Anda di halaman 1dari 9

LITERATURE

JAGAT ALIT (Godi Suwarna, 1979)

Hareupeun kelir : kalangkang-kalangkang wayang

Kalangkang usik-usikan, kalangkang di obah-obah

Ieu rendeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak

Pulang-anting, pulang anting lebah dunya hideung bodas

Dongeng naon anu rk midang? dalang kawasa!

Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktok

Sabot nungguan balebat, duh peuting ngajak ngalinjing

Renghap ranjug, renghap ranjug sammh ajal ngolbat.

About these ads

Langlayang Peuting

By Godi Suwarna

Ngabelesat ngawang ngawang

Leuwih gancang batan jangjang angen angen

Kumalayang nilai nagri nu keur sumedeng harengheng

Nu keur saheng parebut memehong seeng

Indung peuting ngubur rupaning karungsing

Laun- laun banjar karang kasawang munggah baranang

Genclang ..pirang- pirang lampuh dilak bentang dilangit wening

Awor dina pucuk kalbu nu kapireng humariring

Lalaunan lamunan marangkak deui tina imut pramugari


tina saab anggur beureum dina gelas

gumerendeng wangkongan demi wangkongan

Pada- pada maut simpe nu ngahinis dina hate

Ditataran beuki anggang ti nagri nu nyamagaha

Pangharepan ngudag bulan nu ngolebat kebat kajabaninng langit

Basa mata mencrong peta nu digelar palebah layar monitor tuluy anteng

Ngararampa beh mana dumukna raga

Kota demi kota, nagara demi nagara

Bet katembong ukur titik titik demit

Ukur urat aret warna

Ieu diri mana horeng leuwih lembut manan lebu

Keur ngarayap mapay gurat nu ngembat biheung kamana

MEMBACA SAJAK GODI, MEMBACA KEMATIAN*


Oleh Prayoga Adiwisastra**

Dalam sebuah sajak memang kerap ditemukan fenomena yang menarik untuk dibicarakan.
Fenomena sendiri tidak terbatas pada sekadar gejala dan apa yang nampak oleh indra
pengelihatan, tetapi fenomena kini memiliki definisi yang luas. Dengan demikian, dapat dikatakan
fenomena itu berhubungan dengan persepsi yang diterima dari realitas teks terhadap kesadaran
yang diterima pembaca. Maka persepsi itu akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda pada
setiap pembaca.

Untuk menyikapinya, sebuah sajak dipandang sebagai kesatuan yang utuh. Hal ini disebabkan
norma-norma sajak yang saling berhubungan erat. Masing-masing norma akan menimbulkan lapis
norma di bawahnya. Seperti yang dikemukakan Rene Wellek tentang analisis Roman
lngarden dalam metode fenomenologi Edmond Husserl. Ia membagi lapis-lapis norma menjadi lapis
bunyi, lapis arti dan lapis objek. Kemudian Ingarden menambahkan dua norma lagi (lapis dunia
dan lapis metafisika) yang menurut Wellek bisa dimasukan ke dalam norma ketiga. (Pradopo,
1994). Pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan fenomenologi.

Di antara fenomena yang sering ditemukan dalam sebuah sajak, salah satunya adalah kematian,
baik dalam sajak Indonesia maupun sajak Sunda. Tema tersebut memang sudah menjadi tema
yang aus. Untuk itu, sampai sekarang para pengarang terus mencari kebaruan untuk menyikapi
fenomena kematian tersebut. Jika cara tersebut terus ditempuh, maka tema kematian tidak
menjadi tema yang usang dan dapat terus terbarukan. Dalam sajak Sunda, kematian cukup sering
diungkapkan dengan begitu menegangkan, walaupun ada yang menyambutnya dengan penuh
ketenangan, bahkan kebahagiaan. Boleh jadi karena dalam kebudayaan Sunda kematian itu hal
yang sakral dan amat menegangkan pula. Begitu pun peribahasa Sunda menjelaskan bahwa hirup
katungkul ku pati, pah teu nyaho di mangsa, yang menunjukan sikap ketenangan dan pasrah
terhadap kematian yang datang tanpa diduga. Tetapi pada mitos burung sit uncuing, betapa
kematian itu benar-benar menegangkan, tidak menunjukan rasa pasrah yang disertai ketenangan.
Dengan demikian, terdapat dualisme persepsi mengenai kematian dalam kebudayaan Sunda.
Bagaimanapun, alangkah mulianya jika kita menganggap kematian itu adalah hal yang indah dan
membahagiakan.

Dari sejumlah penyair Sunda, salah satu penyair yang sajaknya dirasa kuat dalam mengungkapkan
fenomena kematian adalah Godi Suwarna. Baiklah, kali ini kita akan memfokuskan perbincangan
pada sajak-sajak Godi Suwarna, yaitu Jagat Alit, Rumah Sakit dan Durmaning Durma. Ketiga sajak
tersebut dimuat dalam antologi sajak Jiwalupat yang merupakan kumpulan dari empat antologi
sajak. Sebelumnya sajak Jagat Alit dimuat dalam antologi Jagat Alit, sedangkan Rumah Sakit
dan Durmaning Durma dimuat dalam antologi Blues Kr Lauk.

Membaca sajak Jagat Alit kita dihadapkan pada fenomena kematian yang diwujudkan dalam lirisme
yang terpusat pada aku lirik (lirisme individualis) dan norma-norma sajak yang saling berhubungan
erat. Dalam bait pertama Godi menulis:

Hareupeun kelir. Kalangkang-kalangkang wayang


Kalangkang usik-usikan, kalangkang dirobah-obah
Ieu reundeuk reujeung igel, ieu tincak reujeung ketak
Pulang anting, Pulang anting lebah dunya hideung bodas

Betapa dalam bait tersebut didominasi oleh bunyi sengau: m, n, ng, yang menimbulkan
efek lewang dankeueung. Ada pula bunyi yang terkesan berat: b, h, g. Kemudian bunyi r, k,p, s,
menambah efek parau. Hal menarik lainnya, yaitu adanya repetisi atau paralelisme yang
merupakan pengaruh dari tembang dan kawih Sunda, seperti pada: pulang anting, pulang anting /
rnghap ranjug, rnghap ranjug pada bait kedua. Paralelisme tersebut dapat menambah estetika
dan tekanan pada sajak ini. Begitu pula bunyi-bunyi yang terdapat pada bait kedua, tidak terlalu
berbeda dengan bait pertama.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, semua efek yang ditimbulkan dari bunyi berhubungan
dengan makna pada sajak tersebut. Paralelisme, bunyi yang parau dan sengau tadi menjadi sarana
estetika pada musikalitas sajak ini untuk mengungkapkan gagasan pengarang. Pada bait pertama,
kita akan menemukan visualisasi pagelaran wayang. Manusia tak ada bedanya dengan kalangkang
wayang (bayangan wayang) yang hidup di dunia yang disimbolkan dengan kelir (layar pada
pertunjukan wayang kulit). Seperti umumnyabayangan, tentu akan selalu mengikuti gerak suatu
benda. Hal itu menunjukan ketidakberdayaan manusia karena selalu diatur atau dirobah-
obah olehTuhan. Lantas pada baris ketiga, ditampilkan perilaku manusia di dunia yang simpang
siur,tidak memiliki tujuan hidup yang pasti di tengah dunia yang hideung bodas(hitam
putih). Dunia hitam putih memang sebuah dunia yang ditawarkan Tuhan kepada manusia, berupa
dunia yang jelas membedakan antara sesuatu yang benar dan yang salah, antara surga dan
neraka.
Lantas pada bait kedua tertulis:
Dongng naon nu rk midang?: Dalang kawasa
Aya raga nu tumamprak sanggeus campala noroktok
Sabot nungguan balbat, duh peuting ngajak ngalinjing
Rnghap ranjug, rnghap ranjug sammh ajal ngolbat

Barangkali kita sudah dapat memahami kalimat dongng naon nu rk midang? Kejadian-kejadian
yang akan terjadi dalam hidup sudah diketahui dan dikuasai Tuhan atau Dalang kawasa. Dalam
menyikapi hidup, aku lirik bersikap pasrah atau raga nu tumamprak (raga yang
pasrah)setelah campala noroktok memanggil untuk melanjutkan kehidupan yang disimbolkan
dengan dongng. Campala sendiri adalah kayu kecil yang digunakan dalang untuk mengetuk kotak
wayang dan menabuh kecrk). Tetapi aku lirik tidak sempat merasakan balbat (waktu
fajar) sebagai hari esok dan harapan, karena peuting sudah terlanjur ngajak
ngalinjing (malam/isyarat kematian mengajak pergi). Selain itu, ada yang menarik pada kalimat
tersebut, yaitu diksi duh yang menunjukan kesan lelah, mengeluh, dan serupa tidak ikhlas, tetapi
tetap tidak bisa melawan takdir Tuhan. Hal tersebut diperkuat dengan renghap ranjug yang
menunjukan aktifitas sebelum maut menjemput. Tetapi ketidakikhlasan tersebut tidak begitu kuat,
karena pada akhirnya yang mendominasi adalah rasa pasrah terhadap takdir Tuhan. Jelaslah sajak
ini muncul dari rasa kesepian dan keterasingan yang berujung pada kesadaran terhadap takdir
serta kematian. Hal tersebut diperkuat dengan lirisme yang terpusat pada aku lirik dan nada yang
melankolis juga cenderung memelas.

Seperti yang telah dijelaskan, dalam sajak ini terdapat visualisasi wayang untuk mengungkapkan
gagasan pengarang. Objek-objeknya pun berhubungan dengan wayang. Di antaranya
terdapat kelir, kalangkang wayang, dalang, campala. Objek-objek tersebut turut mendukung sajak
ini. Tentang diksi kelir,dalam pagelaran wayang, kelir digunakan hanya pada pagelaran wayang
kulit sebagai layar untuk menimbulkan bayangan, bukan pada pagelaran wayang golek. Tetapi itu
tidak masalah, sebab untuk mencapai metaforkalangkang wayang, rasanya diksi kelir lebih tepat
untuk digunakan.

Dari sajak ini, dapat dimengerti suatu pandangan hidup, bahwa setiap manusia sudah memiliki
takdir dan perannya masing-masing seperti kalangkang wayang yang digerakkan dalang. Kapan
manusia harus menjalankan kehidupan dan kapan harus dijemput maut, semuanya ada dalam
kekuasaan Tuhan. Baik usaha-usaha konkrit maupun sekadar obsesi perlawanan pada akhirnya
akan menemui titik takdir Tuhan. Proses kontemplasi tentang kematian ini memang bersifat
universal.

Untuk sajak kedua yang berjudul Rumah Sakit, sajak ini berwujud nirbait. Bunyi-bunyi yang muncul
pun masih didominasi bunyi sengau (n, ng, ny), imbuhan -um-, dan repetisi yang menguatkan
estetika dan musikalitas sajak.
Sajak ini pun tidak melulu meratapi nasib aku lirik.Tetapi turut mengangkat realitas yang dialami
lingkungannya, tampak dalam sajak ini pengarang menggunakan diksi urang yang berarti jamak.
Betapa perjalanan kehidupan sampai kematian itu tidak ada bedanya seperti di rumah sakit.

Jalan-jalan tingbulungbung pajuranteng nyilang ringkang. Di dieu: urang sarwa gurung gusuh
nalngtng di rohang mana raga mun kudu nyangsaya.

Memang jalan kehidupan menuju kematian selalu ngabulungbung (terbuka). Kesempatan untuk
mengakhiri hidup gampang sekali didapat. Dan manusia pasti bertanya di rohang mana (di ruang
mana) tempat terakhir itu, apakah surga atau neraka. Tak dapat dihindari, kepedihan dan
kecemasan selalu mengikuti kehidupan. Selalu ada yang kapireng nu humaregung (terdengar yang
merintih) dan bet kapireng nu jumerit nyeuit langit basa urang anjog deui ka gang nu tadi
kasorang. Ah, betapa takdir itu sedemikian pedih dan menyiksa. Kepedihan tersebut berasal dari
rasa keterasingan dari Tuhan, jelasnya manusia beuki jauh lngkah sasab. Pada akhirnya setiap
manusia akan pada-pada parna ngemu tatu swang-swang, artinya akan bertanggung jawab atau
menanggung perilaku dan dosa masing-masing. Semakin lama perilaku yang dirasa terasing dari
Tuhan tersebut semakin parah saja, seperti yang terungkap pada: Beuki jauh lngkah nyasar, beuki
samar kahayang swang-swangan. Ternyata pada akhirnya manusia selalu melihat ke masa lalu,
mengingat kembali kepedihan seperti: basa urang anjog deui ka gang nu tadi kasorang / Urang
tibra salenyapan, barang lilir horng raga nyangsaya di kamar mayit!

Jika kita amati dari judulnya, Rumah Sakit serta hal-hal yang berhubungan dengan objek itu
seperti rohang, gang, dan kamar mayit. Semua objek itu turut mendukung suasana yang intens.
Suasana dan setting rumah sakit menjadi metafor untuk mengungkapkan perjalanan menuju
kematian.
Dilihat dari sudut kontemplasi mengenai kematian, sajak ini mengungkapkan pandangan hidup
mengenai kematian yang disertai kepedihan yang akan diingat kembali dan disesali pada suatu
saat. Namun pada akhirnya ajakan kematian tidak dapat ditolak.

Berbeda dengan sajak kedua, sajak Durmaning Durma tidak lagi melankolis dan memelas dalam
cara pengungkapannya seperti pada sajak Jagat Alit. Tipografinya pun kembali berwujud nirbait.
Tipografi ini memerlukan napas yang panjang untuk membacanya. Kalau kita amati, kalimat-
kalimat pada sajak nirbait ini tampak lebih panjang, sehingga tipografi seperti ini memang sesuai
untuk kalimat-kalimat tersebut. Apalagi dengan memerlukan napas yang panjang tersebut akan
menimbulkan ketegangan dalam membacanya, sehingga mendukung untuk memaknai sajak ini.
Adapun mengenai bunyi, Godi masih konsisten dengan intensnya imbuhan -um, bunyi-bunyi
sengau, parau dan paralelisme seperti pada kalimat:sabot naratah tetengger, sabot ngaranyam
pasaran / nganti panonpo surup, nganti peteng na jajantung.Semua norma tersebut menjadi daya
dukung terhadap sajak ini.

Pada sajak ini, Godi tidak lagi menampakan lirisme yang terpusat pada aku lirik, atau lirisme
individualis, tetapi ia sudah keluar dari dirinya menjadi lirisme sosial. Walaupun fenomena
kematian tetap terjadi dan dirasakan oleh masing-masing individu, tetapi kali ini Godi juga
mengangkat fenomena kematian yang dialami oleh subjek di luar dirinya, tidak melulu meratapi
nasib aku lirik.

Sarra ninun boh swang-swang


Galumbira saban mangsa sabab jugang sumedeng dihanca wanci

Diksi judul Durma sendiri berasal dari nama pupuh Sunda yang bernada semangat. Semangat yang
dimaksud disini adalah semangat yang ironi dan satir. Umumnya, manusia menyikapi kematian
dengan cara yang konvensional, yaitu dengan penuh ketegangan dan ketakutan. Tetapi pada sajak
ini kematian ditampilkan sebagai sesuatu yang ditunggu-tunggu dan disiapkan dengan penuh
kegembiraan. Kematian tidak lagi menjadi sebuah teror. Lantas hal apakah yang menyebabkan
manusia tidak menakuti kematian? Jawabannya bisa kita amati dari kalimat: sabab jugang
sumedeng dihanca wanci. Ternyatajugang (liang lahat) telah menunggu dan semakin habis
dimakan usia. Hal tersebut juga diulangi pada kalimat: Sarra seja langgeng ngariuhan bada
dikakaya mangsa. Sikap tersebut menunjukan betapa manusia memiliki obsesi yang tinggi
terhadap kematian. Tidak menutup kemungkinan obsesi tersebut berasal kesadaran terhadap
waktu yang terus menggerogoti hidup, sehingga obsesi kematian dipilih sebagai penyelesaian. Dan
akhirnya: Sarra sarumanget humariring telekinan.
Sesuai dengan fenomena yang sedang dibincangkan,sajak ini pun memfokuskan objek-objeknya
pada metafor seperti boh (kain kafan), tetengger (batu nisan), pasaran (keranda mayat),
samoja (kamboja), pasan (batu nisan), padung (papan yang dikubur bersama mayat)
dan telekinan (talkin, do'a untuk orang yang meninggal). Semua objek tersebut sering dipakai
dalam ritual kematian, sehingga identik dan mendukung fenomena kematian.

Fenomena kematian pada sajak ini mengajak untuk berkontemplasi tentang eksistensi manusia
dan hakikat kematian itu sendiri. Apakah kematian itu sekadar nyawa yang meninggalkan raga?
Apakah kematian itu harus ditakuti atau diharapkan kedatangannya? Bagaimanapun kematian itu
tidak dapat dihindari, peteng najajantung akan terjadi pada setiap manusia. Dengan begitu,
sepertinya tidak akan bermanfaat jika kematian itu ditakuti belaka, malah kemungkinan akan
menimbulkan dgradasi psikologis. Pada sajak ini terungkap betapa kematian begitu disambut dan
disiapkan dengan baik.

Dari ketiga sajak tersebut, dapat diamati norma-norma sajak yang saling berkaitan erat. Selain itu,
terdapat pula adanya perubahan persepsi Godi Suwarna mengenai kematian. Sajak Jagat Alit lebih
menunjukan sikap pasrah terhadap takdir dan kematian, diperkuat nada yang melankolis dan
memelas. Begitu pun pada sajak Rumah Sakit, kematian dianggap sesuatu yang menyakitkan.
Tetapi terjadi perubahan persepsi untuk menyikapi fenomena kematian pada sajak Durmaning
Durma. Sajak ini mengisyaratkan kematian itu bukan hal yang harus ditakuti, tetapi harus
disambut dengan bahagia. Tampaknya Godi pun sudah semakin mengerti bahwa yang akan
mengalami kematian itu bukan hanya dirinya saja. Ia sudah bisa keluar dari dirinya dan memberi
isyarat pada orang lain bahwa kematian itu tidak sedemikian menakutkan dan menyakitkan.
Bukankah dalam kebudayaan Sunda juga kematian itu dianggap sebagai nagri tunjung sampurna?
Begitu. Cag!

Anda mungkin juga menyukai