Anda di halaman 1dari 4

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi


tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,


terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa


Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan


kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan
impian

Kenang, kenanglah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

1948
Setidaknya dapat diambil beberapa oposisi yang terdapat di dalam sajak tersebut. Pertama,
kami >< (pada)mu. –mu bisa merujuk pada individu ataupun kolektif, sedangkan kami adalah
subjek kolektif yang terbaring antara Krawang-Bekasi. Krawang-Bekasi (yang merupakan
dua kabupaten yang berdampingan) adalah ruang geografis yang menciptakan batasan yang
jelas, yang membuat kami tidak dapat bergerak bebas. Krawang-Bekasi juga merupakan
ruang batas yang menindas sehingga subjek kolektif tidak bisa berteriak “Merdeka” dan
angkat senjata lagi.
Namun, ruang yang membatasi tersebut ternyata cukup cair sehingga kami bisa menyeru,
meskipun hanya dalam bayang-bayang. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru
kami, /Terbayang kami maju dan berdegap hati? Kecairan tersebut juga memungkinkan kami
untuk bicara padamu dalam hening di malam sepi/ jika ada rasa hampa dan jam dinding
yang berdetak.
Selanjutnya, oposisi kami >< kamu tersebut mengantarkan pada oposisi berikutnya, yaitu
mati >< hidup. Kami adalah subjek yang sudah mati, yang telah berwujud menjadi tulang
diliputi debu, sedangkan kamu merujuk pada subjek yang masih hidup. Kami sebagai yang
mati dan kamu sebagai yang hidup ini juga merujuk pada oposisi jiwa >< tubuh/tulang.
Mengapa tulang? Jika manusia mati, yang tertinggal hanyalah tulang. Tulanglah yang
menyangga daging manusia agar tetap tegak. Dalam sajak ini tulang tak lagi penting sebab
dia hanya berselimutkan debu. Yang penting adalah jiwa. Tulang telah berpisah dari jiwa.
Akan tetapi, jiwa ini terus berteriak meski hanya dalam bayang-bayang.
Namun, bagaimanapun jiwa ini tak kan berarti tanpa tulang. Karena jiwa hanya bisa
disuarakan oleh tubuh. Teriakan “Merdeka” hanya bisa dilakukan oleh yang hidup. Oleh
karena itu, kami membutuhkan kamu untuk menjembatani antara jiwa dan tubuh yang sudah
terpisah. Terdapat ketegangan antara jiwa yang ingin terus menyala dan tubuh yang sudah
terlanjur menjadi mayat, mati muda.
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Dalam hal ini, terdapat dua ruang, yaitu ruang jiwa dan ruang tubuh (tulang). Dua ruang ini
dipisahkan oleh ruang fisik Krawang-Bekasi, oleh kematian. Oleh karena itu, kamu menjadi
jembatan yang menghubungkan antara tulang dan jiwa tersebut. Sehingga tulang kita adalah
satu kesatuan. Jiwa berbicara kepada tubuh di dalam hening di malam sepi. Karena hanya
dalam keheninganlah “suara” tersebut dapat didengar oleh kamu/tubuh. Sehingga Ini
menjadikan terciptanya ruang pribadi antara kami dan kamu.
Pembicaraan tersebut hanya mampu dilakukan pada saat sepi dan malam hari, itu berarti tidak
dapat dilakukan ketika riuh dan siang hari. Hal ini mengindikasikan bahwa siang hari dan
riuh membatasi subjek kolektif untuk ‘berbicara’. Siang hari membatasi karena
dimungkinkan banyaknya bahaya, sedangkan malam hari memberikan kelonggaran. Jam
dinding merupakan penanda bahwa waktu masih berjalan.
Selain itu, dalam sajak ini terbangun suasana yang menekan-mendesak sehingga kerja yang
menyebabkan tulang diliputi debu tersebut dianggap belum kerja. Atau kerja, tetapi kerja
yang belum selesai. Belum apa-apa. Inilah yang barangkali menjadi inti sajak ini, yaitu
adanya kerja yang dianggap belum selesai. Untuk itulah, kami menginginkan untuk selalu
dikenang. Yang dikenang bukanlah tubuh, melainkan jiwa. Tindakan mengenang di sini
menjadi sangat penting karena merupakan sebuah upaya reproduksi untuk membangun ilusi
tentang kesatuan (tulang-tulang) agar tidak berserakan. Mengenang juga diperlukan agar jiwa
tetap ada. Namun, ada kelumpuhan dan ketidakberdayaan yang menghantui kami. Untuk itu
kami ingin agar kamu mengenang. Kenang, kenanglah kami. Di sini jiwa sangat bergantung
pada tubuh.
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan
--

Kami sekarang mayat


Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan
impian

Apakah kami menyerah? Tentu tidak. Kami menganggap dirinya punya tugas besar, yaitu
untuk selalu terjaga. Terjaga merupakan tindakan yang menuntut kesadaran penuh. Setelah
terjaga, subjek kemudian melakukan tindakan menjaga. Berjagalah terus di garis batas
pernyataan dan impian. Tidak peduli apakah itu nyata atau sekadar impian, subjek dituntut
untuk tetap terjaga. Yaitu Menjaga Bung Karno/ menjaga Bung Hatta/ menjaga Bung Sjahrir.
Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir adalah milik kami dan kamu, untuk itulah perlu
dijaga. Ketiga subjek ini adalah subjek-subjek yang dianggap mewakili semangat juang kami.
Untuk ketiga subjek itulah kami berjuang. Rela mengorbankan jiwa untuk kemerdekaan,
kemenangan, dan harapan.
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Selanjutnya, tindakan menjaga tersebut dapat diartikan sebagai sebuah perjuangan. Meskipun
tubuhnya tinggal tulang, ia tidak merasa sia-sia. Perjuangan yang telah dilakukan
memancarkan semangat kebangsaan. Kebangsaan yang dibayangkan oleh kami adalah
dengan tindakan menjaga itu tadi. Dengan begitu kami telah melakukan sebuah tugas. Sebuah
tujuan hidup. Sebuah keharusan untuk mengabsahkan dirinya sebagai yang mati muda, yang
tidak sia-sia.
Karena kami tinggal tulang diliputi debu, padahal semangat juangnya sangat tinggi, kami ini
kemudian membutuhkan kamu untuk meneruskan perjuangan. Meneruskan penjagaan. Ruang
antara kami dan kamu ini dijembatani oleh sebuah tugas penjagaan. Tugas yang harus terus-
menerus dilakukan. Dalam hal ini pergeseran yang terjadi bergerak ke arah yang semakin
luas. Kami+kamu menjadi kita. Kita merujuk pada kesatuan yang lebih luas. Kekuatan yang
lebih besar.
Pergeseran skala yang terjadi dalam nasionalisme yang terbentuk tersebut bergerak menjadi
besar atau meluas. Krawang-Bekasi dibayangkan sebagai Indonesia. Dalam hal ini tulang
yang diliputi debu tersebut sebenarnya tidak hanya berada di antara Krawang-Bekasi, tetapi
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tindakan menjaga pun dapat dikatakan sebagai
tindakan meluas karena menjaga entitas di luar dirinya. Tindakan menjaga itu pun sebenarnya
tidak hanya menjadi Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, tetapi juga menjaga 4-5 ribu
nyawa. Bahkan seluruh penduduk Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai