Untuk membuka tulisan ini saya ingin menceritakan kisah yang
dituturkan Arief Budiman tentang adiknya yang mati muda: Soe Hok Gie. Soe Hok Gie pergi ke pendakian Semeru yang merenggut jiwanya setelah bercerita tentang kesepian sebagai intelektual kritis yang makin lama punya semakin banyak musuh dan semakin sedikit kawan. Ia berangkat dengan mempertanyakan apa tujuan dari segala yang ia lakukan, apakah hidupnya sia- sia saja. Arief Budiman menjawab pertanyaan adiknya dengan kesaksian. Sewaktu jenazah Soe diinapkan di rumah seorang Kepala Desa di Malang, tukang peti yang mengetahui bahwa itu adalah jenazah Soe menangis dan terus menangis ketika ditanya mengapa. Ia hanya sempat bilang, “Dia orang berani. Sayang dia meninggal...” Lalu ketika jenazah itu dibawa terbang oleh pesawat AURI dan singgah di Yogya, pilot yang mengemudikan pesawat duduk-duduk bersama Arief, menyatakan kesedihannya, “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak jika hidup terus....” Saya adalah tukang peti mati dan pilot itu. Suara mereka sekarang adalah suara saya untuk Henriette Marianne Katoppo. Saya tidak tahu apakah Ibu Marianne sebagai aktivis yang sering berlawanan dengan mainstream juga kesepian seperti Soe Hok Gie, saya yang tidak pernah berjumpa dengannya hanya ingin menuliskan penghormatan saya untuk beliau. Henriette Marianne Katoppo sebagai perempuan adalah sosok yang menarik perhatian saya pada waktu saya masih belia. Saya mengenalnya melalui Malam, novel Elie Wiesel yang menceritakan penderitaan orang Yahudi dalam kamp Nazi, novel yang dalam pengantarnya disebut Mochtar Lubis “seharusnya menjadi bacaan wajib bagi setiap anak manusia.....” Saya ingat saya membaca novel terjemahan ini dengan sangat nyaman, sebuah tanda hasil penerjemahan yang sangat baik. Ketika saya membaca nama penerjemahnya, saya langsung menandainya sebagai perempuan yang hebat, hebat dalam berbahasa dan dalam memilih karya untuk diterjemahkan. Saya lalu mendengar namanya lagi dalam buku pelajaran sastra Indonesia. Raumanen. Novel pertamanya langsung memenangkan Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975, Hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1978, dan South East Asian Write Award tahun 1982 (ia satu-satunya perempuan Indonesia yang pernah menerima hadiah ini). Saya mencari buku itu dan menemukannya. Itu adalah jenis buku yang tidak akan disetujui ibu saya untuk dibaca seorang anak SMP. Setelah membaca Raumanen, saya kehilangan jejak karya-karyanya. Saya lalu mengabaikannya, tidak mencari tahu lebih banyak lagi tentang beliau. Saya hanya membaca tentang dia sambil lalu, bahwa ia mahir 10 bahasa (!) dan adik dari Aristides Katoppo, mantan Pemred Sinar Harapan yang dibredel tahun 1986. Saya lalu membaca Ayu Utami dan Djenar tapi seperti rasa kopi lama, saya ingat ada ”roso” dari Raumanen yang tidak saya dapatkan dari para penulis perempuan itu. Dalam pertemuan saya dengan karya lain yang luar biasa, saya kembali berjumpa dengan namanya. Saya membaca Lapar dari Knut Hamsun dan lagi- lagi saya menemukan bahwa Ibu Marianne Katoppo-lah adalah penerjemah novel itu. Kemampuan berbahasanya sangat mengagumkan, menerjemahkan Lapar bukan hal yang mudah. Novel itu novel psikologis dari seseorang yang berasal dari Skandinavia yang tentu saja memiliki budaya dan ”roso” yang jauh dari kita tapi saya tidak menemukan cela dalam terjemahannya. Itu masih belum cukup untuk membuat saya mencari tahu lebih banyak lagi tentang beliau. Kedatangan saya ke tanah Minahasa juga tidak membuat saya mencari tahu tentang jejaknya di tanah kelahirannya. Sampai beberapa hari lalu saya membaca sebuah obituari di koran lokal, bukan di halaman pertama atau kedua, tempat yang sering mereka berikan untuk obituari mantan pejabat, tapi di halaman kedua sebelum terakhir. Saya membaca tulisan seorang pendeta. Saya terkejut dan menyesal. Semakin saya membaca lebih jauh semakin besar penyesalan saya. Dari tulisan itu saya tahu bahwa ia adalah seorang teolog feminis pertama di Asia. Dari tulisan itu saya tahu bukunya, ”Compassionate and Free” menjadi textbook sekolah-sekolah teologi Asia bahkan dunia. Saya, orang yang belum pernah bertemu dengan beliau menyesal karena tidak mencari tahu lebih banyak tentang dia sedari dulu. Saya merasakan penyesalan yang sama seperti penyesalan yang saya rasakan ketika Romo Mangun wafat. Saya juga sedih ketika membaca bahwa ia begitu berkeinginan untuk kembali ke tanah kelahirannya, mengajar di Universitas Kristen Tomohon, keinginan yang tidak kesampaian. Untuk menghormatinya, saya mengumpulkan beberapa tulisan dan mulai menuliskan ini: “Saya sering disebut sebagai musuh Kartini,” begitu pengakuannya dalam sebuah wawancara. Agak getir. Ia mendapat sebutan itu karena menyatakan bahwa peranan Kartini tidak sebesar yang diduga orang. Ada perempuan-perempuan lain yang menurutnya lebih revolusioner dalam memperjuangkan haknya, menyatukan pemikiran dengan tindakan seperti Dewi Sartika di Pasundan dan Tjoet Nyak Dhien di tanah rencong. Jadi bukan berarti ia tidak menghormati Kartini. Ia, dalam kewajiban keilmuannya, sebagai orang yang tahu lebih banyak, berkewajiban menyampaikan bahwa Kartini bukan satu-satunya pejuang perempuan Indonesia dan bahwa publikasi tentang Kartini barangkali tidak bebas dari tujuan pelaksanaan politik etis Belanda. Kartini adalah sosok yang dekat dengan Belanda sementara ada perempuan-perempuan lain yang nonkooperatif dengan Belanda kurang mendapatkan publikasi meski karya-karya mereka lebih nyata dari Kartini. Adalah beban pengetahuan juga yang menyebabkan ia semenjak tahun 1978, berkeras menggunakan kata “perempuan” ketimbang “wanita”. Ia mengetahui asal muasal kedua kata itu sementara banyak dari kita tidak mengetahuinya. Perempuan menurutnya berarti sangat dalam dan sama sekali berbeda dengan wanita. Perempuan adalah “empu”, seorang ahli. Perumpamaannya adalah Mpu jari (jempol), fungsi mpu jari dalam semua aktivitas jari tangan sangat menentukan. Jika maknanya disejajarkan, perempuan adalah orang yang memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya. Berbeda dengan “wanita” yang dalam terminologi Jawa berasal dari “wani nek ditoto” (berani jika ditata, keberaniannya hanya ada kalau orang lain memintanya). Perempuan adalah subjek yang melakoni sesuatu, yang mempengaruhi sesuatu sementara “wanita” adalah objek yang hampir tidak memiliki kehendak, bergerak hanya karena kekuatan di luar dirinya. Dia hanya mau dipuja, diagungkan, dan –dalam bahasa sekarang- dieksploitasi. Pengetahuan, pemahaman akan jaman, dan compassion juga membawanya ke Manila pada tahun 1995. Ia mewakili Pramoedya Ananta Toer yang masih kena cekal, menerima penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. Cukup berat tentu salib yang dipikulnya karena penghargaan itu di tanah air menuai protes yang sangat keras baik dari kalangan sastrawan maupun masyarakat awam sastra. Jalan seorang intelektual yang bebas mungkin memang jalan yang sunyi, seperti yang Gie bilang. Bukunya, “Compassionate and Free, Asian Women Theology” yang ditulisnya dan diterbitkan Dewan Gereja Dunia di Jenewa Swiss pada tahun 1979, menjadi textbook teologi feminis di banyak negara, telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa tapi di Indonesia sendiri buku itu dilarang. Di dalam modul teolog feminis alamamaternya, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, tidak ada nama Marianne Katoppo.... Tapi seorang Marianne Katoppo dengan lakon yang telah saya sebutkan di atas bukan orang yang layu karena kritik. Ia seorang penulis kawakan yang mulai menulis sejak usia 8 tahun. Selain Raumanen, ia menulis pula Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978), dan Rumah di Atas Jembatan (1981). Jika iman adalah sesuatu yang dinamis maka Marianne Katoppo adalah orang yang rajin menuliskan dinamika imannya. Baik dalam Raumanen maupun dalam Compassionate and Free, dengan berani ia membedah imannya yang berarti membedah dirinya sendiri, suka dan lukanya sebagai seorang perempuan Asia yang Kristen. Dalam karya-karyanya sebagai seorang aktivis feminis, Marianne menegaskan pentingnya kemandirian perempuan, termasuk kemandirian dalam iman yang berarti keberanian melepaskan diri dari kungkungan kebudayaan luar yang asing. Perempuan harus bisa membebaskan dirinya dari nilai-nilai pinjaman atau ideologi yang tidak ia akrabi, begitu sering ia tegaskan. Perjalanan imannya adalah perjalanan yang jauh. Tahun 1963 setamat Sekolah Theologi Jakarta ia melanjutkan pendidikannya ke International Christian University di Tokyo. Ia kemudian bekerja sebagai peneliti naskah di salah satu penerbitan tertua dunia, British and Foreign Bible Society. Kemudian ia pindah bekerja menjadi salah seorang Sales Assistant Svenska Pressbyran, Swedia (1972-1974). Ia juga pernah bekerja selama 3 tahun sebagai editor di Yayasan Obor Indonesia, membantu Mochtar Lubis. Pengalamannya berkeliling berbagai negara membuat ia menguasai setidaknya 10 bahasa asing termasuk bahasa Yunani dan Ibrani. Marianne Katoppo yang sering dipanggil Jettie di antara teman dan keluarganya juga adalah anggota pendiri dan mantan Koordinator Eucumenical Association of Third World Theologians (EATWOT) Indonesia (1982), pendiri Forum Demokrasi bersama Gus Dur dkk (1991), Kelompok Hapus Hukuman Mati (HATI) (1980), dan International Council World Conference for Religion and Peace (1989-1994). Teman-temannya bukan saja dari kalangan Protestan, tetapi Katolik dan Ortodoks, kalangan Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, Sikh. Karyanya menunjukkan iman tidak beku sebagai hal yang melulu eksklusif, individualis, tapi cair jadi hal yang ditunjukkan pada orang banyak dan diperjuangkan. Dalam sosoknya yang bebas ia menunjukkan sosok Tuhan yang mampu bikin tunduk dalam kemerdekaan kita. Keterlibatannya pada pergumulan pluralisme dan multikulturalisme adalah sejalan dengan teologi pembebasannya: teologi perempuan. Berangkat dari pilihan ini ia menyerukan agar konsep Imago Dei diterjemahkan dalam perjuangan untuk mencapai kondisi manusia yang penuh, utuh, Liberation Theology Toward Full Humanity. Ia menyeru agar iman dibawa dan diimplementasikan dalam dunia, hidup sehari-hari, dalam karya untuk kemanusiaan yang penuh. Semoga, dalam kondisi telah mencapai ”live life to the fullest” inilah beliau dipanggil oleh Tete manis sehingga ia tergolong dalam kelompok orang yang dapat menyanyikan puisi (saya lupa penulisnya) ”segalanya telah dibersihkan, meja telah siap, biarlah malam datang”.