Sebagai sebuah genre yang bermediumkan bahasa, puisi mampu menjadi ruang
kontemplatif dari keluasan makna yang dihasilkan melalui kepadatan bahasarima, diksi,
metafor dan sebagainya. Proses membangun, menyeleksi, hingga mengeliminasi kata atau
diksi demi sebuah citraan/imaji yang segar menjadi pelik untuk dilakukan sebagai sebuah
kerja kreatif di tengah menjamurnya karya-karya puisi Indonesia modern dewasa ini.
Barangkali hal inilah yang menyebabkan puisi dalam struktur puitikanya (licentia poetika)
menjadi istimewa dan masih diminati untuk terus-menerus dituliskan sepanjang zaman.
Kendati mampu menyerap segala kegaduhan bahasa dan menyarikannya menjadi kata, frasa,
baris, bait, hingga imaji yang kuat, karya puisi (penyair) dituntut untuk terus-menerus
bergerak menciptakan takdirnya, sehingga tidak melulu menyerah pada selera kurator atau
redaktur. Ada yang lebih berharga dari itu semua, yaitu proses mencari dan mengalami
puisi. Seorang penyair tentu dengan sadar, tabah, dan bahkan tekun memilah satu demi satu
kata yang dikehendaki untuk merepresentasikan imajinya. Proses ini bagi sebagian besar
penyair bisa berlangsung sangat lama dan tidak terbatas waktu hingga menjadi semacam
kesuntukan yang membelenggu. Kendati demikian, bagi sebagian penyair lainnya hal tersebut
bisa saja hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dan pendek. Dengan kata lain,
menulis puisi adalah sebuah usaha keras dan luar biasa.
Secara umum diksi dan kebahasaan yang ditampilkan para penulis dalam kumpulan
puisi ini masih sebatas pencarian bentuk, eksplorasi-eksplorasi, komposisi yang tergesa, dan
kurang pengendapan. Implikasi tersebut bisa dilacak dalam struktur kebahasaan dan logika
bahasa yang digunakan para penulis secara umum. Mayoritas problematika yang muncul
adalah kurang sabar, tidak hati-hati, dan terlalu verbal menggunakan diksi, simbol atau
membangun imaji (kesan). Sehingga apa yang hadir secara konseptual yang sebenarnya
bagus, tapi pada wilayah eksekusi bahasa menjadi hambar, lepas, kurang estetik, dan klise.
Kendati demikian, sisi positif yang bisa ditemukan adalah semangat yang luar biasa dari para
mahasiswa untuk belajar menulis dan berkarya puisi. Hal ini menjadi sebuah cahaya yang
mencerahkan bagi kehidupan akademik mahasiswa Sastra Indonesia, khususnya FIB Unja.
Karya-karya yang menurut penilaian saya memberikan sebuah ruang alternatif yang
segar dalam prosesnya akan saya uraikan secara sekilas. Beserta beberapa karya yang cukup
unik dan memberi kesan yang khas dalam menangkap momen puitik. Puisi dengan judul,
Kursi Tua, A. Desriyanto sebagai pembuka menjadi sebuah gambaran tentang ingatan atau
romantika dalam diri penyair. Penyair menganalogikan pengalaman cinta serupa kursi tua
yang pada akhirnya berakhir tragis sia-sia.
...
Hikayat cinta tersulam jarum kenangan
Lapuk termakan derita peristiwa
(Kursi Tua, A. Desriyanto)
...
Sentuhan kulitmu terasa dikulitku
Terasa dikulitku sentuhan kulitmu
Sebuah tawaran kepada mu yang dilakukan oleh -ku lirik di bagian akhir penutup
puisi tentunya lebih sebagai sebuah pengalaman relasional antara -ku dengan mu, antara diri
dengan the other (liyan), antara subjek dengan objek, yang masih berupa kemungkinan
tentang relasi tersebut. Pada judul yang laintermasuk yang sudah diulas di atas, pola-pola
sajak dua baris marak menjadi pola penulisan yang dilakukan oleh beberapa penulis (dalam
hal ini perlu dibedakan pola bentuk dan pengertian antara distikon dengan kuplet). Hal
tersebut nampak pada judul-judul berikut, Raja Kuning, Membaca Jarum, karya Anggun
Wulandari, Jika, Ellen Erviandani, Distikon Subuh, Okta Sri Yunita, Seperti, Kita,
Winda Diana Putri, dan Sunyi dalam Sunyi, Windy Kaunang Y.S. Pola-pola yang cukup
pendek dan efektif menjadi pilihan penulis untuk memadatkan konsep dan puitika. Sebagai
sebuah proses, dinamika dan konsep yang ditawarkan oleh para penulis cukup bervariasi.
Kematangan estetik dalam puisi tentunya harus dibedakan dari pola naratif deskriptif prosa
sehingga kepadatan imaji dan simbol, mampu berjalin erat dengan strukturnya.
Sebagai contoh kita lihat kutipan dari puisi yang berjudul, Pukat, karya Dedi
Saputra, berikut ini.
Nasib memang menjadi ruang perenungan yang tidak ada habisnya dalam diri
manusia. Dalam sudut pandang penulis, ia melihat bahwa sungai memberikan inspirasi
tentang nasib dalam konteks relasinya secara ekologis. Kau dalam puisi di atas ditafsirkan
sebagai ikan yang terjerat oleh pukat. Tentunya nasib kau sebagai ikan, dilihat dalam
konteks kausalitas, yaitu hubungan antara kondisi sungai yang kotor dan berbau yang
dipenuhi oleh sampah. Nasib kau bukan terletak pada pukat, melainkan pada limbah dari
sampah yang mencemari sungai. Kesadaran ekologis yang cukup penting dimunculkan
sebagai sebuah tafsir estetik atas nasib. Jika melihat konteks yang demikian, kita bisa
mendekati persoalan tersebut dengan konsep ekokritik, yang mencoba mengubah paradigma
bahwa manusia sebagai pusat alam semesta (antroposentrisme). Apabila paradigma manusia
sebagai pusat alam semesta, maka alam tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia.
sebaliknya, jika alam sebagai pusat, maka alam itu sendiri bukan sebagai alat pemenuhan
atau pemuas kebutuhan manusia. Pola ini secara komunikatif diusung oleh Dedi sebagai
perwujudan rasa prihatin terhadap kondisi lingkungan, khususnya sungai.
Puisi lain yang yang cukup berkesan adalah Giwang. Puisi ini secara impresif
membangun pengalaman sosiologis, tentang kondisi masyarakat kelas bawah. Sebuah potret
persoalan ekonomi yang dilematis harus dihadapi seorang perempuan demi bertahan hidup,
mengobati anaknya. Jika ditarik secara vertikal antara relasi warga dengan negara, maka ada
kritik sosial yang tajam diarahkan kepada negara sebagai pihak penyelenggara jaminan
kesehatan dan kesejahteraan. Betapa tidak, kemiskinan dan kesehatan masih menjadi dilema
bagi warga yang tidak mampu sehingga ia harus menjual sisa kenangan dan kerja keras
almarhum suaminya yang belum tentu akan diperolehnya kembali.
Betapa sedih menjadi warga miskin yang harus tergadai oleh kesejahteraan dan
ketidakpastian nasib yang diberlakukan negara. Saya jadi teringat sebuah judul buku yang
cukup menarik, Orang Miskin Dilarang Sakit terbitan Resist Book. Barangkali memang
demikianlah ironi-ironi yang terjadi dalam negeri tercinta ini yang berhasil direkam oleh
penulis. Akhirnya perempuan tersebut pulang tanpa giwang di telinga./ anak bungsunya
sekarat kena malaria/ sekarang terbaring lesu di ruang tunggu RSU. Gambaran tersebut
menjadi sebuah penanda tegas tentang terabaikannya hak-hak untuk mendapatkan jaminan
pelayanan kesehatan bagi warga yang tidak mampu. Sebuah potret yang ironis dan suram
dalam sudut pandang perempuan tersebut tentang negara yang menjadi tanah kelahirannya.
Karya puisi yang lain yang cukup liar dan segar, mengusung problem diri dengan
kehidupan urban dalam dinamika keterasingannya adalah Kota yang Berlari, Elegi Pagi,
Aku dan Televisi karya Windy Kaunang Y.S. Membaca tiga judul karya puisi di atas, saya
menemukan bahwa ada persoalan-persoalan urban yang diusung sebagai sensibilitas penulis.
Dalam puisi Kota yang Berlari, penulis mengimajinasikan bahwa kota layaknya sesosok
tubuh manusia yang memiliki berbagai organ. Analogi organ tubuh yang digunakan sebagai
metafor pengalaman dan imajinasi memberikan kesegaran estetik dalam proses eksplorasi
tema. Jika mengutip salah satu aspek dari hakikat puisi menurut Pradopo, barangkali hal
tersebut adalah aspek ketiga, yaitu ekspresi tidak langsung (ketaklangsungan ekspresi).
sebuah kota berlari menuju sunyi
perutnya berhamburan, tubuhnya gemetaran
kota ketakutan
...
Ada semacam persoalan yang cukup fundamental dalam sebuah kota yang dilihat
penulis. Kota yang bergerak dari fase tradisional menuju fase industri (modern) hingga
sampai kepada suatu kondisi budaya urban, dimana segala hal yang berinteraksi tidak lagi
menimbulkan kenyamanan. Kota secara personifikasi dibayangkan tengah berlari, karena
ketakutan. Ketakutan akan apa? Ketakutan yang menjadi sebuah ancaman serius dan
melukai; sebagaimana isi perut yang berhamburan, tubuh gemetaran. Kota terancam oleh
sesuatu yang di luar dirinya, bisa jadi musuh, bisa jadi juga akibat keteledorannya sendiri.
Pada bait terakhir, ketakutan akan sesuatu tersebut terjawab, hingga hujan berhenti/ kota itu
tetap berlari dari tubuhnya sendiri. Bait terakhir secara jelas menegaskan bahwa apa yang
menyebabkan rasa takut adalah tubuhnya sendiri. Kota takut atau muak terhadap tubuhnya,
sehingga ia berlari dari tubuhnya. Lari dari tubuhnya menjadi sebentuk negasi, pengingkaran
atas realitas yang ada. Di satu sisi, ia tidak bisa lepas dari tubuhnya, sekaligus ia tidak ingin
dengan tubuhnya tersebut. Sebuah paradoks yang ganjil, ketika kota itu tetap berlari dari
tubuhnya sebab hal itu tidak akan pernah selesai. Statis dan berulang-ulang dalam situasi
yang sama tanpa solusi.
...
Memaksaku mengais satu persatu rindu
pada wajah ibu
yang sengaja ku titipkan
pada aroma,
semangkuk mie instan
yang kubiarkan dingin di atas meja makan
...
Penulis sadar bahwa merindukan ibu adalah satu-satunya hal yang cukup berharga
dalam dirinya sebagai sebuah spirit yang terus hidup. Kesegaran imaji tersebut cukup
menarik dan membuktikan bahwa penulis memiliki potensi untuk berkembang lebih baik
lagi. Dalam puisi selanjutnya, Aku dan Televisi, penulis menggambarkan bagaimana
televisi tidak lebih sebagai momok yang negatif. Sebuah kondisi chaostik yang menyebabkan
sosok aku atau (-ku) mengalami kegelisahan, ketidaknyamanan, kecemasan, hingga akhirnya
menerima proses hegemoni yang berlangsung demikian masif.
Kritik yang tajam dilontarkan oleh penulis, melalui persepsi-persepsi negatif yang
dimunculkan sebagai dampak dari televisi. Hal ini cenderung menjadi sebentuk apriori,
namun dengan gaya ironi penulis menutup puisinya dengan kepasrahan aku untuk
menginginkan televisi. Barangkali hal inilah yang secara hegemonik menjadi problematika
masyarakat modern era multimedia, pseudo-realitas. Realitas yang terkonstruksi melalui layar
televisi yang semakin menjauhkan manusia dengan ruang lingkup kehidupannya.
Televisi oh televisi
Hati bisa keram, hanya karena melotot berjam-jam
Lalu isi kepala muncrat tak beraturan
Diselingi bunyi-bunyi seram dan suasana mencekam
Penulis dalam kutipan puisi di atas menegaskan bahwa televisi adalah sebuah ruang
yang menghubungkan manusia dengan dimensi lain yang berupa ketidaknyamanan.
Ketidaknyamanan yang mengonstruksi tubuh dan pikiran dengan asosiasi-asosiasi yang
negarif yaitu, hati yang keram, isi kepala muncrat, seram dan mencekam. Kendati demikian
kondisi yang tidak nyaman tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan paradigmatik
melalui tokoh aku. Tokoh aku digambarkan mengalami kondisi chaostik yang menjadi
penanda perubahan sikapnya terhadap televisi. Entah atas dasar apa perubahan tersebut bisa
terjadi? Barangkali asumsi yang paling mungkin adalah karena pembiasaan, sehingga
realitas yang faktual diganti dengan realitas yang ilusif. Dalam kebudayaan populer, televisi
merupakan salah satu piranti yang menjadi penyalur terjadinya komoditas budaya yang
masif tersebut. Melalui televisi inilah kebudayaan massa tersebar dalam dua praktik ekonomi:
ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada
nilai tukar, sedangkan ekonomi kultural menaruh perhatian pada nilai guna (makna,
kesenangan, dan identitas sosial) (Fiske dalam Storey, 2006:31). Dugaan atas konsep tersebut
diimplementasikan oleh penulis yang melihat televisi sebagai sebuah proses adiktif yang
hegemonik dan terus-menerus berulang menciptakan realitas-realitas intensif untuk
menggantikan kesadaran dan nalar kritis. Dalam hal ini, penulis menyadari bahwa ia sudah
terperangkap dalam mekanisme konsumtif, semacam penyerahan diri utuh ke dalam budaya
massa yang homogen, Kemudian kurajut kembali isi kepalaku satu persatu/ karena esok, aku
ingin televisi/ lagi dan lagi. Perubahan sikap ini menunjukkan pergeseran dari nalar kritis
idealis menjadi nalar pasif pragmatis. Sebuah ironi yang cenderung menjadi pola dari
masyarakat konsumeristik.
Demikian kiranya, puisi di satu sisi cukup misterius dengan berbagai simbolisasinya,
di sisi lain demikian jernih menuntun pengalaman batin atau kejiwaan manusia atas refleksi-
refleksi kehidupan yang demikian beragam. Ulasan pendek dan sederhana ini tentu saja tidak
mampu menjangkau keseluruhan karya puisi yang terhimpun dalam buku antologi ini.
Diperlukan pembacaan yang rigid dan mendalam serta ruang yang luas untuk
menyambungkan pola, gejala, karakteristik dan kecenderungan puisi yang ada. Sebagai
sebuah proses, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan dari uraian saya yang tidak
sistematis ini. Uraian terhadap karya-karya puisi dalam buku ini bersifat random dan kesan
atas pembacaan saya secara tergesa. Mohon maaf apabila tidak semua puisi bisa disajikan
untuk diberikan tanggapan. Saya yakin dengan lahirnya buku kumpulan puisi ini, teman-
teman Sastra Indonesia FIB Unja memang memiliki potensi dan semangat untuk
berkembang, baik secara regional maupun nasional. Salam puisi!
Dwi Rahariyoso
Catatan:
Tulisan ini telah mengalami sedikit penyesuaian dan penambahan untuk keperluan diskusi dan bedah buku di
Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 20 Agustus 2016, meskipun secara umum tidak mengubah konsep sebagaimana
yang disajikan dalam penutup buku Akar Tubuh.