Dalam The Kite Runner[2], misalnya, Amir pada akhirnya mengetahui bahwa satu-satunya
sahabatnya, Hassan, yang pernah dikhianatinya sehingga pergi meninggalkan rumahnya itu
adalah saudaranya dari lain ibu. Amir tidak pernah menduga hal itu sebelumnya sebab
ayahnya merahasiakan sesuatu pada masa lalunya yang akan membuat aib keluarganya
sehingga Hassan diperlakukan di rumah mereka sebagai anak pembantu. Itu adalah surprised,
bukan saja bagi Amir, melainkan juga bagi pembaca novel tersebut.
In The Kite Runner [2], for example, Amir finally learned that only his
best friend, Hassan, who never left his house betray that it was his
brother from another mother. Amir never thought about it before
because her father holding something in his past that would bring
dishonor to his family so that Hassan treated in their homes as a maid
child. It was surprised, not only for Amir, but also for the reader of the
novel.
Coba kita ingat novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. Buyung, karakter utama
novel itu, mengalami katarsis, menemukan sebuah kesadaran baru yang luar biasa yang tidak
terlupakan oleh pembaca novel ini. Buyung yang mengikat Wak Katok pada sebuah pohon
sebagai umpan harimau yang telah menewaskan beberapa temannya itu tetap menembak mati
harimau itu yang melompat untuk menerkam Wak Katok, padahal sebelumnya Wak Katok
telah berusaha untuk membunuhnya. Buyung bisa saja membiarkan Wak Katok terbunuh,
tetapi rupanya dia tidak membiarkan dirinya dikuasai harimau yang ada di hatinya. Dia pun
membunuh harimau itu dengan menembak harimau yang sedang melompat menerkam dan
sekaligus menyelamatkan Wak Katok.
Tambun Selatan, 14 April 2013
tokohnya mengusung problem-problem psikologis manusia pada umumnya. Luka batin atas
perasaan bersalah yang menahun, dan upaya untuk menyembuhkannya, adalah salah satu
contohnya.
Barangkali diskusi akan berlangsung adem, jika saja novel peraih anugerah Humanitarian
Award 2006 ini, berhenti ditinjau dari sudut intrinsiknya belaka. Justru yang menghangatkan
perdebatan adalah unsur ekstrinsiknya. Karena itu sebagian peserta lebih berminat menyoroti
karya ini dari sisi politisnya. Setidaknya ada tiga peserta yang menyinggung The Kite Runner
dari sudut pandang ini.
Secara kritis, Rahman Mangussara berpandangan, novel ini sarat propaganda. Di dalamnya
bertabur persepsi Barat terhadap Afghanistan yang notabene sarang kaum Taliban. Ia
mengutip ungkapan sarkastis totoh Baba berikut ini:
Mereka tidak melakukan apapun kecuali menghitung butiran tasbih dan memamerkan
hafalan isi kitab yang ditulis dalam bahasa yang tidak mereka faham. Kuharap Tuhan
melindungi kita semua, jika suatu saat nanti Afghanistan jatuh ke tangan mereka.
Pandangan senada juga dinyatakan Moh. Samsul Arifin dan Agus Hidayat. Samsul malah
mencurigai, jangan-jangan Hosseini adalah agen yang memang ingin mengabarkan aspirasi
Barat kepada dunia Timur dalam konteks ini direpresentasikan melalaui Afghanistan yang
identik Taliban. Barat tentu saja dipersepsi sebagai beradab, sementara Taliban adalah barbar
dan wajah dari segala kebengisan. Sedangkan Agus meragukan otentisitas pengetahuan
Hosseini soal detail latar Afghanistan, mengingat penulis ini tidak memiliki akar budaya
Afghan yang kuat. Bukankah ia sudah sejak lama keluar dari negeri itu, bahkan sebelum
Taliban benar-benar menguasai Afghanistan?
Khaled Hosseini yang kini bermukim di San Jose, California, adalah seorang anak diplomat.
Ia dilahirkan di Kabul pada 1965. Saat ayahnya ditugaskan ke Paris pada 1976, Hosseini
meninggalkan Afghanistan dan tak pernah bisa pulang lagi ke tanah kelahirannya, karena
pada 1980 Rusia telah menduduki negeri itu. Keluarga Hosseini akhirnya mendapat suaka
politik dari pemerintah Amerika Serikat, dan hingga kini ia menjadi seorang dokter.
Bagi sebagian besar peserta diskusi, mungkin sulit membayangkan seperti apa sesungguhnya
potret Afghanistan beserta suku penduduknya. Nah, beruntung dalam diskusi kali ini
berkesempatan hadir seorang jurnalis Liputan 6, Nurul Amin, yang pernah menjejakkan kaki
di bumi yang karut-marut dicabik perang itu. Pada 2002 dan 2005, ia sempat melakukan
tugas jurnalistik ke sana. Berbekal foto-foto serta pengalaman liputan, Nurul seolah mengajak
menapaki kembali tanah-tanah gersang Afghanistan. Lokasi peristiwa, suasana
perkampungan, profil warga Pasthun maupun Hazara, fasih digambarkan Nurul, sehingga
setting yang ada di dalam The Kite Runner terasa tidak terlalu jauh berjarak.
Seolah turnamen adu layang-layang, suasana diskusi kali ini pun demikian. Beragam
argumen diterbangkan, saling disambitkan, dan benang-benang alasan ditarik-ulur berlahan.
Tapi semua tampaknya bergembira, karena tidak ada peserta yang harus merasa kalah. Tak
ada layang-layang yang harus putus untuk kemudian rebah ke tanah.
klimaks
Industry/Domain: Biology Category: Ecology
Tahap puncak dari suksesi tumbuhan di ekosistem tertentu. Komunitas klimaks
cenderung menuju kedewasaan...
klimaks
Industry/Domain: Biology Category: Ecology
Mantap, tahap akhir dalam ekologi evolusi dari berbagai spesies tanaman dan hewan
disebut sebagai klimaks....
klimaks edafis
Industry/Domain: Garden Category: Gardening
Tahapn klimaks yang ditentukan oleh faktor yang terkait dengan tanah, pH, drainase,
kadar garam, dll....
komunitas klimaks
klimaks, puncak
Industry/Domain: Literature Category: General literature
See plot.
komunitas klimaks
Industry/Domain: Geography Category: Physical geography
Tahap dalam suksesi komunitas dimana komunitas menjadi relatif stabil melalui
penyesuaian sukses lingkungannya....
vegetasi klimaks
Industry/Domain: Geography Category: Physical geography
Kombinasi vegetasi dominan dan stabil dicapai secara alami dalam kondisi
lingkungan tertentu selama jangka...
klimaks
Industry/Domain: Agriculture Category: Rice science
Sebuah komunitas tanaman dari jenis yang paling maju mampu pengembangan di
bawah, dan dalam kesetimbangan...
suksesi primer
Industry/Domain: Geography Category: Physical geography
Kolonisasi daerah yang sebelumnya tandus oleh komunitas dan perkembangan
tanaman ke sebuah komunitas klimaks....