NIM 13010119130067
Sastra Kontemporer
Ketika membaca Ziarah saya pun bertanya-tanya tentang ziarah itu sendiri. Apakah
ziarah yang dimaksud adalah ziarah kunjungan ke tempat yang dianggap keramat/mulia
misalnya makam, atau kah kunjungan kepada diri sendiri‒dalam arti berkunjung ke
kemanusiaan seperti dalam kutipan, “Tiap langkah adalah dia yang ziarah pada
kemanusiaan. Pada dirinya sendiri.” (Halaman 221). Sebetulnya saya tidak ingin
mengambil pusing. Tetapi, justru kemudian timbul pertanyaan lain. Apakah dalam
dan mendoakan orang yang sudah mati―tetapi lupa untuk mengunjungi, mendoakan,
Tak hanya itu, kemudian saya sampai pada sesuatu yang belakangan cukup terpikirkan
oleh saya. Mengapa orang-orang sering menangis tersedu-sedu ketika ditinggal yang
mati? Apa yang membuat mereka menangis? Bukankah kematian hanyalah fenomena
sehari-hari layaknya hujan? Tetapi, lantas saya sedikit mengerti bahwa meskipun
mereka mati ingatan tentang mereka tetap hidup. Walaupun saya tetap merasa kesal
dengan kenyataan bahwa seringkali ketika ia hidup, ia tidak dianggap dan disia-siakan.
Pertanyaan selanjutnya, lalu untuk apa orang menangisi manusia mati yang ketika hidup
tidak dipedulikan? Barangkali ini jawabannya, “Setiap manusia hidup terikat pada
manusia mati tertentu. Semiskinnya seorang manusia hidup, ia setidaknya pastilah ada
memiliki satu, atau lebih, kerabat yang telah mati. Lembaga yang mengesahkan rasa
puas pemikiran ini adalah: kuburan.” (Halaman 84). Oleh karena itu, keluarga saya pun
rajin ke kuburan. Perkara saya kadang ikut, kadang tidak, tentu itu persoalan lain.
Bagi saya, ada sindiran lain yang ditujukan untuk manusia. Kita masih sering membagi-
“Ya, jenis. Ada mayat yang menjadi mayat karena dibunuh. Ini pun ada
yang jadi mayat karena dibunuh secara tak sah. Contohnya terlalu
Tentu kita tidak asing dengan media yang memberitakan kematian dengan embel-embel
jenis mayat, misalnya berita mayat wanita cantik tanpa busana ditemukan di
perumahan mewah. Padahal, mayat hanya mayat‒manusia mati, seperti kata Tokoh
Kita, “Bukan semua mayat adalah mayat. Manusia mati. Titik.” (Halaman 169).
Pernyataan dan pertanyaan yang muncul dalam benak saya atau pun dalam buku
tersebut seperti memenuhi gelas kosong di atas meja. Maka jelas bahwa Ziarah disebut
sebagai novel yang banyak mengandung ajaran filsafat. Beragam pertanyaan, renungan,
penyebutan tokoh filsafat dan ajarannya, akan pembaca temukan di sana. Oleh
karenanya, terkadang saya merasa perlu mengulang membaca beberapa bagian. Meski
novel ini sangat berat dan serius, saya rasa Iwan berusaha menyisipkan sedikit humor di
dalamnya. Misalnya, “Stop! Persetan dengan tuan Kant! Ppp...eh, siapa sebenarnya
tuan yang bernama Kant?” atau yang lainnya “Terima kasih! Saya sungguh terharu,
dan bangga sekali, pernah bekerja sama dengan Saudara...eh, siapakah nama Saudara
Laporan Membaca Merahnya Merah Karya Iwan Simatupang
Setelah saya membaca Merahnya Merah yang ditulis oleh Iwan Simatupang. Saya
mencapai kemerdekaan―yang kita rasakan saat ini―tidak serta merta membuat semua
orang sejahtera.
Kesimpulan tersebut saya peroleh dari kisah hidup Tokoh Kita. Semula dia menjadi
murid terpandai di seminari. Dia menjadi harapan semua orang kelak akan menduduki
jabaan penting di Gereja Katolik. Tetapi, nasib berkata lain. Dia menjadi seorang
perwira, kemudian algojo. Setelah revolusi berakhir, dia menjadi seorang gelandangan.
Kemudian sekali, jadi perwira dan algojo, atas nama revolusi. Dan
setelah revolusi berakhir, dia jadi bekas perwira dan bekas algojo, yang
Lewat Tokoh Kita pun, seolah saya melihat bahwa setelah revolusi masih ada
perjuangan yang akan terus kita tempuh. Potret kehidupan Tokoh Kita ketika berbaur
dengan para gelandangan lain serta kasus hilangnya Fifi dan Maria bagi saya
menegaskan fakta bahwa banyak sekali gelandangan yang terus menerus hilang dan
tidak pernah mendapat perhatian kita. Kehadiran mereka seakan hanya bayang-bayang
saja.
Akhir kisah Tokoh Kita pun tragis karena dia mati dalam keadaan tidak sempurna,
kepalanya dipenggal oleh Pak Centeng-yang ikut mati juga saat itu karena tertembak.
Lantas saya ingat perkataan selebgram yang disebut sebagai crazy rich dari Medan
bahwa miskin adalah privilese. Apakah menjadi gelandangan adalah sebuah hak
mereka tidak dipedulikan oleh sejarah, tidak ada gelandangan (orang miskin) mana pun
yang kemudian namanya dijadikan sebagai nama universitas atau museum. Seperti yang
hilang. Tak tentu rimbanya. Dan sejarah tak ada bikin rebut apa-apa. Bila
di masa datang sekian gelandangan bakal hilang lagi, siapa pula yang
jenis mereka. Dari mereka sendiri belum pernah ada yang tampil menulis
Pada akhirnya, meski revolusi telah berakhir kita tetap harus berjuang untuk
Kebahagian adalah sesuatu yang abstrak. Pencarian atas yang abstrak itu seringkali
membuat orang yang mencarinya akan mudah merasa gelisah dan putus asa. Saya
melihat bahwa lewat tokoh Barman seolah kita dihadapkan dengan kenyataan tentang
manusia yang terus menerus mencari kebahagian. Tetapi, dengan mencari justru
menyimpulkan bahwa novel ini memberikan pesan kepada pembaca agar tidak mudah
terpengaruh dengan orang lain, seperti Barman yang terpengaruh dengan perkataan
Humam, justru pembacaan kali ini saya menemukan yang lain. Hal yang saya maksud
Barman adalah tokoh yang digambarkan sudah pensiun dan memiliki segalanya untuk
ukuran laki-laki berusia 65 tahun. Dia memiliki istri muda yang bersedia melayaninya.
Sedangkan untuk masalah kebutuhan primer maupun sekunder, dia benar-benar tidak
ambil pusing. Dia bahkan memiliki anak yang sangat menyayanginya. Popi adalah
wanita yang dipilih oleh Bobi, anaknya, untuk menemani masa tua Barman di gunung.
Pada mulanya Barman merasa bahagia atas kenikmatan yang ada di depan mata.
“Dunia adalah Barman tua dan Popi, yang muda dan cantik. . . Ia merasa segar,
hingga pikirannya ialah menelepon anaknya si Bobi untuk mengatakan perasaan itu.
"Aku gembira sekali, Bob." (Halaman 12). Dalam teks lain juga disebutkan, “Laki-laki
tua patut juga mendapat pasangan perempuan muda dan cantik. Ia senang bukan main,
hanya dalam sehari, perjalanan sudah berbuah.” (Halaman 15-16). Dia merasa bangga
dengan kisah hidupnya saat itu. “Kalau suatu kali sejarah hidupnya akan ditulis juga,
barangkali oleh cucunya atau siapa, bagian hidupnya yang terakhir inilah yang harus
Tetapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ketika dia bertemu Humam. Dia merasa
gelisah. Sedangkan Popi meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Tidak ada hal yang
perlu dipermasalahkan. “Malam hari Barman tak mau tertidur. matanya membuka
ini tidak ada lagi persoalan. tak ada yang dikhawatirkan. Sedikitpun tidak.” (Halaman
52).
Dia merasa ada hal yang hilang darinya dan harus segera ditemukan. Dia mencari
kebahagiaan yang dilukiskan dari sorot mata Humam. Dia terus mencari-cari.
Sementara itu, dia merasa hidupnya tidak memiliki arti dan hampa hingga kemudian
waktu, sekarang memenjarakanku. Sementara aku tak ingin apa-apa dalam hidup, ia
meminta aku untuk berpikir. Atau, seperti aku ingin sesuatu yang tak mungkin.”
(Halaman 87).
Lantas hal yang saya peroleh dari pembacaan novel ini mengantarkan saya pada salah
satu perkataan seorang mentor di SMA―yang sejak saya mendengarnya saya ingin
menggelikan bagi sebagian orang. “Bagaimana bisa membahagiakan orang lain jika
dsb―setelah saya gunakan. Sebab jika tidak, ibu saya yang kelelahan pulang dari
tempat kerja akan mengabsen kami―siapa dari kelima anak―yang belum mencucinya.
Jika kebetulan sang pelaku merasa tidak bisa membersihkannya, ibu saya akan
Jika hal itu terjadi, tentu dapat menambah rasa lelah dan menyita waktu istirahat serta
mengurangi kebahagiannya. Tetapi jika saya segera melakukannya, ibu akan senang
melihat tempat cucian piring yang bersih, sehingga dia dapat langsung membersihkan
diri dan beristirahat. Saya percaya bahwa itu adalah kebahagiaan kecil yang bisa saya
jawabannya jelas, saya menjadi pribadi yang tidak menunda pekerjaan dan itu sangat
berimbas pada kegiatan yang saya lakukan sehari-hari. Kebahagian yang lain, saya
senang dengan keadaan rumah yang tenteram. Saya senang melihat ibu merebahkan
Contoh yang saya sebutkan di atas hanya contoh yang barangkali terkesan subjektif.
Tetapi, hidup memang tidak pernah memberikan penjelasan. Seperti dalam kutipan
novel tersebut, “Hidup, yang menyeret-nyeret. Yang tak terpahamkan.” (Halaman 220.)
Bagi saya, cara menikmati kebahagiaan dalam hidup adalah dengan memercayai