Anda di halaman 1dari 18

RON GARING

Wengi sansaya atis


nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan
kang digawa dening angin

prasasat tan kendhat


anggonku kulak warta adol prungu
ananging isih mamring

aku wis pingin cecaketan


obormu kang makantar-kantar
madhangi jangkah lan jagatku

ana ngendi papanmu


lelana tapa brata
tanpa pawarta tanpa swara

aku kadya ron garing


kumleyang kabur kanginan
ing jagat peteng lelimengan

krasa luwih abot


anggonku ngadhepi dina-dina ing ngarep
mlakuku ora mantep

kagubet ribet lan ruwet


adoh saka cahyamu
pedhut ing sakindering pandulu

panjenengan
guruku, sihku, oborku
kancanana sukmaku sinau bab katresnan sajroning ati.
[i]Pengarang[/i] : Budhi setyawan
Dari segi isi geguritan Ron Garing menggambarkan sisi religiusitas yang tidak
tersampai dalam kehidupan seseorang. Hal ini dapat ditandai dalam bait pertama dan bait
kelima sebagai lukisan alam dan suasana yang menyelimuti diri seseorang, seperti Wengi
sansaya atis (malam semakin dingin) nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan
(ketika aku bersembunyi di dalam suara gamelan) kang digawa dening angin (yang dibawa
oleh angin). Suasana apresiatif yang mendalam terhadap hadirnya suara gamelan yang
mengantar sisi religiusitas dalam batin seseorang untuk menyatakan pengakuan dan pemujaan
akan keagungan Tuhan.

Begitu pula dalam bait kelima terasa sekali bahwa sisi religiusitas tersebut menemui
kekecewaan hati karena tidak tersampainya maksud hati. aku kadya ron garing (aku
seperti daun kering) kumleyang kabur kanginan (melayang-layang terbawa angin) ing jagat
peteng lelimengan (di alam gelap yang sangat pekat) ini menggambarkan perasaan berdosa
seseorang karena merasa kurang dalam beribadah, atau sejenisnya.
Proses pencarian yang senantiasa berakhir hampa sangat terasa bila dicermati pada bait isi
yaitu bait kedua, ketiga, dan keempat. Seolah lukisan alam pada bait pertama menjadi simbol
(semacam sampiran dalam parikan pantun Jawa). Begitu pula bait kelima menjadi lambang
alami sampiran akan isi pada bait keenam, ketujuh, dan kedelapan. Adapun isi hati yang
tercurah pada bagian kedua ini merupakan sisi berat kelanjutan proses penemuan jati diri
yang semakin menjadi nuansa khayali.

ANALISIS
Analisis Aspek Gramatikal Wacana
Analisis wacana geguritan (puisi Jawa) dari aspek gramatikal atau kohesi gramatikal ini
meliputi pengacuan (referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), dan
perangkaian (konjungsi).
1 Pengacuan (Referensi)
Pengacuan (referensi) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengacuan persona,
demonstratif, dan komparatif. Pengacuan persona yang ditemukan dalam puisi ini
mencakup persona pertama dan kedua tunggal dalam bentuk bebas maupun terikat.
Pengacuan persona dapat diamati pada baris-baris puisi berikut (nomor-nomor di belakang
kutipan teks dengan angka arab menunjukkan nomor-nomor baris dalam keseluruhan puisi,
sedangkan nomor dengan angka romawi menunjukkan urutan bait).
a. Pengacuan Persona
(1) nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan (2/I)
alih bahasa Indonesia : ketika aku bersembunyi di dalam suara gamelan
analisis : kata aku dalam teks puisi baris kedua bait I merupakan pengacuan referensi
persona pertama tunggal bentuk bebas mengacu pada diri sang penyair.
(2) anggonku kulak warta adol prungu (5/II)
alih bahasa Indonesia : dalam kelanaku mencari kabar berita
analisis : unsur ku pada kata anggonku dalam teks puisi baris kelima bait II merupakan
pengacuan referensi persona pertama tunggal bentuk terikat lekat kanan mengacu pada
diri sang penyair.
(3) aku wis pingin cecaketan (7/III)
alih bahasa Indonesia : aku sudah ingin berdekatan
analisis : kata aku dalam teks puisi baris ketujuh bait III merupakan pengacuan referensi
persona pertama tunggal bentuk bebas mengacu pada diri sang penyair.
(4) obormu kang makantar-kantar (8/III)
alih bahasa Indonesia : sinarmu yang menyala-nyala

analisis : unsur mu pada kata obormu dalam teks puisi baris kedelapan bait III
merupakan pengacuan referensi persona kedua tunggal bentuk terikat lekat kanan
mengacu pada sosok yang dipuja oleh sang penyair (Tuhan).
(5) madhangi jangkah lan jagatku (9/III)
alih bahasa Indonesia : menerangi langkah dan duniaku
analisis : unsur ku pada kata jagatku dalam teks puisi baris kesembilan bait III ini
merupakan pengacuan referensi persona pertama tunggal bentuk terikat lekat kanan
mengacu pada diri sang penyair.
(6) ana ngendi papanmu (10/IV)
alih bahasa Indonesia : di mana tempatmu
analisis : unsur mu pada kata papanmu dalam teks puisi baris kesepuluh bait IV ini
merupakan pengacuan referensi persona kedua tunggal bentuk terikat lekat kanan
mengacu pada sosok yang dipuja oleh sang penyair (Tuhan).
(7) aku kadya ron garing (13/V)
alih bahasa Indonesia : aku seperti daun kering
analisis : kata aku dalam teks puisi baris ketiga belas bait V ini merupakan pengacuan
referensi persona pertama tunggal bentuk bebas mengacu pada diri sang penyair.
(8) anggonku ngadhepi dina-dina ing ngarep (17/VI)
alih bahasa Indonesia : dalam langkahku menghadapi hari-hari di depan
analisis : unsur ku pada kata anggonku dalam teks puisi baris ketujuh belas bait VI ini
merupakan pengacuan referensi persona pertama tunggal bentuk terikat lekat kanan
mengacu pada diri sang penyair.
(9) mlakuku ora mantep (18/VI)
alih bahasa Indonesia : jalanku tidak mantap
analisis : unsur ku pada kata mlakuku dalam teks puisi baris kedelapan belas bait VI ini
merupakan pengacuan referensi persona pertama tunggal bentuk terikat lekat kanan
mengacu pada diri sang penyair.
(10) adoh saka cahyamu (20/VII)

alih bahasa Indonesia : jauh dari cahyamu


analisis : unsur ku pada kata cahyamu dalam teks puisi baris kedua puluh bait VII ini
merupakan pengacuan referensi persona kedua tunggal bentuk terikat lekat kanan
mengacu pada sosok yang dipuja penyair (Tuhan).
(11) panjenengan (22/VIII)
alih bahasa Indonesia : engkau
analisis : kata panjenengan dalam teks puisi baris kedua puluh dua bait VIII merupakan
pengacuan referensi persona kedua tunggal bentuk bebas mengacu pada sosok yang
dipuja oleh penyair.
(12) guruku, sihku, oborku (23/VIII)
alih bahasa Indonesia : guruku, pemberiku, sinarku
analisis : unsur ku pada kata guruku, sihku, dan oborku dalam teks puisi baris kedua
puluh tiga bait VIII ini merupakan pengacuan referensi persona pertama tunggal bentuk
terikat lekat kanan mengacu pada diri sang penyair.
(13) kancanana sukmaku sinau bab katresnan sajroning ati. (24/VIII)
alih bahasa Indonesia : temanilah sukmaku belajar tentang cinta di dalam hati
analisis : unsur ku pada kata sukmaku dalam teks puisi baris kedua puluh empat bait
terakhir merupakan pengacuan referensi persona pertama tunggal bentuk terikat lekat
kanan mengacu pada diri sang penyair.
Bila dicermati dari dua puluh empat larik geguritan Ron Garing terdapat tiga belas
larik atau separoh lebih satu larik atau 54,17% yang terdapat kohesi gramatikal
pengacuan persona. Dari tiga belas pengacuan (referensi) persona tersebut sepuluh larik
atau 41,67% berupa pengacuan persona pertama tunggal yang mengacu pada diri sang
penyair dan terdapat tiga larik atau 12,50% yang mengandung pengacuan persona kedua
tunggal mengacu pada sosok yang dipuja oleh penyair (Tuhan).
Secara umum pemunculan referensi persona pertama dan kedua berbentuk terikat
meskipun terdapat juga yang bentuk bebas. Jika diperbandingkan maka persona pertama
tunggal lebih banyak daripada persona kedua tunggal baik itu yang bentuk bebas
maupun yang bentuk terikat. Ditilik dari penggunaan referensi persona ini dapat ditandai
bahwa di dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya Budhi Setyawan terdapat
komunikasi antara persona pertama (penyair) dengan persona kedua (yang dipuja oleh
penyair Tuhan).

b. Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif berupa pronomina penunjuk waktu atau tempat. Pronomina
demonstratif waktu dapat mengacu pada waktu kini, lampau, waktu yang akan datang,
atau waktu netral. Dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing ini terdapat empat larik
yang mengandung persona pronomina penunjuk waktu, seperti berikut : (nomor-nomor
menunjukkan nomor urutan baris dalam teks puisi).
Wengi sansaya atis (1)
Alih bahasa Indonesia : malam semakin dingin
Analisis : persona demonstratif wengi pada baris pertama geguritan tersebut mengacu
pada realita waktu sekarang atau waktu kini, yaitu malam ketika sang penyair
mengutarakan gagasan dalam bentuk geguritan ini khususnya mengacu kepada
pronomina demostratif sebagaimana tertera pada baris berikutnya (nalika aku sesingidan
ing sajroning swara gamelan).
nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan (2)
Alih bahasa Indonesia : ketika aku bersembunyi di dalam suara gamelan
Analisis : persona demonstratif nalika dalam geguritan Ron Garing baris kedua
mengacu pada pronomina waktu lampau, yaitu malam ketika sang penyair
mengutarakan gagasan dalam bentuk geguritan ini.
aku wis pingin cecaketan (7)
Alih bahasa Indonesia : aku sudah ingin berdekatan
Analisis : persona demonstratif wis dalam geguritan Ron Garing baris ketujuh
mengacu pada pronomina waktu lampau, yaitu waktu sebelum malam sang penyair
mengutarakan gagasan dalam bentuk geguritan ini.
anggonku ngadhepi dina-dina ing ngarep (17)
Alih bahasa Indonesia : dalam diriku menghadapi hari-hari di depan
Analisis : persona demonstratif dina-dina dalam geguritan Ron Garing baris ketujuh
belas mengacu pada pronomina waktu yang akan datang, yaitu hari-hari setelah sang
penyair mengutarakan gagasan dalam bentuk geguritan itu..
Pengacuan demonstratif berupa pronomina penunjuk tempat dapat mengacu tempat
dekat iki atau agak jauh sedikit kuwi dan bila jauh kae. Dalam geguritan Ron Garing
tidak terdapat pronomina penunjuk tempat sebagaimana dimaksud di depan, tetapi ada

enam baris yang merujuk pada pronomina demostratif yang mengacu tempat secara
eksplisit, seperti berikut : (nomor-nomor menunjukkan nomor urutan baris dalam teks
puisi).
nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan (2)
Alih bahasa Indonesia : ketika aku bersembunyi di dalam suara gamelan
Analisis : persona demonstratif ing dalam geguritan Ron Garing baris kedua mengacu
pronomina tempat secara eksplisit.
madhangi jangkah lan jagatku (9)
Alih bahasa Indonesia : menerangi langkah dan duniaku
Analisis : persona demonstratif jagat- dalam geguritan Ron Garing baris kesembilan
mengacu pronomina tempat secara eksplisit.
ana ngendi papanmu (10)
Alih bahasa Indonesia : di mana tempatmu
Analisis : persona demonstratif ngendi dalam geguritan Ron Garing baris kesepuluh
mengacu pronomina tempat berupa kata tanya.
anggonku ngadhepi dina-dina ing ngarep (17)
Alih bahasa Indonesia : dalam aku menghadapi hari-hari berikutnya
Analisis : persona demonstratif ing dalam geguritan Ron Garing baris ketujuh belas
mengacu pronomina tempat secara eksplisit.
pedhut ing sakindering pandulu (21)
Alih bahasa Indonesia : mega di sekitar penglihatan
Analisis : persona demonstratif ing dalam geguritan Ron Garing baris kedua puluh
satu mengacu pronomina tempat secara eksplisit.
kancanana sukmaku sinau bab katresnan sajroning ati. (24)
Alih bahasa Indonesia : temanilah sukmaku belajar tentang cinta di dalam hati
Analisis : persona demonstratif sajroning dalam geguritan Ron Garing baris kedua
puluh empat mengacu pronomina tempat secara eksplisit.
c. Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif atau perbandingan adalah membandingkan dua hal atau lebih
yang mempunyai kemiripanatau kesamaan bentuk, keadaan, sikap, perilaku, dan
sebagainya. Kata kata bahasa Jawa yang biasa digunakan untuk membandingkan
misalnya pindha, kaya, lir, kadya, prasasat yang berarti seperti, bagai, bagaikan, atau
laksana. Dalam geguritan Ron Garing karya Budhi Setyawan ditemukan dua larik
yang mengandung pengacuan komparatif, seperti tuturan berikut : (nomor-nomor
menunjukkan nomor urutan baris dalam teks puisi)

prasasat tan kendhat (4)


Alih bahasa Indonesia : bagaikan tidak berhenti
Analisis : kata prasasat dalam geguritan Ron Garing baris keempat merupakan
pengacuan komparatif mengacu pada perbandingan keadaan.
aku kadya ron garing (13)
Alih bahasa Indonesia : aku seperti daun kering
Analisis : kata kadya dalam geguritan Ron Garing baris ketiga belas merupakan
pengacuan komparatif mengacu pada perbandingan bentuk (membandingkan diri sang
penyair dengan ron garing.
Dari uraian tentang referensi terdapat satu hal yang menarik yaitu kata kadya dalam
geguritan Ron Garing baris ketiga belas tersebut merupakan pengacuan komparatif
mengacu pada perbandingan wujud bisa juga ditafsirkan keadaan, atau perilaku, bahkan
bisa menggambarkan wujud, keadaan, perilaku, sikap, seseorang pada umumnya atau
membandingkan diri sang penyair dengan ron garing. Lebih menarik lagi bahwa acuan
kata kadya tersebut (ron garing) adalah frase yang sekaligus diangkat sebagai judul dari
puisi Jawa tersebut.
2. Penyulihan (Substitusi)
Aspek gramatikal kedua yang mendukung kepaduan wacana geguritan (puisi Jawa)
adalah penyulihan (substitusi), yaitu penggantian unsur tertentu dengan unsur yang lain
yang mengacu pada realitas yang sama. Dalam geguritan Ron Garing karya Budhi
Setyawan ditemukan dua larik yang mengandung aspek gramatikal substitusi

(penyulihan), yaitu baris kedua puluh dua dan baris kedua puluh tiga yang keduanya
terdapat dalam bait kedelapan atau bait terakhir.
panjenengan (22)
guruku, sihku, oborku (23)
Alih bahasa Indonesia : engkau (22)
Alih bahasa Indonesia : guruku, pemberiku, sinarku (23)
Analisis : kata panjenengan dalam geguritan Ron Garing baris kedua puluh dua
merupakan penyulihan (subsitusi) mengacu pada sosok yang disebut-sebut sebelumnya,
yaitu sosok yang disebut tidak pernah ditemukan penyair dalam pencarian.
Analisis : begitu pula kata guruku, sihku, oborku dalam geguritan Ron Garing baris
kedua puluh tiga merupakan penyulihan (subsitusi) mengacu pada sosok yang disebut
sebelumnya, yaitu panjenengan pada larik kedua puluh dua.
3. Pelesapan (Elipsis)
Pelesapan (elipsis) merupakan salah satu jenis aspek gramatikal yang berupa
penghilangan unsur (konstituen) tertentu yang telah disebutkan. Unsur yang dilesapkan
dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Dalam teks puisi penghilangan unsur semacam itu
sering terjadi, seperti dapat diamati pada tuturan berikut.
kang digawa dening angin (3)
alih bahasa Indonesia : yang dibawa oleh angin
prasasat tan kendhat (4)
alih bahasa Indonesia : sungguh tiada tersampai
ananging isih mamring (6)
alih bahasa Indonesia : namun masih senyap
aku wis pingin cecaketan (7)
alih bahasa Indonesia : aku sudah ingin berdekatan
madhangi jangkah lan jagatku (9)
alih bahasa Indonesia : menerangi langkah dan duniaku
lelana tapa brata (11)
alih bahasa Indonesia : mengelana dan bertapa\

tanpa pawarta tanpa swara (12)


alih bahasa Indonesia : tiada berita tiada suara
kumleyang kabur kanginan (14)
alih bahasa Indonesia : melayang-layang tertiup angin
ing jagat peteng lelimengan (15)
alih bahasa Indonesia : di dunia nan gelap pekat
krasa luwih abot (16)
alih bahasa Indonesia : terasa lebih berat
kagubet ribet lan ruwet (19)
alih bahasa Indonesia : terhambat dan tersendat
adoh saka cahyamu (20)
alih bahasa Indonesia : jauh dari cahyamu
Pada larik-larik puisi tersebut terjadi pelesapan, khususnya pelesapan subjek dan objek
yang sebenarnya dapat dirunut atau dilacak kembali subjek atau objek itu pada kalimatkalimat sebelumnya atau sesudahnya yang berdekatan. Pada tuturan (3), (4), (6), (7), (9),
(11), (12), (14), (15), (16), (19), dan (20) subjek yang dilesapkan terdapat pada lariklarik sebelumnya, seperti contohnya larik kedua nalika aku sesingidan ing sajroning
swara gamelan ketika aku bersembunyi di dalam suara gamelan, swara gamelan suara
gamelan men-subjek-i larik ketiga atau tuturan (3) tersebut. Pada tuturan (7) objek yang
dilesapkan terdapat pada larik sesudahnya yaitu larik kedelapan yang berbunyi obormu
kang makantar-kantar sinarmu yang menyala-nyala.
Pelesapan sebagai salah satu aspek gramatikal pendukung kepaduan wacana itu
berfungsi untuk memenuhi kepraktisan dalam bertutur, menghasilkan kalimat yang
efektif, menciptakan efisiensi dalam berbahasa, dan bagi pembaca atau mitra tutur dapat
berfungsi mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam
tuturan.
4. Perangkaian (Konjungsi)
Perangkaian (konjungsi) merupakan salah satu aspek gramatikal yang berfungsi
menghubungkan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Perangkaian
menyatakan bermacam-macam makna, misalnya menyatakan pertentangan, urutan
(sekuensial), sebab-akibat, konsesif, dan sebagainya. Dalam puisi yang dikaji ini juga
ditemukan beberapa jenis konjungsi seperti tampak pada tuturan berikut.

nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan (2)


alih bahasa Indonesia : ketika aku bersembunyi di dalam suara gamelan
kang digawa dening angin (3)
alih bahasa Indonesia : yang dibawa oleh angin
prasasat tan kendhat (4)
alih bahasa Indonesia : sungguh tiada tersampai
ananging isih mamring (6)
alih bahasa Indonesia : namun masih senyap
Kata nalika pada larik (2) merupakan konjungsi menyatakan urutan waktu, sedangkan
kata kang pada larik (3) dan kata prasasat pada larik (4) merupakan konjungsi konsesif
yang menekankan keadaan. Pada tuturan (6) terdapat konjungsi pertentangan ananging
tetapi. Konjungsi tersebut menyatakan makna pertentangan antara realitas yang
seharusnya ada (sosok yang dicari penyair) dipertentangkan dengan keberadaan
kekosongan (belum diketemukannya sosok tersebut yang ditunjukkan dengan kata
mamring.
C. Analisis Aspek Leksikal Wacana
Pada bagian ini akan didiskusikan analisis wacana dari segi aspek leksikalnya,
khususnya hubungan antarunsur dalam wacana secara semantik dan leksikal. Aspek
leksikal yang dimanfaatkan oleh penyair untuk mendukung kepaduan wacana puisi
dapat berupa repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata),
hiponimi (hubungan atas bawah), antonimi (lawan kata), dan ekuivalensi
(kesepadanan).
1. Repetisi (Pengulangan)
Repetisi (pengulangan) adalah unsur wacana (kata, frasa, klausa) yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Gorrys Keraf, 1994 dalam
Sumarlam, 2010:71); misalnya untuk menekankan makna unsur tertentu maka dapat
dilakukan pengulangan pada awal, tengah, atau akhir baris puisi. Repetisi yang terdapat
pada geguritan Ron Garing karya Budhi Setyawan ini misalnya tampak pada lariklarik berikut.
anggonku kulak warta adol prungu (5)
alih bahasa Indonesia : dalam kelanaku mencari kabar berita

anggonku ngadhepi dina-dina ing ngarep (17)


alih bahasa Indonesia : dalam kelanaku menghadapi hari-hari mendatang
Kata anggonku pada tuturan (5) dan tuturan (17) merupakan repetisi anafora, yaitu
pengulangan berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris puisi. Pengulangan anafora
pada geguritan ini dimaksudkan oleh penyairnya untuk menekankan pentingnya makna
kata/frasa yang diulang pada tiap baris puisi tersebut.
2. Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi (padan kata) dilihat dari unsur-unsur bahasa atau kategorinya dapat dibedakan
antara sinonimi kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya frasa dengan frasa,
dan klausa dengan klausa. Sinonimi yang terdapat pada geguritan Ron Garing karya
Budhi Setyawan ini misalnya tampak pada larik-larik berikut.
aku kadya ron garing (13)
alih bahasa Indonesia : aku seperti daun kering
kumleyang kabur kanginan (14)
alih bahasa Indonesia : melayang-layang tertiup angin
obormu kang makantar-kantar (8)
alih bahasa Indonesia : sinarmu yang menyala-nyala
adoh saka cahyamu (20)
alih bahasa Indonesia : jauh dari cahyamu
Pada tuturan di atas tampak kata garing pada tuturan larik (13) bersinonim dengan kata
kumleyang pada tuturan larik (14). Demikian pula kata obormu pada tuturan larik (8)
bersinonim dengan kata cahyamu pada tuturan larik (20).
Pemakaian sinonim kata pada baris-baris puisi tersebut dapat mendukung kekohesifan
dan kekoherenan sebuah wacana.
3. Antonimi (Lawan Kata)
Antonimi (lawan kata) merupakan sa;lah satu jenis aspek leksikal wacana dengan cara
mengoposisikan makna unsur yang satu dengan unsur yang lain. Oposisi makna
semacam itu ada yang bersifat kutub, hubungan, hierarkial, dan majemuk. Adapun
oposisi makna yang ditemukan dalam geguritan Ron Garing karya Budhi Setyawan ini
misalnya tampak pada tuturan berikut.
anggonku kulak warta adol prungu (5)
alih bahasa Indonesia : dalam kelanaku mencari kabar berita

ananging isih mamring (6)


alih bahasa Indonesia : namun masih senyap
aku wis pingin cecaketan (7)
alih bahasa Indonesia : aku sudah ingin berdekatan
adoh saka cahyamu (20)
alih bahasa Indonesia : jauh dari cahyamu
pedhut ing sakindering pandulu (21)
alih bahasa Indonesia : penuh mega-mega di sekitar mata
Dalam tuturan-tuturan di atas dapat ditemukan beberapa macam oposisi sebagai berikut :
(i) Oposisi mutlak : kulak >< pedhut pada tuturan (20) dan tuturan (21)
Kata kulak dan kata adol pada tuturan atau larik (5) terdapat oposisi mutlak, kata isih
pada tuturan (6) beroposisi kutub dengan kata wis pada tuturan atau larik (7), dan kata
cahya pada tuturan (20) beroposisi hubungan dengan kata pedhut dengan tuturan atau
larik (21). Pemakaian antonimi kata pada baris-baris puisi tersebut dapat mendukung
kekohesifan dan kekoherenan sebuah wacana.
4. Kolokasi (Sanding Kata)
Kolokasi (sanding kata) adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata dan
kata tersebut cenderung digunakan secara berdampingan (bersanding). Dalam teks puisi
ini, karena tema atau topik pembicaraannya mengenai liku-liku pencarian sosok (citra
tokoh) dalam hubungannya dengan suasana malam hari sebagai bentuk ekspresi jiwa
atau isi hati penyairnya, maka yang terdapat pada geguritan Ron Garing karya Budhi
Setyawan ini banyak kata-kata yang berkaitan dengan ungkapan jiwa atau isi hati dan
suasana alam pada waktu malam hari, seperti tampak pada larik-larik berikut.
Wengi sansaya atis (1)
alih bahasa Indonesia : malam semakin dingin
kang digawa dening angin (3)
alih bahasa Indonesia : yang dibawa oleh angin
ananging isih mamring (6)
alih bahasa Indonesia : namun masih senyap
obormu kang makantar-kantar (8)
alih bahasa Indonesia : sinarmu yang menyala-nyala

ing jagat peteng lelimengan (15)


alih bahasa Indonesia : di dunia nan gelap pekat
adoh saka cahyamu (20)
alih bahasa Indonesia : jauh dari cahyamu
pedhut ing sakindering pandulu (21)
alih bahasa Indonesia : penuh mega-mega di sekitar mata
Pada tuturan atau larik-larik puisi (1), (3), (6), (8), (15), (20), dan (21) tersebut di atas
terdapat kata-kata yang berkolokasi (sanding kata), yaitu wengi malam, atis dingin,
angin angin, mamring sepi, obormu obormu, peteng lelimengan gelap pekat,
cahyamu cahyamu, dan pedhut mega-mega. Kolokasi sebagai salah satu aspek
leksikal dapat ikut serta membangun kepaduan wacana puisi.
5. Hiponimi (Hubungan Atas Bawah)
Hiponimi (hubungan atas bawah) adalah kata kata yang maknanya merupakan
bagian dari makna kata yang lain yang ,merupakan superordinatnya (hipernim). Dalam
puisi Ron Garing karya Budhi Setyawan ini hiponimi tercermin pada kata Wengi
sansaya atis (1) malam semakin dingin ananging isih mamring (6) namun masih
senyap tanpa pawarta tanpa swara (12) tiada berita tiada suara aku kadya ron garing
(13) aku seperti daun kering kumleyang kabur kanginan (14) melayang-layang
tertiup angin ing jagat peteng lelimengan (15) di dunia nan gelap pekat adoh saka
cahyamu (20) jauh dari cahyamu pedhut ing sakindering pandulu (21) penuh megamega di sekitar mata.
Pada tuturan-tuturan tersebut kata-kata atis, mamring, tanpa pawarta tanpa swara,
garing, kumleyang, peteng lelimengan, cahya, dan pedhut mengacu pada superordinat
atau hipernim kata sunyi dan sepi. Hubungan atas bawah (hiponimi) sebagai salah satu
aspek leksikal dapat ikut serta membangun kepaduan wacana puisi juga.
6. Ekuivalensi (Kesepadanan)
Beberapa kata bentukan sebagai hasil proses afiksasi yang berasal dari bentuk asal sama
disebut ekuivalensi. Ekuivalensi juga merupakan salah satu peranti untuk mendukung
kepaduan wacana. Ekuivalensi yang terdapat pada geguritan Ron Garing karya Budhi
Setyawan adalah kata kang digawa dening angin (3) yang dibawa oleh angin dan
obormu kang makantar-kantar (8) di mana kata-kata bentukan yang mempunyai
kesepadanan bentuk asal tersebut secara leksikal mendukung kepaduan makna wacana.
D. Analisis Wacana dari Segi Konteks dan Inferensinya
Analisis konteks ini meliputi baik konteks kultural maupun konteks situasi. Di dalam

konteks situasi tercakup konteks fisik, epistemis, dan konteks social, di samping konteks
linguistik. Berbagai konteks itu tidak dipisahkan secara tegas sebagaimana memisahkan
warna hitam dan putih, melainkan kadang-kadang terjadi tumpang tindih karena
memang antara konteks yang satu dengan yang lain saling berkaitan membangun satu
kesatuan wacana yang utuh..
1. Konteks Kultural
Bagi masyarakat Jawa, gamelan tidak sekedar seni untuk tontonan, melainkan di
dalamnya terkandung sebuah tuntunan hidup. Suara gamelan bukan saja terdengar
laiknya orkes yang berirama, melainkan juga terdapat unsur magis yang meneduhkan
bagi penikmatnya. Itulah sebabnya manakala seseorang merasa hatinya risau kadang ia
bersembunyi di balik suara gamelan (menghilangkan rasa risau dengan mendengarkan
suara gamelan), yang dalam istilah Jawa nglaras menikmati alunan suara gamelan itu.
Dari larik kedua geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya Budhi Setyawan yang
berupa tuturan nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan (ketika aku
bersembunyi di dalam suara gamelan) dapat ditemukan sebuah konteks budaya Jawa
sebagaimana di maksud di atas, yaitu pada kata sesingidan bersembunyi sedangkan
tempat yang dirujuk adalah swara gamelan suara gamelan, hal ini menunjukkan
sebuah karakteristik budaya Jawa nglaras menikmati untuk tujuan menghilangkan rasa
was-was, resah, risau, dan sejenisnya.
Begitu pula dalam larik-larik bagian akhir dari geguritan puisi Jawa) Ron Garing
karya Budhi Setyawan terdapat tuturan-tuturan yang menggambarkan kepribadian
seorang Jawa sebagaimana tuturan berikut.
panjenengan (22)
alih bahasa Indonesia : engkau
guruku, sihku, oborku (23)
alih bahasa Indonesia : guruku, pemberiku, penerangku
kancanana sukmaku sinau bab katresnan sajroning ati. (24)
alih bahasa Indonesia : temanilah sukmaku belajar tentang cinta di dalam hati
Kata panjenengan engkau dalam larik (22), guruku, sihku, oborku guruku,
pengasihku, oborku menunjukkan sikap kepatuhan sang penyair terhadap sosok yang
dianggap luhur, sehingga ia (sang penyair) merasa harus tunduk, takut, menghormat,
merendah diri, tahu diri, menyerah (pasrah) dan melakukan segala hal yang bias
menyenangkan sosok tersebut (Mochtar Lubis, 1988 dalam Sumarlam, 2010:59).
Selanjutnya sosok aku (sang penyair) mewujudkan sikap setianya pada sosok luhur
tersebut sebagaimana ia menganggapnya sebagai guru dalam mencari dan belajar

tentang cinta di dalam hati seperti tuturan pada larik terakhir geguritan tersebut
kancanana sukmaku sinau bab katresnan sajroning ati temanilah sukmaku belajar
tentang cinta di dalam hati.
2. Konteks Situasi
Apabila konteks kultural merupakan dasar bagi pemahaman makna wacana, maka
konteks situasi dapat dipandang sebagai pembatas makna. Konteks situasi yang dikaji di
sini dibatasi pada konteks fisik, epistemis, dan konteks sosial.
a. Konteks Fisik
Konteks fisik ini meliputi tiga aspek penting, yaitu tempat terjadinya suatu peristiwa,
objek atau topik yang dibicarakan, dan tindakan-tindakan para partisipan dalam
komunikasi. Realitas situasi yang diungkapkan dalam geguritan (puisi Jawa) Ron
Garing karya Budhi Setyawan berupa tempat terjadinya suatu peristiwa (peristiwa,
keadaan, proses) seperti tampak pada tuturan sebagai berikut (angka Arab menunjukkan
urutan larik/baris geguritan). Wengi sansaya atis (1) malam semakin dingin nalika aku
sesingidan ing sajroning swara gamelan (2) ketika aku bersembunyi di dalam suara
gamelan kang digawa dening angin (3) yang dibawa oleh angin ananging isih
mamring (6) namun masih senyap aku wis pingin cecaketan (7) obormu kang
makantar-kantar (8) sinarmu yang menyala-nyala madhangi jangkah lan jagatku (9)
menerangi langkah dan duniaku aku kadya ron garing (13) aku seperti daun kering
kumleyang kabur kanginan (14) melayang-layang tertiup angin ing jagat peteng
lelimengan (15) di dunia nan gelap pekat kagubet ribet lan ruwet (19) terhambat dan
tersendat adoh saka cahyamu (20) jauh dari cahyamu pedhut ing sakindering pandulu
(21) penuh mega-mega di sekitar mata
b. Konteks Epistemis
Konteks epistemis berkaitan dengan masalah latar belakang pengetahuan yang samasama diketahui oleh penutur maupun mitra tutur. Dalam geguritan (puisi Jawa) Ron
Garing karya Budhi Setyawan konteks epistemis berupa penggunaan diksi yang
metaforik yang ada hampir menyeluruh pada setiap baris puisi. Penggunaan diksi yang
berupa tuturan ekspresif sang penyair dengan mitra tutur yang masih dalam pencarian itu
antara lain pada larik sebagai berikut (angka arab menunjukkan urutan larik dari puisi
tersebut).
nalika aku sesingidan ing sajroning swara gamelan (2) ketika aku bersembunyi di
dalam suara gamelan prasasat tan kendhat (4) sungguh tiada tersampai anggonku
kulak warta adol prungu (5) dalam kelanaku mencari kabar berita aku wis pingin
cecaketan (7) aku sudah ingin berdekatan ana ngendi papanmu (10) di mana
tinggalmu aku kadya ron garing (13) aku seperti daun kering krasa luwih abot (16)
terasa lebih berat anggonku ngadhepi dina-dina ing ngarep (17) dalam kelanaku

menghadapi hari-hari mendatang mlakuku ora mantep (18) langkahku tidak mantap
adoh saka cahyamu (20) jauh dari cahyamu panjenengan (22) engkau guruku, sihku,
oborku (23) guruku, pemberiku, penerangku kancanana sukmaku sinau bab katresnan
sajroning ati. (24) temanilah sukmaku belajar tentang cinta di dalam hati.
c. Konteks Sosial
Konteks sosial menunjuk pada relasi sosial dan setting yang melengkapi hubungan
antara penutur dengan mitra tutur. Dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya
Budhi Setyawan konteks sosial berupa tuturan sang Penyair terhadap sosok yang
abstrak dan masih dalam pencarian. Meskipun demikian sangat jelas bahwa hubungan
antara penyair (penutur) dengan sosok mitra tutur merupakan relasi seorang murid
terhadap gurunya, atau relasi seorang hamba terhadap majikannya, atau bias juga relasi
antara makhluk hidup terhadap Sang Khaliq, seperti tampak pada tuturan berikut :
(angka arab menunjukkan urutan larik dari puisi tersebut) prasasat tan kendhat (4)
sungguh tiada tersampai anggonku kulak warta adol prungu (5) aku wis pingin
cecaketan (7) aku sudah ingin berdekatan ana ngendi papanmu (10) di mana
tinggalmu panjenengan (22) engkau guruku, sihku, oborku (23) guruku, pemberiku,
penerangku kancanana sukmaku sinau bab katresnan sajroning ati. (24) temanilah
sukmaku belajar tentang cinta di dalam hati
3. Inferensi
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan
(pembaca/pendengar/mitra tutur) untuk memahami makna yang secara harafiah tidak
terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator (penulis/pembicara/
penutur). Dengan kata lain, inferensi adalah proses memahami makna tuturan
sedemikian rupa sehingga sampai pada penyimpulan maksud tuturan. Untuk dapat
mengambil inferensi dengan baik/tepat maka komunikan (mitra tutur :
pembaca/pendengar) harus memahami konteks dengan baik.
Dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya Budhi Setyawan inferensi tidak
terdapat konteks linguistik, sehingga inferensi hanya berupa konteks fisik, konteks
epistemis, dan konteks sosial sebagaimana telah diuraikan pada analisis konteks di atas.
Konteks fisik sebagaimana realitas situasi yang berupa tempat terjadinya suatu peristiwa
(peristiwa, keadaan, proses) seperti tampak pada tuturan (1), (2), (3), (6), (7), (8), (9),
(13), (14), (15), (19), (20), dan (21). Sedangkan konteks epistemis tampak pada
penggunaan diksi yang berupa tuturan ekspresif sang penyair dengan mitra tutur yang
masih dalam pencarian yang tampak pada larik (2), (4), (5), (7), (10), (13), (16), (17),
(18), (20), (22), (23), dan (24).
Relasi sosial dan setting yang melengkapi hubungan antara penutur dengan mitra tutur
juga terdapat dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya Budhi Setyawan yaitu

pada tuturan (4), (5), (7), (10), (22), (23), dan (24). Bila dihitung secara persentase
perihal inferensi ini maka dari 24 baris puisi terdapat konteks fisik 13 atau 39,39%,
konteks epistemis 13 atau 39,39%, dan konteks sosial 7 atau 21,21%. Keadaan ini lebih
jelas dapat digambarkan dalam grafik inferensi di bawah ini.
E. Simpulan
Setelah diadakan analisis geguritan (puisi Jawa) berjudul Ron Garing karya Budhi
Setyawan, maka dapat diambil simpulan dalam tiga kategori, yaitu : (1) hasil analisis
aspek gramatikal; (2) hasil analisis aspek leksikal; dan (3) hasil analisis konteks dan
inferensi.
1. Hasil Analisis Aspek Gramatikal
Aspek gramatikal yang dominan dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya
Budhi Setyawan adalah pengacuan (Referensi) yaitu sebesar 58,14 % . Aspek gramatikal
yang yang lain adalah penyulihan sebesar 4,65 %, pelesapan sebesar 27,91 %, dan
perangkaian sebesar 9,30%. Hasil analisis aspek gramatikal tersebut dapat digambarkan
dengan grafik sebagai berikut.
2. Hasil Analisis Aspek Leksikal
Aspek leksikal yang dominan dalam geguritan (puisi Jawa) Ron Garing karya Budhi
Setyawan adalah Hiponimi (Hubungan atas bawah) yaitu sebesar 28,57. Aspek
leksikal yang yang lain adalah repetisi sebesar 7,14 %, sinonimi sebesar 14,29 %,
antonimi sebesar 17,86 %, kolokasi sebesar 25 %, dan ekuivalensi sebesar 7,14%.
3. Hasil Analisis Konteks dan Inferensi
Analisis konteks dan inferensi yang dominan dalam geguritan (puisi Jawa) Ron
Garing karya Budhi Setyawan adalah konteks fisik dan konteks epistemis yaitu masingmasing sebesar 18,84 % sebagaimana tampak dalam Tabel 3 sebagai berikut.
Akhirnya dapat diambil simpulan secara umum hasil analisis geguritan (puisi Jawa)
berjudul Ron Garing karya Budhi Setyawan bahwa aspek gramatikal paling dominan
adalah pengacuan (referensi) yaitu sebesar 58,14 %, aspek leksikal paling dominan
adalah hiponimi yaitu sebesar 28,57 %. Sedangkan dari segi konteks dan inferensi paling
dominan pada konteks situasi yaitu sebesar 47,83%.

Anda mungkin juga menyukai