Anda di halaman 1dari 7

Puisi, Konkretisasi, Abjeksi

oleh Ilham Rabbani, S.Pd., M.A.


(dimuat dalam Rubrik Esai, Lensasastra.id, edisi 84/16 Oktober 2021)

“Ingat, hakikat puisi adalah konkretisasi, bukan abstraksi.”


(Joko Pinurbo)1

Kutipan pembuka itu, adalah penekanan yang kerap direpetisi oleh Joko
Pinurbo dalam sejumlah kesempatan berbeda. Dan ya, ingatan pada kutipan itu pula
yang tiba-tiba mampir, tatkala saya berhadapan dengan sedikit catatan Iin Farliani
di sampul belakang buku terbarunya: kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah
Dingin Pagi (Basabasi, 2022).2 Di dalamnya, termaktub 50 puisi pendek. Akhirnya,
berlanjut: coba saya cermati dari lembar satu ke lembar berikutnya.

Puisi dan Konkretisasi


Saya pun sampai pada titik pendirian: kita bisa melihat dari puisi-puisi Iin,
bahwa sebenarnya kesendirian, kehilangan, kenangan, cinta, relasi yang rumit,
(perjalanan) usia, kerapuhan di hadapan waktu, keterasingan, pencarian identitas,
dan sejenisnya, sebenarnya–niscaya, selalu, dan tetap–adalah hal-hal yang bersifat
abstrak. Tetapi kemudian, lewat puisi-puisi ini, Aku-lirik, subjek yang dirujuk oleh
Iin, bahkan mungkin Iin sendiri, berupaya menemukan wujud yang abstrak itu lewat
pengungkapan-pengungkapan, gambaran-gambaran, pelukisan-pelukisan, atau
secara umum citraan, dan seterusnya. Artinya, ada keterjebakan pada rangkaian
penanda yang (seakan-akan) mewakili keabstrakan perihal-perihal yang
dibicarakan (petanda) dalam sejumlah puisi tersebut. Ia berusaha mengonkretkan
apa yang manusia sepakati sebagai (rasa) kesendirian, kehilangan, cinta, kerapuhan,

1
Pernyataan ini juga disampaikan oleh Jokpin dalam “Catatan Dewan Juri” yang termaktub dalam
buku Kota, Ingatan, dan Jalan Pulang: Antologi Puisi Karya Pemenang dan Karya Pilihan Lomba
Penulisan Puisi bagi Remaja DIY Tahun 2017 (2017).
2
Sebelumnya, Iin telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut
(Halaman Indonesia & Akarpohon, 2019).
keterasingan, dan seterusnya dalam wujud larik-larik–ke bait-bait dan kesatupaduan
puisi–yang berbahan baku kata-kata (rangkaian penanda). Secara esensial, ia tidak
akan pernah konkret, seterusnya adalah abstrak.
Hal-hal yang dibicarakan Iin, di hadapan manusia sebagai subjek, memang
sepenuhnya tidak bisa dan takkan pernah terpahami secara utuh–ia menjadi
pembicaraan yang tiada habisnya. Perasaan-perasaan semacam itu, seterusnya akan
menghampiri dan merongrong pergulatan manusia di hadapan gerak waktu.
Mengapa terjadi demikian?
Kita bisa memahami, bahwa mula sebenarnya manusia adalah “tragedi
pengebirian” atau “kastrasi”. “Pengebirian” dari tubuh Ibu (the Real) telah
berakibat pada tergalinya nganga diri, yakni rasa berkekurangan (lack), yang
disadari mungkin cuma secara samar sepanjang hayat. Lantaran itulah, manusia
terus-menerus berupaya melakukan pemenuhan atas kekurangan, yang timbul
sebagai rasa-rasa (abstrak) serupa yang telah disebutkan, namun nahasnya selalu
terjebak pada perwujudan-perwujudan bahasa (rangkaian penanda) di dalam
tatanan simbolik (the Symbolic). Perjalanan manusia pada akhirnya adalah
perjalanan pemenuhan (kembali) ke arah the Real yang tak pernah sampai kepada
the Real–dan akibatnya adalah rentetan rasa kegagalan atau frustrasi berupa
kehilangan, kesedihan, keterasingan, dan seterusnya.3 Lihatlah bagaimana upaya-
upaya konkretisasi atas rasa–akibat tragedi kastrasi–yang abstrak itu berupaya
diwujudkan dalam sejumlah nukilan puisi Iin berikut ini.
Pertama, kita mendapati bagaimana kesendirian dalam sepi (kesepian) coba
dikonkretkan dalam puisi “Suara Pintu” (hlm. 13):

Suara Pintu

3
Tatanan the Real merujuk pada tatanan yang bertindak sebagai pengaman, yang terbentuk secara
perlahan, dan terus mengalami perubahan. Jacques Lacan, dalam The Seminar of Jacques Lacan -
Book XI: The Four Concepts of Psychoanalysis (1973), menjelaskan bahwa, “The Real is that which
always comes back to the same place.” Tatanan the Real selalu kembali ke tempat yang sama, dan
bahwa ia adalah sesuatu yang tidak mungkin. The Real mendahului proses simbolisasi (the
Symbolic) dan imajinasi (the Imaginary). Ia terlepas dari tatanan simbolik, tetapi sekaligus
memungkinkan terjadinya tatanan simbolik itu sendiri. Yang ada dalam the Real hanyalah rasa
kepenuhan yang sempurna, suatu keutuhan. Lantaran itulah, Lacan menyebutnya sebagai tatanan
yang melampaui bahasa dan tidak dapat diungkapkan dengan bahasa–ia berada di luar atau
melampaui jaringan penanda-penanda.
suka sekali ia menyalakan lampu di meja
cangkir kopi dibiarkan terbuka
koran-koran bertelanjang dada
ia duduk di kursinya
merapikan duka, mencoba percaya
suara pintu di ambang
dan seseorang datang

Kedua, ada bait-bait yang coba dibentangkan untuk menjelaskan apa itu rasa
kehilangan dalam wujud bahasa pada puisi “Ingatan” (hlm. 53):

Ingatan

karena ramalan tak tepat menafsirkan


sukar untuk menyebutmu kembali
selain melalui ingatan

berapa lama kepergian itu disesaki


prasangka yang menyakitkan
parfum yang melekat di kulit
hanya sebagian tanda kau akan pergi tiba-tiba

kita tahu tak akan berharga bila terlalu lama


tapi ia, masih setia berdiam di tempat semula

Ketiga, dalam puisi “Potret Silam” (hlm. 56), penanda “potret” dan “remah dari
kulit baju” dihadirkan untuk menjembatani pemahaman kita perihal kenangan dan
ketidakberdayaan manusia di hadapan waktu, di hadapan usia yang terus lepas satu-
satu:

Potret Silam

barangkali kita terlalu mencintai


potret silam,
betapa silau segala kenang
betapa riuh yang berlalu
tercetak pada potret itu

aku takkan pernah lupa


wajahku yang lama
dalam album
saat tak mengingat usia
yang kini lepas satu-satu
bagai remah dari kulit baju

Keempat, persoalan yang amat abstrak seperti cinta yang menghadirkan relasi
rumit, coba dibangun konkretisasinya dalam puisi “Aku Tak Datang Mengetuk
Pintu” (hlm.54)–yang seakan-akan menjadi keberlanjutan atas puisi “Suara Pintu”
sebelumnya:

Aku Tak Datang Mengetuk Pintu

aku tak datang mengetuk pintu


mengucap selamat, berjabat tangan
atau sekadar menepuk bahu
bekas debu sisa perjalanan dahulu
menghalangi perjumpaan itu
meski barangkali suatu hari kau lihat
debu itu masih jua melekat di sepatu
jangan kau baca sebagai pertanda aku tak mampu
atau takkan pernah mampu melenyapkan
apa yang menjadi sisa-sisa antara kita
aku tak datang mengetuk pintu, takkan pernah
sebab tiada yang bisa dijadikan pengganti salam
selain lambaian yang bergerak dari kejauhan
yang tentu semula telah kau hapal

Dan kelima, puisi “Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi” (hlm. 22) yang
sekaligus dijadikan judul dari buku, menghamparkan perasaan asing pada diri dan
kerapuhan yang tak terpahami dalam satu bait yang ringkas namun bernas:

Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi

usap matamu dan ciumlah dingin pagi


yang telah menghidupkanmu berulangkali
setelah kau mati
di ranjang tidur yang menyimpan
kemalangan

Demikianlah sejumlah upaya konkretisasi yang hadir dalam kumpulan puisi


Iin. Kita mungkin bisa memadankan upaya konkretisasi dari variasi perasaan
abstrak yang–dengan (keterjebakan) medium bahasa–dibentangkan oleh Iin dalam
puisi-puisinya–atau katakanlah yang dialami oleh Aku-lirik di dalamnya–dengan
larik Jalaludin Rumi yang terkenal, yakni,

“Dengarlah seruling berkisah, mengeluh tentang sakitnya berpisah: ‘Semenjak aku


dipotong dari pohon bambu, orang-orang selalu tersedu karena suara tangisku
sebenarnyalah aku hanya berdendang tentang dada yang pilu karena perpisahan, agar
sedikit mengobati perihnya kerinduan. Setiap yang terlempar jauh dari tanah asali
tentu senantiasa mencari kapan bertemu kembali, maka aku pun selalu melengking
mengalunkan nada menjadi teman bagi yang gembira maupun yang papa, semua
orang lalu ingin mengerti apa gerangan yang terjadi, apa rahasia yang kukunci di
hati? Rahasia lengking merduku adalah perpisahanku, tertutupnya telingaku dan
terbukanya dua mataku.’”

Ada kepenuhan Cinta (dengan “C” besar) yang mengalami tragedi di titik tersebut,
dan kondisi keterpisahan dengan Cinta jugalah yang menjadi landasan segala
perasaan-perasaan abstrak yang menjurus pada dilema identitas. Hanya saja,
apabila konteks yang dibicarakan Rumi adalah relasi yang pure transenden, maka
larik-larik puisi Iin bergerak antara (ulang-alik) kutub yang transenden dengan
imanen: Tuhan-manusia dan manusia-manusia (dalam puisi “Pagi” [hlm. 8], “Puisi
Pagi Hari” [hlm. 9], dan “Radio dan Kehidupan”[hlm. 10]).

Puisi sebagai Katarsis


Berbicara kehilangan, relasi yang rumit, kesendirian, keterasingan, dan
semacamnya, boleh dikatakan merupakan konsep-konsep ke(ber)adaan yang
cenderung dihindari oleh kebanyakan manusia dalam ringkas perjalanan hidup
mereka. Artinya, kondisi-kondisi semacam itu–dalam terminologi Julia Kristeva–
adalah sesuatu yang hadir tetapi untuk diabjeksi. Hanya saja, dalam pembacaan
Martin Suryajaya, kondisi-kondisi yang setali tiga uang dengan “kesunyian” itu,
telah menjadi motif pembicaraan berulang dalam dinamika sastra Indonesia,
khususnya puisi-puisi, sejak era Nyanyi Sunyi (1937) digubah Amir Hamzah.4
Dari gejala-gejala semacam itu, dengan mengambil puisi-puisi Iin sebagai
sampel terbaru, kita boleh berargumen bahwa dalam posisinya, karya sastra telah

4
dalam tayangan berjudul “Motif Kesunyian dalam Puisi Indonesia” di kanal Youtube Martin
Suryajaya.
dijadikan pembantu atas problema yang menimpa sebagian kita: selain
menampilkan gejala penyakit jiwa, sastra juga bisa bersifat katarsis. 5 Teks-teks Iin
bukan hanya mengabjeksi kesunyian semacam kesedihan, kehilangan,
keterasingan, dan sejenisnya, melainkan sekaligus berupaya memberikan
konkretisasi terhadapnya–Iin menolak memeram sendirian atau sepenuhnya
menghilangkan makna atas kondisi-kondisi itu sebagaimana sisi negatif dari
penolakan, melainkan memilih laku menjunjungnya pula. Ia coba mengaribi hal-
hal semacam itu, dan imbasnya setelah berlepasan dalam wujud puisi, juga dapat
merambat pada keberadaan pembaca sebagai penanggap di luar teks.
Pembaca yang peka, akan menerima rangkaian penanda berupa larik-bait
puisi Iin berdasarkan horizon wawasan yang mereka miliki. Sebagian di antara
mereka, mungkin ada yang tersendat karena ragu harus memasuki bentang citraan
yang ditakuti, atau bahkan dibenci, lantaran berada pada posisi keterpurukan dan
dilema yang sama. Tetapi dengan langkah semacam itu, katakanlah sebagai langkah
katarsis, mereka yang merasakan sunyi-senyap atau yang selaras dengan kondisi
pada “sapaan” Iin di sampul belakang buku, justru bukan lagi menghadapi
kesunyian dengan cara memendam, berlari, atau berpura-pura menutupi itu semua,
melainkan dengan jalan mengakrabkan dan menenggelamkan diri ke dalamnya.
Pelarian membawa manusia pada ketakutan berkelanjutan; dan sebaliknya,
pengakraban memunculkan pemahaman dan cara pandang yang potensial lebih
jernih. Inilah pentingnya horizon wawasan yang terus diperluas dan terus
dijembarkan bagi saya.
Hal ini menjadi penting, sebab saya melihat dalam konteks kita sebagai
manusia modern yang lebih karib dengan riuh dan seremonial hari ini, cenderung

5
Bagi Kristeva, dalam bagian-bagian akhir buku The Power of Horror (1980), semua karya sastra
adalah semacam katarsis, sebuah upaya bagi penulis untuk membuang apa yang asing dan tidak
murni. Dalam teks sastra, terjadi pengaburan antara yang ada di dalam dan di luar diri penulis. Ia
mencurahkan perhatiannya pada karya Louis-Ferdinand Celine sebagai penulis yang berafiliasi
dengan Nazi, yang amat fanatik membenci Yahudi. Ia menyebut karya dari Celine yang bernada
provokatif terhadap Yahudi sebagai karya yang, “... calls upon what, within us, eludes defenses,
trainings, and words, or else struggles against them.” Bagi Kristeva, karya-karya Celine tidak
sepenuhnya menghilangkan makna, sebagaimana sisi negatif dari penolakan, melainkan juga
menjunjungnya. Teks-teksnya tidak hanya membuang hal-hal, tetapi juga menciptakan objek,
namun dibenci–dan itu merupakan bagian dari patologi penolakan: mengubah fantasi dari apa yang
dihina menjadi objek yang ditakuti, objek kebencian.
kerap gelagap dan ketakutan tatkala mesti berhadapan dengan sepi, sunyi, sendiri.
Dan sekadar saran, bacalah puisi-puisi Iin dalam kumpulan ini, lalu usap matamu,
dan ciumlah dingin pagi di kedalaman diri. Selamat mencoba, selamat membaca!

Anda mungkin juga menyukai