Anda di halaman 1dari 5

Materi Pembelajaran 1 Puisi

Pada pertemuan daring ini kalian bisa mempelajari materi ringkas tentang Puisi
(Pengertian puisi, unsur pembentuk puisi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam puisi). Apa
sebenarnya puisi itu? Puisi merupakan salah satu karya sastra, selain prosa dan drama.
Sebagai sebuah karya sastra, puisi ditulis seseorang untuk mengungkapkan pikiran,
gagasan, dan perasaannya dalam bentuk kata-kata yang indah. Kata-kata dalam puisi
cenderung bersifat kiasan dan disampaikan dengan teknik figuratif. Tujuannya adalah untuk
menciptakan suasana-suasana yang mampu menggugah imajinasi, perasaan, dan keindahan
bagi pembacanya. Dalam puisi, kata-kata dipilih sedemikian rupa secara selektif agar dapat
memunculkan efek tertentu dan menampung makna yang menggambarkan pikiran, gagasan,
dan perasaan penyair. Pemilihan kata-kata atau diksi juga harus mempertimbangkan irama,
rima, larik, bait, dan tipografi (bentuk) puisi. Oleh karena itulah, unsur bahasa dalam puisi
dianggap lebih padat jika dibandingkan dengan karya sastra lainnya.
Untuk lebih memahami pilihan kata/diksi, berikut beberapa contoh telaah diksi dalam
puisi.

a. Majas

Padamu Jua (Karya Amir Hamzah)


Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku
(Sumber: Antologi Nyanyi Sunyi, 2008)

Ulasan : Pada bait pertama puisi “Padamu Jua” terdapat larik /Segala cintaku hilang terbang/.
Hal itu menunjukkan adanya majas metafora, yaitu kiasan yang bersifat langsung, tetapi tidak
menggunakan kata-kata pembanding missal bagai, bak, dan seperti. Pada baris tersebut, cinta
dikiaskan seperti burung yang dapat terbang. Majas metafora juga terdapat pada bait kedua,
yaitu di baris /Engkaulah kandil kemerlap/. Pada larik tersebut, si engkau dikiaskan sebagai
pelita/lampu cahaya yang terang dalam kegelapan. Selain itu, pada bait kelima terdapat majas
metafora dalam baris /engkau ganas/mangsa aku dengan cakarmu/. Penyair mengiaskan si
engkau seperti binatang buas yang mempunyai cakar dan hendak memangsa.
Selain metafora, puisi “Padamu Jua” juga mengandung majas personifikasi, seperti yang
terdapat dalam baris /Pelita jendela di malam gelap/ melambai pulang perlahan/ atau /Kasihmu
sunyi/menunggu seorang diri/.
Personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan sesuatu dengan manusia yang dapat
berbuat, melakukan suatu hal, dan sebagainya.
Dalam puisi “Padamu Jua” di atas, terdapat juga majas simile, yaitu perbandingan atau
perumpamaan yang menyamakan suatu hal dengan hal lain.
Kata-kata pembanding: bagai, bak, seperti, seumpama, dan laksana. Contoh simile terdapat
pada baris /Engkau pelik menarik ingin/serupa dara di balik tirai/.

b. Citraan
Pengimajian atau citraan merupakan kata atau susunan kata yang dapat menimbulkan efek
khayalan atau imajinasi pada diri pembaca. Dengan begitu, seolah-olah pembaca ikut
merasakan, mendengar, melihat, meraba, dan mengecap sesuatu yang diungkapkan dalam
puisi (Pradopo, 2012: 80). Berikut ini penjelasan macam-macam citraan.
1) Citraan penglihatan merupakan susunan kata yang mampu member rangsangan pada
indra penglihatan. Karena itu, hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat. Contohnya
tampak pada baris /Subuh hari kulihat bunga-bunga hujan dan daun-daun hujan/berguguran
di kebun hujan, bertaburan jadi sampah hujan/.
2) Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui
indra pendengaran (telinga). Citraan ini dapat dihasilkan dengan menyebutkan atau
menguraikan bunyi suara. Citraan pendengaran terlihat dalam baris /aku mendengar suara ricik
air sungai yang ngalir/di antara batu-batu dan batang pohonan/yang rubuh ke ciwulan/. Larik-
larik tersebut menimbulkan citraan pendengaran berupa efek yang menimbulkan imajinasi
suara yang didengar.
3) Citraan penciuman atau disebut juga citraan olfactory ialah susunan kata yang
menimbulkan efek seakan-akan pembaca ikut mencium bau sesuatu. Sebagai contoh, diksi bau
mesiu, bau mayat, dan bau kotoran dalam puisi menimbulkan khayalan indra penciuman pada
pembaca.
4) Citraan perabaan terkait dengan indra perabaan (kulit). Gambaran rasa pada indra peraba
yang muncul dalam imajinasi pembaca dapat tergolong sebagai citraan perabaan. Hal ini
mencakup berbagai rasa seperti perih, lembut, kasar, panas, dingin, dan sebagainya. Contoh
citraan perabaan dalam puisi ditunjukkan dengan kata-kata mengusap pundak/angin terasa
dingin/cahaya bulan menyentuh miring/.
5) Citraan gerak atau kinestetik dalam puisi membuat pembaca seakan ikut merasakan atau
mengikuti gerakan tertentu. Sebagai contoh, dalam puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar
sosok pahlawan digambarkan bergerak melalui efek imajinasi pembaca dengan susunan
kata-katanya, seperti /hidup kembali/di depan sekali tuan menanti/tak
gentar/maju/serbu/serang/terjang/.
6) Citraan pengecapan berhubungan dengan indra pengecap rasa pada lidah. Efek yang
ditimbulkan citraan pengecapan, yaitu seakan-akan pembaca bisa mengecap rasa yang
disampaikan dalam puisi. Citraan ini diungkapkan melalui kata-kata, seperti manis, pahit, asam,
pedas, kecut, asin, dan sejenisnya.

c. Kata Konkret
Secara umum, kata konkret adalah kata yang rujukannya lebih mudah ditangkap oleh indra.
Konkret dapat berarti nyata, berwujud, atau benarbenar ada. Berikut contoh analisis kata
konkret dalam puisi “Hujan Bulan
Juni” karya Sapardi Djoko Damono.

Hujan di Bulan Juni


—Karya Sapardi Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(sumber: Antologi Hujan Bulan Juni, 1994)

Ulasan : Terdapat beberapa kata pada puisi di atas yang dapat digolongkan sebagai kata
konkret, di antaranya hujan, jalan, dan pohon bunga. Kata hujan dapat mengonkretkan maksud
penulis untuk manusia yang selalu jatuh atau menangis. Hal ini dibuktikan dengan larik
selanjutnya yang menyebutkan bahwa sosok hujan sangat tabah. Ia menyembunyikan
perasaan rindunya
pada pohon yang berbunga. Kata jalan juga dapat tergolong sebagai kata konkret karena dapat
diartikan sebagai kehidupan atau kisah hidup. Hal ini tampak pada larik selanjutnya, yaitu
/dihapuskan jejak-jejak kakinya/ yang ragu-ragu di jalan itu/. Ungkapan ini dapat bermakna
seseorang yang melupakan kisah masa lalunya. Adapun kata pohon bunga dapat
mengonkretkan wujud atau sosok seseorang atau sesuatu yang dirindukan atau dinginkan.
Kata bunga juga dapat dimaknai sebagai seseorang yang cantik atau perempuan yang
diharapkan.

d. Kata Konotatif
Kata konotatif merupakan kata-kata yang berasosiasi. Asosiasi merupakan keterkaitan makna
kata dengan hal lain di luar bahasa. Dalam hal ini, makna konotatif timbul sebagai akibat
asosiasi perasaan kita terhadap kata yang dibaca, diucapkan, atau didengar. Berikut contoh
kata konotatif dalam puisi “Candra” karya Sanusi Pane.

Candra
—Karya Sanusi Pane
Badan yang kuning-muda sebagai kencana,
Berdiri lurus di atas reta bercahaya,
Dewa Candra keluar dari istananya
Termenung menuju Barat jauh di sana

Panji berkibar di tangan kanan,tangan kiri


Memimpin kuda yang bernapaskan nyala;
Begitu dewa melalui cakrawala,
Menabur-naburkan perak ke bawah sini.

Bisikan malam bertiup seluruh bumi,


Sebagai lagu-merawan buluh perindu,
Gemetar-beralun rasa meninggikan sunyi.

Bumi bermimpi dan ia mengeluh di dalam


Mimpinya, karena ingin bertambah rindu
Karena rindu dipeluk sang Ratu Malam.
(Sumber:https://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lainlain/puisi-
puisi-sanusi-pane)

Ulasan : Dalam puisi di atas, terdapat larik ‘kuda bernafaskan nyala’. Kata nyala umumnya
mengikuti kata api atau sebagai penjelas kata api. Kata nyala juga dapat diartikan sebagai
hidup, bertenaga, ataupun berkobar. Dalam hal ini, baris /nafas kuda yang menyala/
sebenarnya bermakna sosok kuda yang memiliki semangat berkobar atau kuda yang kuat
bertenaga. Larik berikutnya yang mengandung konotasi adalah /Waktu berhenti di tempat
ini/Tidak berombak, diam semata/.
Dalam puisi tersebut, waktu dikatakan tidak berombak atau dalam keadaan tenang.
Kata-kata tersebut tidak menunjukkan makna sebenarnya, tetapi bermakna tidak ada
gangguan, damai, dan tenteram. Demikian penjelasan gaya bahasa (majas), pengimajian, kata
konkret, dan kata konotatif sebagai pendukung makna yang disampaikan penyair melalui
puisinya.

Anda mungkin juga menyukai