Anda di halaman 1dari 2

Catatan Penjurian Lomba Penulisan Puisi Peksimida Unja 2020

Hal-hal teknis naskah penulisan puisi peserta

a. Bahasa, puisi memiliki karakteristik sebagai karya sastra yang bahasanya padat. Dalam artian
pemilihan kosakata, diksi, frasa, klausa diperhitungkan agar menghasilkan satu kepaduan.
Bahasa dalam puisi mempertimbangkan keefektifan dan tidak (terlalu) cair/verbal.
b. Kepadatan, salah satu hal yang menjadi ciri khas puisi adalah kepadatan. Berbeda dengan
prosa fiksi. Kepadatan juga berkaitan dengan bahasa, akan tetapi fokus utamanya lebih pada
pemilihan kualitas diksi yang koheren, padu, dan tidak monoton. Kepadatan dalam puisi bisa
dianalogikan semacam ini, jika dalam prosa fiksi (novel, cerpen) terdapat satu paragraf,
maka ketika dikonversi ke dalam puisi menjadi satu baris. Jadi, kepadatan pada puisi terkait
dengan pemilihan kosakata atau diksi yang tepat untuk mengekspresikan keadaan atau
perasaan. Coba baca puisi Chairil Anwar yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”.
Bagaimana kepadatan dalam puisi tersebut bisa dijadikan sebagai suatu contoh pola untuk
menulis puisi, atau juga puisinya Sitor Situmorang, yang berjudul “Malam Lebaran”.
c. Klise, (masih terkait dengan bahasa di atas) mayoritas karya peserta terjebak pada kata-kata
klise (ungkapan, istilah, kalimat, pernyataan) yang menyebabkan kualitas puisi menjadi
menurun. Alih-alih membangun suatu imaji atau citraan terhadap puisi, justru hal ini
membuat puisi menjadi sangat verbal. Mirip curhatan.
d. Ejaan Bahasa Indonesia, dalam menulis puisi kaidah tetap harus diperhatikan termasuk
penggunaan tanda baca, kaidah penulisan huruf, kata baku, dan sebagainya. Hal ini mutlak
dan tidak bisa ditolerir. Seorang penulis puisi yang baik harus sudah paham pakem kaidah
sebelum mereka membuat “pemberontakan” terhadap konvensi sebagaimana yang
dilakukan oleh Sutardji Calzoum Bahri pada tahun 70-an.
e. Metafora, dalam puisi metafora adalah bagian dari piranti menulis puisi. Kendati demikian,
metafora tidak serta merta bisa sembarangan dan asal dicomot untuk digunakan dalam
menulis puisi. Metafora yang baik (pas/tepat) dalam suatu karya puisi adalah metafora yang
koheren dengan kesatuan tematis puisi. Mayoritas teman-teman peserta masih gegabah dan
terkesan memamerkan “akrobatik” metafora dengan diksi-diksi yang aneh dan campuraduk.
Alih-alih membuat karya puisi bagus, justru yang terjadi sebaliknya, puisi justru menjadi
klise, asing, dan tidak bisa dipahami.
f. Rima atau persajakan, bagian ini juga menjadi salah satu ciri khas puisi, terutama jenis puisi
lirik. Dalam keseluruhan naskah yang masuk, mayoritas peserta memang mencoba mengejar
persajakan ini, akan tetapi lagi-lagi terjebak pada “keterpaksaan” untuk membuat
persajakan yang padu di akhir baris secara intens. Alih-alih mencapai kepaduan dan
kesatuan (bunyi dan makna), justru yang terjadi adalah memaksakan untuk mengejar
kepaduan bunyi di akhir barisnya. Dalam puisi modern dan kontemporer, lirisisme ini masih
menjadi hegemoni dalam perpuisian Indonesia.
g. Terakhir adalah membaca perkembangan puisi Indonesia Modern. Mayoritas peserta
penulisan puisi tidak membaca perkembangan puisi Indonesia Modern, hal ini terlihat dari
model penulisan, pemilihan diksi, dan juga bagaimana mengeksekusi puisi tanpa mencoba
memformulasikan atau mengolaborasikan keliaran-keliaran berpikir atau paradigma
sehingga kreativitas dan kesegarannya tidak muncul. Hal ini yang cukup mengkhawatirkan,
pada akhirnya muncul dugaan bahwa para peserta ikut lomba menulis puisi hanya bermodal
nekat dan keberuntungan saja. Idealnya, jika hendak mengikuti lomba mempersiapkan
bahan baku sesuai dengan kondisi mutakhir atau wacana mutakhir.
Catatan ini hanya refleksi ringan atas naskah lomba penulisan puisi yang sudah dinilai dan
hanya dipergunakan untuk memberikan pemaparan kepada peserta lomba penulisan puisi
agar bisa berkembang lebih baik lagi. Salam.

Oktober 2020
tertanda

atas nama
Juri Lomba Penulisan Puisi

Anda mungkin juga menyukai