Anda di halaman 1dari 3

Senin, 20 Februari 2012 buku puisi Menemukan Estetika di Balik Kabut Puisi Oleh Nasrulloh Habibi*

Judul Buku : Mendaki Gunung Puisi ke Arah Kegiatan Apresiasi Penulis : Tengsoe Tjahyono Jenis buku : Fiksi Non-Imajinatif Penerbit : Bayumedia Publishing Cetakan : Pertama, Juni 2011 Tebal : 293 Halaman ISBN : 978-602-9136-35-7 Puisi diibaratkan sebagai puncak gunung tinggi yang menyimpan banyak misteri keindahan di dalamnya. Misteri itu sangat melekat pada tubuh puisi yang memang tercipta berdasarkan estetika yang membentuk dalam kesatuan makna yang utuh. Bahasa yang digunakan dari salah satu karya sastra yang dianggap tertinggi ini, juga sangat berbeda dengan jenis karya sastra lainnya seperti cerpen, dan novel. Bahasa sebagai medium sastra dalam puisi memiliki ciri kekuatan khusus yang bersifat padat dan konotatif. Hal tersebut ditambah dengan peran keahlian penyair yang meramu puisinya sedemikian rupa dengan segala teknik penciptaan nuansa puitik, baik berasal dari pengalaman lahir mau pun batin yang dimilikinya. Puncak gunung puisi yang tertutup kabut tebal sering membuat pembaca kesulitan untuk mendakinya sebagai wujud pencapaian sebuah perebutan makna dan apresiasi. Terkadang tak jarang dengan susah payah pembaca tertati-tatih mendaki puncak gunung puisi yang tertutup kabut awan tebal membumbung tinggi menutupi sang mahkota puisi. Dengan membaca puisi seseorang akan mengadakan komunikasi secara langsung dengan karya tersebut. Begitu juga dengan pesan atau gagasan yang terkandung di dalamnya. Pembaca membutuhkan seperangkat modal awal agar proses komunikasi membaca bisa berjalan dengan baik dan komunikatif. Membaca puisi termasuk dalam salah satu bagian dari apresiasi. Tak seperti pemahaman yang bersifat umum dikenal, apresiasi tak sekadar membaca selanjutnya merenungkan dan menganalisis makna yang terkandung. Namun, lebih

pada aktifitas menggeluti yang melibatkan unsur pikiran, perasaan bahkan fisik, melalui langkah-langkah mengenali, menikmati, dan memahami, dengan berbekal unsur kognitif, emotif, dan evaluatif, sehingga tumbuh penghargaan terhadap keindahan dan makna yang terkandung dalam puisi. Setelah itu, apresiasi juga akan tercakup dalam beberapa tahap kegiatan meliputi resepsi, produksi, performansi, dan dokumentasi (hal. 33). Resepsi merupakan aktivitas penerimaan yang berusaha memahami makna, pesan, dan keindahan. Produksi ialah kegiatan penciptaan puisi yang akan dirasakan sendiri oleh apresiator bagaimana puisi itu diproses dalam suka duka penciptaannya. Performansi berarti menampilkan puisi di depan publik dengan membacakannya lewat acara pertunjukan seperti deklamasi, musikalisasi, dan teatrikal puisi. Dan yang terakhir yaitu dokumentasi berupa penyimpanan buku-buku puisi, kritik, teori, kliping puisi dari surat kabar koran atau majalah, rekaman pembacaan berupa VCD, dll. Kiranya itulah yang dimaksud dari pengertian apresiasi dalam buku yang ditulis Tengsoe Tjahyono ini. Kegiatan membaca hanya sebagian langkah permulaan dalam rangka mengapresiasi sebuah puisi. Buku setebal 293 halaman ini mencoba memberikan tawaran mudah dan sederhana dalam menembus kabut belantara kata-kata puisi yang mengalami keterpencilan di dunia yang semakin modern dengan segala perkembangan dan perubahannya. Tawaran tersebut ialah agar sidang pembaca yang berasal dari kalangan apa pun bisa menjadikan puisi sebagai bacaan lain yang merakyat seperti bacaan populer lainnya. Puisi dianggap sebagai bacaan yang ekskusif karena bahasa yang dipakai bergaya bahasa tinggi dan terdapat dari simbol-simbol tertentu yang membentuknya. Akhirnya, banyak kalangan menganggap membaca puisi sebagai kegiatan yang menjenuhkan apalagi di kalangan pendidikan. Pelajaran membaca puisi dianggap sebagai pembelajaran yang membosankan dikarenakan kesulitan para siswa tak bisa menangkap maksud yang disampaikan penyair dalam puisi yang diciptakannya. Hal ini tidaklah mengherankan karena mengingat apa yang disampaikan oleh Riffaterre bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu menyatakan sesuatu dengan cara yang lain, berbeda dengan kelaziman orang mengungkapkan gagasan atau perasaan. Ketaklangsungan tersebut disebabkan tiga hal yaitu displacing (penggantian arti), distorting(penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan). Displacing atau pengantian arti melalui permainan gaya bahasa atau majas yang digunakan oleh penyair seperti metafora, personifikasi, hiperbola, ironi, dll. Distorsing atau penyimpangan arti yang berupa kontradiksi, nonsense, dan sebagainya. Creating of meaning atau penciptaan arti yang dibangun melalui pengorganisasian teks seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran tempat atau wacana. Dengan adanya tiga hal tersebut puisi menjadi sebuah kaya sastra yang estetis tak sekadar bahasa biasa. Oleh karena itu, jika seorang apresiator ingin menerobos tiga hal tersebut. Maka, setidaknya dia harus mempunyai beberapa bekal awal yang dimiliki yaitu (1) Memahami bentuk dan unsur puisi yang meliputi pilihan kata, rima, irama, larik dan bait, enjambemen dan tipografi. (2) Memahami karakter bahasa puisi yang bersifat konotatif dan bergaya bahasa khas (3) Memiliki kepekaan dalam menangkap simbol-simbol dalam puisi serta keindahan yang dilahirkannya (4) Mempunyai pengetahuan dunia yang memadai meliputi: filsafat, sosial, psikologi, religi, politik, dan sebagainya. Selain itu, seorang apresiator juga harus paham tentang tiga kode untuk menafsirkan puisi yang dibacanya. Kode yang pertama yaitu kode bahasa yang meliputi aspek semantik atau makna kata, morfologi atau pembentukan kata, sintaksis atau tata kalimat, dan sebagaianya. Kode yang ke dua ialah kode budaya yang berhubungan dengan kehidupan dan manusia, peristiwa, benda-benda, cara berpikir, dll. Kode yang ke tiga ialah kode sastra yang mencakup pengetahuan dan kepekaan pemaknaan bahasa puisi yang berbeda dengan lainnya termasuk penafsiran terhadap gaya bahasanya yang sangat berbeda dengan arti bahasa lugas atau sehari-hari.

Dosen yang juga penyair ini berkeinginan agar puisi di benak pembaca mempunyai arti penting dalam kehidupan sebagai karya yang bermanfaat sekali pun tidak praktis. Adanya anggapan miring tentang mengapa manusia membaca puisi? Adakah manfaat praktis yang bisa diberikan puisi dalam carut marut dunia yang semakin ganas ini? Bisakah puisi membayar hutang yang menumpuk atau sekadar mengenyangkan perut yang lapar karena tak ada beras yang ditanak? Puisi di sini tak bertugas menjawab langsung segala permasalahan pelik manusia seputar kegelisahan atau kebutuhannya. Puisi cenderung berfungsi sebagai penghibur dan pendidik dalam jiwa-jiwa insan makhluk Tuhan yang paling mulia. Ada semacam perenungan dan kontemplasi dalam membaca puisi yang diharapkan setelahnya akan ada pencerahan jiwa di hati pembaca. Kemudian muncullah spirit baru, pemikiran baru, hidup baru, yang mengarah pada hal positif dalam diri pembaca puisi di kehidupannya yang mengalami pasang surut jiwa. Buku yang berjudul Mendaki Gunung Puisi ke Arah Kegiatan Apresiasi mempunyai sistematika isi yang berurutan. Mulai dari permasalahan tentang pengertian puisi yang begitu subjektif. Manfaat membaca puisi, bekal awal sebagai apresiator, serta kegiatan apresiasi yang melingkupinya. Pembaca seolah akan diajari sendiri oleh penyair yang benarbenar mengalami sendiri bagaimana proses puisi itu mulai tercipta hingga diapresiasi. Karena penulis dalam buku ini Tengsoe Tjahyono merupakan penyair yang telah melahirkan puisi yang tidak sedikit dalam kurun waktu yang tidak singkat pula. Sejak usia muda penyair ini telah berproses kreatif mengasah kepekaanya lewat menulis puisi. Sudah banyak antologi puisi yang telah dilahirkannya seperti Terzina Penjarah, Hom Pim Pa, Dialog Warung Kaki Lima, Pertanyaan Daun, dan masih banyak lagi. Namanya juga telah dikenal di kalangan jagad raya perpuisian dan sastra Indonesia. Buku ini tak hanya memberikan pencerahan kegiatan apresiasi secara teknis tapi juga tambahan berbagai macam pengenalan ilmu tentang puisi seperti ragamnya pembagian puisi lama dan baru yang meliputi pantun, syair, gurindam dll. Setiap pembahasan penafsiran disertai dengan contoh aplikasi nyata berupa karya puisi dari berbagai penyair yang berbeda mulai dari penyair yang sudah mempunyai nama mau pun yang pendatang baru. Hadirnya buku ini juga telah menambah khazanah referensi kurangnya buku apresiasi yang aplikatif dan integratif serta mudah dipahami untuk semua kalangan mulai dari siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan pembaca umum. Permasalahan tentang kesulitan menembus kabut puisi sudah bukan menjadi masalah sulitnya membaca dan mengapresiasi puisi dengan terbitnya buku ini. Setelah membaca buku ini mulailah mendaki dengan segala pola pendekatan yang ada di dalamnya. Rasakan puisi dalam hati, relung jiwa yang paling dalam, dan dendangkanlah:Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila mengiris Dengan puisi aku mengetuk nafas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya. Selamat berapresiasi! Radar Surabaya, 04 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai