Anda di halaman 1dari 4

CONTOH KRITIK SASTRA: PUISI

2:55 PM AGEPE 4 COMMENTS

Joko Pinurbo, Surealisme Ranjang, Celana dan Boneka


Oleh Cecep Syamsul Hari

Antara 1999-2004, Joko Pinurbo telah menerbitkan empat kumpulan puisi yang menarik
perhatian, yaitu: Celana, Di Bawah Kibaran Sarung, Sajak-sajak 2001, dan Telefon
Genggam.[12] Akan tetapi, sejauh yang dapat saya amati, hingga saat ini kumpulan puisi
Celana Joko Pinurbo-lah yang meninggalkan kesan lebih kuat di dalam benak
kebanyakan pembaca dibandingkan kumpulan sajaknya yang lain. Trilogi sajak Joko,
Celana 1, Celana 2, dan Celana 3 misalnya, meraih Sih Award (Anugerah Jeihan)
2001, dan kumpulan puisi Celana itu sendiri memenangkan Hadiah Sastra Lontar 2001.
Celana Joko bahkan pergi berkelana jauh keluar dari habitatnya dan pengaruhnya
sampai hingga ke pedalaman negeri kanguru. Seorang penyair Australia yang juga
peneliti, Ian Campbell, menulis puisi tentang celana yang didasarkan pada Celana Joko
Pinurbo.
Membaca kembali puisi-puisi dalam Celana Joko Pinurbo, mengingatkan kita pada
manifesto yang diterbitkan Andr Breton yang menyatakan bahwa kesenian harus
berasal dari alam bawah sadar dan oleh karena itu seniman harus mendapatkan ilham
sebebas-bebasnya dari imaji-imaji impiannya dan berusaha mencapai super-realisme
tempat antara batas-batas mimpi (dunia di dalam bawah sadar) dan kenyataan (dunia di
dalam kesadaran) melebur. Seniman pun diasumsikan sebagai seseorang yang memiliki
kapabilitas untuk menembus sensor dari kesadaran dan membiarkan kata-kata dan imajiimaji
itu
bermain
dengan
bebas.
Sebagaimana kita ketahui, Andr Breton adalah penyair dan esais Perancis yang
memelopori gerakan Surealisme. Di bawah bayang-bayang puisi Simbolis dan psikiatris,
pada 1924 ia menerbitkan Manifeste du surralisme, dari mana kata surealisme
berasal.
Dalam konteks pemikiran Bretonian itulah dapat dikatakan bahwa imaji-imaji mimpi
adalah nafas puisi-puisi Joko Pinurbo. Di tangannya imaji-imaji mimpi itu dengan lentur
telah dibentuknya menjadi sistem simbolik, dan dalam kumpulan puisinya, Celana (1999),
dapat ditemukan pada simbol-simbol kunci (key symbols): ranjang, celana, dan boneka.

Di tangan Joko Pinurbo, ranjang muncul sebagai sistem simbolik dari suatu bentangan
perjalanan makna aku dalam puisi, dalam suatu kenyataan lateral dan jungkir-balik:
kelahiran dan kematian, profan dan spiritualitas, bayangan diri dan bayangan Tuhan,
dunia kini-di-sini dan dunia kelak-di-sana. Seluruh kenyataan itu ditarik Joko ke dalam
bawah sadar, tempat ia memposisikan dirinya sebagai penafsir tunggal atas mimpi yang
menjadi bahasa bawah sadar itu sendiri: Beginilah jika ada yang lancang mengusik,

jagad mimpiku yang tenteram. Hanya aku penguasa di wilayah ranjang (Ranjang 7).
Dalam sistem simbolik Joko Pinurbo, ranjang bukan semata-mata benda mati (yang
selain berfungsi sebagai tempat orang tidur juga kadang-kadang menjadi tempat orang
mati) tetapi menjadi bayangan diri (psike) dari suatu referensi eskatologis asal-muasal
manusia: Pada suatu petang ia datang ke taman yang terhampar hijau di atas ranjang.
Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa Adam dan menghabisinya di atas ranjang
(Ranjang 10). Ranjang adalah tempat aku dalam puisi bukan saja melakukan refleksi
atas relasi intersubjektivitas: Waktu itu tengah malam. Kau menangis. Tapi ranjang
mendengarkan suaramu sebagai nyanyian (Ranjang 1); melainkan juga refleksi atas
relasi gender: Ranjang bergoyang sepanjang malam. Mungkin sepasang nyawa,
sepasang singa sedang bertempur. Atau sepasang maut sedang perang. Padahal
cuma ada sepasang celana terongok putih di bantal hitam (Ranjang 9); Memang ada
yang masih bermukim di ranjang: merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan
membelalak ia membentak, Pergi. Tak ada seks di sini. (Ranjang 11).
Ranjang juga adalah ibu (muasal) dari maut, waktu dan usia: Ranjang meminta kembali
tubuh yang pernah dilahirkan dan diasuhnya dengan sepenuh cinta (Ranjang 6);
Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi ke pelabuhan, melepas ranjang kami
yang tua berangkat berlayar ke laut yang luas dan terang. Waktu dan usia seperti
perjalanan sebuah doa ketika ranjang kami yang reyot dan renta bergoyang-goyang
bagai tongkang, bagai keranda, terhuyung-huyung dan terbata-bata, mencari tanah
pusaka
yang
jauh
di
seberang
sana
(Ranjang
8).
Di dalam sistem simbolik Joko Pinurbo, ranjang juga adalah fase dari suatu perjalanan
menuju kematian: Jauh nian perjalanan di atas ranjang.... Kau mengambang, melayang,
seperti bayi terlelap dalam ayunan ranjang (Ranjang 3). Bahkan, bukan hanya
perjalanan menuju kematian melainkan juga dunia di seberang kematian: Kaulah perahu
ke teluk persinggahan. Sampai di seberang tubuhmu tinggal tulang belulang dan
perahumu tertatih-tatih sendirian pulang ke haribaan ranjang (Ranjang 4). Dunia di
seberang kematian itu sesuatu yang hanya dapat kita fantasikan: Ranjang kami telah
dipenuhi semak-semak berduri. Orang-orang menyebutnya firdaus yang dicipta kembali
oleh keturunan orang mati. Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi
(Ranjang 2). Dan perjalanan terakhir ke dunia fantasi kita itu barangkali adalah
perjalanan dalam bayangan Tuhan atau Imago Dei sendiri: Maut sudah kosong ketika
mereka hendak menculik mayatnya. Hanya ada seorang perempuan sedang
membersihkan salib di sudut ranjang. Ia sudah pergi ke kota, katanya, dan kalian tak
akan
bisa
lagi
menangkapnya.
(Ranjang
12).
Di tangan Joko Pinurbo pula boneka dan celana berubah menjadi sistem simbolik yang
cerdas untuk mengungkapkan dengan cara surealistis karakter-karakter kontradiktif,
situasi batas, absurditas, dan hipokritas manusia di dalam dirinya maupun di dalam
relasinya dengan orang lain. Jika selama ini karakter-karakter tersebut direpresi ke
bawah sadar dan tinggal dalam kegelapan serta sesekali muncul sebagai mimpi, maka

Joko terjun ke dalam kegelapan itu untuk mengeluarkan kembali karakter-karakter itu ke
tempat
yang
terang.
Pengungkapan kontradiksi, situasi batas, absurditas dan hipokritas manusia ini lewat
sistem simbolik boneka diungkapkan Joko dalam sajak Boneka 1-3 sebagai berikut:
Setelah terusir dari negerinya sendiri, pelarian itu akhirnya diterima oleh sebuah keluarga
boneka. Saya dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya telah menyerupai boneka.
Saya tidak betah lagi tinggal di sana karena saya tetap ingin menjadi manusia. (Boneka
1); Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Ia minggat begitu saja tanpa
meninggalkan pesan apa pun kepada boneka-boneka kesayangannya. Pemilik rumah
itu akhirnya pulang juga. Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa dan
menyeramkan itu menyergahnya. Maaf, Anda siapa, ya? (Boneka 2); Kami pun
berpotret bersama. Monyetku menyuruhku berdiri paling tengah. Kau yang paling
ganteng di antara kami, siamang berkata. Siapa yang paling lucu di antara kita?
monyet bercanda. Yang di tengah, lutung berkata. Ia tampak kusut dan murung karena
bersikeras hidup di alam nyata, gorila berkata. Mereka semua tertawa (Boneka 3).
Lebih jauh, lewat sistem simbolik celana semua unsur hipokritas manusia ditelanjangi
Joko habis-habisan dalam trilogi Celana. Untuk melukiskan hal itu salah satu dari trilogi
itu, yaitu Celana 1 dipetik utuh sebagai berikut: Ia ingin membeli celana baru buat pergi
ke pesta supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan. Ia telah mencoba seratus model
celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah
mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya. Kalian tidak tahu ya, aku sedang
mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan. Lalu ia ngacir
tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan, Ibu.
Kausimpan
di
mana
celana
lucu
yang
kupakai
waktu
bayi
dulu?
Perjalanan pulang-pergi mimpi dan kenyataan, under-consciousness dan consciousness,
tampaknya bukanlah perjalanan yang menegangkan bagi Joko Pinurbo. Ini dimungkinkan
karena kemampuan cara berpikir deduktifnya untuk menjungkir-balikkan logika
didampingi kemampuan artistiknya menggunakan pendekatan parodi yang memunculkan
suasana dari suatu wacana estetik surealisme yang satir tetapi cerah.
Seorang penyair Inggris kontemporer, D.J. Enright[13], pernah mengatakan bahwa parodi
sangat sulit untuk tidak ditulis tetapi menulisnya lebih sulit lagi. Itulah sebabnya kenapa
hanya sedikit penyair yang menggunakan pendekatan ini dalam menulis puisi. Puisi
parodi yang berhasil akan mengendap dalam benak pembacanya seraya tetap
membiarkan puisi itu sebagai ruang bagi berbagai-bagai kemungkinan pemaknaan dan
penafsiran. Sebaliknya, puisi parodi yang gagal, apabila nasibnya masih cukup baik,
akan dianggap sebagai black-comedy, dan apabila nasibnya jauh lebih buruk, akan
diingat sebagai semata-mata puisi bertendensi humor dan menutup ruang bagi
pemaknaan dan penafsiran lebih jauh.

Pada sisi yang lain, wacana estetik puisi-puisi Joko Pinurbo dapat dikatakan sebagai
hasil dari suatu proses amplifikasi[14], yaitu suatu proses mengolah dan menjelaskan
imaji mimpi melalui penggunaan asosiasi yang terarah dengan merangkaikan ide-ide,
penglihatan-penglihatan, dan lain-lain, menurut kemiripan, hukum kebersamaan,
perlawanan, dan ketergantungan sebab-akibat. Sistem simbolik yang dibangun dari
tradisi berpikir yang ketat dan wacana estetik yang didasarkan pada proses amplifikasi itu
melapangkan jalan bagi pendekatan parodi yang dipilih Joko Pinurbo dalam proses
kreatifnya. Humor dan kelucuan tetap dipelihara sebagai efek, dan tidak dijadikan
sebagai substansi puisi-puisinya. Itulah yang menyebabkan kenapa, misalnya, makhluk
boneka dan makhluk manusia, celana dan Columbus, burung dan Stephen Hawking,
dapat hidup berdampingan secara harmonis dan damai dalam wilayah estetika puisipuisinya.
***

Anda mungkin juga menyukai