Anda di halaman 1dari 23

Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna—

Fasisme, Modernisme, Lirisisme (Bagian I)*

dan aku harus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu.
tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur,
kataku … tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur,
katamu -- (“Di Halaman Belakang”)

pohon jambu itu patah bersama buahnya yang baru tumbuh. aku
sempat melihat buahnya yang masih kecil berwarna hijau tua,
mengingatkanku pada kesepian yang berjalan dari sejumlah nama
yang pernah hilang -- (“Pohon Jambu yang Patah”)

Aku tidak pernah mengenang rambutku lagi setelah memakan buah


mangga itu, dan sisa kulit mangga di pisau. Cerita-cerita kecil
tentang ramalan, cinta dan rejeki. Masa kanak yang jatuh dari sepeda.
Cerita yang membuat cerita lagi agar kita tidak merasa tua … Kita
membersihkan meja makan yang tak ada meja makan itu, memburu
mata sampai halaman belakang seperti mengusir anjing tetangga
yang meminta minum … Kita naik sepeda lagi, mencari musim
mangga di halaman belakang, di halaman masa kanak-kanakmu. --
(“Naik Sepeda di Musim Buah Mangga”)

#
Puisi, bagi Afrizal Malna, tidak lahir dari pena penyair di
ruang kontemplatifnya yang dingin dan sunyi, dari perpustakaan
tempat ia mengolah berbagai khazanah dari pengetahuan dunia,
melainkan dari sepetak ruang di halaman belakang rumah. Di ruang
itulah, puisi lahir dari campur-aduk peristiwa-peristiwa: seorang
keluarga yang kehabisan beras dan air mineral, dan terpaksa
memasak mie dan telur ceplok untuk sarapan paginya (“Bangkai Sapi
dalam Telur Dadar”), pohon-pohon yang ditebang dan burung-
burung yang ditembak; eksekusi mayat tanpa nama (“Halaman
Belakang Bulan Januari”), seorang paman yang mampus dihabisi
ramai-ramai oleh massa (“Atap Bahasa yang Runtuh”), atau anjing
tetangga yang diusir dari sebuah pesta musim mangga di masa
kanak-kanak (“Naik Sepeda di Musim Buah Mangga”) — kejadian-
kejadian traumatik, kadang nostalgis, yang kalang-kabut berlintasan
dalam ingatan penyair.
Di sana, halaman belakang tak selamanya merujuk secara
geografis pada sebuah ruang di belakang rumah, yang sering kali
berbatasan dengan tembok dan pagar orang lain, tapi juga pada apa
saja yang ada di belakang punggung kita: sesuatu yang ingin
dilupakan, tapi terus membuntuti; segala hal yang tak mengenakkan,
menyakitkan, atau menjijikkan, tapi terus menguntit, menghantui
langkah-langkah kita ke depan:

ada sebuah gerobak yang mengikutiku dari belakang. sudah


tiga hari ini. sudah dua jam yang lalu. gerobak itu kelihatan sedih,
membawa sayur-sayuran dari pasar. bau cabe dan daun bawang
menusuk hidungku …
kini, sudah 100 tahun lamanya gerobak itu mengikutiku.
sudah 100 tahun punggungku berbau cabe dan daun bawang. gerobak
itu tak pernah tua. sosoknya tak berubah, tetap seperti diriku saat
usiaku masih kanak-kanak, tetap menganggap tangan itu adalah
bagian dari tubuh tuhan yang dipasang pada manusia. gerobak itu tak
tahu kalau aku sudah mati, 30 tahun yang lalu. diriku seperti kolam
yang melihat bayang-bayangku berenang di dalamnya. tidak, bukan
kolam renang, tetapi gerobak itu.
-- (“Sebuah Gerobak, Dia Bilang”)

Membaca puisi Afrizal, adalah mengeja apa yang telah


ditinggalkan, disisihkan, di halaman belakang. Inilah penyair yang
sepanjang lebih dua dekade kepenyairannya menulis segalanya
dari halaman belakang, dari sebuah ruang demarkasi antarmanusia,
di mana segala kemungkinan terburuk bisa terjadi: dari pertemuan
hingga cekcok, dari sapaan hingga pertikaian. Barangkali benar,
seperti kata orang, Afrizal adalah penyair urban yang paling
konsisten menjelajah ruang urbannya. Ia menjelajah ruang-ruang
yang tak tersentuh di pekatnya kemiskinan di pinggiran ibu kota,
makin sempitnya lahan, dan kehidupan yang makin berjejalan
berbagi, berebut, dan berkonflik di antara manusia-manusianya.
Terlepas dari betapa “profetik”-nya penggambaran Afrizal
atas ruang-ruang ini,** dan kesungguhannya yang mengagumkan
dalam menggali detail-detail ini, tidak seperti banyak kritikusnya
yang mengganggap latar urban sebagai satu-satunya sudut pandang
dalam membacanya, saya melihat, sajak-sajak Afrizal bergerak
dalam latar yang lebih luas, di halaman belakang yang lebih
majemuk. Di sini, jika Emha Ainun Nadjib pernah berujar tentang
Indonesia sebagai kampungku, puisi-puisi Afrizal bahkan telah
meninggalkan dikotomi kota/kampung, dan mengantisipasi berbagai
perubahan kultural, sosial, dan politis yang meluruhkan pembagian-
pembagian itu. Semua itu campur-aduk sedemikian rupa dalam
puisinya, dengan cara tak terduga dan membingungkan, demi
menunjukkan kekalutan, rasa frustasi, kemarahan, dan kemustahilan
yang membayangi Indonesia hari ini.
Ada tiga halaman belakang yang terselip di setiap puisi
Afrizal, dan saya temukan berceceran dalam sajak-sajaknya: fasisme
Orde Baru, modernisme, dan lirisisme — ketiga “hantu besar” yang
menyisip dalam pergulatan puitiknya. Ketiganya berusaha
merepresentasikan situasi Indonesia dalam masa lalu dan
kekiniannya, dalam ranah-ranah politis, kultural, dan estetis yang
menjadi pertanyaan besar bagi penyair ini. Di sini, kita bisa membaca
keberhasilan dan kegagalan Afrizal dalam memberikan jawaban atas
tanda tanya besar itu, harapan, tapi juga frustasinya — yang
barangkali menggambarkan pula sebagian kondisi sastra versus
realitas eksternalnya hari ini.

Atap Bangsa yang Runtuh


(atau Mengapa Setiap Orang Ingin Menjadi Fasis)

Dalam sebuah sajak dari awal kepenyairannya, “Panorama


Kematian Ayah 1”, Afrizal pernah menggambarkan suatu kejadian
tentang kematian seorang ayah, yang secara tak terduga
mengguncang sebuah republik.

Hari ini, rumah jadi mereka yang berlalu. Aku ingin


mengirim karangan bunga ke seluruh pesawat TV, seperti mengirim
Hiroshima ke dalam catatanmu. Tetapi seperti mikrofon terkapar,
pada hari itu pula ia dengar kabar kematian ayah …
Aku naik ke alat-alat pengeras suara, dan menemukan dia
yang mati. Aku naik ke gudang media massa, gedung parlemen,
laboratorium biokimia, dan menemukan dia yang mati.

Ayah, bapak seorang anak, pemimpin keluarga, pagi itu


mati, mendadak; dan kematiannya sontak menimbulkan kesedihan,
tapi sekaligus euforia, hingga seseorang berkata — seperti membaca
sebuah press release:

“Pada dia yang mati, yang dengan kematiannya, telah


menghubungkan bagian-bagian waktu yang hilang, kami, kami
makamkan ayah kami. Wabah kematian ayah, telah mengembalikan
lagi semua yang akan pernah hilang.”

Tak ada yang lebih tepat memetaforkan kekuasaan negara,


kecuali kata “ayah”, figur paternal yang menggambarkan kesatuan
antara kekuasaan, kebenaran, dan otoritas. Tujuh tahun sebelum Orde
Baru runtuh, atau 18 tahun sebelum Soeharto meninggal, puisi itu
telah mengimpikan bahwa suatu saat, “Ayah” (dengan ‘A’ kapital),
Pusat takhta di jantung kekuasaan itu, akan ambruk, tumbang, dan
“semua yang akan pernah hilang” kembali. Ayah-Oedipal itu tak lain
adalah Soeharto, atau Orde Baru itu sendiri (karena keduanya nyaris
tak dapat dibedakan), Sosok yang secara esensial menggambarkan
hasrat fasis negara untuk mengebiri “anak-anak”-nya, para warganya.
Inilah fasisme yang menghantui puisi Afrizal. Dalam puisi-
puisi itu, jika suatu saat Ayah harus mati, itu bukan karena Ayah itu
sendiri jahat, atau tak cukup baik mengemong anak-anaknya, tapi
karena Ayah terlalu lama bicara; ia terlalu suntuk berkata-kata
hingga yang lain harus bungkam. Maka, Ayah pun menjadi fasis; dan
fasisme ini, bagi Afrizal, bermula dari mikrofon dan pengeras-
pengeras suara yang mengepung seantero negeri: kematian Ayah
adalah kematian mikrofon:

Dan mereka bermigrasi di antara usungan-usungan


mikrofon: Memindahkan jenazah ayah, seperti memindahkan
kesedihan, dari wabah kematian lain di luar sana.

Suara Ayah adalah “suara-suara ganjil” yang menciptakan


“mitos-mitos kecemasan” pada warganya (“Mitos-mitos
Kecemasan”). Suara yang mengharuskan seia-sekata, dan membuat
warga negeri ini “mengucap diri dengan bahasa asing”. Kecemasan
ini ternyata begitu merasuk ke dalam, tergambar dari “spiker yang
menatapku dari jendela …dengan jalan-jalan penuh mikrofon, spiker,
dan karbon-karbon terbakar” (“Spiker di Jendela Kereta”). Seperti
imajinasi Orwellian, kita seperti melihat “negeri 1984” terjelma
sempurna di sana: negeri yang tiap inci dindingnya penuh spiker
yang berteriak keras mengabarkan “kemajuan”, “pembangunan”, dan
“keberhasilan” negara, sembari menyembunyikan gerundelan,
rintihan, teriakan, dan keluhan manusia-manusianya di balik tembok.
Di sini, Afrizal mengimpikan — dan kenyataannya terjadi
— bahwa suatu saat, mikrofon itu “pecah”, dan bukan hanya
manusia, tetapi juga benda-benda dan tubuh (“tanganmu penuh
cerita”) dapat berbicara dan memiliki bahasanya sendiri.

Kota hujan dan malam kini jadi benda-benda, pada


tanganmu penuh cerita. Mereka tak ingin lagi jadi siapa pun di situ.
Mikrofon yang pecah telah mengunjungi kota-kota, seperti
pembicara 1 cm di lehermu. Tak ada lagi kata yang bisa mengganti
dirimu. Mikrofon yang pecah kemudian menyemburkan pembaca, di
antara pengeras suara, 1 cm yang lalu, memisahkan kata dari
kenangan.

Personifikasi “Ayah”, yang di masa Orde Baru disimbolkan


dalam ideologi ABS (Asal-Bapak-Senang), tak lengkap tanpa
personifikasi lawan-gendernya, “ibu”, yang-lain daripada Ayah, di
mana kehadiran Ayah seakan tak lengkap tanpanya. Tetapi berbeda
dengan “kehadiran” Ayah yang menyebar di mana-mana, dan
menjelmakan otoritasnya dalam benda-benda (mikrofon, spiker,
radio, dst.), dalam puisi-puisi Afrizal, “ibu” hadir dalam suasana
minor: terpencil, dengan suara yang nyaris sayup tak terdengar. “Ibu”
jarang tampil sendiri sebagai keutuhan pada dirinya; ia terasa kuat
hanya ketika ia hadir sebagai pendamping bagi Ayah, atau,
meminjam Derrida, sebagai suplemen bagi superego Ayah, dalam
satu keutuhan “keluarga”: “Ayah-ibu”. Di sana, “ibu” mendapat arti
kehadirannya hanya ketika ia bersanding dengan otoritas “agung”
Sang Bapak:

Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Ayah dan
ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera telah disiapkan, sejak
300 tahun lalu. Dialog terakhir telah dihafal: “hidup dengan satu
bahasa”.

(“Keluarga Indonesia dalam Ambulan”)


“Ibu” tak dapat berbicara kecuali dengan bahasa Ayah,
“hidup dengan satu bahasa” sesuai petunjuk-Nya. Itu karena “ibu”,
meski pelengkap, suplemen bagi kehadiran Ayah, tetap tak seperti
Ayah, tak akan seperti Ayah. “Ibu” hanyalah pendewasaan dari
seorang gadis kecil yang dulunya membutuhkan perlindungan Ayah:

Di bawah kursi, ibuku seperti gadis kecil, menyimpan


permen dalam mulutnya. Padahal itu bahasa yang
disembunyikannya, sejak menyaksikan: anaknya kupu-kupu plastik,
komik seharga 15 ribu dalam kantong-kantong itu, dalam bahasa
seperti itu.

(“Kesibukan Melarikan Diri”)

Di sini, fasisme bekerja dengan menaturalisasi semua


perbedaan dan potensi perpecahan, perlawanan, dan ketegangan,
dengan menggabungkan paternalisme patriarkis dengan imajinasi
tentang “keutuhan” yang terus dibina dan dijaga, melalui penanda
yang amat menyehari dan dekat dengan kulit dan tubuh kita:
“keluarga”. Imajinasi familial itu menciptakan imajinasi “organik”
tentang bangsa sebagai satu keutuhan — dan adakah yang lebih fasis
dibanding “arkhe-organisme” ini: imajinasi tentang bangsa sebagai
“tubuh” yang tunggal, satu unit political body?
Ketika disintegrasi, dengan lepasnya Timor Leste, menimpa
Indonesia selepas reformasi, dan ancaman tentangnya terus-menerus
menghantui republik, seakan terdapat pembenaran bagi harapan
Afrizal, bahwa suatu saat, entah kapan, bahkan sejak saat ini, tubuh-
bangsa itu akan menyadari bahwa dirinya tak akan benar-benar utuh,
bahwa “rumah-bangsa” ini dibangun dari bahasa yang retak, dari atap
bahasa yang (sewaktu-waktu dapat) runtuh. Bangsa adalah sebuah
“keluarga Indonesia dalam ambulan”, yang selalu dalam
kegentingan, yang normalitasnya dijaga dengan kecemasan
terpendam, tapi tak diakui.
Orde Baru telah guling, Soeharto telah hempas dari muka
bumi, dan kini orang bernapas dalam iklim kebebasan dan
demokrasi; tanda tanya yang tertinggal di kaki puisi Afrizal pun
muncul: masihkah penting berbicara tentang fasisme? Bukankah
negara, yang dulu kukuh dan menjadi satu-satunya aktor, kian maya
dan menjadi boneka dari tangan-tangan tak terlihat di baliknya?
Tak ada jawaban persis dari puisi-puisi Afrizal, kecuali
bahwa dalam sajak-sajak terbarunya, ia kembali mengangkat
kecemasan-kecemasannya yang lama, antipatinya pada suara “Ayah
Besar” yang telah hilang, terlihat dari penggunaan kata-kata
“mikofon”, “pidato”, atau “gergaji”, idiom-idiom lama dari puisi
Afrizal di tahun 1990-an. Perbedaannya, pada puisi-puisi 1990-an,
suara-suara yang ditampilkan cenderung monologal (dengan segala
kemajemukan perspektifnya); pada puisi pasca-reformasi, suara-
suara itu meruyak tak terkontrol dari sekian banyak aktor yang tidak
jelas, begitu bising, kacau, dan gaduh.

Jam 4 siang nanti, Mono, Mogan, Budi, tenda-tenda


perubahan, kesenian yang terbongkar mendengar teriakannya
sendiri, jam 11 siang, Andre, Lili, Bunda, panggung untuk cinta dan
kemarahan, Mualim, Labbes, Ibau, Tamba, jam 6 sore, kemana
Garin pergi, kemana Sitok pergi. Busro, Lulu, Indra, Romi, ada isu
dari telpon, teror lima ratus perak, paranoia-paranoia yang terus
membuat politik dari singkong goreng, seni, seni yang hidup di
dalam bacot, jam 9 malam nanti, kemana Jabo pergi, Fahmi
membuat Padamu Negeri di sana. De Rantau berteriak taik …

(“Reformasi Jam 1 Siang dan Telur Asin”)

Hayo, sobek, pecahkan, bakar. Jangan. Hancurkan, bunuh,


ayo, bubarkan. Tak ada lagi waktu. Pecat. Adili. Tembak mati. Siksa.
Jangan. Ayo. Culik. Stop! Jangan memaksa. Tanganmu seperti beton
trotoar. Jangan pake besi. Sudah! Kemanusiaanmu kayak telur asin
busuk. Mereka penjahat. Goblok. Anjing. Kecoa. Betisnya penuh
cacing dan sosis. Kaca matanya emas. Dalam arlojinya ada lima
negara. Termasuk negaramu sendiri. Babi. Mulutmu tidak pake es
batu. Buka lemarinya. Buka. Jangan! Ada kuda lagi melahirkan.
Asbak. Pot-pot kembang. Kabel listrik. Semua anjing lapar sedang
menggonggong. Seluruh HP berbunyi seperti pantat panci di atas
kompor. Hayo bakar. Pintunya ada di situ. Mana? Itu toilet, goblok.
Ini apinya. Stop. Jangan. Hentikan. Leherku salah urat. Hei, mereka
melarikan diri. Tidak! Mereka masih berkuasa, kok. Siapa sih
mereka? Mereka yang menguasai seluruh kata di sini. Jadi, kita
sudah mati, toh? Kok masih tanya? Hayo, makan permen karet ini.
Di pojok situ. Awas ada semut. Ada malaikat. Ada ibu-ibu sedang
mencuci. Awas ada orang sedang mencukur. Ada sungai. Ada hujan.
Awas. Ada orang sedang demo. Mari kita mengheningkan cipta buat
para pahlawan. Gali kuburnya. Lho siapa yang sedang mandi nih?
Emak, saya pulang telat. Tutup lemari itu. Ada periwitan sedang
terbakar, memeriksa seluruh gigi dan bau busuk.

(“Babi di Jendela Mobil”)

Semua ingin ikut ambil bagian, bersuara, mendapat tempat,


dalam parade demokrasi. Semua ingin didengar, dan merasa berhak
didengar. Tapi hal itu sebaliknya menegaskan, secara paradoksal,
bahwa setelah kematian “Ayah Besar”, setelah kekosongan dan
perkabungan atas Pusat-yang-telah-tiada, setiap orang hendak
mengisi kekosongan itu dan menggantikan peran sang Ayah Besar,
menjadi Ayah-ayah Kecil bagi sebuah Republik yang baru
kehilangan figur panutannya. Dengan kata lain, meminjam ungkapan
Félix Guattari, “setiap orang ingin menjadi fasis” (everybody wants
to be a fascist): setiap orang ingin menjadi Ayah bagi Republik-nya
sendiri: setidaknya jika tak berhasil memfasisi orang lain, dengan
menjahili kebebasannya, ia memfasisi dirinya sendiri, dengan
menanamkan norma-norma yang diciptakannya sendiri, untuk
memperkuat keyakinannya pada kebenaran dirinya (indoktrinasi-
diri).
Maka, meski Soeharto telah tiada, aksi fasis Ayah Besar
tetap muncul di zaman demokrasi, dalam bentuk yang kian beragam,
dengan kebutuhan yang tetap membara pada peran paternal sang
Ayah: dalam organisasi keagamaan fundamentalis yang merasa diri
sebagai “polisi moral” bagi masyarakat; dalam etnosentrisme yang
memuja “putra daerah” sebagai panutan politik; dalam kegandrungan
masyarakat kontemporer pada “pengkhotbah” spiritual, “dai”,
“motivator”, atau “penasihat” psikologis, dan seterusnya. Dalam
kosakata lain, apa yang terjadi saat ini, ketika demokrasi menjadi
satu-satunya norma pasca-runtuhnya fasisme totalitarian,
sesungguhnya adalah fasisme yang telah mengalami displacement;
fasisme yang bertransformasi bentuk, namun dengan roh yang sama,
suatu fenomena yang diistilahkan dengan ironik oleh Jonah Goldberg
sebagai “liberal fascism”, fasisme yang berbiak justru dalam rezim
liberal yang dulu menumbangkannya. Suatu fasisme yang
mengklaim diri paling toleran, namun sesungguhnya paling toleran di
antara yang intoleran: demokrasi liberal menoleransi siapa saja
sejauh tidak mengganggu stabilitasnya, tapi tak akan segan
menghabisi dan memerangi apa pun yang berpotensi mengancamnya
(terorisme, dst.).
Dihadapkan pada kondisi itu, sikap Afrizal tampak ambigu.
Di satu sisi, ia memilih pasif dan menahan diri dari ikut ambil bagian
dalam suasana itu:

Kenapa aku harus datang ke rumahmu, memberi nasehat,


membubarkan bank-bank, membenamkan bursa saham ke dasar
laut, memadamkan api di dalam bantal.

(“Pidato-pidato dari Bantal Berasap”)

Di sisi lain, ia tetap menyimpan amarah, rasa kesal, dan


hasrat untuk turut serta dalam setiap perubahan yang terjadi, meski
dengan risiko menjadi fasis:

Revolusi akan datang dari sebuah belahan batu, dari


sebuah ledakan di jantung rakyat. Para perempuan turun ke jalan,
bernyanyi dengan api yang menyembur dari rahimnya. Matahari
pagi memancar dari tangannya. Anak-anak mengubah negara
menjadi taman bermain. Kebusukan negara telah sampai ke dalam
tenggorokan rakyat. Teriakan akan datang dari pagi buta, dari
pohon pisang yang meledak. Dari leluhur yang membuka lagi jejak-
jejak hujan, bau kehidupan yang menyembur dari lorong-lorong air.
Dan memulai lagi segalanya dari sebuah kata tempat orang belajar
kenapa kupu-kupu memilih taman, kenapa pohon pisang memilih
pinggiran sungai. Dan wajahmu, wajahmu yang seperti kuda busuk
itu, penuh dengan cairan ludah anak-anakmu sendiri.

(“Keributan dalam Pohon Pisang”)

Di titik ini, Afrizal tak menunjukkan sikap yang tegas,


selain berteriak dari halaman belakang “demokrasi”. Saya catat,
hanya ada dua identifikasinya yang cukup eksplisit mengenai apa
yang harus dilakukan saat ini: pertama, kembali kepada massa
sebagai pelaku perubahan:
“Aku adalah massa! Massa yang lahir dari atap-atap
rumah yang bocor, dari tembok-tembok yang terbongkar

(“Aku Terbang Bersama Kipas Angin”)

Dengan kata lain, pada solidaritas kolektif kaum marjinal;


dan kedua, dengan mengafirmasi-diri, meski dengan nada bergurau
dan setengah kurang yakin, sebagai seorang komunis:
aku kan seorang komunis yang tersisa di bingkai kanvasmu,
waktu estetika penuh dengan teriakan abad yang lalu

(“Pesta Mr. Art”)

Tampak, ada kebuntuan dalam emansipasi politis Afrizal.


(bersambung)

——————————————————————
* Esai untuk diskusi buku puisi Afrizal Malna, Pada Bantal
Berasap [penerbit Omahsore, Jakarta] di Depok pada 2010,
kemudian dimuat di majalah Horison, edisi Agustus 2010. Terima
kasih kepada Damhuri Muhammad yang memungkinkan esai ini
lahir.
** Juli 2008, masyarakat dikejutkan oleh berita
pembunuhan berangkai oleh Ryan, yang membantai dan membunuh
10 orang, dan memutilasi beberapa di antaranya. Ryan mengubur
para korbannya di halaman belakang rumahnya di Jombang, Jawa
Timur. Setahun berikutnya, Juni 2009, seorang bayi ditemukan tewas
karena aborsi yang gagal, dan dikubur di halaman belakang rumah
ibunya, di Bogor. Halaman belakang seolah memiliki tempat
tersendiri dalam menggambarkan mimpi buruk, trauma, dalam
kehidupan sehari-hari urban — tema penting dalam sajak Afrizal.
Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna —
Fasisme, Modernisme, Lirisisme (Bagian II)*

Setelah Modernisme, Setelah Postmodernisme


Indeks kedua dari puisi-puisi Afrizal adalah titik balik
modernisme dan rekahnya postmodernitas di Indonesia. Jika benar,
seperti diutarakan Mazhab Frankfurt, bahwa fasisme hanyalah
puncak dari akumulasi modernitas yang menikam balik dirinya,
maka perlawanan Afrizal terhadap fasisme modern Orde Baru adalah
perayaan atas kematian modernitas dan ideologinya, modernisme.
Dan memang, Afrizal kemudian ditahbiskan sebagai pelopor
postmodernitas itu dalam perpuisian kita.
Afrizal telah menggeret gerbong itu diam-diam, jauh hari
sebelum 10 tahun kemudian kita menyadari konsekuensi-
konsekuensi terjauh dari gelombang postmodernitas itu, lewat
sajaknya dari 1987, “Hujan di Pagi Hari”:

Tidak seperti yang pernah dibayangkan, dunia tinggal satu-


satunya alasan untuk menjelaskan keadaan kita. Kata-kata
berlewatan, tanpa memerlukan seorang pembicara pun di situ. Kita
menatap, kaca dalam diri sendiri basah. Kisah-kisah lampau tak lagi
mengirim kabar, terbongkar dari ikatan-ikatannya.
Semua yang dibuat, tak bisa lagi jadi penjelasan hari-hari
kita. Membacakan lagi kisah-kisah: kita bukan pusat segala-galanya
bukan. Kita mencium bau tubuh sendiri di situ, seperti mencium bau
obat-obatan. Dan mengusik lagi satu cerita: Tak ada lagi darah
yang mengalir, di lehermu.
Kita pernah membuat rumah, sebuah dunia. Tetapi dengan
merasa heran kita bertanya: Ke mana mau pulang? Segala yang
bergerak diam-diam sedang mengubah dirinya sendiri, hanya untuk
mengenali kembali, jalan-jalan yang pernah dilalui.

Sajak ini dibuka dengan judul yang sama sekali tak


berkaitan dengan isinya: “Hujan di Pagi Hari”, yang, seperti jendela,
seolah siap mengantar kita pada tema tentang “hujan” seperti
eksplisit pada judulnya. Tetapi tidak, judul itu sama sekali tak terkait
dengan isinya; ia tak memerikan apa-apa, tak menandai apa-apa —
seperti kata Rose dalam novel The Name of the Rose Umberto Eco.
Puisi ini, contoh yang baik dari terputusnya mata rantai penandaan,
adalah eksamplar dari apa yang disebut “krisis representasi”,
simptom terpenting postmodernitas, di mana bahasa terlibat dalam
hubungan yang korslet, tak nyambung, dan terputus dengan
objeknya; di mana bahasa tak lagi menjadi jendela bagi dunia.
Di sana Afrizal mengumandangkan “krisis subjek”, ketika
“kata-kata berlewatan, tanpa memerlukan seorang pembicara pun”,
ketika “kita bukan pusat segala-galanya”. Inilah manifesto paling
puitis tentang postmodernitas dalam perpuisian kita, sebuah
manifesto yang menandai gerhana modernisme dan kepercayaan
pada sentralitas manusia, serta pada representasi dunia yang bening
dan transparan. Saya menduga bahwa puisi ini merupakan titik awal
mengapa Afrizal kemudian mengalihkan perhatiannya pada “tubuh”
dan “benda-benda”: krisis subjek dan representasi, adalah kelahiran
bahasa baru pada subjektivitas yang “lain”, subjektivitas yang lahir
dari sensitivitas akan hadirnya objek-objek yang sebelumnya
dieksploitasi oleh modernitas: tubuh dan benda-benda.

Setiap saat saya harus meyakini kembali di situ, setiap


benda yang bergerak di sekitar saya: Meraba dinding, memukuli
tiang listrik, dan mendengar dentang jam hanya untuk tahu: Di situ
orang datang menuju dirinya sendiri, seperti menuju ke sebuah
daerah yang telah lampau.

(“Fotocopy Orang Ramai”)

Namun, tidak seperti beberapa penyair liris (dari Goenawan


hingga Dorothea) yang mengangkat tubuh dan benda-benda dalam
pencitraan sensual, dan terjatuh pada sikap pasif di hadapan
sensitivitas itu, tubuh dan benda-benda di tangan Afrizal adalah
tubuh dan benda yang memberontak karena trauma, perih dan rasa
sakit dibungkam, dan karena itu seperti menggelinjang, meminta
haknya untuk bicara. Tubuh dan benda-benda itu bukan hadir hanya
untuk menggenapi dunia manusia; mereka bahkan mensubversi
egosentrisme manusia yang telah melupakan dan memperalat
mereka.

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku,


rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku,
emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja
makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku,
ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku,
kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku,
gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang
airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para
kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku,
sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku,
penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku.
Bicara lagi kucing-kucingku …

(“Warisan Kita”)

Di sini, benda-benda mengalami intensifikasi massif yang


radikal. Mobilisasi benda-benda ini, pada beberapa puisi awal
Afrizal, bahkan disandingkan begitu saja secara arbitrer dengan
organ-organ tubuh, tanpa kesejajaran, referensi, atau korespondensi
apa-apa.

Lenganmu mengaji lagi, turun dari biografimu yang tak


terjaga. Masih hangat juga. Tapi sepatu saya dingin menyentuh
rahimmu, seperti tanganmu yang tak pernah selesai membawanya
menemui orang lain: tempat batu-batu, sepatu, sampai juga di sana.

(“Saya Pulang Sekolah”)

Aku dengar batu dilemparkan ke ruang tamu. Paru-paru


penuh sapi, mencari jalan raya dan megapon. Tak ada orang sikat
gigi malam itu, seperti dugaanmu penuh batu dari masa lalu.
Mulutku penuh lendir, virus stadium lima, menyusun biografimu dari
sepatu.

(“Restoran dari Bahasa Asing”)

“Batu” dan “sepatu” dalam “rahim”, “mulut” yang


menyusun “biografi”, “paru-paru penuh sapi” — idiom-idiom tak
sinkron, metafor-metafor ganjil itu, dipakai Afrizal untuk
menggambarkan bahasa baru tubuh dan benda-benda, yang lahir dari
situasi traumatik itu. Tapi, jika kita berharap mendapat pemahaman
linear dari metafor-metafor ini, kita akan salah, karena meski “batu”
dan “sepatu” dalam puisi-puisi itu sekilas menyiratkan kekerasan
(bayangkan betapa sakitnya jika rahim diinjak sepatu), ia bisa jadi
tidak merepresentasikan apa-apa. Metafor-metafor itu murni hadir
sebagai penanda tanpa yang ditandai, suatu penanda yang ingin
mengacaukan konvensi penandaan kita yang baku. Atau tepatnya:
penanda yang ingin merepresentasikan sesuatu Yang Tak
Terepresentasikan, suatu yang mustahil ditandai — karena tak
terperinya trauma itu.
Inilah yang terjadi, misalnya, pada idiom “semangka”
dalam “Perempuan dalam Novel”:

Sitti, ilmu pengetahuan itu, seperti novel penuh batu, dia


yang tak ada, dan semangka.

“Semangka” tak merujuk apa-apa;


seperti mawar dalam The Name of the Rose, ia menandai pada “dia
yang tak ada”. Tak ada keterkaitan antara “semangka”, “batu”, dan
“Sitti (Nurbaya)” dalam puisi itu. “Semangka” hanya berarti pada
dirinya sendiri, tak merepresentasikan kecuali dirinya, atau
merepresentasikan barangkali suatu yang tak ada, yang putus, atau
tak terpikirkan.
Maka, muncul kontradiksi dalam upaya Afrizal mengangkat
tubuh dan benda-benda. Seperti dipaparkan di atas, di satu sisi, ia
ingin menggeser pusat eksistensi dari “manusia” ke “tubuh dan
benda-benda”, dengan menjadikan “tubuh dan benda-benda” sebagai
subjek baru pengucapannya. Untuk menggapai hal itu, ia tentu saja
harus menampilkan tubuh dan benda-benda setransparan mungkin,
dengan representasi yang memungkinkan kita menghayati dan
merasakannya dalam suasana yang intim. Namun, bukannya
menampilkan representasi tersebut, Afrizal bermain-main dengan
representasi itu, mengacaukan relasi-relasinya, dan mengalami
alienasi justru dengan tubuh dan benda yang semula ia intimi.
Konsekuensinya, berbeda dengan tafsir sebagian orang yang
memandang Afrizal sebagai penyair yang berhasil merepresentasikan
tubuh, Afrizal adalah penyair yang mengalami dislokasi terus-
menerus dengan tubuhnya, serta benda-benda; ia yang justru gagal
memaknai tubuh dan bendanya. Tubuh Afrizal adalah tubuh yang
sakit, dan benda, baginya, hampir selalu adalah benda-benda yang
traumatik (“batu”, “api”, “gergaji”). Dalam puisi-puisinya yang
terbaru, memang sempat muncul usaha Afrizal untuk mengangkat
“hewan” sebagai unsur baru dalam konstelasi ini (“anjing”), namun
tetap, idiom itu pun berada dalam ketegangan abadi dengan tubuh
dan benda-benda yang terbentuk sebelumnya.
“Manusia adalah seluruh kelelahanku untuk mengingat”.
Dan “manusia mendengkur seperti jam yang rusak”. Kehilangan
kekuatannya di antara benda-benda yang ramai dan gaduh, manusia-
Afrizal kadang terhisap dan musnah dalam benda-benda itu sendiri.
Afrizal, pada titik terburuknya, tanpa disadari tengah merayakan
absurditas dan nihilisme — dan inilah konsekuensi terburuk dari
postmodernitas yang dirayakan Afrizal. Seperti terpampang dalam
sajak “Arsitektur Hotel”:

Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke kamar,


menyileti cermin. Dan batu-batu membuat bangku, dan batu-batu
membuat pintu, dan batu-batu membuat tamu. Dada. Telur-telur
mati mengisi hotel. Beri aku orang … Ini jam hotel. Dada. Waktu
sedang membuat sarang, membuat telur. Setelah semua janji
dianggap tidak suci, angin itu jadi hotel, sapi itu jadi hotel. Maka
jendela-jendela hotel, Dada, menunggu semua yang pergi …

Inilah konsekuensi terburuk dari terdongkelnya manusia


dari pusat dunia. Munculnya benda-benda dalam puisi Afrizal, justru
membuatnya — pada titik tertentu — merayakan nihilisme hidup, di
mana segalanya “mati”, dan benda-benda itu bahkan sampai perlu
berkata: “Beri aku manusia”. Nihilisme semacam ini memadamkan
semangat perlawanan postmodern Afrizal, alih-alih membuatnya
diam-diam larut dalam fetisisme benda-benda. Diam-diam pun,
postmodernisme Afrizal seperti ikut merayakan datangnya
kapitalisme yang bekerja dengan mengkomodifikasi benda-benda.
Idiom-idiom “es krim”, “coklat”, “shampo”, “donat”, “sikat
gigi”, “body lotion”, “styling foam”, “coca-cola”, yang bertebaran
dalam sejumlah sajaknya dari tahun 1990-an, mengantisipasi, tapi
sekaligus membenarkan, datangnya suatu era baru, di mana benda-
benda akan bertakhta dan menggantikan manusia. Di era ini, tulis
Afrizal, “kita hanya mengenang manusia, dari kota-kota, yang ditata
kaleng-kaleng coca-cola” (Antropologi dari Kaleng-kaleng Coca-
cola). Manusia tak lagi ditemukan; atau memang jangan-jangan,
telah tiada: “Di manakah manusia kalian temukan di antara kartu pos,
donat, dan serakan tissue”. Dan manusia harus mencatat sejarahnya
dari “sisa-sisa waktu”, di era ketika kapitalisme melaju dengan
landas, lepas tanpa ada yang mampu menghambat hasrat
eksploitatifnya.
Di sini, lagi-lagi, terbersit tanda tanya besar bagi
pemunculan tubuh dan benda pada puisi Afrizal, dan karenanya, bagi
seluruh usaha postmodernisnya untuk menggeser manusia selaku
subjek dunia. Di hadapan ikon-ikon kapitalisme, dengan menghapus
manusia, dan menggantinya dengan “tubuh” dan “benda-benda”,
Afrizal jangan-jangan tengah mempersembahkan tubuh ke altar
kapitalisme, menjadikan tubuh sebagai lalu-lintas konsumsi yang
makin memperlancar gerak kapital itu sendiri. Dengan kata lain,
seberapapun memberontaknya tubuh dalam puisi Afrizal, tubuh itu
pada gilirannya adalah tubuh yang neurotik, yang terus
berkekurangan akan benda-benda fetis di sekelilingnya.
Titik temu tak terduga antara “tubuh” dan “benda”, yang
hari ini difasilitasi oleh kapitalisme, merupakan implikasi dari
manusia-nomaden yang dimunculkan dalam puisi Afrizal. Nomad-
nomad urban itu adalah manusia yang lahir tanpa rumah, tapi selalu
lapar pada rumah (sajak Kematian Rumah), yang dimetaforkan
Afrizal sebagai mereka yang “lahir dalam kardus” (sajak Aku Lahir
dalam Kardus). Para nomad ini berusaha melawan tatanan di luar
mereka, yang dianggapnya keliru dan mengungkung, namun,
ironisnya, mereka terus memamah dan mengkonsumsi benda-benda
yang diproduksi oleh tatanan tersebut.

Mereka setuju untuk mempersenjatai diri, membeli pistol,


pasta gigi dan kacang goreng

(“Aku Lahir dalam Kardus”)

Lalu, di manakah emansipasi? Emansipasi, apakah ia


semata histeria, seperti kekacauan tubuh dan benda-benda dalam
puisi Afrizal? Selama penyair ini terus membawa gerbong
postmodernismenya, hal itu akan terus terjadi — karena
postmodernisme pun pada akhirnya telah dibajak oleh kapitalisme,
dan kian kehilangan daya pembebasnya.
Di sini, puisi Afrizal meninggalkan kita dengan seribu tanda
tanya dan kebisuan. Dalam keremangan akan sebuah titik terang, ia
cuma berkata pendek, kepada seorang kawannya, “radhar”, seakan
pasrah tak bisa berbuat apa-apa:

ini mentega, radhar. dan ini diriku. aku tak tahu, berapa
yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini.

Modernisme telah malam. Postmodernisme telah malam


juga. (bersambung)

Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna —


Fasisme, Modernisme, Lirisisme (Bagian III-Habis)*

Anti-lirisisme dan Terorisme Struktur (atau Mengapa Afrizal


Tak Pernah Menjadi Nirwan Dewanto)
Tapi bagaimanapun, Afrizal pertama-tama tetaplah seorang
penyair. Dan, seberapapun puisi-puisinya tajam menyorot bau busuk
dari balik kursi-kursi politik negeri ini, ia bukanlah seorang sosiolog
atau pengamat politik. Begitu juga, betapapun puisinya menandai
satu gejolak postmodern terpenting dalam budaya kita, ia bukan
filsuf atau teoretikus budaya. Ia adalah penyair yang menulis dari
rahim puitika Indonesia.
Dan, justru, hal paling menarik dari puisi Afrizal, yang telah
diperagakannya selama dua dekade lebih ini, adalah upayanya untuk
terus-menerus melakukan perlawanan melalui puisi, terhadap puisi
itu sendiri.
Afrizal-lah yang pertama kali menggedor-gedor kepala kita
untuk mempertanyakan kembali seluruh persepsi kita tentang bahasa,
yang telah kita bangun dengan mapan. Puisi, sering kali dianggap
sebagai puncak pencapaian tertinggi dalam bahasa karena di
dalamnya penyair bebas memakai strategi literer yang tak mungkin
dipakai dalam bahasa sehari-hari, menciptakan metafor-metafor
mengejutkan, dan merangsang pembacanya untuk bernalar lain
dalam menafsir kehidupan. Namun, Afrizal datang dan mengobrak-
abrik seluruh persepsi itu. Ia mengubah puisi menjadi medan yang
sama sekali berbeda, menggoyahkan konvensi yang telah dibangun
dan disepakati bersama.
“Anti-Kristus” dalam perpuisian Indonesia ini, kalau boleh
saya menyebutnya, datang dengan mempertanyakan dua fondasi
yang menjadi tonggak dari konsepsi puitika kita,
yakni struktur dan aku-lirik. “Struktur” menyangkut apa yang kita
konsepsikan sebagai kerangka dalam puisi, tulang yang membuat
puisi menjadi sebuah bacaan yang kokoh dan bermakna; sedangkan
“aku-lirik” adalah cermin kehadiran suara penyair, yang
menyambungkan puisi kepada penulisnya, yang membuat puisi dapat
dimengerti dalam relasi representatif tertentu dengan diri penyairnya.
Sejak kita mengenal kata “struktur”
dari strukturalisme Paman Saussure, kita tahu bahwa struktur adalah
sebuah aturan tersembunyi dalam bahasa, yang diam-diam mengatur
kita, dan tanpa disadari, terus kita patuhi agar sebuah proses
pemahaman menjadi mungkin. Maka, tanpa sadar, kita dipaksa
menaati aturan itu agar segala yang kita tulis, baca, dan dengar dapat
dimengerti, dan agar “sirkuit pemahaman” yang berlangsung antar-
pembicara dapat berjalan dengan mulusnya.
Namun, bagi Afrizal, “struktur” tetaplah aturan dan sebuah
Hukum. Dan, sebagai hukum, ia menciptakan formalisasinya sendiri
yang menyingkirkan keliaran-keliaran manusia, menghukum yang
tak patut, dan menyembunyikan kekerasannya sendiri. Sebagaimana
setiap “lembaga hukum”, di balik “hukum”, terdapat jeruji penjara
bagi mereka yang berbuat kriminal: hukum adalah ketertiban yang
dijaga dengan kecemasan dan ketakutannya sendiri.

Jalan bertambah kelam, dalam bahasamu seperti itu.


Berbaju resmi. Orang bertambah tahu, di mana ketakutan harus
disimpan. Seperti tanah yang menyimpan bau tubuhmu.

(“Kesibukan Melarikan Diri”)

Di sini, membangun struktur dalam puisi, merupakan


sebuah keganjilan yang tak dapat dimengerti oleh Afrizal. Jika puisi
adalah cara penyair mencari pengucapan yang lain dari bahasa umum
yang telah aus, dan keluar meloloskan diri dari rezim bahasa itu,
maka membuat struktur dalam puisi hanyalah upaya menciptakan —
meminjam salah satu judul sajaknya — “lorong gelap” lain dalam
bahasa.
Maka, berbeda dengan para penyair liris yang berlomba-
lomba mengejar keketatan struktur (seperti tampak baru-baru ini
dalam puisi Nirwan Dewanto, misalnya), dan memuja kekompakan
antarelemen dalam puisi sebagai “puncak” pencapaian estetis, Afrizal
justru berkejaran untuk terus melepas elemen-elemen dalam puisinya
hingga, sebisa mungkin, tak ada lagi struktur yang mengikat
keseluruhan elemen tersebut.
Untuk itu, saya ingin mengangkat kembali satu sajak yang
sempat dikutip di atas, “Keluarga Indonesia dalam Ambulan”, yang
dengan caranya sendiri, menunjukkan kerja literer puisi Afrizal itu:

Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Ayah dan
ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera telah disiapkan, sejak
300 tahun lalu. Dialog terakhir telah dihafal: “hidup dengan satu
bahasa”. Rambut palsu, lapangan basket, alat-alat kecantikan di
meja: Bagaimanakah caranya membaca koran? — “Saya seorang
lelaki, seperti bau hangus dalam rumah itu.” Ia pesan mie bakso,
kacang rebus, dan sebuah garpu di meja.
Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Lalu kamera
merekam guci-guci keramik, reproduksi patung- patung Yunani,
lampu kristal dari Ceko, hujan, seperti dirinya yang mulai berlendir
dalam ambulan. Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah
revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku —
lalu karung diikat rapat.
Kamera kemudian menyusun tubuhnya dari karung-karung
pasir: sebuah bahasa yang datang dengan mobil-mobil ambulan,
lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk mencari rumah ibu.

Sajak ini, dibaca secara konvensional, bukan sajak yang


sama sekali indah, seperti diagungkan oleh liririsme yang
membentang dalam puitika kita. Tak ada keindahan sama sekali di
situ. Sajak ini benar-benar buruk dan mengecewakan, jika orang
berharap mencari secuil struktur yang dapat memungkinkannya
memahami keseluruhan logikanya.
Puisi ini mengundang rasa ingin tahu kita dengan
pembukaan monolog-naratifnya yang datar dan merendah: “Saya tak
bersalah telah lahir dalam rumah itu”. Seakan terdapat latar bagi apa
yang terjadi di “rumah itu”, di sana tertulis: “Ayah dan ibu sedang
makan kacang di dapur”. Sampai di sini, orang masih mendapat
gambaran logis dari peristiwa sekuensial itu: Rumah itu dihidupi oleh
tiga manusia: “saya”, “ayah”, dan “ibu”.
Namun, ketika Afrizal menulis “Kamera telah disiapkan,
sejak 300 tahun lalu”, seketika narasi yang dibangun mulai buyar:
penanda “kamera” menyiratkan bahwa “rumah” itu adalah sebuah
panggung sandiwara yang sedang ditatap oleh mata orang ketiga
(entah siapa). Itu berarti, “rumah” yang dirujuk dengan makna yang
harfiah sejak awal (dengan penggambaran “ayah” dan “ibu”),
langsung gugur, dan berubah menjadi metafor.
Diksi “kamera” yang tiga kali diulang dalam batang sajak
ini, mungkin masih memiliki arti harfiah seperti umum dipahami,
untuk menandai kehadiran media massa yang terus-menerus
menyoroti “rumah” Indonesia itu. Ini dibuktikan oleh penanda lain
yang terkait yang disebutkan dalam sajak ini: “koran”. Tetapi, ketika
Afrizal menambahkan kata-kata “sejak 300 tahun lalu”, kita pun
menjadi tak yakin dengan kesimpulan kita sendiri: 300 tahun lalu,
Indonesia belum lahir, dan tak ada kamera di sini. Jika begitu, apa
arti “300 tahun” itu? Tentu saja, angka ini tidak berhasrat menandai
satu momen sejarah tertentu, tapi sekadar menunjukkan betapa
“kamera itu telah terpasang sekian lama”.
Rentetan kalimat berikutnya makin menambah buyar
struktur yang dibangun:

Rambut palsu, lapangan basket, alat-alat kecantikan di


meja: Bagaimanakah caranya membaca koran? — “Saya seorang
lelaki, seperti bau hangus dalam rumah itu.” Ia pesan mie bakso,
kacang rebus, dan sebuah garpu di meja.

Ada kaitan antara “rambut palsu” dan “alat-alat kecantikan


di meja”, sekalipun semua itu tak berhubungan dengan “lapangan
basket”. Begitu juga, ada kaitan antara “mie bakso”, “kacang rebus”,
dan “garpu di meja”, sekalipun semua itu tak berhubungan dengan
seorang lelaki yang bertanya: “Bagaimanakah caranya membaca
koran?”. Meski demikian, pernyataan lelaki itu (sang ayah dalam
“keluarga Indonesia” itu), “Saya seorang lelaki, seperti bau hangus
dalam rumah itu”, memberi kita sugesti yang mencekam kita, betapa
lelaki itu sebenarnya telah aus, menua, dan tak dikehendaki lagi,
seperti makanan yang hangus dalam rumah itu (baca: Soeharto).
Namun kendati memberi sugesti yang kuat, dan seolah
struktur puisi ini kembali mulai terbangun, bagian berikutnya
membuyarkan kembali konsentrasi struktur tersebut:

Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Lalu kamera
merekam guci-guci keramik, reproduksi patung- patung Yunani,
lampu kristal dari Ceko, hujan, seperti dirinya yang mulai berlendir
dalam ambulan. Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah
revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku —
lalu karung diikat rapat.

Kamera kembali bergerak, menyoroti “guci-guci keramik,


reproduksi patung-patung Yunani, lampu kristal dari Ceko”, yang
membawa kita pada asosiasi logis bahwa rumah itu mewah, berisi
barang-barang mahal dari luar negeri — citra Indonesia yang khas
dan bangga dengan segala yang datang dari “luar negeri”. Namun,
kata “hujan” dalam rangkaian itu seakan tak pas, terputus, dan tak
sambung dengan barang-barang itu (Apa menariknya “hujan”
sehingga harus disorot oleh kamera?). Kata-kata “seperti dirinya
yang mulai berlendir dalam ambulan” juga tak jelas memetaforkan
apa: “guci keramik”, “patung Yunani”, “lampu kristal”, atau
“hujan”? “Lendir” lebih memiliki kedekatan logis dengan “hujan”,
karena kedua-duanya cair, tetapi itu pun tak sambung, karena
“hujan” adalah peristiwa alam yang indah, sedangkan “lendir”
menjijikkan.

Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah revolusi,


tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku — lalu
karung diikat rapat.

Tak jelas juga “suara” itu merujuk ke mana: pada “rumah”


atau “lelaki” itu. Jika merujuk pada “rumah” — ini lebih masuk akal
— ia pun ternyata dimetaforkan dengan sesuatu yang lebih spesifik
darinya, “bantingan pintu”, sementara “pintu” hanya salah satu unsur
dari “rumah” — suatu prosedur yang mungkin ganjil. Penyebutan
“kisah revolusi” dan “Amir Hamzah” tampak sesuai dengan
representasi sejarah yang kita ketahui (Amir Hamzah yang terbunuh,
sebagai martir menjelang kemerdekaan Indonesia), dan “karung”
menyiratkan suatu adegan kekerasan yang mengiringi kematian itu
(Karung kerap dipakai dalam adegan pemenggalan korban). Tetapi,
ketika Afrizal mulai menulis:

kamera kemudian menyusun tubuhnya dari karung-karung


pasir: sebuah bahasa yang datang dengan mobil-mobil ambulan,
lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk mencari rumah ibu.

buyar kembali referensi yang dibangun: tubuh siapakah


yang disusun dari karung-karung pasir itu? Tubuh “ayah”-kah,
“rumah”, atau “kamera”? Tanpa kejelasan, ia justru menambahkan
sebuah pasase lain yang seakan menyambung dan hendak merinci
bagian sebelumnya: “sebuah bahasa yang datang dengan mobil-
mobil ambulan, lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk
mencari rumah ibu”. Tapi tetap tidak jelas, bahasa itu ingin
mengidentifikasi apa atau siapa: “lelaki” atau “rumah”? Kita dapat
mengidentifikasi bahasa itu untuk memetaforkan “lelaki”, karena di
sana tercantum kata tubuh (“kamera kemudian menyusun tubuhnya
dari karung-karung pasir”), tetapi hal itu rasanya tak mungkin.
Sebab, Afrizal sedang mempertanyakan kekuasaan “lelaki-yang-
ayah” itu. Karenanya, bahasa itu kemungkinan adalah “rumah”,
yang berkali-kali disorot “kamera” — memetaforkan kondisi
Indonesia yang sedang genting (disimbolkan dengan “ambulan”),
sarat kekerasan, dan rusak oleh kekuasaan yang ada (disimbolkan
dengan “TV yang digergaji”).
Sekelumit pembacaan konvensional-struktural di atas, yang
berhasrat pada keutuhan struktur dan kebulatan logika, akan sangat
kewalahan menghadapi puisi-puisi Afrizal, idiom-idiomnya yang
seolah tak bersambungan, dan prosedurnya yang ganjil dan tak
masuk akal dalam menyusun metafor. Inilah cara membaca
puisi anti-liris dengan perspektif liris, yang belum membebaskan diri
secara radikal dari struktur, dan masih patuh pada ortodoksi teori
sastra yang ada. Karena itu, pembacaan seperti ini hanya akan
berujung pada penilaian buta, seperti klaim para pemangku lirisisme,
bahwa sajak Afrizal “gelap”, dan karena “gelap”, maka ia “buruk”.
Afrizal telah menggeser jauh batas-batas konvensi yang kita
terima dalam sastra. Puisinya bertujuan mendestruksi struktur itu
sendiri, dan menunjukkan bahwa struktur itu pun rezim yang dapat
membunuh puisi. Dalam kerja literernya yang “non-literer” ini,
Afrizal lebih tampak sebagai “teroris struktur”, yang berusaha
menunjukkan bahwa dalam bahasa yang kita pakai, selalu terdapat
kemungkinan yang tak terduga, bom dari luar sistem bahasa itu
sendiri, yang traumatik, tak terepresentasikan, namun kenyataannya
terjadi dalam bahasa.
Trauma itu, kekerasan yang menghantui gramatika bahasa
yang bersih dan suci, tak dapat ditangkap oleh ideologi lirisisme
yang memuja simetri, kepadatan, dan koherensi bentuk. Karena itu,
meski lirisisme sering berhasil menampilkan sajak-sajak yang kuat
— suatu fakta yang tak dapat dibantah — penekanan mereka
pada bentuk berisiko meredam keradikalan teks, dan terjatuh pada
sejenis formalisme. Sementara, dalam beberapa puisi Afrizal, nyaris
tak ada awal dan akhir: puisinya selalu terbuka, cair, dan heterogen,
dengan “komposisi” dan “struktur” — jika kita masih dapat
menyebutnya — yang dapat melebar ke mana-mana, bebas berbicara
apa saja, dan mengangkat hal-hal yang tak terduga (tubuh dan benda)
melalui teksnya.
Mungkin, belum banyak puisi yang dapat menghadirkan
trauma atas bahasa sedalam dan semencekam Afrizal. Puisi-puisi
mantra (ala Sutardji) menghadirkan energi bahasa dalam cara yang
amat liar, namun tidak membawa kita menghayati, dengan cara
traumatik, keliaran itu. Sebaliknya, puisi liris (ala Goenawan) bisa
menghadirkan luka atau trauma bahasa tertentu, dengan caranya yang
romantik, namun tidak liar, terlalu patuh pada ritme dan rancangan
penyairnya, dan tidak berani menantang bahasa itu sendiri.
Kekhawatiran saya hanyalah satu: jika Afrizal terus-
menerus menghadirkan kita pada trauma bahasa, bukankah ia
berpotensi menghancurkan-dirinya sendiri, dan terjatuh dalam
nihilisme absolut? Dengan terus melenyapkan “aku-lirik” dalam
konstelasi tubuh dan benda-benda yang khaotik, bukankah ia sedang
melakukan bunuh-diri dalam puisi?
Inilah kemungkinan terburuk dalam puisi Afrizal,
“kebuntuan” yang terus menghantui puisinya. Dan, menghadapi
kemungkinan itu, apa yang mungkin bisa kita, pembacanya, lakukan
adalah terus membaca dan membaca-ulang puisi Afrizal, untuk
menemukan secercah harapan yang tersisa pada bahasa, betapapun
redupnya, dan mengais sisa-sisa suara, meski serak, bagi pembebasan
yang belum selesai.[]

Anda mungkin juga menyukai