dan aku harus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu.
tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur,
kataku … tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur,
katamu -- (“Di Halaman Belakang”)
pohon jambu itu patah bersama buahnya yang baru tumbuh. aku
sempat melihat buahnya yang masih kecil berwarna hijau tua,
mengingatkanku pada kesepian yang berjalan dari sejumlah nama
yang pernah hilang -- (“Pohon Jambu yang Patah”)
#
Puisi, bagi Afrizal Malna, tidak lahir dari pena penyair di
ruang kontemplatifnya yang dingin dan sunyi, dari perpustakaan
tempat ia mengolah berbagai khazanah dari pengetahuan dunia,
melainkan dari sepetak ruang di halaman belakang rumah. Di ruang
itulah, puisi lahir dari campur-aduk peristiwa-peristiwa: seorang
keluarga yang kehabisan beras dan air mineral, dan terpaksa
memasak mie dan telur ceplok untuk sarapan paginya (“Bangkai Sapi
dalam Telur Dadar”), pohon-pohon yang ditebang dan burung-
burung yang ditembak; eksekusi mayat tanpa nama (“Halaman
Belakang Bulan Januari”), seorang paman yang mampus dihabisi
ramai-ramai oleh massa (“Atap Bahasa yang Runtuh”), atau anjing
tetangga yang diusir dari sebuah pesta musim mangga di masa
kanak-kanak (“Naik Sepeda di Musim Buah Mangga”) — kejadian-
kejadian traumatik, kadang nostalgis, yang kalang-kabut berlintasan
dalam ingatan penyair.
Di sana, halaman belakang tak selamanya merujuk secara
geografis pada sebuah ruang di belakang rumah, yang sering kali
berbatasan dengan tembok dan pagar orang lain, tapi juga pada apa
saja yang ada di belakang punggung kita: sesuatu yang ingin
dilupakan, tapi terus membuntuti; segala hal yang tak mengenakkan,
menyakitkan, atau menjijikkan, tapi terus menguntit, menghantui
langkah-langkah kita ke depan:
Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Ayah dan
ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera telah disiapkan, sejak
300 tahun lalu. Dialog terakhir telah dihafal: “hidup dengan satu
bahasa”.
(“Pesta Mr. Art”)
——————————————————————
* Esai untuk diskusi buku puisi Afrizal Malna, Pada Bantal
Berasap [penerbit Omahsore, Jakarta] di Depok pada 2010,
kemudian dimuat di majalah Horison, edisi Agustus 2010. Terima
kasih kepada Damhuri Muhammad yang memungkinkan esai ini
lahir.
** Juli 2008, masyarakat dikejutkan oleh berita
pembunuhan berangkai oleh Ryan, yang membantai dan membunuh
10 orang, dan memutilasi beberapa di antaranya. Ryan mengubur
para korbannya di halaman belakang rumahnya di Jombang, Jawa
Timur. Setahun berikutnya, Juni 2009, seorang bayi ditemukan tewas
karena aborsi yang gagal, dan dikubur di halaman belakang rumah
ibunya, di Bogor. Halaman belakang seolah memiliki tempat
tersendiri dalam menggambarkan mimpi buruk, trauma, dalam
kehidupan sehari-hari urban — tema penting dalam sajak Afrizal.
Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna —
Fasisme, Modernisme, Lirisisme (Bagian II)*
(“Warisan Kita”)
ini mentega, radhar. dan ini diriku. aku tak tahu, berapa
yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini.
Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Ayah dan
ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera telah disiapkan, sejak
300 tahun lalu. Dialog terakhir telah dihafal: “hidup dengan satu
bahasa”. Rambut palsu, lapangan basket, alat-alat kecantikan di
meja: Bagaimanakah caranya membaca koran? — “Saya seorang
lelaki, seperti bau hangus dalam rumah itu.” Ia pesan mie bakso,
kacang rebus, dan sebuah garpu di meja.
Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Lalu kamera
merekam guci-guci keramik, reproduksi patung- patung Yunani,
lampu kristal dari Ceko, hujan, seperti dirinya yang mulai berlendir
dalam ambulan. Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah
revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku —
lalu karung diikat rapat.
Kamera kemudian menyusun tubuhnya dari karung-karung
pasir: sebuah bahasa yang datang dengan mobil-mobil ambulan,
lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk mencari rumah ibu.
Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Lalu kamera
merekam guci-guci keramik, reproduksi patung- patung Yunani,
lampu kristal dari Ceko, hujan, seperti dirinya yang mulai berlendir
dalam ambulan. Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah
revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku —
lalu karung diikat rapat.