi. Ada pun kutipan yang
dengan jelas menggambarkan ketidakpercayaan diri seorang Guru Isa sebagai
berikut.
“Aku takut sebenarnya, Fat,” katanya,” tidak pernah aku
berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja
aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata
orang.”
“tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas,”
bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-
jangan nanti kita dicap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa
mudahnya orang dipotong karna soal yang bukan-bukan saja.”
Guru isa menggelengkan kepalanya.
“Aku guru,” katanya, “bukan tukang berkelahi.” (JTAU:
39)

Dalam kutipan di atas, ketidakpercayaan diri yang dimiliki Guru Isa


terungkap jelas dengan kutipan “ ‘Aku takut sebenarnya, Fat,’ katanya, ‘tidak
pernah aku berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja aku
tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata orang.’ ”
berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa Guru Isa masuk ke dalam
perjuangan Revolusi bukan sepunuhnya karena keinginannya, namun juga karena
adanya rasa ketakutan akan perkataan orang-orang tentangnya, ditambah dengan
perkataan Fatimah setelahnya. Ketidakpercayan dirinya pun semakin terlihat
dengan pernyataannya yang berbunyi, “ ‘Aku guru,’ katanya, ‘bukan tukang
berkelahi.’”
Adapula kutipan yang berisikan perjuangan batin oleh Tokoh Utama
dalam menghadapi salah satu masalah yang menimpanya sebagai berikut.
Peluh dingin membasahi dada, perut, dan sepanjang
punggung Guru Isa. Dia ingin menjerit, menangis, melolong, dan
lari, lari dan lari. Tetapi dia tidak lari. Dia tidak menjerit. Tidak
menangis. Tidak melolong. Dia duduk terus di sana, minum sirsak
dalam gelasnya, tidak merasa asam-manis minuman itu, dan tidak
habisnya bertanya dalam hatinya mengapa dia ada di sini. (JTAU:
128-129 )
Berdasakan kutipan di atas bisa dilihat bahwa sang Tokoh cenderung
memikirkan masalahnya tanpa berusaha untuk menyelesaikannya, hal itu dapat
dilihat pada saat penulis menuliskan kalimat ‘Dia ingin menjerit, menangis,
melolong, dan lari, lari, dan lari. Tetapi dia tidak lari.’ Ditambahkan dengan
pernyataan bahwa ia tetap duduk dan minum, menjadikan bukti bahwa Guru Isa
tidak memberikan respon apa-apa perihal masalah yang ia hadapi saat itu, ia terus
berfikir dan bertanya-tanya.
Sedangkan dalam novel Oeroeg, Hella S. Haasse menggunakan tema
Persahabatan akan menjadi renggang bila salah satu atau kedua belah pihak
memiliki pandangan yang berubah. Persahabatan pada awalnya digambarkan
begitu tulus dan penuh dengan keceriaan pada saat Aku dan Oeroeg masih kecil.
Namun, persahabatan mereka menjadi renggang seiring dengan berjalannya
waktu. Bukti dari tema tersebut dapat dilihat melalui kutipan novel berikut.
“Dahulu Oeroeg sahabatku. Djika mengenang masa kanak-
kanak dan remadjaku, sosok Oeroeg langsung muntjul dalam
pikiranku laksana gambar adjaib jang biasa kami beli tiga helai
seharga sepuluh sen: harus digosok dengan menggunakan pensil
hingga muntjul gambar tersembunjinja. Begitu pula Oeroeg
kembali muntjul dalam ingatanku saat aku tenggelam dalam masa
lalu.” (Oeroeg: 3)

Pada kutipan di atas dapat menjelaskan bahwa sosok Oeroeg merupakan


teman baik dari Tokoh Aku, bahkan ia menganalogikan Oeroeg seperti gambar
ajaib yang muncul saat digosok, yang artinya wajah Oeroeg selalu menempel pada
ingatannya karena kedekataan mereka. Namun seiring berjalannya waktu, dinding
jarak pun juga ikut muncul di antara mereka. Semakin banyak perbedaan yang
mereka sadari sehingga timbulah jarak antara keduanya. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan-kutipan berikut.
Meskipun aku-orang lain djuga mungkin merasakanja-
memang menjadari perbedaan ras dan kelas sosial dengan para
djongos, babu, dan Danoeh si tukang kebun, kehidupan Oeroeg
jang begitu menjatu dengan kehidupanku membuat aku tidak
pernah merasakan perbedaan ini dengannja. Maka sangat
mengedjutkanku ketika untuk pertama kalinja aku menyadari
bahwa hubungan Oeroeg dengan aku dan orangtuaku menimbulkan
tjemoohan dan penolakan antara para pembantu kami. (Oeroeg:
42)

Kutipan di atas memperlihatkan awal mula ketika tokoh Aku pertama


kalinya mendapatkan respon tentang hubungan persahabatannya bersama Oeroeg.
Pada kutipan ini memang masih belum memperlihatkan perubahan pandangan
pada keduanya. Perbedaan pandangan mulai muncul ketika mereka sudah mulai
tumbuh dewasa, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Oleh sebab aku terkedjut ketika Oeroeg—ketika achirnya
Lida langsung bertanya padanja apakah ia ingin mendjadi dokter—
mendjawab, “mungkin,” dan hampir segera melandjutkan dengan
“Tentu”.
Malam itu di kamar kami, aku memarahi Oeroeg lantaran ia
menjangkal tjita-tjita kami mendjadi pilot. (Oeroeg: 77)

Saat kecil, Aku dan Oeroeg sama-sama berjanji akan menjadi pilot di masa
depan nanti, namun dalam kutipan di atas dapat menggambarkan adanya
perubahan pikiran oleh Oeroeg yang ingin menjadi seorang dokter setelah
bersekolah di MULO atau setara Sekolah Menengah Pertama. Setelah itu, kutipan
selanjutnya juga semakin menjelaskan jika ada kerenggangan yang terjadi pada
Oeroeg dan juga Aku.
Pakaian maupun sikap tidak dapat membuatnja mendjadi
apa jang ia inginkan: mendjadi salah seorang dari kami. Mungkin
djuga pada masa itu djarak antara Oeroeg dan aku mulai muntjul.
Ia mau tidak mau memasukkan aku ke dalam golongan Éropa, jang
ia merasa telah menolaknja. Aku tahu pergaulan dengan teman-
temannja jang Indo di luar djam sekolah telah berhenti. Kini ia
sering berurusan dengan orang bernama Abdullah Harudin, anak
laki-laki jang berdarah setengah Arab, jang akan masuk NIAS
seperti dirinja. Aku agak tjemburu dengan pertemanan ini karena
mumbuatku tersingkir. Aku tidak tahu apakah tersingkirnja diriku
lantaran Oeroeg sendiri atau Abdullah. (Oeroeg: 103-104)

Pada kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa persahabatan antara tokoh


Aku dan Oeroeg sudah mulai merenggang karena perbedaan yang muncul ketika
mereka telah dewasa, dapat dilihat pada kutipan yang berbunyi ‘Pakaian maupun
sikap tidak dapat membuatnja mendjadi apa jang ia inginkan: mendjadi salah
seorang dari kami. Mungkin djuga pada masa itu djarak antara Oeroeg dan aku
mulai muntjul. Ia mau tidak mau memasukkan aku ke dalam golongan Éropa, jang
ia merasa telah menolaknja.’
Selain tema, tokoh juga termasuk dalam unsur intrinsik. Tokoh merupakan
unsur yang penting dalam suatu karya sastra karena tokohlah yang menghidupkan
cerita dalam karya sastra tersebut. Dalam Memahami Cerita Rekaan, Panuti
Sudjiman (1988: 17) mengutarakan bahwa berdasarkan fungsinya tokoh dalam
cerita dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral
merupakan tokoh yang selalu menjadi sorotan dalam cerita rekaan. Tokoh tersebut
memiliki wataknya masing-masing. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra
tokoh ini yang disebut penokohan. Adapun tokoh sentral yang terdapat dalam
novel Jalan Tak Ada Ujung adalah Guru Isa, wataknya penakut dan mudah
merasa gelisah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
Isa teringat pada istrinya, dan sebentar dia bertanya pada
dirinya sendiri, apakah yang akan dilakukannya, jika rumah
mereka digeledah, dan serdadu kasar menggeledah istrinya? Akan
melawankah dia? Tidak dipikirkannya lama-lama karena dalam
hati kecilnya dia tau, dia tidak akan berani juga melawan. Perasaan
takut matinya juga yang akan menang. (JTAU:12)

Pada kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Isa adalah sosok penakut,
hal ini dibuktikan pada saat ia bertanya pada dirinya sendiri perihal apabila rumah
dan istrinya digeledah. Hal itu didukung pula dengan kutipan ‘perasaan takut
matinya juga yang akan menang’. Selain itu adapun watak dari tokoh utama ini
yaitu tidak percaya diri yang mana dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Aku takut sebenarnya, Fat,” katanya,” tidak pernah aku
berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja
aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata
orang.”
“tidak perlu engkau takut, Is,” kata Fatimah membalas,”
bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-
jangan nanti kita dicap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa
mudahnya orang dipotong karna soal yang bukan-bukan saja.”
Guru isa menggelengkan kepalanya.
“Aku guru,” katanya, “bukan tukang berkelahi.” (JTAU:
39)
Penulis cerita disini menggambarkan sosok Isa sebagai manusia tak
sempurna yang mungkin jarang ditemui pada masanya saat itu. Dengan eksekusi
mental yang dilakukan para penjajah dalam waktu lama seharusnya dapat
membangun mental Guru Isa menjadi tidak penakut, melainkan pemberani.
Namun tokoh langka ini membuat banyak pembaca bertanya-tanya mengapa ia
sangat penakut dalam menghadapi masalahnya. Jika dianalisa, dapat dilihat bahwa
ketakutan yang ada pada diri Guru Isa didasari dengan ketidakpercayaan diri yang
tertanam dalam pikirannya. Karena tidak percaya diri untuk berhasil dalam
melakukan sesuatu, ia pun takut untuk melakukannya yang mana hal itu dapat
memberatkan beban pikirannya sendiri. Guru Isa pun cenderung mudah gelisah
dan khawatir setiap mengambil keputusan atau bertindak sesuatu, hal itu dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Hatinya berdebar-debar, darah melonjak-lonjak mendesak
ubun-ubunnya. Panasnya bertambah cepat. Keringat dingin tumbuh
di punggungya, di pelipisnya, dan kedua belah tangannya basah.
Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan yang gemetar
Guru Isa membuka bungkusan buku-buku tulis baru itu,
diambilnya sepuluh, dan kemudian lemari ditutupnya kembali.
Buku tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-gesa
dimasukannya ke dalam tasnya. (JTAU: 69)
Dari kutipan tersebut kita dapat mengetahui bahwa perasaan batin yang
dirasakan oleh guru Isa membuatnya gelisah dengan keterangan yang menjelaskan
‘Hatinya berdebar-debar, darah melonjak-lonjak mendesak ubun-ubunnya.
Panasnya bertambah cepat. Keringat dingin tumbuh di punggungya, di pelipisnya,
dan kedua belah tangannya basah. Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan
yang gemetar’ dimana ia sulit mengendalikan emosinya dan kegelisahannya.
Memang pada saat itu Guru Isa dituliskan sedang mencoba mencuri buku-buku
untuk ia jual, tentu saja ia merasa gelisah karena posisinya sebagai guru namun
juga harus menafkahi istrinya yang terus-terusan berhutang karena sudah lama
tidak memiliki uang. Bukan seorang yang berpengalaman dalam mencuri pasti
akan merasakan gelisah dalam hatinya, tetapi tidak hanya itu saja, ada kutipan lain
yang menggambarkan kegelisahan sosok Guru Isa sebagai berikut.
Peluh dingin membasahi dada, perut, dan sepanjang
punggung Guru Isa. Dia ingin menjerit, menangis, melolong, dan
lari, lari dan lari. Tetapi dia tidak lari. Dia tidak menjerit. Tidak
menangis. Tidak melolong. Dia duduk terus di sana, minum sirsak
dalam gelasnya, tidak merasa asam-manis minuman itu, dan tidak
habisnya bertanya dalam hatinya mengapa dia ada di sini. (JTAU:
128-129 )
Sementara itu adapula watak Guru Isa yang lain, yang menjadi sisi lain
dari Guru Isa, yaitu penyayang. Mungkin karena wataknya yang satu inilah
mengapa Guru Isa menjadi seseorang yang tidak menyukai kekerasan dan cinta
damai. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
Orang besar dan anak kecil itu berpandang-pandangan
demikian sebentar. Lambat-lambat senyum timbul di mulut Salim, dan
dia berteriak, “Lagi, siram lagi!”
Guru Isa tertawa dan berkata, “Habis airnya.” dia
memperlihatkan kaleng mentega yang kosong, kemudian berkata,
“Dan engkau masuk kembali ke dalam rumah. Jangan main dalam
hujan gerimis. Nanti masuk angin. Kita mandi sama-sama.” (JTAU:
64)

Selain tokoh sentral adapula tokoh bawahan dalam novel ini yaitu, Fatimah
dan Hazil. Fatimah merupakan istri Guru Isa yang memiliki watak ingin dicintai.
Hal itu terbukti pada kutipan berikut,
Karena, meskipun Fatimah tidak tahu-dia adalah seorang
perempuan yang seluruh tubuhnya dan jiwanya memekik minta
dikuasai dan direbut. (JTAU: 63)
Fatimah digambarkan sebagai sosok wanita muda yang cenderung haus
akan kasih sayang, ditambah dengan kondisi Guru Isa yang jika penulis dapat
spekulasikan ia memiliki gangguan Disfungsi Ereksi yang mengakibatkan
keduanya tidak harmonis dan sulit memiliki anak, ditambah dengan
ketidakpercayaan diri Guru Isa untuk memperbaiki hubungan mereka. Pada
akhirnya pun Fatimah luluh pada Hazil, salah seorang teman Guru Isa.
Hazil adalah seorang gerilyawan yang memperkenalkan tentang perjuangan
pada Guru Isa. Ia memiliki watak dinamis dalam memperjuangkan kemerdekaan
namun ia juga merupakan seorang pengkhianat bagi Guru Isa. Bukti bahwa Hazil
adalah seorang yang dinamis dapat dilihat melalui kutipan berikut.

“Berikan pistol itu ke sini!” perintahnya.


Hazil mundur selangkah.
“Jangan Ayah! Kita perlu senjata untuk perjuangan
kemerdekaan.”
“Kemerdekaan? Nah!” sumpah Mr. Kamaruddin. “Kamu
anak-anak muda sudah gila. Apa engkau pikir kamu bisa menang
berperang melawan Belanda? Berontak-berontak seperti orang
gila!” (JTAU: 20).
Dalam kutipan di atas, Hazil digambarkan oleh Mochtar Lubis sebagai sosok
pemuda dengan penuh semangat. Didukung dengan umurnya yang masih muda
dan juga tenaganya yang masih banyak membuat Hazil merasa sebagai pemuda
harus ikut mempertahankan kemerdekaannya. Sekali pun hal itu ditantang oleh
ayahnya, Mr. Kamarudin yang notabenenya adalah seorang pegawai milik
Belanda. Ia pun mengenal Guru Isa melalui musik yang sama-sama gemari.
Seringnya Hazil berkunjung ke Rumah Guru Isa semakin mempererat pertemanan
manusia berbeda golongan ini. Namun karena hal ini pula lah Hazil mengkhianati
Guru Isa. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Hazil dibuktikan dalam kutipan
berikut.
“Ketika dia menarik tangan Fatimah dia merasa ada timbul
perlawanan dalam tubuh Fatimah. Tetapi ditariknya kembali, sekali
ini seakan-akan hendak memanggil, dan dia merasa perlawanan
susut dalam tubuh Fatimah. Dadanya yang besar dan masih keras
dan bulat terasa tedekap pada sisi Hazil. Hazil membungkukan
mukanya, bibirnya mencari mulut Fatimah. Tetapi Fatimah
memalingkan mukanya, dan Hazil hanya dapat menyentuh pipinya
dengan bibirnya.” (JTAU: 117)
Dalam kutipan di atas, pada awalnya Fatimah sempat menolak apa yang
akan Hazil lakukan, mengingat ia adalah seorang istri dari sahabat pria di
hadapannya saat itu. Namun Hazil terus mencoba untuk mendekati Fatimah.
Walaupun pada akhirnya keduanya sama-sama mengkhianati Guru Isa, dapat
disimpulkan melalui kutipan di atas bahwa Hazil lah yang memulai mendekati
Fatimah, padahal Hazil sadar jika wanita itu adalah istri dari temannya.
Dalam novel Oeroeg, buku ini memfokuskan ceritanya pada tokoh Oeroeg
yang menjadikannya sebagai tokoh sentral. Hella S. Haasse dalam novel
pertamanya ini banyak membingungkan para pembaca dengan watak tokoh
Oeroeg yang sulit sekali ditebak, terutama karena sudut pandang yang digunakan
adalah sudut pandang tokoh Aku. Dalam buku ini tokoh Oeroeg banyak
digambarkan sebagai orang yang tidak konsisten karena berkata ini tetapi nanti
akan berkata itu. Ia juga banyak berubah secara negatif dalam pandangan tokoh
Aku. Adapula tokoh bawahan dari novel ini adalah tokoh Aku yang bercerita.
Dalam hal ini penulis cerita hendak memperlihatkan sifat seorang sahabat secara
aslinya dengan mengambil sudut pandang milik tokoh Aku, penulis cerita ingin
pembacanya menyimpulkan sendiri bagaimana sifat dari tokoh Aku. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan-kutipan berikut.
Tidak pernah ia tertawa dengan mulut terbuka lajaknya
kebanjakan pribumi lainnja. Ketika merasakan kegembiraan jang
begitu meluap, ia duduk tanpa bersuara sembari berajun madju-
mundur dengan wadjah berkerut-kerut. Biasanja caranja menikmati
sesuatu berbéda denganku. Bila aku bersorak asjik menangkap
binatang jang luar biasa—kepiting berwarna marmer mérah muda
selajaknya kulit kerang, atau kadal tembus pandang—Oeroeg hanja
memandangi hasil tangkapan dengan tatapan tadjam, gelap, dan
tjuping hidung jang mengembang. (Oeoreg: 9)
Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa sosok Oeroeg menurut Aku
adalah orang yang sangat tidak biasa. Hal itu dinyatakan pada kutipan berbunyi
‘…kebanjakan pribumi lainnja…’ ia melakukan sesuatu yang tidak biasa
dilakukan kebanyakan pribumi sehingga menimbulkan banyak tanda tanya di
kepala Aku tentang Oeroeg. Selain Oeroeg, dari kutipan di atas dapat pula dilihat
bahwa sosok Aku merupakan sosok yang ceria dengan penuh keluguan, dilihat
pada kutipan berbunyi, ‘Bila aku bersorak asjik menangkap binatang jang luar
biasa...’. Selain itu, kebingungan Aku yang muncul karena sosok Oeroeg adalah
dirinya yang berubah ketika telah dewasa dan bersekolah. Dapat dilihat pada
kutipan berikut.

Oeroeg kelihatan tjemerlang dalam poloshirt putih dan


sepatu linen. Ia tidak lagi memakai pétji. Ketika aku
menanjakannja, ia membuat gerakan tidak sabar lalu mendetjakkan
lidah. “Aku bukan pengikut Muhammad,” ia mendjelaskan
kemudian. Aku harus mengakui bahwa dalam melaksanakan
agamanja, ia tidak pernah radjin melakukanja, meskipun begitu ia
pergi ke masdjid dengan beberapa djongos kami di Kebon Djati.
(Oeroeg: 88)
Setelah bersekolah, tokoh Aku menggambarkan sosok Oeroeg sedikit
berubah ke arah negatif. Seperti Oeroeg yang mulai terpengaruh dengan gaya
busana kebarat-baratan dan juga sifat sombongnya. Jika dianalisa maka penulis
dapat berspekulasi jika Oeroeg bersifat seperti itu karena ingin menunjukkan
eksistensinya sebagai seorang pribumi, namun dengan cara yang salah. Hal itu
juga didukung dengan kutipan berikut.

Oeroeg tidak bergaul dengan kedua budjangan di sana, ia


berperilaku angkuh terhadap si kakék-nénék, dan terkait kedua
nona itu, aku tidak pernah melihatnja begitu kurang adjar ketika
meréka ada.—Oeroeg dapat melontarkan kata-kata paling kasar
setengah tersenjum sembari menatap kedua gadis itu—raut wadjah
jang tidak tertebak dan membingungkan, sehingga meréka
menjentil atau menendangnja main-main dan mentjoba
memantjingnya bergelut. (Oeroeg: 90)
Ada pun dalam kutipan berikut.
Ia brutal dan sulit diatur, melanggar ketentuan-ketentuan
djam bébas dan menutup diri, djuga terhadapku. Perlahan-lahan
muntjul di dalam benakku bahwa sikap ini tidak hanja timbul
akibat dorongan ingin bébas dan memberontak, namun sebagian
besar bersumber pada keinginan Oeroeg untuk membuat anak-anak
lelaki lain terkesan, lantaran ia tahu bahwa hanja dengan bukti-
bukti keberanian sematjam ini mereka dapat dibuat kagum.
(Oeroeg: 101)

Setelah berpisah lama karena kesibukkan masing-masing, Oeroeg dan Aku


kembali bertemu. Namun tokoh Aku menyadari perubahan drastis dari Oeroeg.
Tidak lagi Oeroeg berbaju poloshirt, bahkan Oeoreg kembali menggunakan
pétjinya. Oeroeg telah berteman dengan sosok keturunan Arab bernama Abdullah
yang mana menurut Aku merubah Oeroeg menjadi berjiwa nasinalisme atau juga
karena pola pikir Oeroeg yang telah dewasa dan mulai menyadari juga
menganggap tokoh Aku sebagai bagian orang-orang Belanda. Kutipan tersebut
dapat dilihat sebagai berikut.

Tiba-tiba aku merasa inilah saat jang telah lama


méreka nantikan. Méreka ingin membuka kartu di hadapan lawan.
Saat ini bagi méreka aku adalah perlambang, penjelmaan sesuatu
jang méreka tentang sekuat tenaga. Aku memaksa diriku tetap
berpegang pada kenjataan, jang seperti hendak tergelintjir di
serambi belakang hening ini. “Apa maksudmu?” tanjaku pada
Oeroeg. “Aku tidak ingin bergantung pada Hindia-Belanda,”
djawabnja dingin.”Aku tidak butuh bantuan kalian.”—“kalian?”
kataku, sementara darah naik ke kepalaku lantaran kini kata-
katanja tertudju padaku. “Kau minta bantuan pada Lida?.” “Tjara
berfikir Lida sama dengan kami,” kata Oeroeg bangga. Dari satu
hal menjusul hal jang lainnja, lalu terdjadilah debat di mana aku
harus bersikap bertahan lantaran seluruh masalah ini terasa anéh
bagiku. (Oeroeg: 121)
Pada kutipan di atas, sosok Oeroeg tergambar jelas berubah, terutama pada
bagian dimana Oeroeg mulai memandang sosok Aku sebagai salah satu dari
bagian Belanda walaupun mereka bersahabat. Jika penulis dapat berpendapat,
mungkin saja Oeroeg melakukannya bukan tanpa kesengajaan, namun bisa saja
karena faktor juga alasan tertentu yang membuatnya menjadi menganggap Aku
sebagai sosok yang sama dengan golongan Belanda. Hanya rasa bingung yang
muncul di benak Aku kala ia memeroses segala perkataan Oeroeg.

Unsur intrinsik selanjutnya adalah sudut pandang. Sudut pandang


merupakan sebuah teknik bercerita yang akan membuat ‘rasa’ yang berbeda pada
alur dan cara menyampaian cerita. (Https://salamadian.com). Dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu
membuat pembacanya dapat merasakan apa yang setiap tokohnya rasakan. Hal ini
memberikan pengalaman luar biasa karena pembaca dapat membayangkan dan
juga seolah-olah masuk ke dalam cerita. Hal itu dibuktikan oleh kutipan berikut.

Guru Isa memandang berkeliling. Melihat ke pintu.


Matanya mencari-cari bunyi tapak orang. Sekolah itu telah sunyi.
Tetapi pendengarannya di luar sekolah puluhan tapak kaki diam-
diam mencoba mengintip apa yang dilakukan.”(JTAU: 69)
Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa Sang Penulis cerita
menggambarkan rasa gelisah yang ada pada Guru Isa. Bahkan ia juga memberikan
rasa menduga-duga pada Guru Isa yang saat itu ingin mencuri buku tulis untuk
memenuhi ekonominya. Jika penulis dapat simpulkan, bahwa Mochtar Lubis
sengaja menggunakan sudut pandang ini untuk memberikan pengalaman hakiki
dan juga kearifan hidup bagi setiap pembacanya. Tidak ingin karyanya hanya
sebagai hiburan semata, namun juga bermanfaat bagi kehidupan.
Dalam novel Oeroeg sudut pandang yang digunakan ialah sudut pandang
orang pertama pelaku sampingan (akuan tak sertaan), pendapat tersebut sesuai
dengan kutipan berikut.
“Aku menatapnja, rambut di kepalanja menipis, dan ia
terlihat tjemas serta lelah. Aku berdjalan menghampirinja.”
(Oeroeg: 45)
Kutipan di atas dapat dilihat bahwa Hella Haasse menggunakan sudut
pandang akuan tak sertaan sebagai pembuktian bahwa dirinya sangat baik dalam
mengamati alam dan kehidupan masyarakat Indonesia karena dilatarbelakangi
dengan dirinya yang lahir dan besar di Indonesia. Selain itu penulis juga
berpendapat bahwa Hella Haasse menggunakan sudut pandang milik tokoh Aku
karena memiliki sudut pandang yang sebagai Belanda, mungkin juga Hella
berusaha untuk menghindari konflik agar tidak memiliki kesalahpahaman atau
pertentangan antara karyanya dan juga realita. Sudut pandang yang digunakan ini
malah menjadikan buku Oeroeg semakin kaya akan unsurnya karena pembaca
akan menebak dan bertanya-tanya tentang sudut pandang tokoh Oeroeg sebagai
sahabat seorang Belanda. Dengan sudut pandang ini pula dapat diketahui
bagaimana perspektif seorang sahabat terhadap sahabatnnya.
Kemudian dalam menciptakan karya sastra setiap penulis memiliki gaya
penulisan yang berbeda-beda. Gaya penulisan tersebut biasa disebut gaya bahasa
atau majas. Majas merupakan kiasan yang dituliskan Sang Penulis untuk
menggambarkan sesuatu yang sifatnya berlebih. Hal tersebut dilakukan agar karya
mereka dapat diterima dengan mudah oleh para pembaca. Pendapat tersebut
diperkuat dengan argumen yang dikemukakan oleh luxemburg dkk, majas adalah
sesuatu yang memeberikan ciri khas pada sebuah teks. Teks pada giliran tertentu
dapat berdiri semacam individu yang berbeda dengan individu yang lain. (1990:
105) (https://www.zonareferensi.com).
Dalam hal ini Mochtar Lubis dalam novelnya, Jalan Tak Ada Ujung,
menggunakan majas yang beragam. Diantara majas tersebut adalah majas
personifikasi, hiperbola, simile, pleonasme, dan repetisi. Majas personifikasi
digunakan Mochtar Lubis dalam kutipan berikut.
Dan lari dari ancaman yang telah lama memeluk seluruh
kota. (JTAU: 1)
Dari kutipan tersebut dapat dilihat penulis menggambarkan bahwa sesuatu
yang bukan manusia melakukan perbuatan yang biasa dikerjakan oleh manusia
yaitu “ancaman” yang dapat “memeluk” seluruh kota.

Selanjutnya majas hiperbola yang dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Guntur menghempas-hempas diujung langit, dan cahaya


kilat memancar-mancar. (JTAU: 1)

Kutipan tersebut membuktikan bahwa penggambaran guntur dan cahaya


kilat dituliskan berlebihan atau hiperbola. Hal tersebut bisa bertujuan untuk
mendramatisir keadaan yang digambarkan dalam novel.
Berikutnya majas simile yang dapat ditemukan dalam kutipan berikut.
Bekerjalah seperti mesin-beri ponten-hukum anak-anak
yang nakal-makan, tidur, baca koran-jangan marah atau men-
dongkol membaca berita-berita atau komentar dalam koran malam
hari-tidur dengan istrimu atau orang lain.” (JTAU: 33)
Kata “seperti” pada kutipan diatas menunjukkan majas simile karena kata tersebut
menjelaskan tentang ungkapan.
Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung terdapat pula majas pleonasme yang
dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Mulai dengan nada tinggi melambung, dan kemudian tiba-
tiba terhempas ke bawah jauh-jauh.”(JTAU: 43)
Pada kutipan tersebut kalimat “terhempas ke bawah” telah menunjukkan bahwa
nada tersebut telah turun. Dengan ditambahnya kata ulang “jauh-jauh”
menjelaskan bahwa kalimat tersebut mengulang sesuatu yang sudah jelas yang
disebut juga majas pleonasme.
Kemudian majas yang berikutnya adalah majas repetisi. Majas tersebut
ditunjukkan pada kutipan berikut.
Ia ingin menjerit, menangis, melolong dan lari, lari, dan
lari. (JTAU: 128).
Pengulangan kata “lari” pada kutipan di atas menunjukkan majas repetisi yang
bermaksud menegaskan keinginan Guru Isa untuk berlari.
Selanjutnya, dalam novel Oeroeg terdapat majas perumpamaan, metafora,
dan personifikasi. Majas perumpamaan dalam novel Oeroeg terdapat pada kutipan
berikut.
Dahulu Oeroeg sahabatku. Djika mengenang masa kanak-
kanak dan remadjaku, sosok Oeroeg langsung muntjul dalam
pikiranku laksana gambar adjaib jang biasa kami beli tiga helai
seharga sepuluh sen: harus digosok dengan menggunakan pensil
hingga muntjul gambar tersembunjinja. Begitu pula Oeroeg
kembali muntjul dalam ingatanku saat aku tenggelam dalam masa
lalu. (Oeroeg: 3)

Dalam kutipan di atas kata “laksana” menunjukkan majas perumpamaan,


dimana sosok Oeroeg digambarkan sama seperti gambar ajaib yang biasa Aku dan
Oeroeg beli di masa kecilnya.
Berikutnya majas metafora yang ditunjukkan pada kutipan berikut.
Kami, anak-anak, melompat dari batu ke batu atau mengarungi air
dangkal setjerah keristal jang bergerak tenang lajaknja kolam di antara
bebatuan, mentjari kepiting merah muda dan kuning kehidjauan, tjapung
dan binatang-binatang ketjil lain. (Oeroeg: 7)

Dari kutipan di atas kalimat “air dangkal setjerah keristal” menunjukkan


kiasan persamaan, dimana air yang bening disamakan dengan kristal.
Kemudian majas yang terdapat dalam novel Oeroeg adalah majas
personifikasi, yang terdapat pada kutipan berikut. “Bintang gemerlap di atas
puntjak gunung dengan tjahajanja jang dingin menusuk.” (Oeroeg: 28)
Dalam kutipan di atas cahaya dingin bintang digambarkan “menusuk”. Hal
itu berarti sesuatu yang digambarkan melakukan hal yang biasa dilakukan
manusia.
Ada pun yang akan penulis bahas terakhir disini pada unsur instrinsik,
yaitu suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang;
itulah yang disebut amanat. Dalam hal ini, kedua pengarang menyisipkan amanat
secara tersurat dan juga tersirat. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar
Lubis terdapat amanat tersuratnya sebagai berikut.
Dalam perjuangan kemerdekaan ini, tidak ada tempat
pikiran kacau dan ragu-ragu,” kata Hazil. “ Saya tidak pernah ragu,
dari mulai. Saya sudah tahu – semenjak mula – bahwa jalan yang
kutempuh ini tidak ada ujung. Dia tidak akan habis-habisnya kita
tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus, tidak ada ujungnya.
Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai
ke ujungnya. Dimana ada ujung jalan perjuangan dan perburuan
manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu ada musuh
dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis
satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih
jalan perjuangan, maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita,
engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan” (JTAU: ..)
Pada kutipan ini, Hazil mengajarkan para pembaca semua agar tidak
pernah ragu dalam memilih pilihan, dan juga bersikap profesionl juga tanggung
jawab. Selain itu pada kutipan yang sama pula Hazil berbicara tentang
konsekuensi yang kita dapat dalam memilih suatu pilihan, dibuktikan pada
pernyataanya yang berbunyi, ‘Sekali kita memilih jalan perjuangan, maka itu jalan
tak ada ujungnya.’ Yang mana jika kita memilih sesuatu maka aka nada
konsekuensinya dan mau tidak mau manusia harus bisa menerimanya.

Amanat tersirat yang berada pada novel Jalan Tak Ada Ujung dapat dilihat
pada sikap-sikap tokoh yang ada di dalam buku ini, seperti Guru Isa yang cinta
perdamaian dan sabar, Hazil yang pemberani dan juga dinamis, dan juga agar
setiap manusia bisa menghalaukan ketakutan dan meningkat kepecayaan diri
dalam menghadapi permasalahan.
Sedangkan dalam novel Oeroeg karya Hella Haasse ini pun juga berisikan
amanat yang disampaikan secara tersurat dan tersirat. Salah satu dari amanat
tersuratnya yaitu sebagai berikut.
“Apakah Oeroeg lebih rendah daripada kita?” aku
meluapkanja. “Apakah dia berbeda?” — “Kau dibohongi,” kata
Gerard tenang tanpa melepaskan tjangklong dari bibirnja. “Siapa
jang bilang begitu?” Aku memberitahu, dengan susah pajah, apa
yang kualami tadi siang. “Matjan kumbang berbeda berbéda dari
monjét,” kata Gerard setelah beberapa saat, “tapi apakah jang satu
lebih rendah ketimbang jang lainnja? Bagimu itu pertanjaan jang
bodoh, dan kau benar. Pertanjaan ini djuga sama bodohnya bila
dikaitkan kepada manusia. Pérbedaan itu—adalah hal biasa. Setiap
manusia berbéda. Aku pun berbéda darimu. Tetapi lebih tinggi atau
lebih rendah lantaran warna kulit wadjahmu atau lantaran siapa
ajahmu—itu omong kosong. Oeroeg sahabatmu, kan? Kalau
memang ia sahabatmu dan bisa mendjadi sahabatmu—bagaimana
bisa ia lebih rendah dibanding kau atau jang lain?” (Oeroeg: 63).
Dari kutipan di atas amanat yang terkandung adalah seseorang hendaknya
menerima orang lain dengan apa adanya, tidak bergantung pada siapa dia, apa
warna kulitnya dan apa jabatannya. Selama masih sesama manusia kita tidak
boleh saling mendekriminasi satu sama lain.
Amanat tersirat dalam novel Oeroeg dapat dilihat pada bagaimana cara
Aku berteman dengan Oeroeg. Dimana Aku dapat menerima Oeroeg dengan
begitu apa adanya tanpa memperdulikan perbedaan yang ada di antara mereka.
Walaupun persahabatan mereka terhalangi oleh perbedaan Aku tetap berusaha
berteman dengan Oeroeg.

D. Unsur Ekstrinsik

Sastra hadir sebagai ekspresi kebudayaan sebuah masyarakat yang


memiliki keterlibatan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, etik, kepercayaan,
dan lain-lain. Hal tersebut dapat disimpulkan jika kehidupan masyarakat
merupakan bagian dari kesusasteraan. Seperti pada kedua novel yang sudah
disebutkan di atas pun tak lepas dari nilai-nilai kehidupan. Ditambah pula dengan
latar tempat yang diangkat kedua novel itu, yaitu Indonesia, negara yang penuh
dengan kebudayaan. Ada banyak nilai sosial, budaya, dan politik yang dapat
dibahas pada kedua novel tersebut.
1. Nilai Sosial
Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, pengarang menggambarkan cukup
banyak nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Nilai sosial tersebut antara lain
ialah hubungan antarmanusia yang digambarkan dengan rasa solidaritas dan
tolong-menolong. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Seorang mengangkat anak kecil yang kena tembak itu dan
membaringkannya di atas pinggir jalan.”. (JTAU: 7)
Kutipan di atas menggambarkan betapa eratnya hubungan antarmanusia dalam
kehidupan sehari-hari. Seseorang akan menolong orang lain yang sedang
mendapatkan musibah.
Selanjutnya penulis juga menuliskan hubungan antara suami dan istri yang
digambarkan melalui sosok Guru Isa dan Fatimah. Namun, hubungan yang
terjalin di sini bukanlah sebuah hubungan harmonis dan romantis yang menyentuh
hat, melainkan hubungan yang hanya didasari oleh status tanpa adanya kasih
sayang. Hal itu dikarenakan oleh kondisi biologis Guru Isa, gambaran tersebut
terdapat pada kutipan berikut ini.
Malam lain demikian pula. Hingga akhirnya jiwanya
terpengaruh. Hingga sekarang. Dan istrinya menjadi dingin terhadap
dia. Tetapi mereka menjaga perkawinan. Dia telah pergi ke dokter.
Dan dokter mengatakan, bahwa impotensinya adalah semacam
psychischenya sendiri. Yang dapat mengobatinya hanyalah dirinya
sendiri. (JTAU: 29).
Selain itu ada pula nilai sosial yang menggambarkan hubungan antara
seorang ayah dan anaknya. Pengarang menggambarkan cara penyampaian kasih
sayang yang berbeda dari seorang ayah kepada anakya. Yang pertama adalah cara
Guru Isa yang mengekspresikan kasih sayang kepada anak angkatnya, Salim,
dengan penuh kelembutan sehingga membuat sang anak menjadi nyaman dan
dapat menerimanya dengan baik. Berbeda Mr. Kamaruddin yang
mengekspresikannya dengan tegas kepada Hazil sehingga menciptakan
kesalahpahaman diantara mereka. Kedua hal tersebut dibuktikan pada dua kutipan
berikut.
Orang besar dan anak kecil itu berpandang-pandangan demikian
sebentar. Lambat-lambat senyum timbul di mulut Salim, dan dia
berteriak, “Lagi, siram lagi!”
Guru Isa tertawa dan berkata, ‘Habis airnya.’ Dia
memperlihatkan kaleng mentega yang kosong, kemudian berkata,
‘Dan engkau masuk kembali ke dalam rumah. Jangan main dalam
hujan gerimis. Nanti masuk angin. Kita mandi sama-sama.’” (JTAU:
64).

“Dalam teriak itu tersembunyi perasaan yang lebih besar dari


kemarahan. Perasaan kesayangan seorang ayah pada anak, dan rasa
takut mengetahui anak pergi menemui bahaya maut.” (JTAU: 20).
Begitu pula nilai sosial dalam novel Oeroeg, dalam novel ini nilai sosial
adalah nilai yang paling mendominasi. Hal itu disebabkan oleh faktor tema yang
diangkat oleh pengarang yaitu persahabatan dan juga hubungan antar manusia
yang berupa kasih sayang, rasa hormat, segan bahkan pengkhianatan. Tema
persahabatan yang diangkat pengarang digambarkan melalui persahabatan tulus
Aku dan Oeroeg. Persahabatan di masa kecil antara dua anak yang tidak pernah
memandang perbedaan diantara mereka dan selalu tersimpan di dalam hati Aku.
Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Dahulu Oeroeg sahabatku. Djika mengenang masa kanak-
kanak dan remadjaku, sosok Oeroeg langsung muntjul dalam
pikiranku laksana gambar adjaib jang biasa kami beli tiga helai
seharga sepuluh sen: harus digosok dengan menggunakan pensil
hingga muntjul gambar tersembunjinja. Begitu pula Oeroeg
kembali muntjul dalam ingatanku saat aku tenggelam dalam masa
lalu.” (Oeroeg: 3).
Selain itu dalam novel Oeroeg, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
karya sastra tersebut menceritakan tentang dua anak manusia yang dibatasi
dengan derajat sosial keduanya. Pada saat itu tokoh Aku sudah berada pada umur
untuk bersekolah, tetapi ia menolak bersekolah tanpa Oeroeg. Hal itu terlihat pada
percakapan antara tokoh Aku dan ibunya yang membahas tentang derajat seorang
inlander yang mayoritas tidak bersekolah. Kutipan yang menunjukkan hal tersebut
dapat dilihat pada pernyataan berikut.
“Oeroeg ikut?” tanjaku ketika Inovel selesai bitjara. Ia
menghela nafas. Inovel duduk di bangku rotan rendah di samping
tempat tidur, diliputi harum eau de cologne jang tidak terpisahkan
darinja.
“Mana bisa?” tanjaja tidak sabar sembari menekan saputangan
lembab ke kening, “djangan bodoh Oeroeg itu anak inlander.”
(Oeroeg: 17)

“Dia tidak perlu bersekolah?” ku berkeras. Inovel berdiri lalu


mentjium pipiku sekilas.
”Mungkin perlu,” katanja samar.
“Ke sekolah jang lain, tentu saja.”(Oeroeg: 18)
Pada halaman yang sama pun terdapat percakapan yang menggambar
ketidaksukaan orangtua tokoh Aku pada kebiasaan Aku yang suka sekali bermain
di kampung bersama Oeroeg.
“Sekarang kau tidak boleh lagi main di kampung,” katanja
dengan nada mendjengkelkan jang menandakan sakit kepalanja
akan kumat lagi. “Ajahmu tidak suka. Oeroeg sadja jang ke sini,
kalau kau mau. Tidurlah jang njenjak.” (Oeroeg: 18)
Pada halaman lebih lanjut tokoh Aku menyadari bahwasanya memang ada
perbedaan antara dirinya dan orang inlander lainnya, tetapi dia tidak merasakan
adanya perbedaan itu.
“Meskipun aku-orang lain djuga mungkin merasakannja-
memang menjadari perbedaan ras dan kelas sosial dengan para
djongos, babu, dan Danoeh si tukang kebun, kehidupan Oeroeg
jang begitu menjatu dengan kehidupanku membuat aku tidak
pernah merasakan perbedaan ini dengannja. Maka sangat
mengedjutkanku ketika untuk pertama kalinja aku menyadari
bahwa hubungan Oeroeg dengan aku dan orangtuaku menimbulkan
tjemoohan dan penolakan antara para pembantu kami.” (Oeroeg:
42)
Melalui beberapa bukti tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada novel
Oeroeg yang dilatarbelakangi prakemerdekaan ini menunjukkan sistem sosial
yang terjadi saat itu. Si tokoh Aku sebagai orang Belanda asli pada umur yang
masih muda harus menghadapi segala macam sistem sosial yang mereka gunakan
sebagai tolok ukur kehidupan. Hal tersebut tidak dapat ia terima dengan akal
sehatnya saat itu. Kutipan pertama dan kedua di atas menunjukkan bahwa tokoh
Aku tidak dapat dipisahkan dengan Oeroeg. Namun, perbedaan ras dan warna
kulit menjadi penghalang di antara keduanya. Pada sat itu kenyataannya hal
tersebut memang benar terjadi. Pada kutipan ketiga dijelaskan bahwa tokoh Aku
sadar tentang perbedaan yang ia alami bersama Oeroeg. Namun, karena ia lahir
dan besar di lingkungan yang sama dengan para inlander, membuat tokoh Aku
tidak mengerti secara mutlak mengapa perbedaan itu harus dijadikan alasan untuk
dirinya tidak boleh berteman dengan Oeroeg. Dalam novel ini Hella Haasse juga
memberikan pengecualian tentang tidak semua orang Belanda pada saat itu
memandang sebelah mata terhadap orang-orang inlander. Penulis juga
menggambarkan tentang seorang Belanda yang memiliki pemikiran yang sama
dengan si tokoh aku, yaitu Gerard. Sosok satu ini digambarkan sebagai Belanda
yang filosofis. Kecintaan terhadap Jawa dan alamnya membuatnya menjadi
penjelajah alam yang andal dengan jiwa humanis yang tinggi. Ia tidak terlalu
memikirkan tentang perbedaan inlander dengan dirinya. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Apakah Oeroeg lebih rendah daripada kita?” aku meluapkanja.
“Apakah dia berbeda?” — “Kau dibohongi,” kata Gerard tenang tanpa
melepaskan tjangklong dari bibirnja. “Siapa jang bilang begitu?” Aku
memberitahu, dengan susah pajah, apa yang kualami tadi siang. “Matjan
kumbang berbeda berbéda dari monjét,” kata Gerard setelah beberapa saat,
“tapi apakah jang satu lebih rendah ketimbang jang lainnja? Bagimu itu
pertanjaan jang bodoh, dan kau benar. Pertanjaan ini djuga sama bodohnya
bila dikaitkan kepada manusia. Pérbedaan itu—adalah hal biasa. Setiap
manusia berbéda. Aku pun berbéda darimu. Tetapi lebih tinggi atau lebih
rendah lantaran warna kulit wadjahmu atau lantaran siapa ajahmu—itu
omong kosong. Oeroeg sahabatmu, kan? Kalau memang ia sahabatmu dan
bisa mendjadi sahabatmu—bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau
atau jang lain?” (Oeroeg: 63).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tidak semua Belanda bersikap kaku
dengan derajat sosial yang diterapkan. Ada juga yang memandang inlander sama
rata dengan dirinya yang Belanda, dinaungi kata “manusia” maka baginya semua
adalah sama.

Nilai sosial lainnya digambarkan pengarang melalui hubungan antara


Sidris, ibu Oeroeg dengan ibu Aku. Hubungan antara pribumi dengan warga
Belanda yang awalnya terjalin begitu dekat harus berakhir ketika sesuatu terjadi
pada ibu Aku. Hal itu membuat hubungan mereka perlahan-lahan merenggang
hingga akhirnya benar-benar berakhir. Gambaran tersebut dapat kita lihat dalam
dua kutipan berikut.
Ibuku sangat menjukai ibu Oeroeg. Mungkin lantaran dia, sebagai
perempuan Belanda jang pertama kali ke Hindia-Belanda dan tinggal di
Kebon Djati jang djauh dari pemukiman serta agak susah untuk
berubungan dengan sesama perempuan dan orang kulit putih lainnja,
menemukan pengertian dan pengabdian dalam diri Sidris jang riang dan
lembut. (Oeroeg: 4-5).

Dua tahun setelah aku lahir, ibuku keguguran, dan semendjak itu
tidak pernah hamil lagi. Mungkin lantaran itulah hanja Oeroeg teman
bermainku, meskipun Sidris kemudian beberapa kali berturut-turut
melahirkan anak lagi. Djam-djam kebersamaan di serambi belakang pun
berachir. (Oeroeg: 7).
2. Nilai Politik
Novel Jalan Tak Ada Ujung menggambarkan nilai politik melalui sudut
pandang warga pribumi. Dimana nilai politik tersebut didominasi oleh
penggambaran perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Yang menarik ada
sebuah nilai politik yang digambarkan secara tersirat, nilai tersebut digambarkan
melalui interaksi antaranak dimana seorang anak yang bertubuh besar dan kuat
menindas anak lain yang bertubuh biasa dan ia anggap lemah. Interaksi antaranak
tersebut seolah mengambarkan keadaan Indonesia yang menjadi latar belakang
novel tersebut yaitu pascakemerdaan. Dimana yang berhak berkuasa hanyalah dia
yang ‘besar dan kuat’. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini.

Dari dalam Gang Sirih Wetan seorang anak kecil yang lebih besar
dan kuat dari ketiga anak yang sedang bermain-main itu datang keluar.
Langkahnya dan sikapnya menunjukkan dia jago anak-anak yang sebaya
dia di kampung itu. Di tangan kanannya sebatang tongkat dari dahan
nangka yang baru dipatahkan. Di ujung gang ia berdiri, dan melihat ke kiri
dan ke kanan. Ketika dia melihat ketiga anak-anak itu bermain dia
tersenyum, dan melangkah menuju mereka.
“Aku ambil layangan si Jujuh,” pikirnya dengan amat puas. (JTAU:
2)

Berikutnya pengarang menggambarkan persoalan yang dihadapi oleh Mr.


Kamaruddin. Mr. Kamaruddin adalah seorang mantan pegawai negeri yang
bekerja pada Belanda. Di umurnya yang telah menginjak 60 tahun ia baru
menyadari bahwa selama ini dia hanya dimanfaatkan oleh Belanda, kemudian
setelah semua kepentingan Belanda selesai, ia pun disingkirkan dan digantikan
oleh orang baru. Hal itu sesuai dengan kutipan berikut.

“Belanda telah memberikan janji-janji kepadanya, tetapi


membayangkan juga, bahwa untuk orang tua seperti dia yang telah
berumur 60 tahun tidak ada tempat yang pantas. Dan Belanda
membayangkan bahwa jika dia ada pengaruh dan nama di kalangan rakyat
tentu keadaannya akan jauh berlainan. Itulah yang amat memarahkan Mr.
Kamaruddin. (JTAU: 51)
Gambaran nilai politik selanjutnya, ditulis pengarang melalui tokoh utama
yaitu Guru Isa. Yang mana karena keadaan ekonomi yang semakin mendesak
membuatnya terpaksa untuk melakukan korupsi berupa mengambil beberapa buku
tulis milik sekolah. Buku tulis itu kemudian ia jual yang dimaksudkan untuk
memberi nafkah kepada sang istri. Walaupun hatinya merasa berat akhirnya Guru
Isa mengambil buku itu dengan terpaksa. Bukti dari gambaran tersebut adalah
kutipan berikut.
Hatinya berdebar-debar, darah melonjak-lonjak mendesak ubun-
ubunnya. Panasnya bertambah cepat. Keringat dingin tumbuh di
punggungya, di pelipisnya, dan kedua belah tangannya basah.
Mulutnya rasanya kering. Dan dengan tangan yang gemetar Guru Isa
membuka bungkusan tulis baru itu, diambilnya sepuluh, dan kemudian
lemari ditutupnya kembali. Buku tulis yang baru itu cepat-cepat dan tergesa-
gesa dimasukannya ke dalam tasnya. (JTAU: 69)

Nilai politik yang terdapat dalam novel Oeroeg digambarkan sang


pengarang melalui hubungan antara Deppoh, ayah Oeroeg dan ayah Aku.
Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Achirnya kami semua duduk di dalam mobil. Aku bertumpu pada


lutut Tuan Bollinger. Ajah Oeroeg dan tukang kebun kami, Danoeh, berdiri
di indjakan pada kedua sisi mobil. (Oeroeg: 23-24)
Dalam kutipan di atas dapat dilihat pada saat Ayah si tokoh Aku beserta
koleganya pergi ke Telaga Hideung dikawal oleh Deppoh-ayah Oeroeg beserta
Danoeh-tukang kebun yang berkerja dengan Ayah si tokoh Aku. Pada saat itu
penulis menceritakan bahwa ada perbedaan derajat sosial politik yang terjadi. Saat
semua orang Belanda duduk di dalam mobil, kedua pegawainya berdiri pada
injakan dengan satu tangan. Hal ini menjadi bukti bahwa adanya perbedaan
derajat sosial politik antara kedua inlander dengan orang-orang Belanda, ditambah
dengan hubungan kedua inlander itu hanya sebagai pegawai bawahan milik Ayah
si Aku. Selain keduanya itu ada Tuan Bollinger sebagai orang Belanda yang dapat
dikatakan sebagai salah satu bawahannya karena hanya bekerja sebagai guru
pribadi anaknya. Namun, Tuan Bollinger ditempatkan di salah satu kursi.
3. Nilai Budaya
Selain nilai politik dan sosial kedua novel ini juga memiliki nilai budaya.
Perbedaan budaya yang dimiliki oleh Belanda dan Indonesia diangkat dalam
kedua novel ini dan dikemas dengan tersurat sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan novel Jalan Tak Ada Ujung berikut.
“Beberapa orang anak muda membawa bambu runcing datang
berlari.” (JTAU: 7)
Dalam kutipan di atas, dapat dilihat bahwa kebudayaan Indonesia saat
masa penjajahan dan awal kemerdekaan masih menggunakan bambu runcing
sebagai senjata dan alat pertahanan. Nilai budaya yang terdapat dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung lainnya terdapat dalam kutipan berikut.
“Dia lari sih, kalau tidak dia tentu tidak ditembak.”
“Siapa tidak lari!” kata orang lain, “melihat ubel-ubel datang.” (
JTAU: 13)
Dari kutipan di atas pengarang menggambarkan kebudayaan yang
dilakukan masyarakat setiap melihat serdadu-serdadu yang biasa mereka sebut
“ubel-ubel” yaitu lari. Hal itu berawal dengan masa-masa penjajahan terdahulu
dimana setiap serdadu-serdadu tersebut datang mereka akan menakut-nakuti
masyarakat yang ada di sana, dengan maksud agar masyarakat merasa takut dan
tidak berani memberontak.
Berikutnya dalam novel Oeroeg terdapat nilai budaya di dalam kutipan
berikut.
Mereka melihat hal-hal dengan tjaranja masing-masing dan bitjara
dalam bahasa jang terbata satu sama lain, namun keadjaiban jang sama
muntjul dibalik baju tidur ibuku dan sarung kepunjaan sidris jang keduanja
menggelembung. Djadi dapat dimengerti bahwa dikemudian hari
kebersamaan ini tetap ada, sementara aku terlelap di dalam randjang rotan
berkain halus, di samping bangku gojang ibuku, dan Oeroeg dalam
gendongan selendang batik dipunggung Sidris. (Oeroeg:5)
Dapat diketahui bahwasannya Hella S Haasse ingin memberitahukan
kepada pembaca mengenai budaya Indonesia-Belanda yang bertolak belakang.
Yaitu melalui cara berpakaian dan gaya hidupnya. Dimana budaya berpakaian
pribumi digambarkan memakai sarung, sedangkan Belanda memakai baju tidur.
Selain itu, gaya hidup pribumi juga digambarkan lebih sederhana dibandingkan
Belanda. Gambaran tersebut sesuai dengan kutipan yang menyatakan Sidris
menggendong Oeroeg menggunakan kain batik sedangkan Ibu Aku menidurkan
Aku langsung di dalam sebuah ranjang rotan khusus.

(NILAI BUDAYA OEROEG)


E. Perbandingan dan Kritik Sastra
Setiap karya sastra pasti memiliki sebuah kelebihan dan kekurangannya
yang mana bersandar kepada bagaimana pembaca menikmatinya. Ada pun juga
pada setiap karya sastra memiliki persamaan karena memiliki relevansi dengan
kehidupan nyata. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung dan Oeroeg terdapat pula
beberapa kekurangan dan juga kesamaan, namun kekurangan itu tetap membuat
karya sastra patut untuk diapresiasi mempertimbangkan segala kelebihannya yang
ada. Dengan adanya beberapa perbandingan dan juga kritik pada kedua buku,
diharapkan pembaca agar dapat menemukan kekayaan yang ada di dalam kedua
buku tersebut. Adapun perbandingan dan kritik seperti berikut.
Pertama, yaitu kesamaan latar tempat yang diambil oleh kedua pengarang
cerita yaitu Indonesia. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis
menjadikan Indonesia tau lebih tepatnya Batavia pada pasca-kemerdekaan sebagai
latar bukunya. Sedangkan Hella Haasse banyak mengambil kota-kota di Indonesia
menjadi latar tempat di dalam novelnya Oeroeg, yaitu Bandung, Batavia, dan
Sukabumi.
Kedua, adapun kesamaan pada subplot yang diangkat dalam cerita tersebut
yaitu tentang pengkhianatan. Dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, Hazil
mengkhianati Guru Isa dengan berselingkuh dengan istri Guru Isa dan juga
mengkhianati perjuangan dengan memberi tahu nama-nama gerilyawan yang
meledakkan bioskop. Sedangkan pada novel Oeroeg, dapat dilihat bahwa Oeroeg
digambarkan seperti mengkhianati persahabatan yang sudah dijaga keduanya.
Ketiga, dalam kedua novel tersebut tokoh sentral sama-sama memiliki
kekurangan pada psikis mereka yang diakibatkan oleh luka masa lalu. Pada tokoh
Isa, ia menerima tekanan batin yang mempengaruhi mentalnya akibat
ketidakharmonisan rumah tangganya dan juga karena sifatnya yang cinta
perdamaian namun harus berkontradiksi dengan keadaan yang ada di Indonesia
pada saat itu. Sedangkan pada tokoh Oeroeg, ketika dia kecil dia sering menerima
deskriminasi dari orang-orang sekitarnya karena berteman dengan seorang
belanda, sehingga membuat dirinya mencoba menjadi kebarat-baratan saat dewasa
untuk menunjukkan eksistensinya.
Keempat, perbedaan sudut pandang yang digunakaan kedua penulis adalah
sudut pandang dari orang Belanda dan juga sudut pandang orang Indonesia.
Dengan perbedaan sudut pandang ini bisa jadi kedua penulis itu mencoba
menyatakan respon mereka tentang masa penjajahan di Indonesia kala itu.
Mochtar Lubis memberikan pandangannya sebagai Guru Isa yang jenuh dengan
penjajahan dan juga kekerasan-mengingat Mochtar Lubis pernah menjadi guru
pada masa mudanya, padahal saat itu Indonesia telah merdeka namun tidak juga
lepas dari tindasan. Sedangkan Hella Haasse memberikan pandangan tentang
Indonesia dan keadaannya melalu tokoh Aku yang bingung akan perbedaan
derajat sosial antara Belanda dan Indonesia karena dirinya yang lahir dan juga
besar di Indonesia.
Ada pun kekurangan yang ada pada kedua novel tersebut, seperti pada
novel Jalan Tak Ada Ujung yang mana memiliki gaya penulisan yang klasik
angkatan 50-60an yang masih sulit untuk diterima dan dimengerti oleh pembaca
masa kini. Pada novel Jalan Tak Ada Ujung juga memiliki penggambaran waktu
yang kurang mendetail sehingga pembaca bisa tidak menyadari bahwasannya
rentang waktu yang dilewati oleh tokoh utama di setiap subbabnya cukup jauh.
Selain itu novel tersebut tidak dapat diterima oleh semua umur karena butuh
pemikiran yang dewasa agar dapat memahami maksud dari pengarang. Sedangkan
dalam novel Oeroeg, penulis memiliki gaya bahasa yang sulit dimengerti, karena
struktur kebahasaan yang digunakan adalah bahasa Belanda (merupakan novel
terjemahan) yang mana sering memiliki perbedaan arti dalam sebuah istilah.
Selain itu, novel Oeroeg hanya menggunakan sudut pandang tokoh Aku saja yang
dapat menimbulkan pertanyaan dan juga praduga yang buruk pada tokoh Oeroeg.
Dengan beberapa kekurangan-kekurangan di atas, tidak menutupi bahwa
kedua novel itu pun juga memiliki kelebihan-kelebihannya tersendiri yang
semakin memperkaya isinya. Seperti kelebihan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
yaitu menceritakan tentang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia yangmana dapat membangkitkan semangat nasionalisme. Berikutnya
jalan cerita dalam novel Jalan Tak Ada Ujung dikemas dengan apik sehingga
pembaca dapat menikmati setiap alur ceritanya. Selain itu juga dalam novel
Oeroeg pengarang memiliki keahlian dalam penggambaran suasana yang bagus
sehingga membuat pembaca turut merasakan apa yang digambarkan penulis.
Selain itu cara penulisan yang mudah dipahami sehingga membuat pembaca
semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

F. Kesimpulan

Kritik sastra adalah istilah yang muncul akibat usaha manusia dalam
menafsirkan karya sastra yang mereka nikmati untuk memenuhi kebutuhan
pikiran atau intelektual. Dalam hal ini penulis memberikan perbandingan dua jenis
karya sastra yang memiliki latar tempat yang sama, yaitu Jalan Tak Ada Ujung
karya Mochtar Lubis dan juga Oeroeg karya Hella Haasse. Jalan Tak Ada Ujung
merupakan karya keempat yang terbit pada tahun 1952 oleh penerbit Balai
Pustaka. Memiliki halaman sebanyak 166 halaman yang mengisahkan tentang
seorang guru yang mencintai perdamaian dan tidak menginginkan terjadinya
kekerasan bernamakan Isa. Ia merupakan tulang punggung keluarga yang harus
menghidupi seorang istri dan anaknya. Namun hubungan antara Isa dan istrinya
tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan
diantara mereka. Di samping konflik tersebut, Isa dihadapkan oleh kenyataan
dimana ia harus menjadi gerilyawan untuk mempertahankan kemerdekaan yang
mana hal tersebut bertentangan dengan keadaannya. Ditambah dengan
pengkhianatan sahabat dan istrinya membuat batin Isa semakin tertekan. Pada
akhir cerita ia mendapatkan malapetaka yang justru mendatangkan tanggapan
berbeda dari dirinya. Dan Ada pula novel Oeroeg yang terbit pertama kali di
Belanda pada tahun 1948, yang kemudian diterjemahkan oleh Indira Ismail.
Dengan 166 halaman, novel ini berhasil menjadi karya sastra yang mendunia.
Sedangkan novel Oeroeg mengisahkan tokoh bernamakan Oeroeg, ia merupakan
seorang anak inlander. Inlander adalah istilah untuk pribumi yang pada saat itu
selalu dianggap rendahan secara sosial oleh orang-orang Belanda yang berkuasa
di Hindia-Belanda (panggilan Indonesia pada saat itu). Sedangkan Aku adalah
seorang Belanda kelahiran dan besar di Indonesia yang telah menganggap dirinya
sudah seperti seorang Indonesia dan juga berkelakuan seperti orang Indonesia.
Aku dan Oeroeg telah bersahabat melalui hubungan kedua ibu mereka yang pada
saat itu sama-sama mengandung keduanya, dan ayah Oeroeg merupakan salah
satu pegawai dari ayah Aku. Walaupun hubungan Oeroeg dan Aku ditentang oleh
keadaan sosial pada saat itu, keduanya tetap berteman baik. Sampai pada akhirnya
dimana mereka mulai tumbuh dewasa dan mengerti apa perihal kondisi yang ada
pada diri mereka. Keduanya mulai merenggang, waktu kebersamaan masih ada,
namun kesenangan yang ada di jiwa mereka yang hilang. Oeroeg pun bersekolah
di Surabaya dan Aku harus bersekolah di Batavia (Sekarang disebut Jakarta),
jarak yang mereka terima semakin mendukung renggangnya hubungan keduanya
sampai Aku pun harus pergi ke Belanda dan meninggalkan Oeroeg.
Kekayaan kedua buku itu dibuktikan dengan unsur-unsur yang ada, yaitu
unsur instrinsik dan juga unsur ekstrinsiknya. Dalam hal ini penulis hanya
menyertakan unsur instrinsik berupa tema, tokoh, sudut pandang, gaya bahasa,
dan amanat karena unsur inilah yang paling menonjolkan kekayaan dari kedua
novel. Pada unsur ekstrinsiknya, penulis menyertakan nilai sosial seperti
hubungan pertemanan, rumah tangga, dan pengkhianatan, juga nilai budaya
seperti perbedan budaya antara Belanda dan Indonesia, penggunaan senjata di
zaman kemerdekaan dan kebiasaan masyarakat, dan nilai politiknya seperti
perbedaan derajat antara Belanda dan Inlander, penindasan antar ras, dan lain-lain
yang ada di dalam kedua novel tersebut.
Ada pula yang penulis sertakan dalam kritik sastra ini, yaitu beberapa
perbandingan antara novel Jalan Tak Ada Ujung dan Oeroeg serta kekurangan
juga kelebihan pada kedua novel tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Jakob Sumardjo dan Saini K. M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT


Gramedia

Soegiarta. 1984. Glosaria Istilah Bahasa dan Sastra. Jakarta: PT Intan.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai