Anda di halaman 1dari 7

http://media.kompasiana.

com/buku/2011/04/25/review-novel-canting-tiupan-nafaskehidupan-jawa-dalam-lelakon-batik/ dina sulistyningtias

(Review Novel) CANTING : Tiupan Nafas Kehidupan Jawa dalam Lelakon Batik
REP | 25 April 2011 | 11:49 menilai inspiratif Dibaca: 397 Komentar: 53 4 dari 6 Kompasianer

Pada masa kejayaannya, batik tulis, tak hanya menampilkan sebuah barang berbentuk kain bercorak semata. Proses didalamnya, bagaimana Canting, carat tembaga untuk membatik, yang ditiup dengan napas dan perasaan oleh para buruh batik, menjadikannya sebuah masterpiece, karya terbesar, warisan budaya yang adiluhung dari Tanah Jawa.

gambar diambil dari plixi.com Novel Canting, sebuah roman keluarga begitu sang penulis Arswendo Atmowiloto menyebutkan istilah novelnya. Keluarga Ngabean Sestrokusuman, sebuah keluarga priyayi, kasta tinggi di Jawa, yang juga menjalankan usaha batik tulis, menjadi isi cerita dengan tokoh sentral : Pak Bei, sang ayah dan Ni, anak bungsunya. Pak Bei, adalah generasi pertama keluarga Ngabean yang mendobrak tradisi dengan menikahi anak buruh. Karenanya, dia disebut sebagai aeng-aneh, berbuat yang tidak Jawa. Digambarkan memiliki sifat sak karepe dewe-seenaknya sendiri, malas, hidup bergantung dari penghasilan sang istri, tetapi juga bersifat bijak, tegas, berwibawa, berwawasan luas dan sangat mengagumi sang istri.

Istrinya, Bu Bei, cepat beradaptasi dari seorang anak buruh batik menjadi seorang istri yang bekti-patuh pada suami, sekaligus pengusaha dan penjual batik yang trengginas, yang mampu mengatasi hal-hal sekecil apapun baik itu menyangkut buruh-buruhnya, pembelinya di pasar, maupun adik dan kakak suami yang sering menggerogotinya. Kehamilan Bu Bei yang ke-6 kalinya, adalah titik balik kisah ini. Kehamilan yang membuahkan seorang putri yang terlahir dengan fisik yang berbeda dengan kelima anaknya yang lain, sempat memunculkan prasangka bahwa Ni, anak ke-6 itu, bukan putri kandung dari Pak Bei. Ni diceritakan tumbuh menjadi seorang gadis yang keras kepala, tetapi juga peka dengan keadaan sekelilingnya. Saat kakak laki-lakinya menghamili temannya, seorang anak buruh; juga ketika kakak perempuannya memanfaatkan kebaikan para buruh untuk kepentingannya sendiri sampai mereka ditangkap polisi, Ni-lah yang pertama kali maju ke depan untuk menantang kebijakan ayahnya . Saat acara wolung windu, ulang tahun pak Bei yang ke 64, Ni mengutarakan niatnya. Niat untuk meneruskan usaha pembatikan, demi membalas budi kebaikan para buruh, semakin menjelaskan bahwa Ni adalah generasi kedua setelah ayahnya, yang dianggap tidak Jawa. Niat yang membuatnya hampir dituding sebagai penyebab kematian ibunya Adalah para buruh, yang merupakan inti dari cerita novel ini sendiri. Banyak sisi kemanusiaan yang paling mendasar, bisa diambil dari cerita para buruh ini. Bagaimana mereka hidup, bersyukur dan mengabdi, tergambar jelas disini. Makanya, ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah bagian yang pokok dari mengutarakan rasa bersyukur. Kepasrahan-penyerahan secara ikhlas-adalah sesuatu yang wajar. Bukan kalah. Bukan mengalah (hal 161). Potret kehidupan wong cilik, yang nerimo-pasrah, ikhlas dan tak pernah neko-neko. Sangat biasa. Sangat sederhana. Bagian akhir menceritakan bagaimana Batik jenis printing-cetak perlahan mengikis pasar batik tulis yang mahal. Modernisasi menuntut hasil yang efektif, tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga kerja, hampir membuat Ni menyerah. Saat kesadarannya pulih, Ni mencari jalan keluar kegelisahannya dengan membangkitkan sosok buruh batik dalam dirinya. Ni

merasa, mereka inilah sesungguhnya manusia-manusia perkasa yang bisa mendongak menatap matahari, dengan mata menunduk. Mereka inilah yang menemukan cara hidup yang tetap hormat, dengan menenggelamkan diri (hal 401). Ni memutuskan melepas cap Canting dan menyerahkan kepada perusahaan besar. Mereka membeli, dan menjualnya dengan cap milik mereka. Dengan jalan seperti inilah, para buruh itu tetap hidup, tetap bekerja demikian pula dengan usaha batiknya. Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit,. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri (hal 403). **** Novel terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini bukanlah novel keluaran terbaru. Muatan filosofi yang kuat yang terkandung didalamnya membuat saya tertarik untuk mengulasnya. Menarik, karena kebetulan latar belakangnya adalah etnis Jawa, budaya yang saya kenal lebih dekat. Penggambaran masing-masing tokoh dengan sifat baik dan buruknya, membuat novel ini sangat humanis, manusiawi. Kalaupun ada yang sedikit mengganggu, adalah dialog dari seorang tokoh yang gemar berbicara panjang, dalam hal ini Pak Bei. Pembicaraan panjang yang masih diucapkan oleh satu orang, dipisahkan oleh paragraf yang kesemuanya diawali dengan dua tanda petik. Bagi saya, hal itu membingungkan, beberapa kali sempat mengulang agar mengerti apakah dialog tersebut diucapkan oleh orang yang sama atau tidak. Itu saja. Selainnya, hampir semuanya sempurna. Bagi yang ingin tahu kehidupan Jawa dengan segala sisi baik buruknya, bagaimana kehidupan pasar menjadikan wanita tak hanya sebagai ratu rumah tangga, proses pembatikan yang melibatkan nyawa dan rasa dari mereka yang terlibat di dalamnya, juga belajar keikhlasan dari guru kehidupan yang berlabel wong cilik, saya sarankan untuk membacanya. Its highly recommended !! Budina NB : buat seorang kawan, hutang udah lunas ya.

http://www.goodreads.com/book/show/2090345.Canting

Canting
by Arswendo Atmowiloto 3.70 rating details 211 ratings 48 reviews Cerita tentang batik canting yang mewakili budaya yang terkalahkan. Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni---sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean---yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses. Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. "Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera." Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng---aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa.

Wednesday, December 12, 2007

Arswendo Atmowiloto
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Arswendo Atmowiloto

Arswendo Atmowiloto (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948; umur 63 tahun) adalah penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan KOMPAS. Mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkannyalah nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.

[sunting] Kehidupan pribadi


Pada tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW (Nabi umat Muslim) yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara. Selama dalam tahanan, Arswendo menghasilkan tujuh buah novel, puluhan artikel, tiga naskah skenario dan sejumlah cerita bersambung. Sebagian dikirimkannya ke berbagai surat kabar, seperti KOMPAS, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Semuanya dengan menggunakan alamat dan identitas palsu. Untuk cerita bersambungnya, "Sudesi" (Sukses dengan Satu Istri), di harian "Kompas", ia menggunakan nama "Sukmo Sasmito". Untuk "Auk" yang dimuat di "Suara Pembaruan" ia memakai nama "Lani Biki", kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Nama-nama lain pernah dipakainya adalah "Said Saat" dan "B.M.D Harahap". Setelah menjalani hukuman 5 tahun ia dibebaskan dan kemudian kembali ke profesi lamanya. Ia menemui Sudwikatmono yang menerbitkan tabloid Bintang Indonesia yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil menghidupkan tabloid itu. Namun Arswendo hanya bertahan tiga tahun di situ, karena ia kemudian mendirikan perusahaannya sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah, yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina (kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Saat ini selain masih aktif menulis ia juga memiliki sebuah rumah produksi sinetron. Kakaknya, Satmowi Atmowiloto, adalah seorang kartunis.
http://sastratinta.blogspot.com/2010/08/biografi-tokoh-sastra-indonesia.html

PEMBELAJARAN PUISI
Pembelajaran Puisi Dalam kegiatan belajar mengajar, strategi pembelajaran, khususnya metode pembelajaran mempunyai peranan penting. Machfudz (2000) mengutip penjelasan Edward

M. Anthony (dalam H. Allen and Robert, 1972) yang menyatakan bahwa istilah metode berarti perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini bersifat prosedural dalam arti penerapan suatu metode dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar. Sayuti (1985:213) menyatakan bahwa penggunaan metode yang tepat akan banyak berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Akan tetapi harus disadari pula, bahwa faktor gurulah yang pada akhirnya banyak menentukan berhasilnya pengajaran. Oleh karena itu, guru jangan sampai terbelenggu oleh salah satu metode yang dipilihnya. Menurut pengamatan peneliti, dalam pembelajaran puisi, sangat memungkinkan untuk menerapkan ketujuh prinsip CTL dalam KBK yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Siswa dapat mengontruksikan (contructing) sendiri pemahaman terhadap definisi dan unsur-unsur puisi berdasarkan contoh (modelling). Siswa akan menemukan (inquiry) definisi dan unsur-unsur puisi atas panduan guru. Siswa juga dapat mendiskusikannya hasil temuannya dengan teman sejawat (learning community). Guru dapat mengadakan tanya jawab (questioning) dari temuan-temuan yang sudah didiskusikan sebelumnya. Untuk praktik membacakan puisi, guru dapat memakai contoh (modelling), baik dirinya sendiri (jika merasa sudah berkompeten) atau melalui pratikkan dari media-media pembelajaran membacakan puisi, seperti yang akan dibuat oleh peneliti. Proses pembelajaran dapat direfleksikan (reflection) secara bersama, antara guru dan murid untuk menemukan bentuk pembelajaran yang lebih cocok. Sedangkan evaluasi hasil, dapat dilakukan melalui penilaian sejawat (peer assesment) maupun penilaian guru secara langsung (authentic assesment). Lebih lanjut, Sayuti (1985:213) menjelaskan bahwa secara garis besar, metode pembelajaran dapat dibedakan berdasarkan bahan (materi) pengajaran dan interaksi belajar mengajar. Metode pengajaran yang berhubungan dengan bahasa pengajaran dalam pengajaran puisi banyak berkaitan dengan metode analisis puisi, antara lain (1) metode dikotomi, yaitu sebuah metode yang mendasarkan diri pada pendapat yang menyatakan bahwa puisi itu terdiri dari segi bentuk dan segi isi. Pembagian ini memang sudah sangat umum dan sangat tua usianya, dan sampai kini masih banyak diikuti orang, (2) metode fenomenologi, yaitu sebuah metode ini mendasarkan diri pada pandangan fenomenologis Edmond Husserl yang memandang bahwa suatu karya itu tidak hanya sebagai suatu sistem norma, melainkan juga sebagai suatu susunan lapis norma. Untuk membedakan penilaian terhadap suatu karya. Karya itu, harus dianalisis berdasarkan lapis-lapis norma yang terdapat di dalamnya. Susunan norma itu menjadi tiga lapis, yaitu (1) lapis bunyi, (2) lapis arti, dan (3) lapis objek. Kemudian Ingarden menambahkan dua lapis lagi, yang hanya hakikatnya

lapis-lapis itu tidak dapat dipisahkan, yakni (4) lapis sudut pandangan tertentu tentang dunia, dan (5) lapis nilai metafisik. (3) metode linguistik, yaitu sebuah metode yang menggunakan teori teks menerangkan bagaimana terjadinya himpunan-himpunan kalimat yang pada kahirnya dapat diberi predikat literer, estetis, atau puitis. Menurut Hulshof (dalam Noer Toegiman, 1979), terdapat seperangkat istilah yang diperlukan dalam teori teks. Istilah-istilah itu bukan merupakan istilah asing lagi bagi mereka yang telah mengenal lingustik dan sastra, yaitu struktur luar (surface structure), struktur dalam (deep structure), transformasi (transformation), parafrase (paraphrase), dan interpretasi (interpretation). Struktur luar adalah susuan kalimat atau himpunan kalimat sutau teks atau bagian teks yang akan dibaca atau didengar. Pendek kata, struktur luar sama dengan struktur yang tersurat sebagaimana yang tersaji dalam kondisi siap-pakai, siap-baca. Sedangkan struktur dalam dapat disebut sebagai struktur tersirat. Struktur dalam belum mengalami proses lebih lanjut dalam perumusannya. Untuk mudahnya, dapat dikatakan bahwa struktur dalam berhubungan dengan isi. Sebagai sebuah istilah, transformasi dalam teori teks ialah perubahan struktur dalam menjadi struktur luar. Jadi, dari bentuk tersirat menjadi bentuk tersurat. Melalui transformasi, struktur dalam menjelma menjadi struktur luar. Tahap transformasi ini menjadi bagian utama dalam teori teks. Dalam teori teks, parafrase dipergunakan untuk mengembalikan struktur dalam, mengembalikan struktur bergaya menjadi struktur yang sederhan. Parafrase membuka jalan untuk mengetahui deviasi dan foregrounding yang terdapat pada struktur luar. Apa yang tersirat dalam struktur luar tidak senantiasa dapat diterangkan melalui parafrase saja. Penjelasan lebih lanjut masih diperlukan mengenai konteks dan situasi serta kondisinya, yakni hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan struktur luar dan struktur dalam tersebut. Oleh karena itu, interpretasi diperlukan. Hal ini disebabkan bahwa interpretasi merupakan penjelasan struktur dalam berdasarkan atau memperhatikan konteksnya.

Anda mungkin juga menyukai