Hermeneutik adalah faktor yang penting ketika memahami atau mendalami
makna dari suatu teks. Seperti menurut Palmer (2005:8) jika hermeneutik merupakan ilmu pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks. Sedangkan Ricouer (2012:57) mengatakan bahwa hermeneutik merupakan ilmu mengnai berjalannyha pemahaman dalam menguraikan teks. Dalam rujukan lain dikatakan bahwa hermeneutik merupakan proses penguraian tiga hak dimulai dari makna dan isi yang terlihat ke arah makna tersirat. Gambaran makna akan dianalisis berdasarkan pemahaman reflektif, bahasa dan ontologi makna. Suatu teks menurut Ricoeur dalam Kaelan (2009:205-306) merupakan otonom yang tidak bergantung pada maksud penulis dan berdiri sendiri, pada keadaan historis suatu karya atau buku dimana teks tercantum pada pembaca-pembaca pertama. Jika hermeneutik diaplikasikan pada suatu teks, maka itu merupakan sifat hermeneutik itu sendiri. Hermeneutik tidak mencari makna tersirat pada suatu teks, melainkan menuntun atensinya pada makna objektif dari suatu teks, terlepas dari tujuan subjektif penulis ataupun orang lain. Hadirnya takdir, manusia menjalankan hidup dengan misterius. Kemisteriusan yang menekankan pada kehadiran dan keberadaan. Entah yang tinggal dalam jiwa maupun jasmani manusia. Sebuah cerita pendek berjudul “Orez” ciptaan Budi Darma yang terhimpun dalam Orang-Orang Bloomington, memberlakukan bagaimana takdir menggerakkan dan sikap manusia yang memutuskan. Melalui tokoh saya, kisahkan kesedihan hidupnya dan istri dan anak. Menurut Ricouer dalam Kaelan (2009: 310-311) cara kerja hermeneutik adalah sebagai berikut: (1) Tindakan penjiwaan simbol-simbol (yang dalam hal ini adalah bahasa), (2) pemberian makna oleh simbol-simbol serta eksplorasi yang cermat atas makna, (3) tindakan yang benar-benar berteori, yaitu berpikir dengan mengunakan simbol-simbol sebagai titik tolaknya. Tokoh saya yang bisa dibilang serba tahu. Maksudnya bukan menggeser penokohan sudut pandang ketiga—sejatinya tahu segala dan seperti pengarangnya— melainkan pencermatan yang detail dari tokoh. Ia tahu kesulitan-kesulitan Hester(Istrinya) dan Orez(anaknya) melalui gerak-gerik dan tampang yang dimunculkan. Namun, dikarenakan ini sudut pandang pertama, tokoh saya tidak mampu menembus batin tiap-tiap tokoh. Dan kedetailan tokoh saya mencermati yang lain, ia menjadi minor dan bukan tokoh utama, lebih banyak menceritakan subjek yang dituju: Hester dan Orez. Membeberkan kejanggalan-kejanggalan mereka, terutama Orez. Pada bagian pertama, cerita sudah menemui kesulitan pada saya(tokoh) tentang pasangan hidupnya. Hester, yang nantinya menjadi istri, ketika saya berniat menjadikannya istri, ia malah terkejut dan ketakutan. Ini persoalan di luar diri dan pengetahuan saya. Sebab, diceritakan, saya belum tahu seluk-beluk riwayat Hester. Namun, berahi binatang yang tak terbendung, saya tak kendor menyakinkannya. Menemui ayahnya. Dan mengetahui riwayat yang diyakini bertemurun. Sekali lagi, berahi binatang tak angslup menghantarkan kesedihan saya dan mungkin Hester semakin panjang. Salah satu penyebab kesedihan tokoh saya adalah riwayat hidup Hester. Yang ternyata Hester bisa dikatakan manusia abnormal. Melalui pemaparan ayah Hester, anaknya jumlahnya //mungkin tujuh, mungkin delapan, mungkin juga sembilan// semuanya mati sebab cacat, kecuali Hester. Hester satu-satunya anaknya yang selamat dari kematian seperti saudara-saudaranya. Kematian akibat ketidaksempurnanya tubuh saudara-saudaranya. Namun, meskipun selamat dari kematian, Hester tidak menutup kemungkinan tidak senormal orang-orang. Abnormal itu digambarkan melalui pikiran Hester dan pikiran itu ternyata benar terjadi. Adalah kecacatan akan menurun pada anaknya. Anak pertama mengalami keguguran. Anak kedua mempunyai imun bagus, namun diperlihatkan perut Hester //Dindingnya lentur, tapi kuat bagaikan bola terbuat dari kulit sapi kelas satu// dan //membuncit bagaikan Krakatau ratusan tahun lalu// anak kedua itu ialah Orez, lahir dengan kecacatan. Melalui tokoh saya, Budi Darma menggarap Hester memasuki segi theistis: menyesal yang tak pernah putus. Penyesalan menerima cinta tokoh saya, berlanjut miliki anak cacat. Penyesalan ini bukan tidak cinta kepada tokoh saya, namun kehadirannya malah membuat kesedihan bagi orang lain atau suaminya. Sebab itu, ia selalu merasa bersalah kepada suami. Pikiran sebaliknya, ia juga takut jika suami meninggalkannya dan tidak bertanggung jawab. Ia tidak mau ditinggalkan, tapi selalu berpikir ia merugikan hidup suami. Hal ini menarik bagaimana Budi Darma tokoh Hester, memasukan persoalan-persoalan eksistensial. Manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Keputusan pribadi, kebebasan pribadi, sasaran tiap pribadi, adalah tanggung jawab sendiri. Sayalah yang memegang tumpukan kekuasaan dalam hal mempercepat atau memperlambat kematiannya. Karena itu, saya diwanti-wanti agar menjaga Hester dengan baik. “Sayangilah jiwanya sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan sayangilah tubuhnya sebagaimana engkau menyayangi tubuhmu sendiri.” Begitulah petuah ayah Hester yang ternyata menjadi beban Hester. Memang itu tugas untuk tokoh saya, namun beban yang memberatkan suaminya membuat Hester takut suaminya tak kuat. Takut jika hidup bersamanya hanyalah beban dan kesedihan. Membuatnya mengalami penyesalan yang tak ada batasnya. Mengamini pernyataan Sarte, manusia lain atau orang lain merupakan neraka bagi “aku”. Pandangan saya, pernyataan Sarte diamini Hester dalam dua sikap. Pertama, jika Sarte mengungkap manusia lain bagi aku, Hester sebaliknya. Ia menganggap dialah neraka bagi suaminya. Ia yang membuat bencana bagi orang lain. Mengirimkan kesedihan bagi orang lain. Kedua, dikirimkannya suami untuknya adalah kesulitan baru. Mungkin, ia tak mau memiliki anak, namun kedatangan orang lain mengubah kehendaknya. Suaminya adalah takdir yang menghendaki ia ketakutan masa lalu untuk masa depan. Dan Hester boleh saja menganggap suaminya adalah neraka. Walaupun kedua poin tersebut mengarah pada satu hal: penyesalan bagi Hester yang tiada habis. Mungkin, tokoh saya juga bisa dianggap sebagai korban. Tokoh saya yang lebih sebagai pengamat—tokoh yang menjabarkan melalui ceritanya—terbaca bahwa ia tokoh yang dijatuhi beban sebagai korban dan entah mampu mengatasi keberadaannya dalam menjalani nasib. Boleh dikatakan, tokoh saya adalah tumbal bencana. Apakah saya (penulis) terlalu mengutuk Hester? Sebab menempatkan tokoh saya sebagai korban? Ya, paragraf di atas memang saya pikir terlalu kejam. Menyudutkan salah satu pihak yang lemah—seorang abnormal—dan tidak lepas Hester adalah perempuan. Namun, sikap korban yang disemat tokoh saya, hanya sebatas pikiran diadili. Tokoh saya—hingga cerita selesai—tetap menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Meski sudah ada indikasi ia ingin mengakhiri hidup Orez dan kehidupannya (jika dibayangkan nyata) belum selesai. Dan ungkapan saya tersebut mungkin juga terpengaruh bagaimana Budi Darma menuliskan cerita dengan dingin. Ia tak segan menggambarkan Orez adalah seekor raksasa dan sumber terguncangnya dunia. ...Orez lahir. Tangisnya kuat bagaikan sumber gempa bumi. Serasa bumi terguncang, tembok rumah sakit merekah, dan daun-daun jendela rontok dari engsel. ...Kepalanya terlalu besar, kasar, dan benjol-benjol. Mungkin kelak dia akan mempunyai taring tajam bagaikan seekor raksasa. Tangan dan kakinya juga terlalu besar, tapi tubuhnya terlalu kecil. Dan, setiap kali dia menangis, seluruh kota serasa mengalami gempa bumi hebat. Dan kalimat yang juga sudah dikatakan Harry Aveling, pengamat sastra Australia, dengan radikal. Ia mengatakan bahwa cerita yang disajikan Budi Darma menakutkan dirinya karena dunia yang ditampilkan adalah dunia yang gerai, kejam, menakutkan, dan tanpa kemanusiaan. Sebagaimana Harry Aveling, saya menganggap tulisan Budi Darma, terkhusus Orez, kental kehidupan manusia yang utama memikirkan dirinya dahulu, menjadikan manusia sangat keras, kejam dan dingin. Dan terkadang sifat manusia juga sangat aneh. Sebab, Budi Darma pernah berpendapat bahwa takdir merupakan sesuatu yang berpengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Hal ini membuktikan manusia menghadapi takdir yang serba tidak tahu, menghantar manusia gelagap menjalani hidup dan langkah terbaik menjalani sebisanya. Cerita Orez, sangat lekat dengan takdir. Bentuk kepengarangan Budi Darma memang cenderung mengarap persoalan manusia berdasar takdir yang telah ditentukan, bukan berdasarkan lingkungan sekitar. Membaca cerita Budi Darma mampu mengebor sukma saya, menggali hal-hal fundamental manusia, dan sangat dekat dan tahu jiwa dan batin manusia. Memosisikan takdir hampir segalanya. Hadiah yang tidak dapat ditolak. Kekuatan atau kelemahan di luar diri manusia. Dan manusia, menerima dengan batin, agar masuk akal pada dalam diri manusia.