Anda di halaman 1dari 2

NAMA : FRANKO NERO

NO : 13
KELAS : XII IPS 1

Tak Rindukah Kau

Masih di pagi ini


Makhluk-makhluk raksasa di negeri ini berkelahi
Mutul-mulut mereka semburkan bara api
Di manakah air wudlu mengalir,
Di mana kendil-kendil suci terpatri
Di mana bunga-bunga wangi tersaji

Ketika malam menjelang


Masih saja berjuta orang berperang
Mata, pikir, dan jiwa tertutup tak bermakna
Wahai yang duduk di singgasana

Tak ngerikah kau


Melihat beronggok-onggok manusia berperut tambun
Mati kaku didatangi Izrail karena tersedak harta haramnya

Tak ngerikah
Jika anak-anak yang lahir pada zaman sesudahmu
Berprilaku lebih terkutuk darimu

Tak rindukah kau


Pada negerimu yang bagai surga dunia ini
Dipenuhi orang-orang yang khusuk membangun surga di alam baka
Tak rindukah kau?

(winarto dalam Harison, edisi 40 tahun 2006)


Yang Merindu dalam Puisi
Oleh: Moh. Wan Anwar

Puisi yang berjudul “Tak Rindukah kau” karya Moh. Wan Anwar itu mengisahkan tentang sebuah
negeri yang sedang tak karuan keadaanya. Dimana terjadi krisis maupun konflik berkepanjangan yang
bahkan tidak mengenal waktu sekalipun. Dapat dilihat dari lirik puisinya
Masih di pagi ini
Makhluk-makhluk raksasa di negeri ini berkelahi
Ketika malam menjelang
Masih saja berjuta orang berperang
Jelas dalam lirik tersebut menggambarkan makna sebuah konflik yang tiada henti tanpa mengenal
waktu. Terlebih lagi penulis itu menggambarkan kekhawatirann yang mendalam jika nanti bagaimana jika
bumi ini dihuni oleh orang yang memiliki perilaku dan sikap yang lebih jelek bahkan dapat dikatakan sifat
yang sangat terkutuk. Selain itu dia juga terselip pesan-pesan rahasia kepada wakil rakyat atau
pemerintahan lewat lirik puisinya yaitu “wahai yang duduk di singgasana” melalui kata ini penulis sangat
mengkritik kinerja pemerintah.

Apakah rakyat tidak bisa melihat orang-orang yang berperut tambun ? yang bermakna suka
korupsi atau mendapatkan uang haram apakah pejabat tidak dapat berfikir bahwa kematian pasti akan
menjemputmu. Semua tubuh kaku hanya anggota badan yang akan menggambarkan perbuatan kita
sewaktu hidup di dunia.Jika kamu memakan harta yang bukan merupakan hakmu di dunia maka kamu
akan mendapat balasan dari harta haram yang kamu dapatkan sewaktu hidup. Seharusnya kamu mampu
beramal dan berbuat baik untuk kehidupan di alam baka nanti setelah kematian.Karena di alam inilah
nantinya kita akan hidup secara kekal tiada batasnya maka hendaklah kamu dapat menerima balasan
dari perbuatan baikmu indahnya surga

Berbagai macam rasa bisa tersaji dalam puisi ini. Entah Sedih, kecewa, marah, gelisah, getir,
gembira, berbahagia, cinta, dan sejenisnya semua seudah terover di dalam puisi ini. Tidak berlebihan
rasanya bila sejarah puisi, karya sastra umumnya, adalah sejarah kesedihan, kekecewaan, kemarah,
kegetiran, kebahagiaan umat manusia ketika bersentuhan dengan dunia di dalam dirinya maupun dunia
di sekelilingnya. Puisi adalah suara penyair, suara zaman yang memantulkan berbagai kondisi,
masyarakat, dan perjalan sejarah di suatu tempat selain menikmati kreativitas bahasa dan ruang dalam
diri penyair.

Sekurang-kurangnya puisi "Tak Rindukah Kau" Karya Winarto memperlihatkan gambaran


masyarakat dengan menyebutnya "sebuah negeri", negeri yang dengan sedih dan kecewa dikatakannya
begini: Masih di pagi ini/Makhluk-makhluk raksasa di negeri ini/Mulut-mulut mereka semburkan bara
api. Seperti Indonesia, yang terus menerus dihantui rasa kekhawatiran dan selalu diwarnai dengan
konflik berkepanjangan atau jangan-jangan memang benar seperti inilah kondisi Indonesia yang sedang
dilukiskan oleh Winarto itu. Soalnya, demikianlah Indonesia hari ini, penuh pakik dan teriak, penuh kapal
dan kata-kata sebal. Tak siang tak malam, berkelahi dan berperang menjadi kebiasaan. Tanpa mengenal
waktu konflik ini terus menerus terjadi seperti air mengalir yang tiada ujungnya.

Sebuah negeri yang tak menarik tentu saja. Meski Winarto menghasratkan sebuah negeri yang
lain, negeri bagai surga dan penghuninya khusuk melangkah ke surga di alam baka, tetapi kenyataan yang
mengecewakan itu sepertinya tidak akan segera berakhir, bahkan penulis mengungkapkan rasa
kekhawatiran yang mendalam akan adanya penghuni negeri setelah kita nanti yang berperilku justru
lebih buruk dari situasi negeri saat ini ? itu sebabnya Winarto hanya sampai pada subuah pertanyaan,
mungkin pelan, tetapi pasti tidak putus asa: tidak rindukah? sebuah pertanda bahwa harapan akan
kemanusiaan tak pernah hilang dari benak orang yang kritis menyikapi kenyataan. Winarto sudah
mengungkapkannya.

Anda mungkin juga menyukai