Anda di halaman 1dari 6

Menurut Wellek (dalam Baribin, 2004: 31), karya sastra adalah sebab yang

memungkinkan timbulnya pengalaman. Setiap pengalaman sebenarnya merupakan usaha


menangkap rangkaian norma dalam karya sastra. Pradopo (dalam Suharianto, 2005: 8)
mengatakan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan,
yang merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama. Puisi adalah karya
sastra yang kompleks pada setiap lariknya mempunyai makna yang dapat ditafsirkan secara
denotatif atau pun konotatif. Puisi merupakan suatu karya sastra yang inspiratif dan mewakili
makna yang tersirat dari ungkapan batin seorang penyair. Sehingga setiap kata atau kalimat
tersebut secara tidak langsung mempunyai makna yang abstrak dan memberikan imaji
terhadap pembaca. Kata-kata yang terdapat dalam puisi dapat membentuk suatu bayangan
khayalan bagi pembaca, sehingga memberikan makna yang sangat kompleks.

Wellek (dalam Pradopo, 1990: 15) mengemukakan analisis strata norma menurut
Roman Ingarden sebagai berikut:

1. Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Suara sebagai konvensi bahasa,
disusun sedemikian rupa hingga menimbulkan arti. Sehingga suara itu tidak hanya sekadar
suara tidak berarti. Dengan adanya suara-suara itu, akan bisa ditangkap artinya atau maksud
dari puisi tersebut.

2. Lapis arti (unit of meaning), yaitu berupa rangkauan fonem, suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Semuanya merupakan satuan-satuan arti.

3. Lapis yang berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang
yang berupa cerita atau lukisan.

4. Lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi
terkadung dalamnya (implied).

5. Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis yang sublim, tragis, mengerikan atau
menakutkan, dan suci. Melalui sifat-sifat seni ini dapat memberikan renungan atau
kontemplasi kepada pembaca.

Strata norma dari Roman Ingerden ini diterapkan pada saat melakukan analisis dan
interpretasi pada puisi yang diteliti. Karena biasanya analisis dan interpretasi puisi dilakukan
secara bersamaan.
ANALISIS STRATA NORMA

Jejak Kembara

Ketika aku datang


Di dunia pewayangan penyulam kehidupan
Hembusan anginlah yang setia menemani derap langkah
Gemerisik dedaunan bak irama keindahanlah
Yang hadir menyanyikan seruan angan

Dalam remang cahaya gemintang


Sekilas nampak rajutan mimpi
Yang memedarkan kelabuan hati
Membiaskan secerca harapan
Pada dinginnya ruang-ruang khayalan

Saat bulir air hujan menghempas keras


Kususuri jalan yang penuh dengan kerikil cadas
Kuraba helai pakaian yang mengatup kuyup
Seakan dingin menusuk hingga ke tulang rusuk

Semilir angin berhembus penuh kekakuan


Seolah menyibakkan tirai kegalauan
Saat perjalanan adalah perasaan
Yang mengungkapkan rahasia kemenjadian

Sejenak kutoreh ke belakang


Menyaksikan roda sejarah yang membentang
Pohon besar di tanah gersang
Gema petir yang menggelegar
Tanah merah yang merekah
Serta dingin malam yang terbuai nyanyian bulan
Merapal jejak langkah lembaran kehidupan
Yang menjelma menjadi raga penuh makna
Karya : Annisa Tri Sari
1. Lapis Bunyi (sound stratum)

Lapis norma pertama adalah lapis bunyi. Bila orang membaca puisi, maka yang
terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.
Tetapi suara itu bukan hanya suara yang tak berarti. Suara itu sesuai dengan konvensi bahasa,
disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti (Pradopo, 2003:66).
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan barangkali
merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase, dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi
dalam sajak itu adalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, di sini
bahasa Indonesia. Hanya saja dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada
bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat ”istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan
untuk mendapat efek puitis atau nilai seni, terutama di sini bunyi-bunyi yang mengandung
ekspresi kuat, yang adanya memang disengaja oleh penyair untuk mengekspresikan
pengalaman jiwanya.
Pada bait pertama baris pertama sajak ”Jejak Kembara” ada asonansi e dan a, di baris
pertama aliterasi p dan n: di dunia pewayangan, penyulam kehidupan. Begitu juga pada bait
kedua ada aliterasi e dan ng: dalam remang cahaya gemintang. Pola sajak akhir bait ke-4: aa-
aa.
Semilir angin berhembus penuh kekakuan
Seolah menyibakkan tirai kegalauan
Saat perjalanan adalah perasaan
Yang mengungkapkan rahasia kemenjadian
2. Lapis Arti (units of meaning)
Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu
merupakan satuan-satuan arti. Akan tetapi, dalam karya sastra yang merupakan satuan
minimum arti adalah kata. Kata dirangkai menjadi kelompok kata dan kalimat. Kalimat-
kalimat berangkai menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak
(Pradopo, 2003:67).
Dalam bait pertama, hembusan anginlah yang setia menemani derap langkah berarti :
tidak seorang pun yang menemaninya dalam tiap langkahnya, hanya angin sajalah.
Gemerisik dedaunan bak irama keindahanlah, yang hadir menyanyikan seruan angan.
Hanya gemerisik dedaunan lah yang menjadi sumber keindahan baginya, ayng hadir
bersamaan dengan angannya.Dalam bait kedua; ia memiliki sebuah mimpi yang dapat
memudarkan kekhwatirannya dan memberikan ia sebuah harapan di dalam angan-angannya.
Bait ketiga; untuk mencapai apa yang ia harapkan tersebut, ia harus menelusuri tiap
perjalanan yang penuh dengan masalah, rintangan dan hambatan-hambatan yang ada di
sekeliling perjalanannya. Bait kelima; sejenak ia melihat masa lalunya, semuanya memiliki
makna.

3. Lapis Ketiga
Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, latar, pelaku, dan semuanya itu berangkai menjadi dunia pengarang
berupa cerita, lukisan, ataupun pernyataan.
objek-objek yang dikemukakan : dunia pewayangan, remang cahya bintang, bulir air
hujan, ke belakang, pohon besar, gema petir, tanah merah.
Pelaku atau tokoh : si aku. Latar waktu : waktu malam remang cahaya gemintang.
Latar tempat : jalan yang penuh cadas.
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh
pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar,
pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut :
Si aku di dunia sumber kehidupan dalam waktu malam remang cahaya gemintang,
dan jalan yang penuh cadas, berusaha mencari sesuatu yang ia harapkan, dan penuh dengan
tantangan yang menghadang.

4. Lapis Keempat
Lapis norma keempat adalah lapis ”dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu
yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit karena sudah terkandung di dalamnya (implisit).
Sebuah peristiwa dapat dikemukakan atau dinyatakan ”terdengar” atau ”terlihat”, bahkan
peristiwa yang sama, misalnya jederan pintu, dapat menyiratkan atau memperlihatkan aspek
watak ”luar” atau ”dalam”. Misalnya, pintu membuka bersuara halus dapat memberi sugesti
yang membuka atau yang menutup seorang wanita atau orang yang berwatak hati-hati.
Keadaan yang telihat dapat memberikan sugesti atau menyiratkan orang yang ada di
dalamnya.
Pada bait pertama kita dapat menemukan sang tokoh dalam puisi tersebut berada
dalam dunia yang bukan dirinya sendiri yang hanya dapat menentukan jalannya, dan tak
seorang pun yang menjadi teman dalam perjalanannya, hanya gerak di sekelilingnya yang
dapat ia dengarkan. Pada bait kedua, ia sedang berada pada suatu malam, dan ia bermimpi,
dari dalam mimpinya ia temukan sebuah harapan yang membangkitkan semangatnya
meskipun hanya dalm ruang imajinasi dan khayalannya. Pada bait ketiga, ia berusaha untuk
meraih mimpi yang ia harapkan, dan di dalam perjalanannya tersebut ia menemukan berbagai
macam rintangan.

5. Lapis Kelima
Lapis norma kelima adalah lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisik (yang sublim,
yang tragis, mengerikan  atau menakutkan, dan yang suci). Dengan sifat-sifat ini karya sastra
dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca.
Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan hidup manusia : yaitu untuk meraih sebuah
mimpi, seseorang harus menempuh jalan yang di dalamnya terdapat berbagai macam
rintangan, dengan begitulah ia mendapatkan mimpinya.
Jika kita membaca puisi dengan penuh keseriusan, dapat kita temukan makna “kerikil
cadas”, jelas memiliki makna gambaran peristiwa yang cukup tragis. Memang penyampaian
kata, bahasa dalam puisi itu sederhana, namun makna yang dikandungnya cukup dalam.
KESIMPULAN
Puisi jejak kembara karya Annisa Tri Sari menceritakan mengenai sang tokoh dalam
puisi tersebut berada dalam dunia yang bukan dirinya sendiri yang hanya dapat menentukan
jalannya, dan tak seorang pun yang menjadi teman dalam perjalanannya, hanya gerak di
sekelilingnya yang dapat ia dengarkan, ia sedang berada pada suatu malam, dan ia bermimpi,
dari dalam mimpinya ia temukan sebuah harapan yang membangkitkan semangatnya
meskipun hanya dalm ruang imajinasi dan khayalannya, ia berusaha untuk meraih mimpi
yang ia harapkan, dan di dalam perjalanannya tersebut ia menemukan berbagai macam
rintangan. Setiap perjalanan yang ia alami, ia merasakan makna tersendiri, dan saat ia
menatap masa lalu yang membentang, ia tersadar sedang melangkah ddlam kehidupannya,
dan semuanya itu memiliki makna yang sangat berarti dalam jiwa dan raganya.

Anda mungkin juga menyukai