Anda di halaman 1dari 13

APA ITU KRITIK SASTRA?

Diposting oleh Alwi Atma Ardhana | Mar 19, 2020 |


Pengantar
Apa itu kritik sastra? Sebuah pertanyaan yang berat untuk dijawab bahkan oleh orang-
orang yang telah menempuh pendidikan formal sastra, khususnya di Indonesia.
Kalaupun ada jawaban atas pertanyaan itu, jawaban tersebut umumnya tidak
memuaskan. Salah satu contoh, yang paling kini, dari ‘jawaban-yang-tidak-memuaskan’
ini adalah makalah Budi Dharma yang dipaparkan di Temu Sastrawan Indonesia III di
Tanjungpinang yang berlangsung dari tanggal 28 hingga 31 oktober 2010 lalu. Bagi
Prof. Dr. Budi Dharma, yang seorang akademisi sastra (paling tidak kita ketahui dari dari
titel di depan namanya), “[s]emua pendapat mengenai sastra pada hakikatnya adalah
kritik sastra.”. Sehingga, tulisan sekecil apapun tentang karya sastra adalah kritik
sastra; blurb-blurb di sampul-sampul novel juga adalah kritik sastra. Sebaliknya,
menurut Katrin Bandel, yang juga seorang akademisi sastra yang ‘ditugasi’ untuk
menanggapi/menyanggah makalah Budi Dharma, sebuah kritik sastra “mesti ada
elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya (kritikus-pen) sampai pada penilaian
tertentu.” Dalam pendapat Katrin Bandel, blurb-blurb tentu tidak dapat digolongkan
sebagai kritik sastra.
Ketidakpuasan Katrin dari makalah Budi Dharma mengenai penggolongan ‘kritik sastra’,
hal yang mendasar dalam dunia sastra, adalah sinyal yang patut ditangkap. Makalah
Budi Dharma, yang seharusnya merupakan tulisan akademis (memberi penjelasan yang
lebih masuk akal dan disertai beberapa kutipan pendapat teoretikus sastra sebelumnya
sebagai pembanding) tapi tak jadi, merupakan simbol parahnya pendidikan sastra di
Indonesia, termasuk para akademisi yang menghidupinya. Secara lebih luas, dalam
makalahnya, Katrin Bandel melihat keparahan para akademisi sastra ini dengan
menyatakan bahwa “tulisan-tulisan di jurnal-jurnal akademis sering justru bermutu lebih
rendah daripada tulisan di koran, di majalah sastra atau di website sastra.”
Penyebabnya, bagi Katrin Bandel, adalah kurangnya keinginan para dosen sastra
mengembangkan diri dan besarnya tekanan struktural (kampus) yang mengharuskan
para dosen hanya menulis di jurnal-jurnal dengan lisensi DIKTI.

Menurut saya, ada penyebab lain yang sebenarnya turut mengambil peran terjadinya
fenomena di atas yaitu tidak adanya pendidikan sastra yang memadai sejak dini di
Indonesia: di Indonesia tidak ada pelajaran sastra di tingkatan SD, SMP/SLTP maupun
SMA/SLTA, hanya mata pelajaran Bahasa Indonesia yang ada dan tentu tidak akan
mampu mencakup sastra Indonesia secara menyeluruh. Yang kedua, penekanan
pentingnya kritik sastra sebagai bagian mendasar dari studi sastra tidak diberikan di
fakultas sastra. Berapa mahasiswa sastra yang mengetahui bahwa tujuan akhir dari
fakultas sastra, salah satunya, adalah mencetak kritikus sastra? Atau berapa
mahasiswa yang mengetahui bahwa kritikus sastra adalah sebuah profesi? Dan itu
bukanlah sebuah kebetulan semata, karena sangat jarang brosur-brosur iklan fakultas-
fakultas sastra yang menuliskan kritikus sastra sebagai salah satu profesi, bahkan yang
utama, yang hadir sebagai hasil dari pendidikan di fakultas sastra; kebanyakan profesi
yang diiklankan adalah sastrawan, budayawan, bahkan wartawan. Dari segi kurikulum,
berapa SKS dalam setiap prodi bernama-depan ‘sastra’ yang membahas kritik sastra
secara khusus? Saya, sebagai orang yang pernah belajar di fakultas sastra, tidak
mendapatkan mata kuliah-mata kuliah yang membahas kritik sastra secara khusus itu.
Esai ini berangkat dari lemahnya pendidikan sastra di Indonesia, yang mana saya
termasuk salah satu produknya, yang bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan
sederhana di awal esai ini. Dengan mencoba menjawab pertanyaan tersebut, dengan
semaksimal mungkin, paling tidak esai ini akan mengisi ruang lowong di ranah
pendidikan sastra (di) Indonesia.

Krisis Kritik Sastra: Sebuah Deteksi


Seorang penyair yang tinggal di Jogja, Saut Situmorang, dalam esainya yang berjudul
‘Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia’, membantah pernyataan Korrie Layun Rampan yang
(masih saja) percaya bahwa krisis yang terjadi di dunia Sastra (di) Indonesia adalah
krisis karya sastra. Menurut Saut Situmorang, krisis justru terjadi di sisi kritik sastra.

Pernyataan Korrie Layun Rampan ini sebenarnya sudah harus gugur sebelum dituliskan
karena sekitar 50 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1955, Sitor Situmorang telah
mendeteksi adanya krisis kritik sastra (dan bukan krisis karya sastra seperti yang Korrie
Layun Rampan ungkapkan). Dalam tulisannya yang berjudul ‘Krisis H.B. Jasin’
pada Mimbar Indonesia Th. IX No.2-3, 15 Januari 1955, Sitor Situmorang menuliskan
bahwa sastra (di) Indonesia sedang mengalami krisis ukuran. Yang dimaksudkan
ukuran oleh Sitor adalah pengukuran pencapaian estetika pada sastrawan-sastrawan
yang menentukan seberapa pentingnya (berpengaruhnya) seorang sastrawan. Baginya,
dalam tulisan tersebut, setiap sastrawan dan karyanya harus dikaji dengan ide-ide yang
melingkupinya. Di sinilah pentingnya tulisan Sitor Situmorang: dengan melakukan apa
yang ia anjurkan, akan tergali ide-ide dari sastrawan-sastrawan terdahulu yang pada
kenyataanya mempengaruhi sastrawan-sastrawan setelahnya (jika memang ide
seorang sastrawan ini begitu dahsyatnya). Dengan dasar inilah sebuah tradisi sastra
(kanon) diciptakan.
Sehubungan dengan sastra kanon, sebelum Pramoedya Ananta Toer mengumpulkan
karya-karya penulis, yang kebanyakan Indo dan Tiong Hoa, di buku Antologi Sastra Pra-
Indonesia, berapa banyak orang yang mengenal nama-nama seperti Kwee Tek Hoay,
Kommer, G. Francis, atau F. D. J. Pangemanann? Nyatanya, setelah membaca buku ini
kita kemudian mengerti betul besarnya pengaruh ide-ide penulis-penulis itu ke penulis
sepenting Pram! Namun sejarah sastra, versi penguasa, tidak pernah mencantumkan
nama-nama penulis tersebut padahal karya mereka menjadi salah satu pendorong
penulis sebesar Pram dalam menulis. Kalau begitu kenapa mereka dilupakan? Apakah
tulisannya tidak mencukupi standar estetika kepenulisan saat itu? Jawaban atas
pertanyaan itu lantas mengacu pada sejarah sastra Indonesia melalui pembangunan
Balai Pustaka oleh penjajah Belanda. Sebagai badan sastra terkuat pada masa itu (atau
bahkan hingga sekarang?), secara politik mereka menetapkan karya-karya mana saja
yang dianggap sastra. Karena penulis-penulis yang diangkat Pramoedya menulis
menggunakan bahasa melayu-pasar, yang bukan bahasa resmi pemerintahan saat itu,
karya-karya mereka lantas dipinggirkan. Dan politik semacam ini, diakui atau tidak,
menemukan bentuk akutnya di sastra Indonesia kontemporer.
‘Kebesaran’ satu sastrawan diukur melalui dikenal atau tidaknya ia, atau seberapa
sering karyanya muncul di koran minggu, atau seberapa sering ia diundang
membacakan puisinya, atau, lebih parah lagi, dari komunitas sastra mana ia berasal.
Dengan kondisi akut kekuasaan sastra yang tidak memberikan ukuran estetika pada
karya sastra-karya sastra yang dianggap besar, hanya ada satu jalan keluar untuk
kondisi sastra yang lebih adil, yakni, menghidupkan kritik sastra (di) Indonesia. Sekilas
terkesan ada nada bahwa hidupnya kritik sastra akan membawa keadilan bagi para
penulis karena si kritikus akan menjadi pembawa keadilan dimaksud. Namun, ada
kutipan yang cukup mencengangkan, paling tidak itu sensasi yang saya rasakan ketika
pertama kali membacanya, yakni: “his object indeed is not to do justice to his author”(terj.
Objeknya (kritikus-pen) sesungguhnya bukanlah untuk memberikan keadilan pada
pengarangnya). Kutipan ini saya ambil dari sebuah esai berjudul On Criticism yang
maktub dalam buku kumpulan esai William Hazlitt Table Talk (1902). Tanpa ide dalam
esai Hazlitt ini, maka jawaban dari judul esai ini adalah bahwa kritik sastra merupakan
tulisan yang menilai karya sastra untuk memberi keadilan bagi semua penulis. Akan
tetapi, pencantuman kutipan Hazlitt ini tampaknya, bagi saya sendiri, menjadi sebuah
tindakan yang mirip dengan melempar batu ke kolam berair jernih. Definisi kritik sastra
pun sekali lagi berada di ruang gelap. Maka, saya akan memaparkan sejarah kritik
sastra guna membuka pintu yang cukup lebar untuk memahami, dan semoga
mencerahkan pemahaman kita tentang, konsep dasar kritik sastra.
Sejarah Kritik Sastra: Istilah dan Ide-ide di Dalamnya
Secara etimologis, usaha pencarian istilah dan ide-ide dalam kritik sastra dilakukan oleh
Rene Wellek di bukunya ‘Concepts of Criticism’ (1963). Kata ‘kritik sastra’ (criticism)
datang dari bahasa Yunani krinein, yang berarti ‘menilai’. Kata benda yang
dimiliki krinein adalah kritein yang berarti hakim dan untuk istilah khusus yang
berhubungan dengan sastra adalah kritikos. Sosok seorang kritikos inilah yang
sekarang dimengerti sebagai kritikus sastra. Secara tersurat, arti dari kritikos adalah
penilai sastra. Kata ini mulai dikenal pada abad ke-4 Sebelum Masehi. Dan orang yang
pertama kali menyandang ‘gelar’ ini adalah Philitas dari pulau Kos (Yunani). Pada masa
itu, istilah kritik(us) sastra memiliki pengertian yang sama sekali berbeda dengan masa
sekarang.
Kritik sastra telah sejak masa awalnya berarti sebuah usaha penilaian, namun kesan
dan lingkup penilaiannya berbeda dari apa yang kita pahami sekarang. Seseorang yang
menilai benar atau salahnya tata bahasa sebuah aturan yang diletakkan di jalanan atau
tepat tidaknya pilihan kata yang digunakan seorang orator masuk dalam kategori kritikus
sastra. Dengan kata lain, seorang ahli tata bahasa, seperti Galen, seorang filsuf seperti
Aristoteles, dan seorang ahli retorika, seperti Quintillian, pada masa itu masuk ke dalam
satu golongan yang sekarang dikenal dengan kritikus sastra karena mereka semua
sama-sama mengkaji teks dan kata-kata.

Penjelasan singkat di atas dapat dikatakan sebagai perkembangan kritik sastra klasik.
Tahap selanjutnya adalah masa ketika kristianitas mulai berkembang. Tak dapat
dipungkiri bahwa perkembangan kritik sastra sangat dipengaruhi oleh perkembangan
kristianitas. Usaha penilaian baik dan buruk suatu teks dilanjutkan pada masa ini.
Dimulai dari masa Rennaissance, penggabungan keahlian seorang ahli tata bahasa, ahli
retorika dan filsuf dalam menilai suatu teks digunakan untuk menilai keindahan
penulisan, baik dari segi gaya bahasa maupun tata bahasa, dan keaslian/keotentikan
(authenticity) satu cetakan Injil serta teks-teks di sekitarnya. Kritik sastra yang dilakukan
oleh gereja tersebut mendasarkan diri pada buku Jan Wower of Leiden, Tractatio de
Polymathia (1602). Ia membagi tugas seorang kritikus menjadi dua,
yaitu, iudicium (memastikan keaslian tulisan seorang penulis)
dan emendatio (meluruskan pembacaan yang menyesatkan).
Di Masa kegelapan inilah, sebuah cabang kritik sastra hadir dengan basis sebuah
institusi, yakni gereja. Dengan kekuasaan gereja yang makin mengakar-luas hingga ke
teks-teks lain, bahkan yang di luar injil, kebanyakan menimpa buku puisi dan narasi
epik, bentuk klasik dari novel, kemudian menjadi ‘korban’ keganasan dari tugas kedua
yang diajukan Jan Wower tadi. Karena usaha penilaian tersebut dan karena
berhubungan dengan agama, maka banyak penulis sastra yang sering dicap sebagai
seorang ateis. Artinya, kasus yang serupa dengan penyerangan rumah milik Salman
Rushdie setelah penerbitan Satanic Verses-nya ataupun pengeboman rumah Naguib
Mahfouz setelah peredaran cerpennya Zaabalawi, sudah terjadi pada masa itu sebagai
dampak dari perkembangan kritik sastra agamawi.
Jika para ahli tata bahasa, ahli retorika dan filsuf Yunani klasik memberi sumbangsih
pada kritik sastra modern sebuah pondasi awal pada karya sastra berupa ruang lingkup
atas kritik sastra, seperti gaya bahasa dan ide, kritik sastra ala gereja yang terlihat
agresif ini memberi satu sumbangsih yang hingga kini masih dijalankan oleh para
kritikus, yaitu pembagian teks antara canon dan apocrypha. Dalam Penguin Dictionary of
Literary terms and Literary Theories (1999), canon diartikan sebagai tulisan yang asli dan
benar. Dengan kata lain, apabila teks ini adalah sebuah injil, maka ini adalah versi injil
yang disetujui oleh pihak gereja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Sedangkan apocrypha berarti segala tulisan di luar injil yang diterima dengan baik oleh
pihak gereja dan segala teks gerejawi yang tidak jelas pengarangnya.
Istilah canon dalam sastra berasal dari tradisi ini.
Permasalahan uji keaslian dan pembagian teks yang berkenaan dengan agama ini,
sebenarnya tidak hanya dimiliki tradisi kristen, namun juga agama lain, walaupun
dengan versi yang sedikit berbeda. Islam, misalnya. Dalam Islam, teks tertinggi adalah
Al-Qur’an, di bawahnya adalah sunnah-sunnah, yakni perkataan dan pembacaan atas
tingkah laku Nabi Muhammad SAW dan yang terlemah sifatnya adalah hadis-hadis,
yaitu kesaksian-kesaksian para sahabat di sekitar Nabi mengenai perilaku Nabi. Ketiga
teks tersebut digunakan para ahli tafsir untuk membaca perintah dan larangan Allah
SWT yang nantinya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat hirarki ketiga
teks ini, yang menjadi perdebatan hingga kini adalah hadis-hadis ini. Perdebatan
seputaran hadis ini terjadi karena kesahihan/validitas hadis-hadis ini masih harus
dipertanyakan. Itulah kenapa hadis-hadis tidak dikumpulkan hingga masa pemerintahan
khalifah Umar bin Abd Al Aziz. Di Islam, ilmu menilai hadis ini disebut kritik sanad. Pada
awalnya, hadis-hadis ini dikumpulkan tanpa memperdulikan kesahihannya, baru
kemudian diciptakan metode menilainya (kritik sanad); ini untuk membedakan antara
hadis yang soheh/sahih (‘asli’), yang dha’if (lemah) dan yang maudhu (palsu)
[Muhammad Syuhudi Ismail, 1996: 53-54]. Kritik sanad terdiri dari dua dasar penilaian
(sanad dan matan). Sanad adalah runutan orang-orang yang menceritakan perilaku
Nabi Muhammad SAW. Sanad ini juga mencakup kualitas orang-orang yang
menceritakannya (perawi); kejujuran pencerita adalah salah satu syarat kesahihan
hadis. Yang kedua adalah matan, yaitu kata-kata sesungguhnya yang digunakan ketika
Nabi mengucapkan untuk pertama kalinya. Kejelasan runutan dan ketepatan kata-kata
inilah yang menjamin kesahihan satu hadis. Seperti dalam
pembagian canon dan apocrypha, hadis-hadis digolongkan untuk menunjukkan
keasliannya (shoheh, dha’if dan maudhu’).
Walaupun berbeda cara pengukurannya, antara tradisi kristen dan Islam, namun
keduanya memberikan gambaran tentang cara kerja dan tujuan kritik sastra agamawi.
Kembali ke kritik sastra, lebih jauh lagi, sumbangsih kritik sastra agamawi pada kritik
sastra sekuler, yang merupakan hasil dari pembedaan canon dan apocrypha, adalah
terciptanya sebuah tradisi. Tradisi yang dimaksud adalah tradisi teks canon.
Sebelumnya, kritik sastra tidak berusaha untuk menciptakan sebuah tradisi dalam
kesusastraan, namun setelah dipengaruhi kritik sastra agamawi ini, para kritikus mulai
mengarah pada penciptaan tradisi. Bahkan, mereka, para kritikus, kini memiliki sebuah
standar yang juga dipengaruhi oleh kritik sastra agamawi, yaitu keaslian (authenticity).
Tentu perjalanan kritik sastra setelah masa ini melahirkan beberapa perubahan
gagasan, namun pada titik kritik sastra agamawi inilah pengaruh besar terhadap konsep
dan fungsi kritik sastra terjadi. Dan pemaparan sejarawi di atas memang saya
maksudkan untuk digunakan sebagai gerbang memasuki konsep dan fungsi kritik sastra
lebih jauh lagi.
Konsep dan Fungsi Kritik Sastra
Dari sejarah singkat kemunculannya seperti dijabarkan di atas, kritik sastra secara
sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan menilai teks, yakni karya sastra.
Perkara tata cara dan standar-standar penilaian, berikut sudut pandang yang
digunakan, masih terus berkembang hingga masa sekarang ini. Dalam
perkembangannya, yang dapat dipastikan adalah bahwa kritik sastra sudah dianggap
sebagai satu genre karya sastra di luar puisi, prosa dan drama. Yang membedakan
adalah kritik sastra bersifat non-fiksi. Namun kritik sastra tetaplah sebuah karya seni,
seni mengkritik. Ia sama personalnya dengan puisi, bahkan mungkin sama lirisnya
dalam taraf penghayatannya.

Penghayatan seorang kritikus terhadap keindahan suatu karya sastra tidaklah kalah
dengan penghayatan seorang penyair terhadap keindahan alam. Kepekaan, keterlibatan
emosi, seorang Matthew Arnold kala mengkritik karya-karya Goethe, sama dahsyatnya
dengan kepekaan Goethe kala berimajinasi dan menulis karya-karyanya. Pendapat
bahwa kritik sastra adalah salah satu genre dalam karya sastra didukung juga dengan
pendapat Matthew Arnold, seorang kritikus sastra Inggris, bahwa dalam proses
penciptaannya, karya sastra fiksi (puisi, prosa dan novel) dan non-fiksi (kritik sastra)
memiliki kesamaan: keduanya sama-sama memiliki dorongan kritis dan kreatif. Memang
Arnold membedakan antara dorongan kreatif dan dorongan kritis, akan tetapi pada
akhirnya keduanya saling bergesekan. Dorongan mencipta yang melatari seorang
penyair menulis puisi, pada prosesnya juga sekaligus merupakan usaha kritis atas puisi-
puisi pendahulunya. Ia berusaha merevisi pandangan-pandangan atau teknik-teknik
penulisan yang ada pada pendahulunya. Dan dari sisi kritikus, walaupun ia berangkat
dari dorongan untuk kritis, namun ia memiliki motif yang sama dengan si penyair, yaitu
untuk mencipta karya dan menempati satu ruang di antara para kritikus dengan
penciptaan tradisinya. Ide-ide si kritikus, yang merupakan pembacaan atas karya sastra,
mampu memunculkan sebuah gerakan tertentu. Gerakan sastra ini, walaupun dimulai
oleh si penyair dengan karyanya, merupakan karya si kritikus yang mampu
mengangkatnya dan meletakkannya di jalur tradisi kesusastraan.

Satu contoh, seorang kritikus dan teoritikus besar dalam tradisi pemikiran Marxis, Georg
Lukacs, dalam bukunya Studies in European Realism (1950), mengangkat nama Maxim
Gorky yang baginya mewarisi tradisi kepenulisan Eropa daratan. Bagi Lukacs, Gorky
mewarisi penulisan bentuk awal novel dari Honore de Balzac yang kemudian
berkembang menjadi naturalisme a la Emile Zola. Dan di Rusia, Leo Tolstoy membawa
bentuk realisme yang utuh karena ia benar-benar mewakili, untuk tidak menyebutnya
menemukan, Rusia saat itu. Selanjutnya, Gorky didaulat oleh Lukacs sebagai penulis
dengan bentuk yang paling mampu membaca Rusia di kemudian harinya, yakni
Realisme Sosialis. Lukacs mengangkat nama Gorky yang sekaligus mengangkat nama
Realisme Sosialis sebagai sebuah gerakan sastra dan seni di Rusia pasca-revolusi.
Setelah buku Lukacs, tradisi kesusastraan bernama Realisme Sosialis pun muncul ke
permukaan dan menyebar pengaruhnya bahkan sampai ke Indonesia. Dari demonstrasi
yang dilakukan Lukacs tadi, terlihat bahwa tujuan dari kritik sastra tidak untuk memberi
keadilan pada pengarang, tetapi lebih memberi suatu tempat pada pengarang di antara
pengarang-pengarang lainnya. Atau dalam bahasa Hazlitt, memberi penghormatan
(homage). Penghormatan dilakukan dengan menggali nilai dari karya sastra. Tidak dapat
dibantah sedikit pun itulah titik berat, atau tujuan utama, sebuah kritik sastra, yakni
mengukur nilai yang terdapat dalam satu karya sastra.
Kata kunci yang masih membingungkan di sini adalah nilai. Nilai adalah sesuatu yang
abstrak dan satu hal yang menurut orang bernilai, bagi yang lainnya bisa tak ada
nilainya sama sekali. Nilai selalu menjadi inti perdebatan dalam kritik sastra karena
keabstrakkan dan kenisbiannya. Pertanyaan macam ‘Atas dasar apa seorang kritikus
menilai satu karya sastra?’atau ‘Bagaimana mungkin seorang kritikus menilai puisi
tertentu sebagai puisi yang monumental?’ atau, yang jarang kita dengar di sastra
Indonesia kecuali akhir-akhir ini, ‘Bagaimana mungkin seorang sastrawan mendapatkan
anugerah sastra tanpa melalui proses kritik sastra?’ akan selalu muncul, apalagi di
sastra Indonesia yang sedang mengalami krisis ukuran, meminjam istilah Sitor
Situmorang.

Mari kita ulik satu per satu pertanyaan-pertanyaan di atas. Yang pertama adalah dasar
seorang kritikus kala mengkritik sebuah karya sastra. Bagi Hazlitt, di esainya On
Criticism, yang digunakan seorang kritikus untuk menilai sastra tidak lebih dari selera
(taste) si kritikus. Dengan seleranya, ia harus mampu mengungkap warna (kekhasan)
penulis yang ia angkat. Kalau begitu, seorang kritikus bisa menulis seenaknya karena
hanya bergantung pada seleranya? Tentu tidak, Hazlitt telah mengantisipasi pertanyaan
macam ini, dengan menulis bahwa penulisan kritik sastra harus dibarengi dengan
sejumlah alasan dan data, nukilan dari karya sastra yang sedang dikritik. Menurut
pendapat Hazlitt yang maktub dalam esai lainnya (On Taste), definisi dari selera adalah
“…kepekaan rasa terhadap berbagai macam tingkatan dan jenis kejeniusan dalam
karya-karya seni…” dan dengannya si kritikus harus mampu mengungkap warna si
pengarang. Untuk mampu mendapatkan warna yang khas ini, seorang kritikus harus
dekat bahkan mengenal dengan mendalam karya si pengarang tadi, yang hasilnya
berupa data yang saya bicarakan di atas.
Namun, bukankah alasan juga dapat dicari-cari begitu juga penyelarasannya dengan
nukilan-nukilan tadi? Menjawab keraguan ini, kita akan memasuki pertanyaan kedua di
paragraf sebelumnya, yakni ‘Bagaimana sebuah karya sastra bisa dianggap
monumental?’. Jawabannya sederhana, yaitu tradisi. Hazlitt menulis bahwa salah satu
tugas kritikus adalah meletakkan penulis-penulis dalam kelas-kelas, yang dilakukan
dengan membandingkan satu penulis dengan lainnya. Mereka, para kritikus, meletakkan
para penulis ke dalam tradisi-tradisi yang telah ada atau bahkan membuat tradisi baru;
‘baru’ dalam arti penulis ini memiliki semacam revisi atau kritik pada sebuah tradisi, jadi
‘baru’ tidaklah berarti benar-benar lepas dari sebuah tradisi. Inilah proses pembentukan
tradisi sastra melalui kritik sastra menurut Hazlitt.

Walaupun Hazlitt tidak begitu mendalam membahas permasalahan tradisi, ia menjadi


pionir dalam sudut pandang ini. Nama-nama besar seperti T.S. Eliot, Georg Lukacs, dan
Harold Bloom mengangkat permasalahan tradisi dan posisi satu pengarang melalui
jalan yang dibuka oleh Hazlitt. Bahkan, pada tahun 1994, Harold Bloom menerbitkan
sebuah buku paling komprehensif tentang tradisi kepengarangan di dunia Barat, serta
Amerika Latin, dengan judul mengerikan Western Canon; the Books and Schools of the
Ages. Buku ini berisi susunan pengarang-pengarang dan meletakkan Shakespeare
sebagai pusat dari tradisi ini (pusat canon) dengan teori temuannya, teori kecemasan
akan pengaruh (anxiety of influence). Teks-teks Shakespeare mempengaruhi teks-teks
setelahnya melalui ide-idenya. Konsep-konsep mengenai manusia dalam karakter-
karakternya, seperti keragu-raguan dalam Hamlet, membayangi, mempengaruhi,
penulis-penulis setelahnya kala menulis karya mereka. Konsep-konsepnya tentang
manusia terus diikuti dan hanya sebagian kecil pengarang yang mampu terlepas
darinya. Dengan kata lain, melalui buku ini Bloom, sesuai dengan seleranya, membuat
sebuah tradisi kanon.
Sekali lagi, kritik sastra adalah urusan menilai kemudian meletakkan, atau membuat
tradisi, untuk para pengarang dan karya-karya sastranya. Maka, terkumpullah karya
sastra yang disebut sastra kanon. Fungsi utama kritik sastra tidak lain adalah
menciptakan kanon. Kalau begitu, apakah yang membuat satu pengarang masuk
kanon?
Itulah permasalahannya sekarang. Tampaknya kita kembali ke permasalahan nilai.
Apabila di atas penjelasannya hanya berkisar permasalahan selera dan kepekaan rasa
yang sangat berhubungan dengan ke-diri-an si kritikus, sekarang penjelasan lebih
kepada karya sastra yang memiliki sifat kanon (namun, perlu diingat dalam
membicarakan permasalahan sifat kanon ini pun ke-diri-an seorang kritikus tak bisa
begitu saja dilepaskan). Seperti dijelaskan di awal, kata kanon datang dari tradisi
pemikiran gerejawi dan sekarang diterapkan dalam kritik sastra non-gerejawi (sekuler).
Sehingga, mau tidak mau, kita harus merunut konsep kanon sekarang dengan
membandingkannya dengan konsep kanon gerejawi.
Pada Masa Kegelapan, karya-karya pengarang seperti Shakespeare, Milton, Dante,
Chaucer dll. masuk ke dalam golongan apocrypha. Sekarang, pengarang-pengarang
tersebut masuk ke dalam jajaran pengarang elit (kanon). Di sini ada pergeseran nilai
yang terjadi karena karya-karya pengarang tadi tiba-tiba, setelah Rennaissance,
menjadi bernilai tinggi (kanon). Penulis-penulis tersebut masuk ke dalam jajaran kanon
karena kanon sekarang mempunyai arti yang berbeda. Bahkan, pemaparan sejarah di
atas menjelaskan bahwa ide tentang kanon dalam kritik sastra tidak ditemukan (dalam
kritik sastra sekuler Yunani). Kritik sastra gerejawilah yang membawa konsep ini dan kini
konsep ini menyusup ke dalam badan kritik sastra sekuler bersamaan dengan
datangnya “cahaya terang” Rennaisance. Namun konsep (standar penilaian) kanon
pasca-Rennaisance, yang kita kenal sekarang, berbeda dengan konsepnya sebelumnya
(pra-Rennaissance). Perbedaan konsep ini yang membuat nama-nama sastrawan di
akhir paragraf di atas termaktub dalam tradisi sastra kanon. Kata canon, seperti yang
saya dapat di Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory edisi ke empat
(1999) dan sudah saya singgung di atas, diartikan sebagai “[a] body of writings
established as authentic. The term usually refers to biblical writings accepted as authorized –
as opposed to apocrypha.” (istilah ini biasanya digunakan untuk mengacu pada
sekumpulan tulisan injili yang diakui keasliannya – sebagai lawan kata dari apokrifa).
Definisi di kamus sastra ini adalah definisi konsep kanon pada ranah gerejawi (pra-
Rennaissance) dan bukan pada kritik sastra sekuler (Yunani) yang merupakan cikal
bakal kritik sastra yang dikenal luas sekarang. Untuk konsep kanon (sastra)
kontemporer, pada kamus tersebut tertulis “[t]he term can also apply to an author’s works
which are accepted as genuine.” ([i]stilah ini juga digunakan untuk mengacu pada karya-
karya penulis yang dianggap asli).
Jadi, secara sederhana, ‘keaslian’-lah yang menjadi standar apakah suatu teks masuk
ke dalam tradisi kanon atau tidak. Akan tetapi, standar keaslian yang dituntut oleh kritik
sastra gerejawi, dengan konsep authentic-nya, dan kritik sastra sekuler (kontemporer),
dengan konsep genuine-nya, berbeda. Untuk membuat nalar
pembeda authentic dan genuine lebih terang, mari ambil contoh dari tradisi kritik sanad
Islam. Sebuah hadis akan diakui keasliannya (authentic) apabila datang dari pencerita-
pencerita (perawi-perawi) yang diakui (memenuhi syarat). Sedangkan apabila kita
menggunakan konsep ‘asli’ (genuine), setiap cerita dari perawi-perawi itu adalah ‘asli’
(genuine) sejauh itu merupakan cerita rekaan mereka sendiri dan bukan datang dari
orang lain. Secara singkat, keaslian yang dituntut oleh kritik sastra gerejawi terletak
pada pengarangnya, sedangkan kritik sastra kontemporer lebih menuntut keaslian ide
dari pengarang manapun. Jadi, Dante Alighieri, misalnya, masuk kanon sastra saat ini
karena keaslian ide-ide dalam karya-karyanya, tapi ia tidak masuk kanon gerejawi
karena ia bukanlah pengarang yang diakui oleh gereja walaupun ia menulis tentang
perjalanan spiritual manusia, yang dekat dengan konsep-konsep kristianitas, dalam The
Divine Comedy. Kedekatan ini cukup mencolok, mulai dari pemilihan kata canto,
daripada chapter, untuk mengacu pada ‘bab’ dan pemberian setiap volume bukunya;
buku pertama berjudul Inferno, yang kedua Purgatorio, dan yang ketiga Paradiso.
Andaikata Dante adalah penulis yang diakui gereja, saat ini The Divine Comedy pasti
sudah menjadi injil.
Dengan perbandingan istilah yang telah dijabarkan di atas, kini jelas bahwa inti kritik
sastra kontemporer adalah mencari keaslian (genuineness) ide para pengarang. Keaslian
ide ini yang menjadi tolok ukur masuk tidaknya seorang pengarang dalam tradisi kanon
sastra. Dan pengukuran keaslian ide ini, menurut Hazlitt, dilakukan dengan
menyandingkan satu pengarang dengan pengarang yang lain. Siapakah di antara
mereka yang memiliki ide asli dan siapakah yang hanya mengikuti ide tersebut? Itulah
pertanyaan yang paling mendasar dalam kritik sastra dan pertanyaan tersebut hanya
terjawab dengan kritik sastra perbandingan (komparatif).
Satu hal yang menurut saya perlu kembali ditekankan, mengingat permasalahan nilai
karya sastra dan selera kritikus, adalah bahwa kritik sastra, bagaimanapun juga, adalah
tindakan personal. Apabila ternyata banyak kritikus mengangkat nama-nama yang
sama, itu bukanlah hal yang aneh juga mengingat karya-karya sastra tertentu memang
memiliki ide-ide yang sangat kuat dan tidak akan dapat ditolak oleh para kritikus sastra
dan selera para kritikus juga sangat mungkin dipengaruhi kritik-kritik karya pendahulu
mereka. Karena beragamnya sumber penciptaan kanon (baca: individu kritikus), sastra
kanon tidak boleh dijadikan kebenaran tunggal dari sebuah institusi karena ia berangkat
dari selera masing-masing kritikus. Penciptaan kanon yang dijadikan kebenaran tunggal
hanya akan menghasilkan tiran di dalam tradisi (ber)sastra dan sebagai dampaknya
kanon sastra hanya akan mandeg dengan nama-nama yang itu-itu saja seakan-akan
tidak ada perkembangan ide seiring dengan kemajuan zaman.

Penutup
Melalui pemaparan historis istilah dan perkembangan konsep kritik sastra di atas,
secara singkat, kritik sastra dapat disimpulkan sebagai tindakan personal (para kritikus
sastra) guna menilai (memberi penghormatan) pada para pengarang dan karya-
karyanya, dan sebagai hasilnya terciptalah (beragam) tradisi sastra kanon. Bagaimana
kondisi tradisi sastra kanon di Indonesia? Apakah Pramoedya Ananta Toer, misalnya,
besar hanya karena dinominasikan berkali-kali untuk Nobel? Atau karena ia selama
belasan tahun dipenjara oleh Soeharto? Seharusnya tidak! Pramoedya Ananta Toer
seharusnya menjadi besar karena ada penghormatan dalam bentuk kritik sastra yang
meletakkannya dalam sebuah tradisi sastra kanon oleh kritikus sastra. Itulah
penghormatan tertinggi yang patut diberikan pada setiap sastrawan (yang dirasa) besar.
***

Bibliografi
 Bandel, Katrin. “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman”. Makalah
untuk menyanggah makalah Budi Dharma, disampaikan di Temu Sastrawan
Indonesia III, Tanjungpinang, 2010. (Judul makalah mengacu pada tema TSI III)
 Bate, J, Walter (Ed). Criticism: the Major Texts. New York: Hartcourt, Brace and
Company Inc., 1952.
 Bloom, Harold. Western Canon; the Books and Schools of the Ages. New York:
Hartcourt, Brace and Company Inc., 1994.
 Cuddon, J. A. Penguin dictionary of literary terms and literary theory (4th
ed). Middlesex: Penguin Books Ltd., 1999.
 Dharma, Budi. “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keberagaman”. Makalah
disampaikan di Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010. (Judul
makalah mengacu pada tema TSI III)
 Hazlitt, William. Sketches and Essays. London: Grant Richards, 1902.
 Hazlitt, William. Table Talk. London: Grant Richards, 1902.
 Ismail, S. Muhammad. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
Jakarta: Gema Insani, 1996.
 Lukacs, Georg. Studies in European Realism. London: Merlin Press, 1989.
 Situmorang, Saut, Politik Sastra, Yogyakarta: penerbit [sic], 2008.
 Situmorang, Sitor. Krisis H.B. Jasin. Mimbar Indonesia Th. IX No.2-3, 15 Januari
1955.
 Wellek, Rene, Concepts of Criticism, New Haven: Yale University Press, 1976.

Anda mungkin juga menyukai