SETASION
(Subagio Sastrowardojo)
1. Kegiatan Langsung
Dalam kegiatan apresiasi-sastra secara langsung kita akan berhadapan secara
langsung dengan hasil karya sastra. Kila langsung membaca novel misalnya, atau
menonton sebuah pertunjukan teater. Kita langsung mendengarkan puisi dideklamasikan
ataupun menikmati siaran ketoprak dari radio.
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan secara langsung ini dapat dilakukan melalui
teks sastra dan juga melalui performansi (penampilan).
a. Teori Sastra
Teori sastra itu sebenarnya merupakan bidang pembahasan sastra yang
memusatkan perhatiannya pada pengkajian pengertian, konsep, prinsip, kategori dan
kriteria sastra. Prinsip, kategori, dan kriteria itu tentunya disimpulkan atas dasar
perilaku sastra yang telah diselidikinya yang akhirnya menghasilkarn semacam ciri-
ciri umum. Teori tentang sastra Indonesia tentu diperoleh dari pengkajian secara
mendalam dan serius terhadap hasil-hasil karya sastra Indonesia, begitu pula sastra
Jepang, Cina, Arab dan sebagainya.
Studi teori sastra berkembang sesuai dengan perkembangan hasil karya sastra,
sehingga kadangkala, teori sastra yang berlaku pada tahun 1920 tak akan berlaku
atau tak akan sesuai lagi bila diterapkan pada tahun, 1980. Dahulu orang membuat
batasan bahwa prosa adalah karangan bebas. Batasan semacam itu tentu tak akan
cocok lagi bila kita terapkan pada kehidupan prosa masa kini. Mengapa? Misalnya,
dalam lomba penulisan cerita pendek. Bebaskah seorang menulis prosa? Ternyata
tidak, karena dia harus memenuhi berbagai macam persyaratan.
b. Kritik Sastra
Kritik sastra menurut HB. Jassin adalah pertimbangan baik dan buruk sesuatu
hasil kesusastraan. Lantas, Mursal Esten menegaskan hendaknya penilaian tersebut
benar-benar berdasarkan proses yang meyakinkan orang. Kritik yang hanya
memperlihatkan hasil penilaian saja tanpa menjelaskan hasil penilaian itu, bukanlah
kritik yang baik.
Sasaran kritik sastra yang utama adalah sastrawan dan hasil karyanya. Namun
di sisi lain kritik sastra pun dapat berguna bagi para pembaca.
Bagi Sastrawan
Dengan kritik sastra diharapkan para sastrawan (terutama sastrawan muda)
mampu bercermin dan melihat dirinya sendiri dari kaca orang lain. Ingat bahwa
menilai diri sendiri itu keliwat sukar daripada melihat kekurangan dan kelebihan
orang lain. Maka sebagai manusia dinamis sebenarnya peranan manusia lain yang
bertindak sebagai evaluator dan kritikus amatlah penting, apalagi dalam bidang
sastra. Kritik sastra mampu bertindak sebagai cambuk, mendorong sastrawan agar
melangkah lebih maju, memperbaiki kekurangan dan kelemahannya. Inilah
sebenarnya fungsi utama kritik sastra.
Bagi Pembaca
Banyak orang merasa pusing dan geleng-geleng kepala karena merasa asing
ketika membaca sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Apalagi ketika melihat
Sutardji membacakan puisinya dengan gaya penyanyi rock, sementara botol bir
berbuih di tangannya, dan kapak tergantung di atasnya. Belum lagi ketika melihat
pertunjukan drama-drama Putu Wijaya dan Arifin C. Noer yang serba absurd.
Kenyataan sastra semacam itu secara tanpa sadar telah menciptakan jarak yang jauh
dan dalam antara masyarakat dan sastra itu sendiri.
Lantas lahir beberapa anggapan bahwa puisi itu pasti sulit dipahami, bahwa
drama itu pasti tidak menarik karena tak dapat dimengerti, dan anggapan-anggapan
lain yang justru memperjauh jarak itu. Padahal antara sastrawan, hasil karyanya, dan
masyarakat penikmatlah merupakan tiga komponen sastra yang tidak mungkin lepas
satu dengan yang lainnya.
Hasil sastra tanpa sastrawan tentu tak mungkin, hasil sastra tanpa masyarakat
penikmat itu pun tak masuk akal, sastrawan tanpa masyarakat pun terasa menjadi
janggal. Pendek kata ketiga komponen sastra itu memang harus ada, tak boleh ada
kesenjangan di antara ketiganya. Dengan kritik sastra kesenjangan-kesenjangan itu
diharapkan dapat dihilangkan.
Coba mari kita simak puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
LUKA
ha ha
Membaca puisi di atas paling tidak kita akan mengumpat juga. Tetapi bila kita
sempat membaca kritik Umar Junus tentang puisi-puisi Sutardji ini umpatan kita itu
akan berubah menjadi sebuah sikap mau mengerti. Menurut Umar Junus pada
dasarnya mantra adalah ucapan yang tak perlu dipahami, karena ia lebih merupakan
permainan bunyi dan bahasa belaka. Mantra harus dilihat dari kenyataan yang ada
pada dirinya sendiri, bukan dari kenyataan yang ada di luarnya. Memahami puisi-
puisi Sutardji bukanlah memahami kata-katanya melainkan merasakan. Kekuatan
bunyi yang mendukung totalitas puisi tersebut. Jadi bagi pembaca, kritik sastra
berfungsi mempersempit jarak antara sastra dar masyarakat.
c. Sejarah Sastra
Sejarah sastra adalah kegiatan menelaah perkembangan sastra dari mula lahir
hingga masa kini, banyaknya jumlah hasil karya sastra yang dilahirkan, tokoh-tokoh
yang terlibat dalam perkembangan sastra, karya-karya puncak, ciri-ciri pada masing-
masing angkatan sastra atau generasi, dan sebagainya.
Menurut Soedjijono sejarah sastra adalah bidang pengkajian sastra yang
memusatkan perhatiannya kepada perhubungan antara dua atau lebih karya sastra
yang selanjutnya membimbing kepada masalah evolusi atau perkembangan
kehidupan sastra. Dan untuk menentukan tahapan perkembangan itu tentunya harus
menentukan patokan-patokan. Sementara itu patokan yang digunakan adalah kriteria
intrinsik dan kriteria ekstrinsik.
3. Kegiatan Kreatif
Dalam kegiatan kreatif seseorang akan belajar mencipta sendiri puisi-puisi
cerpen, ataupun naskah drama yang pendek. Bila sekolah menyediakan media berupa
majalah sekolah atau setidak-tidaknya majalah dinding maka aktivitas kegiatan kreatif
ini pasti akan lebih berjalan baik. Lebih-lebih kalau siswa tersebut (dengan motivasi dari
gurunya) mau menyiarkan atau mengirimkan karya-karyanya ke koran-koran atau
majalah-majalah.
4. Kegiatan Dokumentatif
Dalam kegiatan dokumentatif seseorang akan mengumpulkan dan menyusun
majalah dan buku sastra, guntingan-guntingan koran yang berisi kritik atau esai tentang
masalah budaya dan sastra.
1. Kepekaan Emosi
JAM KOTA
Jam kota itu tegak menghidupi jantung kota, tapi sayang nyaris sebulan mati.
Jarumnya senantiasa bicara hari itu jam enam. Saat manusia masih asyik menggeluti
bantal gulingnya.
Pekerja-pekerja akan berhenti dulu setiap sampai di perempatan itu. Menanti jarum
bergerak menuju jam-jam kerja kota, bertahun-tahun sudah.
Pekerja-pekerja itu akhirnya pada bermatian. Di atas mobil dan sepedanya, juga ada
yang berdiri mati di kakinya. Dengan baju kerja, dengan baju uniformnya. Berlumut
termakan musim. Kota itu mati, tanpa dikubur bangkainya dengan taburan bunga dan
iringan doa.
(Tengsoe Tjahjono)
Memang ada perbedaan antara manusia profesional yang lain dengan seorang
seniman, terutama dalam kepekaan emosinya ketika menangkap gejala alam dan
kehidupan. Jam kota yang tegak di tengah kota, jam kota yang nyaris mati dan
sebagainya, mungkin tak akan menyentuh harkat estetis seorang pekerja kantor, guru,
pegawai, tukang, pedagang sayur, dan sebagainya. Namun bagi seorang seniman akan
jadi lain. Melihat jam kota yang mati itu emosi, imajinasi, intuisi dan daya
kontemplasinya bergerak menciptakan sesuatu yang indah dan memiliki pesan yang
tinggi.
Tanpa kepekaan emosi yang terlatih untuk menangkap cerpen Jam Kota di atas pun
mungkin agak kesukaran. Apa maksudnya? Masuk akalkah itu semua? Mana mungkin?
Dan berbagai pertanyaan yang lain. Nah, jelaslah kini untuk menjadi apresiator sastra
yang baik kita harus memiliki kepekaan emosi.
Kutipan cerpen di atas terjadi di Bloomington, sebuah kota di negara bagian Indiana,
Amerika Serikat. Maka untuk memahami cerpen di atas kita harus memiliki sekurang-
kurangnya persepsi tentang posisi geografis kota Bloomington, latar belakang sosio-
kulturalnya, adat dan cara hidup mereka, cara berpikir mereka, dan sebagainya. Tanpa
pengetahuan (dan kalau mungkin pengalaman langsung) kita akan sulit juga mau
menerima sikap Ny. Nolan yang tua dan sesungguhnya memang tidak cukup mampu
untuk membersihkan pekarangan rumahnya itu. Namun Ny. Nolan bukanlah orang
Indonesia, Ny. Nolan adalah orang Amerika yang memiliki logika berpikir jauh berbeda
dengan, kita. Ny. Nolan memiliki sikap individualistis tinggi, tapi ini bukan berarti dia
sombong, dia selalu curiga terhadap orang lain (lebih-lebih orang itu adalah orang asing,
dalam cerpen Laki-laki Tua Tanpa Nama, orang asing itu justru Budi Darma sendiri,
orang Indonesia).
Pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan
kemanusiaan itu dapat dicari lewat penghayatan kehidupan ini secara intensif-
kontemplatif ataupun lewat membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah
humanitas misalnya, buku filsafat, psikologi, sejarah, geografi, hukum dan sebagainya.
Sastra merupakan ungkapan estetis yang memakai bahasa sebagai wahananya. Maka
tak berlebihan bila untuk memahami makna karya sastra kita harus memiliki pemahaman
terhadap aspek kebahasaan. Mengapa puisi di atas memilih kata beranda dan bukan
teras, mengapa lentik angin dan bukan hembusan angin, mengapa memakai kata
hanya dan bukan cuma, dan sebagainya, meski pasangan kata-kata itu memiliki makna
sama. Nah, perlu diketahui bahwa setiap kata mendukung suasana tertentu, yang efeknya
pada musikalitas dan totalitas suasana puisi atau karya sastra.
Perhatikan perulangan bunyi u dalam, lalu, kabut, turun, beruntun; perulangan a
dalam ada, angan, suram, ada, kelepak, dada, yang, muram, hanya, pelan,
terunjam, masam. Perulangan semacam itu jelas bukan sekedar kebetulan saja, namun
memang disengaja oleh penyairnya. Ingat dalam karya sastra bunyi-bunyi vokal itu selalu
memiliki kekuatan tertentu sehingga mampu membangkitkan emosi tertentu dalam diri
pembaca.
Dengan memahami aspek kebahasaan (baik berupa kata, kalimat, bahkan paragraf)
secara baik, kita akan lebih mudah menangkap arti atau makna sebuah karya sastra.
Tugas :
Coba cari sebuah puisi anak-anak, lalu apresiasilah!