23021540025
1. Jelaskan peran dan fungsi penting teori sastra dalam studi sastra dan bahasa
Tugas teori sastra adalah menetapkan prinsip-prinsip, kategori-kategori, dan kriteria-
kriteria mengenai sifat sastra pada umumnya dengan memanfaatkan hasil-hasil kritik
sastra dan sejarah sastra. Yang dapat dilakukan untuk kepentingan studi sastra adalah
merumuskan seperangkat ciri-ciri teks yang disebut ‘sastra’ itu dengan berpijak pada
asas kenisbian historis. Menurut Wellek dan Warren, teori sastra bukan hanya sekedar
alat bantu untuk mendukung pemahaman dan apresiasi perorangan terhadap karya
sastra (karena ini bukanlah tujuan sebuah ilmu sistematis), teori sastra justru
diperlukan untuk mengembangkan ilmu sastra itu sendiri. Kegunaan teori sastra
adalah membantu kita untuk mengerti teks itu secara lebih baik sehingga kita lebih
tertarik untuk membaca karya-karya sastra.
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di
dalam karya sastra baik konvensi Bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan
kata maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan
lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra.
Dalam pembelajaran sastra tidak dapat dilepaskan dengan pembelajaran Bahasa,
karena Bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan dan perasaan kepada
orang lain baik secara tertulis maupun lisan. Teori sastra membantu dalam
mengungkapkan dan memahami berbagai makna dan interpretasi yang mungkin
terkandung dalam karya sastra, maka dari itu teori sastra juga memiliki fungsi penting
dalam studi Bahasa.
Teori sastra menghubungkan kita dengan studi sastra sehingga kita dapat mengetahui
Gerakan atau aliran sastra tertentu yang ada di dalam karya sastra sehingga membantu
kita dalam memahami karakteristik dan tujuan dari aliran tersebut.
5. Berikan contoh singkat analisis suatu karya sastra dengan teori psikoanalisis
Analisis puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono menggunakan
pendekatan ekspresif (Sastrawwan)
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra momfokuskan
perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra, pendekatan ini memandang karya sastra
sebagai ekspresi sastrawan. Atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan
persepsi-persepsi pikiran atau perasaan, aspek sosiologi ekspresif ditinjau dari
segi curahan rasa pengarang terhadap situasi tertentu. Keadaan jiwa pengarang yang
meliputi latar belakang sosial budaya, pandangan (agama, kepercayaan, keyakinan,
sikap hidup, dan emosi) (Tamaraw, 2015). Berikut puisi Sapardi Djoko Damono:
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu Sapardi Djoko Damono (1989)
Sapardi menulis puisi Hujan Bulan Juni berdasarkan pengalaman yang tak muluk-
muluk. Saat berada di Yogya dan Solo pada masa mudanya, ia selalu menjalani Juni yang kemarau
kering dengan malam-malamnya yang dingin menusuk tulang. Juni-Juli adalah masa
libur buat mahasiswa, dan hujan tak pernah diingatnya mampir ke bulan-
bulan tersebut.
“Tapi kemudian, setelah saya ke Jakarta, kok di bulan Juni malah hujan?” celetuk
Sapardi ketika disambangi Kumparan Kamis (8/6).
Hujan yang turun “salah jadwal” di bulan Juni itu kemudian memantik sulur-
sulur serebrum Sapardi untuk menuliskan puisi Hujan Bulan Juni. Kala itu,
bagi Sapardi (dan bentangan imajinasinya), hujan salah jadwal tersebut janggal dan
jadi masalah. Kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan
puncak kemarau?
“Kalau sekarang nggak masalah, ya. Juni juga hujan. Tapi dulu nggakpernah begitu,”
ujar Sapardi.
Jika dimaknai dari bait ke bait, bait ke-1:
Tak ada yang lebih tabah Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Dikaitkan dengan pengalaman Sapardi, Bait ke-1 ini memiliki makna tentang sebuah
kerinduan yang dirasakan “pohon” kepada “hujan” di bulan Juni. Karena
jika dilogika, hujan tidak biasa turun dibulan Juni. Seperti ungkap Sapardi saat Ia
pergi ke Jakarta dan disana turun hujan, “Hujan dibulan Juni ini salah jadwal”. Hal
tersebut bisa menjadi gambaran alam. Bahwa DKI Jakarta adalah kota yang panas, penuh polusi
terlebih pada saat kemarau yang jadwalnya jatuh pada bulan Juni-Juli. Beberapa
pohon yang “masih” tumbuh tentu tersiksa dengan keberadaan polusi di jakarta. Ia
membutuhkan rintik hujan saat bulan-bulan kemarau. Sayangnya hujan tidak datang
saat musim kemarau. Maka penantian tersebut membutuhkan ketabahan yang tiada tara. Namun
istilah “pohon” dan “hujan” juga boleh jadi diartikan sebagai kerinduan seseorang
kepada kekasihnya yang di Ibaratkan melalui istilah “hujan” dan “pohon”. Bahwa
seseorang tengah merindukan kekasihnya seperti menantikan Hujan jatuh di
bulan Juni. Karena jikapun terjadi, itu adalah kejadian yang langka sehingga sang
kekasih harus tabah menanti kekasihnya dengan menyembunyikan kerinduannya, seperti
menunggu jatuhnya hujan di bulan Juni. Sekali lagi puisi yang baik adalah puisi yang
mengandung multitafsir dari pembacanya. Makna dari Bait ke-2:
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Bait ini dapat diartikan bahwa hujan seperti meninggalkan jejak-jejak kakinya
saat musim kemarau. Sehingga pohon merasa bijak. Tetap berdiri kokoh meski daun-
daunnya berguguran dan mengering saat musim kemarau. Penantiannya tidak akan
berakhir. Namun, dikaitkan lagi dengan pengalaman Sapardi bahwa sebenarnya
“hujan yang salah jadwal” itu benar -benar bijak. Ia menghampiri pohon meski bukan
waktunya. Dan sebelum hujan reda, ia melentikkan rintiknya (gerimis) yang menjadi
makna dari “ Dihapusnya jejak-jejak kakinya, Yang ragu-ragu di jalan itu”.Peristiwa
tersebut juga boleh jadi menjadi sebuah istilah untuk memaknai kisah sepasang kekasih.
Bahwa kerinduan seorang kekasih yang saking rindunya, sehingga Ia tetap menghampiri,
menemui kekasihnya meski belum waktunya. Kejadian itu terjadi hingga pada waktunya
ia menyadari bahwa belum waktunya ia menemui kekasihnya sehingga ia memutuskan untuk
pergi;meski dengan perasaan ragu. Makna dari bait ke-3:
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Sesuai dengan pengalaman pengarang, bait ini mengisahkan hujan
begitu arif;bijaksana. Hujan membiarkan rintiknya yang “salah jadwal” diserap akar
pohon, serta bunga yang ada. Sekali lagi, peristiwa ini dapat menjadi suatu ibarat
bagi peristiwa lain. Misal peristiwa sepasang kekasih, dan peristiwa-peristiwa
lainnya. Namun dapat dipetik sebuah pesan. Bahwa mengapa musim kemarau jatuh
pada bulan yang tak semestinya? Memang hal ini pengaruh dari taksir. Namun
kita sebagai manusia juga sebenarnya memiliki hubungan timbal balik dengan alam.
Apakah ada, perbuatan-perbuatan kita yang tidak menghargai lingkungan dan sebagainya.
Dalam perumpamaan “kita bisa memberi ruang bagi pohon agar tetap merasa nyaman
meski kemarau tiba, sehingga hujan tidak perlu repot-repot hadir saat kemarau
tiba”. Artinya ada perbuatan kita sebagai manusia yang memang harus terlebih
dahulu diperbaiki. Khususnya hubungan dengan alam. Namun sekali lagi, keterkaitan
pengalaman Sapardi dengan puisi “Hujan Bulan Juni” serta analisis dan makna puisi
yang telah dipaparkan diatas, juga bisa jadi menjadi ibarat peristiwa lain. Seperti
apresiasi film yang berjudul “Hujan Bulan Juni”, konsep dan peristiwanya mengacu pada
sebuah hubungan sepasang kekasih.